Tujuan Manfaat Penelitian Hipotesis Kayu Sebagai Energi.

industri semen belum pernah dilakukan. Oleh karena itu diperlukan suatu kajian teknologi dan kelayakan ekonomis pemanfaatan hasil reforestasi pada areal bekas tambang untuk penyediaan kayu energi sebagai bahan bakar dan material alternatif BBMA substitusi 1 batu bara.

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan adalah untuk mengetahui aspek teknologi dan kelayakan ekonomis kayu yang ditanam pada areal bekas tambang maupun lahan yang direncanakan ditambang sebagai bahan bakar substitusi pada proses produksi semen. Untuk mencapai tujuan itu, maka diperlukan beberapa tahap penelitian sebagai berikut : 1. Menghitung persentase nilai kalor kayu terhadap nilai kalor batu bara per tahun berdasarkan perhitungan potensi biomassa hutan secara lestari. 2. Menghitung kelayakan ekonomis pengusahaan hutan untuk penyediaan kayu energi.

1.3. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan rekomendasi kepada pengelola pertambangan untuk menggunakan kayu dari jenis-jenis tertentu yang secara teknologi dan ekonomis layak untuk ditanam di areal bekas tambang maupun areal yang akan ditambang sebagai bahan bakar substitusi batu bara dalam proses produksi semen.

1.4. Hipotesis

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Kayu secara teknologi layak digunakan sebagai bahan bakar alternatif di pabrik semen. 2. Program penghijauan lahan bekas tambang untuk penyediaan kayu energi secara ekonomis layak untuk dijalankan. 1 Istilah “substitusi” batu bara digunakan dalam penelitian ini, sedangkan kata yang digunakan dalam surat KepMenLH tentang penggunaan bahan bakar menggunakan kata “alternatif”. II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kayu Sebagai Energi.

Sejak tahun 1970, pemakaian biomassa dari hutan sebagai sumber energi menunjukkan pemakaian yang signifikan. Demikian juga dengan produk kimia yang dihasilkan dari hutan. Pemakaian kayu sebagai bahan bakar dalam industri yang membutuhkan panas seperti industri listrik meningkatkan kelangsungan hidup industri hasil hutan. Smith 1981 dalam Haygreen et al. 2003 menyatakan bahwa pada tahun 2000 secara menyeluruh, kayu akan berjumlah 10 dari pemakaian energi dunia. FAO, 2001 dalam Haygreen et al., 2003 menjelaskan bahwa diperkirakan 53 konsumsi kayu dunia digunakan untuk pemanas rumah dan memasak. Sementara itu di Indonesia, seperti dilaporkan oleh Soetomo dan Soemarna dalam Rostiwati 2006, dengan pertumbuhan populasi di Indonesia ± 2,46 pada tahun 1960 – 1970 telah menimbulkan peningkatan kebutuhan energi tahunan pada periode 1970 - 1974 dari 6,67 menjadi 16,28, sehingga diperkirakan 90 dari produksi kayu akan digunakan sebagai kayu bakar oleh masyarakat pedesaan. Hal tersebut dengan pertimbangan bahwa 80 penduduk Indonesia yang hidup di pedesaan mengkonsumsi 70 - 75 kayu bakar sebagai sumber energi, sisanya digunakan dalam industri kecil menengah pada beberapa unit usaha diantaranya adalah industri gamping, industri genting dan industri tekstil. Sebagai contoh, industri gamping di Kecamatan Donomulyo Kabupaten Malang membutuhkan 122.722,32 smth tahun 1992. Kayu bakar yang dikonsumsi bersumber dari hutan rakyat pekarangan, tegalan dan ladang kering sebesar 99,08, sisanya adalah dari hutan negara sebesar 0,92. Pada awalnya, pemakaian kayu sebagai bahan energi bisa dikatakan tidak ekonomis, karena mahalnya peralatan dan kecilnya nilai kalor yang dihasilkan dalam pembakaran. Bahkan, meskipun kayu tersedia dengan harga murah atau tersedia secara cuma – cuma, tingginya harga peralatan bahan bakar kayu menyebabkan penggunaanya tidak ekonomis. Faktor lainnya adalah rendahnya tingkat efisiensi pembakaran pada tungku pembakaran dan kadar abu. Sebagai contoh seperti yang dilaporkan Tim P3HH dan Sosek Kehutanan 1999 mengenai efisiensi tungku pembakaran. Hasil penelitian terhadap beberapa desa di Pulau Jawa menunjukkan bahwa tungku pembakaran sederhana yang digunakan oleh masyarakat memiliki nilai efisiensi yang rendah, yaitu 3 – 14. Rendahnya efisiensi ini dikarenakan sistem pemakaran terbuka dan tidak adanya cerobong asap, mengakibatkan panas yang dihasilkan kayu bakar sebagian akan balik kemulut lubang pembakaran. Dengan tungku sederhana seperti ini selain tingkat efisiensinya rendah, asap yang ditimbulkan juga akan mengganggu kesehatan. Efisiensi tentunya akan semakin baik jika menggunakan tungku pembakaran yang lebih baik. Pentingnya kayu atau biomassa hutan sebagai sumber energi tidak akan berkurang sampai alternatif ekonomis akan minyak bumi dan gas alam dikembangkan. Perkembangannya dapat berbentuk teknologi nuklir, energi kimia, hidrogren atau thermokimia. Apabila dikembangkan, diharapkan sumber energi baru ini akan cukup melimpah dengan harga yang murah sehingga tekanan kayu sebagai energi komersial akan berkurang. Hal ini akan memerlukan waktu yang cukup lama. Dalam tahun 1980, 14 perusahaan produk hutan terbesar di Amerika Serikat memproduksi 70 energinya dari limbah kayu. Perusahaan-perusahaan tersebut memproduksi seperempat kayu gergajian dan separuh kayu lapis dan papan partikel di Amerika Serikat Haygreen et al., 2003. Seiring dengan semakin meningkatnya harga bahan bakar cair dan gas, maka kayu merupakan sumber energi alternatif yang bisa dimanfaatkan baik dalam skala rumah tangga maupun skala industri. Harga minyak bumi dan gas alam terus cenderung naik dari tahun 1970, bahkan mencapai nilai diatas 90 USbarel akhir tahun 2007. Naiknya harga minyak dan gas bumi diikuti pula dengan sumber energi berbasis fosil lainnya seperti batu bara. Kenaikan ini akan berdampak terhadap sektor industri, karena komponen energi pada industri, termasuk listrik mencapai 40 dari total biaya produksi Bertschinger, 2006. Secara ekonomis, contoh kasus pada Industri di Amerika, pasahan kering kayu dengan kadar air KA 15 mampu bersaing dibandingkan dengan bahan bakar minyak dan gas alam. Dengan harga 25 US, pasahan kering kayu pada KA 15 menghasilkan energi sebesar 17 GJ, sedangkan bahan bakar minyak yang menghasilkan energi sebesar 42 GJ hampir 3 kali lipat pasahan kering kayu harganya mencapai 180 USton hampir 8 kali lipat dibandingkan dengan harga pasahan kering kayu Tabel 1. Batu bara mampu menjadi alternatif karena nilai kalornya tinggi dengan harga yang murah, namun kendala yang sama bagi energi fosil adalah harga yang cenderung naik, permasalahan distribusi, pencemaran dan kelangkaan. Tabel 1 Nilai kalor kayu dibandingkan dengan bahan bakar fosil alternatif di Amerika pada tahun 2001 Jenis Bahan Bakar Harga Bahan bakar curah USt Perkiraan Jumlah energi Perkiraan biaya US GJt GJt Kkalt Kayu pasahan kering KA 15 25 17 4.057 1,5 Kayu serbuk gergaji, KA 90 12 10 2.368 1,2 Batu Bara 30 23 5.489 1,3 Bahan Bakar Minyak no. 2 180 42 10.023 4,3 Gas Alam 150 47 11.217 3,2 Listrik 0,07 kWh - - 20,80 Sumber : Departemen Energi dalam Haygreen et al., 2003. Standar pengujian untuk mengevaluasi sebuah bahan sebagai energi disebut analisis proksimat proximate analysis. Analisis ini dilakukan pada persentase zat yang mudah terbakar, kadar abu dan kandungan karbon bahan bakar. Kayu memiliki kandungan zat mudah terbakar lebih tinggi dibandingkan dengan kulit sedangkan kadar abu kulit lebih besar dibandingkan dengan kadar abu kayu Tabel 2. Tabel 2 Analisis proksimat dari beberapa jenis bahan bakar Jenis Bahan Bakar Zat mudah terbakar Karbon Abu Douglas fir Kayu 86,2 13,7 0,1 Kulit 70,6 27,2 2,2 Western hemloc Kayu 84,8 15,0 0,2 Kulit 74,3 24,0 1,7 Hardwood Kayu 77,3 19,4 3,4 Kulit 76,7 18,6 4,6 Arang dari Barat 43,4 51,7 4,9 Sumber : Corder 1975, Arola 1976, Pingrey 1976 dalam Haygreen et al. 2003. Sedangkan analisis proksimat dan ultimat untuk beberapa jenis kayu yang pernah diteliti di Indonesia disajikan pada Tabel 3 berikut ini : Tabel 3 Analisis proksimat dan ultimat beberapa jenis kayu Indonesia No. Jenis Analisis Kayu Borneo Kayu Asem Kayu Lamtorogung 1 Proximate Kadar Air 9,25 7,78 12,98 Bahan Menguap 72,18 78,55 73,04 Karbon Tetap 18,31 12,06 12,96 2 Ultimate Kandungan Abu 0,25 1,59 1,02 Karbon 47,87 43,86 42,85 Hidrogen 5,23 5,23 4,93 Nitrogen 1,43 0,25 0,15 Oksigen 35,98 41,29 38,07 4 Nilai Kalor kkalkg 4.513 4.113 3.945 Sumber : Gaos 2007 Menurut Haygreen et al. 2003, pembakaran melibatkan karbon dari kayu dengan oksigen dari CO 2 dan kombinasi hidrogen dari kayu dengan oksigen untuk membentuk uap air. Oksigen pada reaksi ini berasal sebagian dari kayu tetapi sebagian besarnya dari udara. Kayu mengandung 6 hidrogen, 49 karbon dan 44 oksigen. Jumlah oksigen berasal dari udara yang dibutuhkan dalam proses pembakaran secara teori dapat dihitung dengan analisis kimia yang dinamakan ultimate analysis .

2.2. Sifat Kayu terhadap Perubahan Suhu