Aspek Teknis Dan Kelayakan Ekonomis Pemanfaatan Kayu Sebagai Bahan Bakar Substitusi Di Pabrik Semen Studi Kasus di PT. Holcim Narogong

(1)

ASPEK TEKNIS DAN KELAYAKAN EKONOMIS

PEMANFAATAN KAYU SEBAGAI BAHAN BAHAN BAKAR

SUBSITUSI DI PABRIK SEMEN : STUDI KASUS

DI PT. HOLCIM NAROGONG

TEKAT DWI CAHYONO

PROGRAM STUDI ILMU PENGETAHUAN KEHUTANAN S E K O L A H P A S C A S A R J A N A

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

ASPEK TEKNIS DAN KELAYAKAN EKONOMIS

PEMANFAATAN KAYU SEBAGAI BAHAN BAHAN BAKAR

SUBSITUSI DI PABRIK SEMEN : STUDI KASUS

DI PT. HOLCIM NAROGONG

TEKAT DWI CAHYONO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

PROGRAM STUDI ILMU PENGETAHUAN KEHUTANAN S E K O L A H P A S C A S A R J A N A

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Aspek Teknis dan Kelayakan Ekonomis Pemanfaatan Kayu sebagai Bahan Bakar Substitusi di Pabrik Semen : Studi Kasus di PT. Holcim Narogong adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2008

Tekat Dwi Cahyono E051060041


(4)

SUMMARY

Tekat Dwi Cahyono. E051060041. Technique Aspects and Economic Feasibility of Wood Utilization as Alternative Fuel at Cement Factory : Case Study at PT. Holcim Narogong Plant . Advisors: Zahrial Coto, Fauzi Febrianto.

Coal is by far the main energy source for most industry in Indonesia. As one of the world nations with highest coal resources, Indonesia possesses coal deposit about 36,3 billion ton. There is only 7,6 billion ton of that number as reserve stock which almost 58,5% of it is young coal (lignite). The usage of young coal (lignite) as energy source has some disadvantages, due to its low heating value in burning process, and it also has high sulfur and moisture content. Moreover, the coal price, both domestic and international, is fluctuating, and has tendency to upraise too.

PT. Holcim Indonesia (former name was PT. Semen Cibinong), is founded in 1971 and perform mining activity ever since. It is the biggest mining aggregate in Java with production capacity about 7,9 billion ton. This company has two cement factories at Naragong and Cilacap. Naragong factory is located in Sub district of Klapanunggal, Bogor District; it covers area about 13.337,81 Ha. Until December 2006, the quarry of lime stone and clay had been opened were 214,69 Ha and 47,8 Ha, respectively, at the lowest elevation of 84 m above sea level. Mined area to this lowest elevation reach up to 78,9 Ha. This lowest elevation area has been used for reforestation 15,43 Ha, setting pond 8,19 Ha, reclamation 8 Ha, topsoil area 0,65 Ha, and building/factory site 46,63 Ha. The company has reclamation and re-vegetation plan for ten years (2002-2022) already.

This thesis interest is to observe technique and economic feasibility of wood plantation on cement mining area as alternative fuel in cement production. Since being proved to grow normally at marginal soil, sengon buto, waru, and gmelina woods were observed for their heating value based on wood species, ages, and horizontal position. Heating value was examined in air dry and oven dry condition. These values will be accumulated with biomass prediction of forest at mining area to determine the substitution proportion of wood to ordinary fuel, and eventually to determine the economic feasibility.

Therefore, the result showed that average of wood heating value (based on wood proportion and bark) in oven dry condition for sengon buto, waru, and gmelina are 4.606 kkal/kg, 4.782 kkal/kg, and 4.788 kkal/kg, respectively; meanwhile, in air dry condition it were 4.125 kkal/kg, 4.248 kkal/kg, and 4.248 kkal/kg, respectively. The correlation between moisture content (MC) and heating value is presented as this equation: Heating value = -50,87 (MC) + 4695, whereas coefficient of determination (R2) is 0,943.

Financial analysis of re-greening activity at cement mining area for fulfilling the requirement of fuel substitution showed that capital of investment is Rp 15.565.000/Ha at 9% bank interest. If the average of fuel wood potency is 300 m2/Ha then the capital required is Rp 51.880/m3. The calculation of investment criteria with NPV calculation on the interest 9% is Rp 16.606.000 and BCR


(5)

(Benefit Cost Ratio) is 2,07 at the rate interest. These values showed that this activity is economically feasible.

The fuel wood planting program is planed to involve the community surround the company location. The program is aimed as participative action that will entail natives on their force, thought, and commitment optimally; and yield sharing. The economic analysis of this mutually action revealed that BCR for society is bigger as much as 8,37% than it is for the company which is 3,53%. Keywords : wood, heating value, feasible.


(6)

RINGKASAN

Tekat Dwi Cahyono. E 051060041. Aspek Teknis dan Kelayakan Ekonomis Pemanfaatan Kayu sebagai Bahan Bakar Substitusi di Pabrik Semen : Studi Kasus di PT. Holcim Narogong. Dibimbing oleh : Zahrial Coto, Fauzi Febrianto.

Batu bara selama ini masih merupakan sumber energi utama bagi sebagian besar industri di Indonesia. Indonesia termasuk negara dengan sumber tambang batu bara terbesar di dunia. Cadangannya diperkirakan 36,3 milyar ton. Dari total sumber daya tersebut, hanya 7,6 milyar ton yang dapat dikatakan sebagai cadangan pasti (reserve). Sekitar 58,5% dari cadangan batu bara tersebut tergolong batubara muda (lignite), sisanya tergolong pada sub-bituminous (26,6%), bituminous (14 %) dan antrasit (0,1%). Penyebaran terbesar berada di Kalimantan Timur (50,1 %), Kalimantan Selatan (23,5 %) dan Sumatra Selatan ( 23,2 ). Kendala yang dihadapi dalam pemakaian batu bara muda ini adalah nilai kalor yang rendah, sedangkan kadar sulfur dan air tinggi. Kendala lain yang dihadapi produsen dan pengguna batu bara adalah masalah harga yang fluktuatif namun cenderung naik, baik harga batu bara internasional maupun harga batu bara domestik.

PT Holcim Indonesia (dulunya PT Semen Cibinong), telah berdiri dan aktif melakukan kegiatan pertambangan sejak tahun 1971 di Bogor. PT. Holcim Indonesia memiliki dua pabrik semen yang beroperasi di Narogong dan Cilacap serta tambang agregat terbesar di pulau Jawa dengan kapasitas produksi sebesar 7,9 juta ton semen. Holcim Indonesia adalah produsen terkemuka yang menghasilkan semen, beton jadi dan agregat, secara terintegrasi di pasar. Pabrik Narogong terletak di Kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor menempati areal seluas 13.337,81 Ha. Sampai bulan Desember 2006, luas quari batu gamping yang telah terbuka adalah 214,69 Ha, tanah liat 47,8 Ha dengan elevasi terendah 84 m dpl. Luas area yang sudah ditambang sampai elevasi terendah mencapai 78,9 Ha. Area dengan elevasi terendah tersebut telah dimanfaatkan antara lain untuk penghijauan 15,43 Ha, settling pond 8,19 Ha, reklamasi 8 Ha, area topsoil 0,65 Ha dan tapak pabrik/bangunan 46,63 Ha. PT. Holcim juga telah mempunyai rencana reklamasi serta rencana revegetasi untuk jangka waktu 20 tahun (2002 – 2022).

Sebuah penelitian telah dilaksanakan untuk melihat aspek teknis dan kelayakan ekonomis kayu yang ditanam di daerah pertambangan semen sebagai bahan bakar alternatif dalam proses produksi semen. Kayu Sengon buto, Waru dan Gmelina yang mampu tumbuh normal didaerah miskin hara diteliti nilai kalornya berdasarkan faktor jenis kayu, umur dan posisi horisontal dari kayu. Nilai kalor diukur pada saat kering udara (KU) dan saat kering tanur (KT). Nilai kalor tersebut kemudian diakumulasi dengan prediksi potensi biomassa hutan di wilayah pertambangan untuk melihat persentasi bahan bakar yang dapat disubstitusi oleh kayu. Selain itu juga diteliti kelayakan ekonomisnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata nilai kalor kayu (sesuai proporsi kayu dan kulit) untuk jenis sengon buto pada kondisi KT adalah 4.602 kkal/kg, waru 4.782 kkal/kg dan gmelina sebesar 4.788 kkal/kg. Sedangkan rata-rata nilai kalor kayu (sesuai proporsi kayu dan kulit) pada kondisi KU (kadar


(7)

air/KA 12%) untuk jenis kayu sengon buto adalah 4.125 kkal/kg, waru 4.248 kkal/kg dan gmelina 4.248 kkal/kg. Model hubungan antara KA dan nilai kalor adalah nilai kalor = -50,87 (KA) + 4695 dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,943.

Analisis terhadap harga ekonomis kayu bakar menunjukkan bahwa jika menggunakan harga batu bara Rp. 450.000/ton dengan nilai kalor sebesar 6.000 kkal/kg, maka harga yang sesuai untuk kayu dengan nilai kalor sebesar 4.000 kkal/kg adalah Rp. 300.000/ton. Satu ton kayu sengon buto KU (KA 12%) dengan kerapatan KU 0,55 g/cm3 setara dengan 1,63 m3 kayu sengon buto. Jika menggunakan asumsi harga kayu Rp. 300.000/ton, maka harga kayu sengon buto per m3 adalah Rp. 180.000.

Analisis finansial kegiatan penghijauan lahan pada areal pertambangan semen untuk kebutuhan bahan bakar substitusi menunjukkan bahwa kebutuhan dana investasi adalah Rp. 15.565.000/hektar pada suku bunga 9%. Jika menggunakan rata-rata potensi kayu bakar 300m2/ha, maka kebutuhan dana investasi adalah Rp. 51.880/m3. Nilai penghematan menjalankan program ini adalah Rp. 6,82 milyar per tahun. Perhitungan kriteria investasi dengan hasil perhitungan NPV pada suku bunga 9% sebesar Rp. 16.606.000 dan BCR (Benefit Cost Ratio) sebesar 2,07 pada suku bunga 9% menunjukkan bahwa kegiatan ini secara ekonomis layak untuk dijalankan.

Program penanaman kayu energi direncanakan melibatkan masyarakat sekitar wilayah pabrik semen. Program ini dimaksudkan sebagai kegiatan partisipatif yang melibatkan masyarakat secara optimal baik tenaga, pikiran, komitmen dan berbagi hasil panen. Hasil analisis ekonomi kegiatan bersama masyarakat menunjukkan bahwa BCR untuk masyarakat lebih besar yaitu 8,37 dibandingkan dengan BCR untuk perusahaan sebesar 3,53. Perhitungan ini dapat dijadikan sebagai pendekatan kuantitatif dalam menetapkan dasar kegiatan penyediaan kayu energi bersama masyarakat.


(8)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilang mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(9)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Aspek Teknis dan Kelayakan Ekonomis Pemanfaatan Kayu Sebagai Bahan Bakar Substitusi di Pabrik Semen : Studi Kasus di PT. Holcim Narogong

Nama Mahasiswa : Tekat Dwi Cahyono Nomor Pokok : E 051 06 0041

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto, M.Sc Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto, MS

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(10)

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Gunung Kelop, dusun kecil di Kelurahan Dampit, Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang Jawa Timur pada hari Kamis, 01 Juli 1975, pukul 23.00 WIB sebagai putra kedua dari 5 bersaudara, dari ayah bernama M. Kumari dan Ibu bernama Djasemi.

Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SDN 04 Dampit pada tahun 1988 dan Sekolah Menengah Tingkat Pertama di SMPN 01 Dampit pada tahun 1991, sedangkan Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas diselesaikan di SMUN 8 Malang pada tahun 1994. Melalui jalan yang sangat panjang selepas SMU, penulis merasakan pendidikan di berbagai tempat sebelum akhirnya sampailah penulis di Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dan lulus tahun 2002.

Penulis menikah dengan dr. Sri Andayani pada tanggal 15 Maret 2001, putri ke 7 dari 10 bersaudara dari ayah bernama Hamim dan ibu bernama Sumartini. Dari pernikahan tersebut, sampai karya ini dihadirkan, penulis masih menantikan kehadiran putra dan putri yang akan di amanahkan oleh Allah SWT.

Setamat dari Pendidikan Sarjana di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam berbagai kegiatan LSM, baik yang bergerak di bidang lingkungan maupun pembangunan masyarakat, pernah bekerja pada beberapa perusahaan baik di Jakarta maupun di Ambon. Mulai 1 Januari 2005 penulis bergabung dengan Departemen Pendidikan Nasional sebagai Dosen Kopertis XII Maluku, Maluku Utara Irian Jaya Barat dan Papua, ditempatkan pada Universitas Darussalam Ambon. Pada tahun 2006 penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan Pendidikan Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor dengan Biaya Pendidikan Pascasarjana dari Dirjen Dikti.

Untuk memenuhi salah satu syarat meraih gelar Magister Sains IPB, penulis melakukan penelitian berjudul Aspek Teknis dan Kelayakan Ekonomis Pemanfaatan Kayu sebagai Bahan Bakar Alternatif di Pabrik Semen : Studi Kasus di PT. Holcim Narogong dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto, MS.


(12)

i

KATA PENGANTAR

Kayu memiliki sifat dasar istimewa yang tidak dimiliki oleh bahan lain. Diantaranya adalah sifatnya yang spesifik terhadap panas dan pembakaran. Sifat inilah yang dimanfaatkan oleh manusia dalam pemilihan kayu sebagai bahan bakar. Penyediaan kayu sebagai bahan bakar secara dalam jumlah besar juga terkendala dengan sifat tumbuh kayu yang relatif lama dibandingkan dengan bahan lain yang tersedia. Namun pemanfaatan kayu sebagai alternatif energi perlu dikembangkan untuk menjawab kajian teknologi dan khasanah keilmuan bidang sifat dasar kayu.

Segala Puji Bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga pada akhirnya penulis menyelesaikan laporan penelitian dengan judul Aspek Teknis dan Kelayakan Ekonomis Pemanfaatan Kayu Sebagai Bahan Bakar Substitusi di Pabrik Semen : Studi Kasus di PT. Holcim Narogong tanpa hambatan yang berarti.

Laporan penelitian ini ditulis untuk memberikan alternatif teknologi pemanfaatan kayu yang ditanam di sekitar tambang sebagai bahan substitusi dalam salah satu proses produksi semen.

Ucapan terimakasih penulis haturkan yang sedalam-dalamnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing. 3. Ibu Prof. Dr. Ir. Tineke Mandang, MS selaku Peguji Luar Komisi.

4. Ketua Program Studi IPK, Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc selaku moderator dan Penguji dari Program Studi IPK.

5. Pak Lilik, Pak Ichsan dan Pak Wiyono, staf EQS PT. Holcim Pabrik Narogong atas bantuan dan kerjasama yang baik selama penulis melaksanakan penelitian.

6. Mas Arya dari SKI Indosat atas bantuan dan kerjasama yang baik selama penelitian.

7. Mbak Lastri, Mbak Esti, Pak Kadiman dan Pak Adang, staff laboran Lab. Kayu Solid Fakultas Kehutanan atas bantuan dan kerjasama yang baik selama penulis melakukan penelitian.


(13)

ii

8. Sri Andayani, dr. atas seluruh kerelaan dan kesabarannya dalam memberikan yang terbaik bagi penulis.

9. Rekan-rekan Program Studi IPK Sekolah Pascasarjana angkatan 2006 dan rekan-rekan Sekolah Pascasarjana pada umumnya atas bantuannya, baik secara langsung maupun tidak baik melalui moril maupun materi kepada penulis.

Setiap pekerjaan manusia tidak lepas dari kesalahan, oleh karena itu, saran, kritikan dan dukungan moril akan selalu penulis harapkan dalam memperbaiki bidang kajian keilmuan dan sikap pada masa mendatang.

Akhirnya penulis berharap agar karya ini dapat berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan di Institut Pertanian Bogor pada khususnya dan masyarakat pada umumya sesuai dengan kebutuhan.

Bogor, Maret 2008


(14)

iii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR …...……….… i

DAFTAR ISI ...……….…….. iii

DAFTAR TABEL ...………. v

DAFTAR GAMBAR …………...………. vi

DAFTAR LAMPIRAN ..……….. vii

I. PENDAHULUAN ……….……. 1

1.1. Latar Belakang ………... 1

1.2. Tujuan ……... 4

1.3. Manfaat ... 4

1.4. Hipotesis ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ……….…... 5

2.1. Kayu Sebagai Energi ……….…… 5

2.2. Sifat Kayu terhadap Perubahan Suhu ... 8

2.2.1. Konduktifitas Panas ……….…… 8

2.2.2. Panas Spesifik ... 9

2.2.3. Sifat Bakar Kayu ... 10

2.2.4. Nilai Kalor ………... 11

2.3. Jenis Kayu yang digunakan dalam Penelitian ………..… 12

2.3.1. Sengon Buto (Enterolobium cylocarpum) ……….. 12

2.3.2. Waru (Hibiscus tiliaceus) ……… 14

2.3.3. Gmelina (Gmelina arborea) ……… 14

2.4. Proses Produksi Semen ……….……… 15

2.5. Investasi Pengusahaan Hutan ……….. ………. 17

III. METODE PENELITIAN ……….….. 19

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ………... ... 19

3.2. Alat dan Bahan ……….. 19

3.3. Penetapan Berat Jenis, Nilai Kalor dan Kadar Abu ... 19

3.3.1. Pembuatan Contoh Uji ……… 19

3.3.2. Pengujian Berat Jenis ……….………. 19

3.3.3. Pengujian Nilai Kalor ……….. 20

3.3.4. Pengujian Kadar Abu ……….. 20

3.4. Metode Analisis ………. 21

3.5. Analisis Persentasi Bahan Bakar yang dapat di Substitusi oleh Kayu ……….. 22

3.6. Analisis Ekonomis ………. 23

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ………... 25


(15)

iv

4.1.1. Berat Jenis Kayu dan Kulit ...……….……….. 25

4.1.2. Nilai Kalor dan Kadar Abu ... 26

4.1.3. Analisis Hubungan antara Kadar Air dengan Nilai Kalor 29 4.1.4. Nilai Kalor Kayu dan Kadar Abu berdasarkan Proporsi Kayu dan Kulit ... 30

4.2. Analisis Persentasi Bahan Bakar yang dapat di Substitusi oleh Kayu ... 31

4.3. Analisis Teknis Kayu sebagai Bahan Bakar di Pabrik Semen .. 33

4.4. Analisis Ekonomis Pengusahaan Hutan ... 36

4.5. Analisis Ekonomis Kegiatan Sosial Masyarakat ... 41

V. KESIMPULAN DAN SARAN ………... 44

5.1. Kesimpulan ... ... 44

5.2. Saran ... 44

DAFTAR PUSTAKA ....………... 45


(16)

v

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Nilai kalor kayu dibandingkan dengan bahan bakar fosil alternatif di

Amerika pada tahun 2001 ... 7 2 Analisis proksimat dari beberapa jenis bahan bakar ... 7 3 Analisis proksimat dan ultimat beberapa jenis kayu Indonesia ....….... 8 4 Rata-rata nilai kalor kayu dibandingkan dengan kulit ... 11 5 Pendapatan Acacia mangium sejak umur komersial (4-8 tahun)... 18 6 Nilai kalor dan kadar abu tanaman yang ditanam di sekitar lokasi

tambang dibandingkan dengan batu bara ... 31 7 Proyeksi perhitungan kayu yang dapat mensubstitusi batu bara ... 32 8 Hasil percobaan pembakaran kayu ... 36 9 Rata-rata volume kayu yang ditanam di sekitar lokasi tambang

(m3/ha)... 37 10 Perbandingan harga kayu dan batu bara berdasarkan nilai kalornya.... 38 11 Arus kas hutan tanaman sengon buto rotasi 5 tahun (x Rp.1.000/Ha)... 39 12 Perhitungan NPV dan BCR ... 40 13 Kebutuhan investasi dan nilai penghematan menjalankan program

penanaman kayu energi ... 40 14 BCR (15%, 5 tahun) dengan berbeda harga dan produksi ... 41 15 Nama desa dan jumlah petani yang terlibat penanaman kayu energi


(17)

vi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Penurunan nilai panas kayu pada berbagai kadar air ... 12

2 Proses produksi semen ... 16

3 Diagram alir penelitian ... 25

4 Berat jenis kayu sengon buto, waru dan gmelina pada umur dan posisi horisontal kayu yang berbeda ... 26

5 Nilai kalor kayu sengon buto, waru dan gmelina pada umur dan posisi horisontal kayu yang berbeda ... 27

6 Kadar abu kayu sengon buto, waru dan gmelina pada umur dan posisi horisontal kayu yang berbeda ... 28

7 Regresi linier antara nilai kalor dan kadar air ... 30

8 Persentasi nilai kalor kayu dibandingkan dengan nilai kalor batu bara per tahun ... 33

9 Potongan kayu sengon buto umur 4 tahun ... 34

10 Wood chipper tipe CH260HF (inset : chip kayu) ... 34

11 Gudang penyimpanan kayu ... ... 35

12 Tempat penimbunan batu bara ... 35


(18)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Rata-rata pengukuran nilai kalor (nilai kalor tertinggi), berat jenis dan

kadar abu ...………...………... 47 2 Hasil analisis sidik ragam nilai kalor, kadar abu dan berat jenis ... 48 3 Jenis tanaman, riap dan nilai kalor beberapa jenis kayu energi di

Indonesia ... 49 4 Data pengukuran nilai kalor pada beberapa kondisi kadar air ... 51 5 Analisis sidik ragam regresi antara kadar air dengan nilai kalor ... 52 6 Contoh perhitungan persentasi kebutuhan kayu dibandingkan dengan

batu bara (Contoh untuk kayu sengon buto) ... 53 7 Contoh perhitungan penetapan harga kayu yang berdasarkan nilai

kalornya ... 54 8 Peta lokasi penelitian ... 55


(19)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

PT Holcim Indonesia (dulunya PT Semen Cibinong), telah berdiri dan aktif melakukan kegiatan pertambangan sejak tahun 1971 di Bogor. PT. Holcim Indonesia memiliki dua pabrik semen yang beroperasi di Narogong dan Cilacap serta tambang agregat terbesar di pulau Jawa dengan kapasitas produksi sebesar 7,9 juta ton semen. Pabrik Narogong memiliki 2 buah tanur semen, yaitu NR3 dan NR4 dengan kapasitas total terpasang sebesar 4,1 juta ton semen/tahun (Bertschinger, 2006).

Secara umum, kegiatan pabrik semen terdiri atas tiga tahap, yaitu penambangan bahan baku, proses produksi semen dan proses pemasaran. Proses produksi secara khusus terdiri dari 4 tahap yaitu penggilingan bahan baku, pembakaran, penggilingan akhir dan pengantongan semen. Kegiatan pembakaran dalam proses produksi merupakan proses inti, karena sebagian besar energi diperlukan dalam proses ini. Kegiatan pembakaran menggunakan batu bara sebagai bahan bakar utama. Kebutuhan batu bara Pabrik Narogong tahun 2006 adalah 474.440 ton. Jika rata-rata nilai kalor batu bara yang digunakan adalah 6.000 kkal/kg, maka kebutuhan kalor batu bara adalah sebesar 2,84 x 1012 kkal. Jika harga batu bara Rp. 450.000/ton, maka dibutuhkan Rp. 213,5 miliar untuk biaya pengadaan batu bara. Komponen biaya energi, termasuk listrik pada pabrik semen mencapai 40% dari total biaya produksi. Ditinjau dari pengaruh lingkungan, maka proses pembakaran termasuk salah satu yang paling berpotensi (disamping juga kegiatan penambangan) dalam mempengaruhi kualitas lingkungan (Bertschinger, 2006).

Indonesia termasuk negara dengan sumber tambang batu bara terbesar di dunia. Cadangannya diperkirakan 36,3 milyar ton. Dari total sumber daya tersebut, hanya 7,6 milyar ton yang dapat dikatakan sebagai cadangan pasti (reserve). Sekitar 58,5 % dari cadangan batu bara tersebut tergolong batubara muda (lignite), sub-bituminous (26,6 %), bituminous (14 %) dan sisanya adalah antrasit. Penyebaran terbesar berada di Kalimantan Timur ( 50,1 %), Kalimantan Selatan (23,5 %) dan Sumatra Selatan ( 23,2 % ). Kendala yang dihadapi dalam


(20)

2

pemakaian batu bara muda ini adalah nilai kalor rendah, sedangkan kadar sulfur dan air tinggi. Karena itu, batu bara muda yang disebut juga batu bara lignite atau batu bara coklat tidak ekonomis dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Bila sumber energi ini dibawa ke lokasi yang jauh dari areal tambang, maka biaya transportasinya menjadi mahal karena biaya transportasi sebagian besar dikeluarkan untuk membawa air dan abu yang nantinya harus dibuang dalam proses pemanfaatan batu bara. Selanjutnya, ketika batu bara muda dibakar, banyak energi yang terbuang untuk menguapkan air, sedangkan nilai kalor bersih yang diperoleh relatif rendah. Selain itu, kandungan sulfur yang tinggi akan menjadi gas pencemar. Karenanya diperlukan biaya tambahan untuk mengurangi emisi gas sulfur (Widagdo, 2004).

Semakin rendahnya kualitas batu bara yang dipasok oleh produsen batu bara dan semakin meningkatnya harga batu bara di dalam negeri berdampak pada industri yang memanfaatkan batu bara sebagai bahan bakar. Sebagai contoh, masalah yang dihadapi PT. Indocement Tunggal Prakarsa adalah jika sebelumnya pasokan batu bara memilki nilai kalor 6.500 kk/kg, maka sekarang hanya mencapai 5.600 kk/kg (Susianto, 2005). Sementara itu harga batu bara kualitas baik terus naik dari US$ 50,54/ton (Maret 2004) menjadi US$ 70/ton (Januari 2008). Harga batu bara kualitas rendah berada pada kisaran US$32 - US$34/ton, naik hampir 100 % dibandingkan awal tahun 2007 yang masih berada pada kisaran US$ 16 – US$ 20/ton (Budhiwijayanto, 2008). Untuk mengatasi masalah tersebut, industri yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakar mulai mengintensifkan program substitusi batu bara dengan bahan bakar dan material alternatif (BBMA).

Salah satu pemanfaatan energi alternatif adalah energi yang berasal dari biomassa. Pemanfaatan energi alternatif dari biomassa akan terus dikembangkan sampai tersedia sumber energi yang murah dan tersedia berlimpah. Smith (1981) dalam Haygreen et al. (2003) menyatakan bahwa pada tahun 2000, secara menyeluruh di dunia, kayu akan berjumlah 10% dari pemakaian energi. Sementara itu menurut Buongiorno et al. (2003), pemakaian kayu sebagai bahan bakar selama tahun 1961 – 1997 meningkat hampir 53% dan diprediksikan peningkatannya akan mencapai 73% pada tahun 2010. Bahan bakar biomassa lain


(21)

3

selain kayu juga digunakan dalam memenuhi kebutuhan energi alternatif . Sebagai contoh, PT. Indocement Tunggal Perkasa telah menanam 100.000 bibit jarak pagar yang dimulai pada bulan Januari 2007 (Lavalle, 2007). PT. Semen Padang mempersiapkan limbah tandan kosong sawit (TKS) sebagai bahan bakar substitusi. Tahap awal substitusi adalah 5% dari kebutuhan batu bara. Persentase substitusi akan terus ditingkatkan dengan syarat tidak ada modifikasi terhadap mesin utama pembakaran. Bahan substitusi ini bisa dicampur dengan batu bara ataupun tanpa dicampur. Bahan bakar selain biomassa yang telah digunakan dan mendapat legalisasi dari Kementrian Negara Lingkungan Hidup diantaranya adalah limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) (KepMenLH No. 136 Tahun 2004) (Saksono, 2006).

Pabrik semen PT. Holcim yang beroperasi di Narogong terletak di Kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor menempati areal seluas 1.337,81 Ha. Luasan tersebut termasuk areal pertambangan bahan baku, tapak pabrik, perumahan karyawan, perkantoran dan fasilitas penunjang lainnya. Aktifitas pertambangan yang telah dilakukan sampai Desember 2006, luas quari batu gamping yang telah terbuka seluas 214,69 Ha, tanah liat 47,8 Ha dengan elevasi terendah 84 m dpl. Luas areal yang sudah ditambang sampai elevasi terendah mencapai 78,9 Ha. Areal dengan elevasi terendah tersebut telah dimanfaatkan antara lain untuk penghijauan 15,43 Ha, settling pond 8,19 Ha, reklamasi 8 Ha, areal topsoil 0,65 Ha dan tapak pabrik/bangunan 46,63 Ha. Jenis tanaman penghijauan yang telah ditanam sejak tahun 2001 diantaranya adalah Sengon Buto, Gmelina, Waru, Lamtoro, Trembesi, Turi, Gamal dan Angsana. PT. Holcim juga telah mempunyai rencana reklamasi serta rencana revegetasi untuk jangka waktu 20 tahun (2002 – 2022)(Bertschinger, 2006).

Penelitian tentang pemanfaatan limbah kelapa sawit (Susanto, 2006), sekam padi (Susanto, 2005), limbah B3 (Bertschinger, 2006) pernah dilakukan untuk menjawab permasalahan penyediaan bahan bakar dan material alternatif pada pabrik semen. Penelitian tentang monitoring reforestasi pada areal bekas tambang untuk memantau parameter pertumbuhan dan kondisi tempat tumbuh juga pernah dilakukan (Puspaningsih, 2007). Sedangkan pemanfaatan hasil reforestasi untuk penyediaan kayu energi untuk mensuplai bahan bakar pada


(22)

4

industri semen belum pernah dilakukan. Oleh karena itu diperlukan suatu kajian teknologi dan kelayakan ekonomis pemanfaatan hasil reforestasi pada areal bekas tambang untuk penyediaan kayu energi sebagai bahan bakar dan material alternatif (BBMA) substitusi1 batu bara.

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan adalah untuk mengetahui aspek teknologi dan kelayakan ekonomis kayu yang ditanam pada areal bekas tambang maupun lahan yang direncanakan ditambang sebagai bahan bakar substitusi pada proses produksi semen.

Untuk mencapai tujuan itu, maka diperlukan beberapa tahap penelitian sebagai berikut :

1. Menghitung persentase nilai kalor kayu terhadap nilai kalor batu bara per tahun berdasarkan perhitungan potensi biomassa hutan secara lestari.

2. Menghitung kelayakan ekonomis pengusahaan hutan untuk penyediaan kayu energi.

1.3. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan rekomendasi kepada pengelola pertambangan untuk menggunakan kayu dari jenis-jenis tertentu yang secara teknologi dan ekonomis layak untuk ditanam di areal bekas tambang maupun areal yang akan ditambang sebagai bahan bakar substitusi batu bara dalam proses produksi semen.

1.4. Hipotesis

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Kayu secara teknologi layak digunakan sebagai bahan bakar alternatif di pabrik semen.

2. Program penghijauan lahan bekas tambang untuk penyediaan kayu energi secara ekonomis layak untuk dijalankan.

1

Istilah “substitusi” batu bara digunakan dalam penelitian ini, sedangkan kata yang digunakan dalam surat KepMenLH tentang penggunaan bahan bakar menggunakan kata “alternatif”.


(23)

5

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kayu Sebagai Energi.

Sejak tahun 1970, pemakaian biomassa dari hutan sebagai sumber energi menunjukkan pemakaian yang signifikan. Demikian juga dengan produk kimia yang dihasilkan dari hutan. Pemakaian kayu sebagai bahan bakar dalam industri yang membutuhkan panas seperti industri listrik meningkatkan kelangsungan hidup industri hasil hutan. Smith (1981) dalam Haygreen et al. (2003) menyatakan bahwa pada tahun 2000 secara menyeluruh, kayu akan berjumlah 10 % dari pemakaian energi dunia. FAO, 2001 dalam Haygreen et al., 2003 menjelaskan bahwa diperkirakan 53 % konsumsi kayu dunia digunakan untuk pemanas rumah dan memasak.

Sementara itu di Indonesia, seperti dilaporkan oleh Soetomo dan Soemarna dalam Rostiwati (2006), dengan pertumbuhan populasi di Indonesia ± 2,46% pada tahun 1960 – 1970 telah menimbulkan peningkatan kebutuhan energi tahunan pada periode 1970 - 1974 dari 6,67% menjadi 16,28%, sehingga diperkirakan 90% dari produksi kayu akan digunakan sebagai kayu bakar oleh masyarakat pedesaan. Hal tersebut dengan pertimbangan bahwa 80% penduduk Indonesia yang hidup di pedesaan mengkonsumsi 70 - 75% kayu bakar sebagai sumber energi, sisanya digunakan dalam industri kecil menengah pada beberapa unit usaha diantaranya adalah industri gamping, industri genting dan industri tekstil. Sebagai contoh, industri gamping di Kecamatan Donomulyo Kabupaten Malang membutuhkan 122.722,32 sm/th (tahun 1992). Kayu bakar yang dikonsumsi bersumber dari hutan rakyat (pekarangan, tegalan dan ladang kering) sebesar 99,08%, sisanya adalah dari hutan negara sebesar 0,92%.

Pada awalnya, pemakaian kayu sebagai bahan energi bisa dikatakan tidak ekonomis, karena mahalnya peralatan dan kecilnya nilai kalor yang dihasilkan dalam pembakaran. Bahkan, meskipun kayu tersedia dengan harga murah atau tersedia secara cuma – cuma, tingginya harga peralatan bahan bakar kayu menyebabkan penggunaanya tidak ekonomis. Faktor lainnya adalah rendahnya tingkat efisiensi pembakaran pada tungku pembakaran dan kadar abu. Sebagai contoh seperti yang dilaporkan Tim P3HH dan Sosek Kehutanan (1999) mengenai


(24)

6

efisiensi tungku pembakaran. Hasil penelitian terhadap beberapa desa di Pulau Jawa menunjukkan bahwa tungku pembakaran sederhana yang digunakan oleh masyarakat memiliki nilai efisiensi yang rendah, yaitu 3 – 14%. Rendahnya efisiensi ini dikarenakan sistem pemakaran terbuka dan tidak adanya cerobong asap, mengakibatkan panas yang dihasilkan kayu bakar sebagian akan balik kemulut lubang pembakaran. Dengan tungku sederhana seperti ini selain tingkat efisiensinya rendah, asap yang ditimbulkan juga akan mengganggu kesehatan. Efisiensi tentunya akan semakin baik jika menggunakan tungku pembakaran yang lebih baik.

Pentingnya kayu (atau biomassa hutan) sebagai sumber energi tidak akan berkurang sampai alternatif ekonomis akan minyak bumi dan gas alam dikembangkan. Perkembangannya dapat berbentuk teknologi nuklir, energi kimia, hidrogren atau thermokimia. Apabila dikembangkan, diharapkan sumber energi baru ini akan cukup melimpah dengan harga yang murah sehingga tekanan kayu sebagai energi komersial akan berkurang. Hal ini akan memerlukan waktu yang cukup lama. Dalam tahun 1980, 14 perusahaan produk hutan terbesar di Amerika Serikat memproduksi 70% energinya dari limbah kayu. Perusahaan-perusahaan tersebut memproduksi seperempat kayu gergajian dan separuh kayu lapis dan papan partikel di Amerika Serikat (Haygreen et al., 2003).

Seiring dengan semakin meningkatnya harga bahan bakar cair dan gas, maka kayu merupakan sumber energi alternatif yang bisa dimanfaatkan baik dalam skala rumah tangga maupun skala industri. Harga minyak bumi dan gas alam terus cenderung naik dari tahun 1970, bahkan mencapai nilai diatas 90 US$/barel (akhir tahun 2007). Naiknya harga minyak dan gas bumi diikuti pula dengan sumber energi berbasis fosil lainnya seperti batu bara. Kenaikan ini akan berdampak terhadap sektor industri, karena komponen energi pada industri, termasuk listrik mencapai 40 % dari total biaya produksi (Bertschinger, 2006).

Secara ekonomis, contoh kasus pada Industri di Amerika, pasahan kering kayu dengan kadar air (KA) 15 % mampu bersaing dibandingkan dengan bahan bakar minyak dan gas alam. Dengan harga 25 US$, pasahan kering kayu pada KA 15% menghasilkan energi sebesar 17 GJ, sedangkan bahan bakar minyak yang menghasilkan energi sebesar 42 GJ (hampir 3 kali lipat pasahan kering kayu)


(25)

7

harganya mencapai 180 US$/ton (hampir 8 kali lipat dibandingkan dengan harga pasahan kering kayu) (Tabel 1). Batu bara mampu menjadi alternatif karena nilai kalornya tinggi dengan harga yang murah, namun kendala yang sama bagi energi fosil adalah harga yang cenderung naik, permasalahan distribusi, pencemaran dan kelangkaan.

Tabel 1 Nilai kalor kayu dibandingkan dengan bahan bakar fosil alternatif di Amerika pada tahun 2001

Jenis Bahan Bakar Harga Bahan bakar curah (US$/t)

Perkiraan Jumlah energi

Perkiraan biaya (US$ GJ/t) GJ/t Kkal/t

Kayu (pasahan kering (KA 15%)

25 17 4.057 1,5

Kayu (serbuk gergaji, KA 90%)

12 10 2.368 1,2

Batu Bara 30 23 5.489 1,3

Bahan Bakar Minyak no. 2

180 42 10.023 4,3

Gas Alam 150 47 11.217 3,2

Listrik 0,07 (/kWh) - - 20,80

Sumber : Departemen Energi dalam Haygreen et al., 2003.

Standar pengujian untuk mengevaluasi sebuah bahan sebagai energi disebut analisis proksimat (proximate analysis). Analisis ini dilakukan pada persentase zat yang mudah terbakar, kadar abu dan kandungan karbon bahan bakar. Kayu memiliki kandungan zat mudah terbakar lebih tinggi dibandingkan dengan kulit sedangkan kadar abu kulit lebih besar dibandingkan dengan kadar abu kayu (Tabel 2).

Tabel 2 Analisis proksimat dari beberapa jenis bahan bakar

Jenis Bahan Bakar Zat mudah terbakar (%) Karbon (%) Abu (%) Douglas fir

Kayu 86,2 13,7 0,1

Kulit 70,6 27,2 2,2

Western hemloc

Kayu 84,8 15,0 0,2

Kulit 74,3 24,0 1,7

Hardwood

Kayu 77,3 19,4 3,4

Kulit 76,7 18,6 4,6

Arang dari Barat 43,4 51,7 4,9

Sumber : Corder (1975), Arola (1976), Pingrey (1976) dalam Haygreen et al. (2003).


(26)

8

Sedangkan analisis proksimat dan ultimat untuk beberapa jenis kayu yang pernah diteliti di Indonesia disajikan pada Tabel 3 berikut ini :

Tabel 3 Analisis proksimat dan ultimat beberapa jenis kayu Indonesia

No. Jenis Analisis Kayu Borneo Kayu Asem Kayu Lamtorogung 1 Proximate

Kadar Air (%) 9,25 7,78 12,98

Bahan Menguap (%) 72,18 78,55 73,04

Karbon Tetap (%) 18,31 12,06 12,96

2 Ultimate

Kandungan Abu (%) 0,25 1,59 1,02

Karbon (%) 47,87 43,86 42,85

Hidrogen (%) 5,23 5,23 4,93

Nitrogen (%) 1,43 0,25 0,15

Oksigen (%) 35,98 41,29 38,07

4 Nilai Kalor (kkal/kg) 4.513 4.113 3.945 Sumber : Gaos (2007)

Menurut Haygreen et al. (2003), pembakaran melibatkan karbon dari kayu dengan oksigen dari CO2 dan kombinasi hidrogen dari kayu dengan oksigen untuk membentuk uap air. Oksigen pada reaksi ini berasal sebagian dari kayu tetapi sebagian besarnya dari udara. Kayu mengandung 6 % hidrogen, 49 % karbon dan 44 % oksigen. Jumlah oksigen (berasal dari udara) yang dibutuhkan dalam proses pembakaran secara teori dapat dihitung dengan analisis kimia yang dinamakan ultimate analysis.

2.2. Sifat Kayu terhadap Perubahan Suhu

2.2.1 Konduktifitas Panas

Sifat konduktifitas panas merupakan kebalikan dari sifat insulasi panas dari kayu atau bahan lainnya. Kayu memiliki sifat konduktor yang jelek karena bahannya yang berpori. Konduktifitas panas dinyatakan dalam koefisien konduktifitas panas (k). Ini adalah ukuran jumlah panas dalam kalori yang mengalir selama satu unit waktu melalui bahan setebal 1 cm dengan permukaan 1 cm2, jika perubahan suhu sebesar 1oC dikenakan diantara dua permukaan. Satuan koefisien konduktifitas panas adalah kal.cm/s.cm2.oC.

Konduktifitas panas dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah struktur kayu, kerapatan, kelembaban, suhu, ekstraktif dan kerusakan kayu.


(27)

9

Konduktifitas panas arah axial 2 kali lebih besar daripada arah radial maupun tangensial. Koefisien dari konduktifitas panas pada beberapa kayu pada suhu 20oC, pada arah axial adalah 0,191 – 0,284 kkal.m./h.oC, radial 0,104 – 0,151 kkal.m./h.oC dan tangensial 0,090 – 0,140 kkal.m./h.oC.

Besarnya konduktifitas pada arah aksial dipengaruhi oleh morfologi serat dan susunan axial dari sel kayu. Antara arah radial dan tangensial tidak ada perbedaan yang berarti. Pada arah radial, konduktifitas panas lebih besar (antara 5 s/d 10%), hal ini banyak dipengaruhi oleh jari-jari kayu. Bahkan pada beberapa penelitian, perbedaan konduktifitas juga dipengaruhi oleh perbedaan kerapatan kayu awal dan kayu akhir. Akhirnya perbedaan konduktifitas antara axial dan tranversal (radial dan tangensial) ditemukan banyak disebabkan karena perbedaan ultrastruktur dari kayu yaitu sudut mikrofibril. Semakin besar sudut mikrofirbril menunjukkan semakin kecil perbedaan konduktifitas antara axial dan tranversal.

Konduktifitas panas semakin meningkat dengan meningkatnya kerapatan kayu, kadar air dan suhu. Jika kadar air kayu dinaikkan atau diturunkan diatas titik jenuh serat sebesar 1 %, maka konduktifitas panas bertambah atau berkurang sebesar 0,7 sampai 1,18 %. Pada umumnya, kayu yang memiliki kadar air diatas 40 % memiliki 1/3 kali dari ukuran konduktifitas panas kayu kering.

Konduktifitas panas juga dipengaruhi oleh ekstraktif. Kayu dengan kadar ekstraktif tinggi (biasanya memiliki warna kayu lebih gelap) memiliki konduktifitas panas yang lebih besar (contoh yang sama ditemukan pada kayu pinus yang disebabkan karena oleoresin).

2.2.2 Panas Spesifik

Panas spesifik dari suatu benda adalah banyaknya panas yang dibutuhkan untuk menaikkan suhu satu bagian massa sebesar 1 oC. Karena panas spesifik dari air adalah 1 (dimana dibutuhkan 1 kal untuk menaikkan suhu dari 1 gram air dari 15oC ke 16oC), maka panas spesifik dari suatu benda termasuk kayu adalah perbandingan antara banyaknya kalori yang dibutuhkan untuk menaikkan suhunya 1 oC terhadap banyakkya kalori yang dibutuhkan untuk menaikkan suhu satu bagian air sebesar 1 oC.

Panas spesifik dari kayu lebih tinggi dari logam atau bahan yang lain, ini berarti dibutuhkan lebih banyak kalori untuk menaikkan suhu tiap bagian kayu


(28)

10

dari pada logam atau bahan lainnya. Sifat ini sangat sejalan dengan sifat kayu yang sangat buruk dalam menghantarkan panas (sifat konduktifitas panas), sehinga kayu cocok sebagai bahan pegangan yang membutuhkan penghantar panas yang lama. Hal ini juga sangat penting dalam proses industri kayu seperti pengeringan, penambahan pengawet dan perekatan. Panas spesifik tidak dipengaruhi oleh jenis dan kerapatan kayu tetapi meningkat jika suhu dan kelembaban ditingkatkan.

2.2.3 Sifat Bakar Kayu

Kayu dapat terbakar. Sifat ini sangat berguna bagi penggunaan yang berhubungan dengan panas dan energi, tetapi harus diperhatikan jika digunakan sebagai material konstruksi. Kayu terbakar pada temperatur yang sangat tinggi, menghasilkan dekomposisi kimia dan gas yang mudah terbakar. Secara umum, tahap-tahap perubahan kayu terhadap panas adalah sebagai berikut :

a. Penguapan air dalam kayu (sampai 100 oC). b. Penguapan bahan volatil (95 – 150 oC).

c. Perubahan struktur karbon dan mengeluarkan gas yang mudah terbakar secara perlahan (150 – 200 oC).

d. Percepatan keluarnya gas yang mudah terbakar, diikuti dengan pengapian dan cahaya (200 – 300 oC).

e. Seluruh bagian kayu terbakar dan terjadinya proses pembentukan arang (370 – 500 oC).

Kecepatan terbakarnya kayu dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah spesies, kelembaban, suhu, ukuran dan tipe struktur kayu. Faktor lain yang mempengaruhi antara lain adalah adanya zat ekstraktif seperti resin. Struktur kayu yang mempengaruhi kecepatan terbakarnya kayu antara lain adalah kayu daun lebar dengan pembuluh terbuka dan tanpa tilosis lebih mudah terbakar.

Kecepatan terbakar lebih cepat 2 kali lipat arah axial dibandingkan dengan arah transversal. Kadar air kayu memperlambat proses pengapian dan proses pembakaran. Dengan bertambahnya suhu, kayu lebih mudah terbakar. Tetapi pengecualian untuk kayu dengan dimensi cukup besar akan sulit terbakar, dan kekuatannya menurun secara berangsur-angsur dibandingkan dengan logam yang langsung melengkung pada suhu tinggi diatas 100oC. Fenomena ini dipengaruhi


(29)

11

oleh rendahnya konduktifitas panas dan tingginya panas spesifik dari kayu sehingga memperlambat proses terbakar (Tsoumis, 1991).

2.2.4 Nilai Kalor

Pada saat terbakar, kayu menghasilkan panas. Jumlah panas yang di timbulkan oleh 1 g atau 1 kg kayu sampai semuanya terbakar dinamakan nilai kalor. Rata-rata nilai kalor pada kayu kering tanur adalah 4.500 kkal/kg. Nilai kalor dipengaruhi oleh kadar air, ekstraktif, susunan kimia kayu dan jenis kayu. Kadar air kayu menurunkan nilai kalor. Nilai kalor kayu kering udara 15% lebih kecil daripada kayu kering tanur.

Nilai kalor kayu tertinggi dicapai jika kayu dalam kondisi kering tanur dan terus menurun dengan semakin tingginya kadar air di dalam kayu. Hal ini disebabkan karena sebagaian besar kalor hilang untuk menghilangkan dan menguapkan air. Faktor lainnya adalah kandungan lignin dan adanya zat ekstraktif seperti resin dan tannin (Tabel 4) (Haygreen et al., 2003).

Tabel 4 Rata-rata nilai kalor kayu dibandingkan dengan kulit Jenis bagian kayu Nilai kalor tertinggi

Kayu Kulit

(MJ/kg) (Kkal/kg) (MJ/kg) (Kkal/kg) Non Resin 19-20 4.538 – 4.776 17-23 4.060 – 5.493 Mengandung Resin 20-23 4.776 – 5.493 21-25 5.015 – 5.971 Sumber : Corder (1975) dalam Haygreen et al., 2003.

Ekstraktif merupakan faktor penting dalam menentukan nilai kalor. Sebagai contoh, oleoresin memiliki nilai kalor 8.500 kkal/kg, sehingga kayu daun jarum yang memiliki resin memiliki nilai kalor yang tinggi. Pengaruh dari komposisi kimia diturunkan dari nilai kalor lignin (6.100 kkal/kg) lebih besar daripada nilai kalor selulosa (4.150 – 4.350 kkal/kg) (Tsoumis, 1991).

Nilai kalor pada kondisi kering tanur disebut nilai kalor tertinggi (NKT), sedangkan nilai kalor pada kadar air tertentu disebut nilai kalor bersih (NKB). Hubungan antara nilai kalor tertinggi dan nilai kalor bersih dapat dihitung dengan rumus :

NKB = NKT [1 - % kadar air / 100]

keterangan : NKT = nilai kalor tertinggi


(30)

12

Nilai kalor kayu pada kondisi kering tanur berkisar antara 6.500 – 8.500 btu/lb (3.604 – 4.713 kkal/kg). Sedangkan pada kadar air 60%, nilai kalor kayu hanya sebesar 2.000 – 3.500 btu/lb (1.108 – 1.940 kkal/kg) (Gambar 1).

Gambar 1 Penurunan nilai kalor dari kayu pada berbagai kadar air. Sumber : Ince (1979) dalam Haygreen et al. (2003)

Penggunaan nilai kalor dari kayu sangat tergantung dari bagaimana cara kayu tersebut dibakar. Pada tungku pembakaran sederhana, hanya sekitar 5 – 20% nilai kalor yang termanfaatkan. Sedangkan pada tungku yang lebih baik (stoves), nilai kalor yang dimanfaatkan bisa mencapai 70%. Proses-proses pemanfaatan kayu lainnya dapat dilakukan dengan proses pyrolysis (carbonization, destructive destilation, liquification), gasification dan hydrolysis (Tsoumis, 1991).

2.3. Jenis Kayu yang digunakan dalam Penelitian

2.3.1. Sengon Buto (Enterolobium cylocarpum)

Enterolobium cyclocarpum termasuk famili Leguminosae. Di beberapa negara jenis ini dikenal dengan nama guanacasta (Guantemala, Honduras, Nicaragua); cuanacaztle, huanacaxtle, huinecaztle, nacaxle, cuaunacaztli cascale


(31)

13

sonaya, orejon, parota, piche (Mexico); genisero, jenizero, jenezero (Nicaragua); conacaste (Guatemala); conacaste, caro, caro hembra, arbol de orejas (Salvador); coratu, jarina; Harina (Panama); anjera, carits, carito, oriera, pinon (Colombia); caro hembra (Venezuela); oreja de judio, arbol de las orejas, algarrobo carretera, cabelos de venus (Cuba); timbauba, timbo, timbo color, tobroos (Brasil). Dalam perdangan jenis ini dikenal dengan nama pichwood, south american walnut, central american walnut, mexican walnut, conacasta, jenisero (Chudnoff, 1984).

Pohon ini mempunyai bebas cabang yang pendek, terutama kalau berada ditempat terbuka. Kulit pohon agak tebal yaitu sekitar 3 – 4 cm terutama pada pohon tua, karena itu pohon yang sudah tua agak tahan terhadap kebakaran. Tajuknya besar berbentuk seperti payung dan lebarnya berkisar antara 15,24 – 30,48 m. Susunan daun pinnate, kecil dan sebagian daun gugur untuk beberapa bulan dalam satu tahun. Pohon ini mulai berbunga pada umur 5 – 11 tahun dan mulai berbuah pada umur 6 – 11 tahun. Sengon buto menggugurkan daunnya terutama periode musim bunga atau periode musim panas dilanjutkan sampai periode musim buah. Dengan adanya masa gugur daun dan daunnya mudah terdekomposisi dalam tanah, berarti kemampuan untuk memperbaiki kesuburan tanah dari pohon ini cukup baik (Asmarahman, 2008).

Genus pohon ini terdiri dari 7 spesies yang tersebar di seluruh Amerika tropis dan jenis yang terbaik adalah Enterolobium cyclocarpum dan Enterolobium timbouva. Enterolobium cyclocarpum umumnya banyak terdapat di Amerika tropis bagian utara, Amerika tengah, dan sebelah selatan Mexico. Di Indonesia penanaman pertama tahun 1916 di kebun Raya Bogor dan bijinya berasal dari Brazil. Dari sini disebar luaskan ke seluruh Jawa yaitu ditanam di kebun-kebun percobaan Lembaga Penelitian Hutan. Penanaman di Jawa dilakukan diberbagai tempat tumbuh pada ketinggian 30 – 1.185 meter diatas permukaan laut dengan keadaan tanah dan iklim yang berbeda.

Kayu sengon buto memiliki berat jenis dengan kisaran 0,43 – 0,45 dengan penyusutan arah tangensial, radial dan volumetrik berturut-turut adalah 5,2%, 2% dan 7,2%. Pada umur 4 tahun, warna kayu gubal dan teras sudah bisa dibedakan. Kayu gubal berwarna kuning pucat sedangkan kayu terasnya berwarna coklat kemerahan. Tekstur kayu sengon buto kasar, arah serat berpadu dengan rasa dan


(32)

14

bau tidak khas. Porinya berjumlah kurang dari 6 tiap mm2 (jarang), sering ditemukan endapan berwarna dengan diameter porinya lebih dari 200 mikron. Kayu ini memiliki keawetan yang baik terhadap jamur dan serangan rayap. Selain itu, serbuk kayu sengon buto dapat mengakibatkan iritasi dan alergi. Dalam penggunaan umum, kayu Sengon buto sering digunakan sebagai bahan paking dan papan partikel dalam jumlah yang terbatas (Chudnoff, 1984).

2.3.2. Waru (Hibiscus tiliaceus).

Hibiscus tiliaceus termasuk dalam famili Malvaceae. Di beberapa negara tanaman ini dikenal dengan nama babaru, waru, baru (Indonesia), babara bulu, baru-baru, baru laut (malaysia), danglin (Filipina), ta sua (Myanmar) dan sering juga disebut waru (Indoensia). Penyebaran tanaman ini di asia tenggara diantaranya adalah di Indonesia, Laos, Malaysia dan Filiphina. Waru merupakan salah satu spesies yang sering dijumpai di hutan sekuner dataran rendah, walaupun ada juga yang ditemukan di hutan primer dengan ketinggian diatas 1.500 m dpl. Waru merupakan tanaman yang memiliki pertumbuhan yang sedang, belum pernah ditanam dalam skala yang cukup besar dan digunakan untuk beberapa kegunaan, diantaranya untuk kayu bakar, bahan pensil dan peralatan olahraga, bodi truk, peralatan musik dan bahan dasar seni kerajinan. Kayu waru dapat mencapai ketinggian sampai 30 meter dan diamter sampai 80 cm, tinggi bebas cabang sampai 12 meter (Supadmo et al., 1996).

Kayu waru memiliki berat jenis antara 0,49 samai 0,53 dengan penyusutan arah tangensial 4,9%, radial 2,4 % dan penyusutan volume 7,3%. Kayu waru berwarna kuning pucat, coklat, coklat pucat abu-abu dengan sedikit warna ungu, abu-abu agak kehitaman. Kayu waru merupakan kayu yang tidak tahan terhadap iklim dan kontak langsung dengan tanah. Kayu teras tahan terhadap rayap kayu kering. Pori kayu waru memiliki endapan berwarna, berjumlah 5 – 20 buah per m2 dengan perforasi sederhana (Sosef et al., 1998).

2.3.3. Gmelina (Gmelina arborea).

Tanaman gmelina termasuk dalam famili Verbenaceae. Di beberapa negara asia sering disebut gamar, gumhu, gaminea, chimman, cummi (India), gomari, gumadi, gumai, gumar (Filipina), gumbar, so, sor, shiwan, shivana


(33)

15

(Thailand), kayu titi, biti (Indonesia), yamane, yemane (Myanmar). Sebaran di negara asia tenggara diantaranya ditemukan di India, Myanmar, sebagian Vietman. Gmelina merupakan tanaman yang dapat hidup pada habitat yang sangat beragam, bervariasi dari hutan hujan sampai hutan kering dengan ketinggian sampai 1.300 meter dpl. Kayu gmelina dapat mencapai tinggi 30 meter dengan diameter rata-rata 5 cm dan kadang mencapai 140 cm. Kayu dimanfaatkan untuk perabotan rumah tangga, plywood, bodi truk dan bagian kapal serta dibuat peti dalam pengangkutan hasil-hasil pertanian (Soerianegara dan Lemmens, 1990).

Kayu gmelina memiliki warna yang tidak kontras antara gubal dan teras. Kayu teras berwarna kuning pucat sampai coklat muda pada saat segar dan semakin gelap sampai mendekati coklat jika telah kering. Kayu gmelina bertekstur halus. Pori kadang ditemukan zat berwana gelap. Jumlah pori per mm2 antara 5 – 20 buah dengan perforasi sederhana. Jari-jari tidak homogen, frekuensi sel jari-jari 4 – 10 buah per mm dengan tinggi lebih dari 1 mm dan lebar 50 – 100

µ. Kayu gmelina merupakan kayu yang tidak awet, bagian teras lebih awet dibandingkan dengan gubal. Kayu teras sulit untuk dimasuki bahan pengawet (Soerianegara dan Lemmens, 1990).

Kayu gmelina memiliki berat jenis antara 0,46 sampai 0,5 dengan penyusutan arah tangensial, radial dan volume masing-masing sebesar 6,3% dan 3,1% dan 8,3%. Keteguhan lentur (MOE) kayu gmelina sebesar 634 kg/cm2 dan keteguhan patah (MOR) sebesar 83.812 kg/cm2. Keteguhan tekan sejajar serat sebesar 338 kg/cm2 dan keteguhan tekan tegak lurus serat sebesar 30 kg/cm2 (ITTO, 1997).

2.4. Proses Produksi Semen.

Kegiatan utama di pabrik semen terdiri dari tiga tahap, yaitu penambangan bahan baku, proses produksi semen dan proses pemasaran, baik untuk dalam maupun luar negeri. Proses produksi semen secara khusus terdiri dari empat tahapan, yaitu proses produksi campuran bahan baku (kegiatan penambangan dan penggilingan bahan baku), proses produksi klinker (pembakaran campuran bahan baku dan batu bara sebagai bahan bakar utama), proses produksi semen (penggilingan akhir) dan pengantongan semen. Tiap tahapan proses produksi


(34)

16

tersebut memerlukan bahan baku dan alat produksi yang khusus, demikan juga masing – masing proses menghasilkan produk yang berbeda (Gambar 2).

Gambar 2 Proses produksi semen.

Tahapan seperti yang disajikan pada Gambar 2 antara lain adalah : 1. Penambangan bahan mentah (batu kapur, tanah liat, pasir besi, copper slag). 2. Penggilingan awal bahan mentah.

3. Pengangkutan bahan mentah.

4. Pencampuran dan penimbangan bahan mentah.

5. Tahap penggilingan bahan mentah. Proses ini memerlukan mill tegak atau mill jenis tabung sebagai mesin utama untuk grinding dan pengeringan. Bahan baku yang dimasukkan terdiri dari batu kapur, batu silika, tanah liat, slag (kerak) tembaga dengan komposisinya masing-masing dan produknya adalah campuran bahan baku. Energi listrik digunakan untuk grinding dan gas panas (gas buang kiln) digunakan untuk pengeringan.

6. Pembuang Emisi Gas.

7. Pemanasan awal (pre heater).

8. Pemanasan lanjut dan pembentukan kristal klinker. Alat utama untuk produksi klinker adalah kiln. Proses terdiri dari kalsinasi, pembentukan klinker pada suhu 1.400 oC dan pendinginan. Bahan yang dimasukkan adalah campuran bahan baku dan batu bara sebagai bahan bakar. Proses pemasukan bahan substitusi dilakukan pada unit ini.

9. Pendinginan klinker. 10. Penyimpanan klinker.

11. Penggilingan akhir. Alat utama adalah mill berbentuk tabung untuk menghaluskan klinker dan gypsum. Sistem ini menggunakan listrik untuk menjalatkan alat.


(35)

17

Proses pembakaran merupakan proses inti dalam pembuatan semen, karena sebagian besar energi yang diperlukan digunakan dalam proses ini. Ditinjau dari pengaruh lingkungan maka proses ini termasuk salah satu yang paling berpotensi (selain proses pertambangan) dalam mempengaruhi kualitas lingkungan. Titik keluaran dari proses ini (stack kiln dan stack cooler) menjadi salah satu titik pantau penting dalam kegiatan lingkungan. Gas buang dalam proses ini mengandung polutan debu dan gas lainnya seperti NOx dan SO2 (Bertschinger, 2006).

2.5. Investasi Pengusahaan Hutan

Kegiatan penanaman hutan adalah investasi tipikal, yaitu pembiayaan besar pada awal tahun, proses produksi yang lamanya bertahun-tahun dan dibayangi oleh ancaman kegagalan, serta hasil kegiatannya baru diperoleh sekian tahun setelah ditunggu. Masukan tetap untuk hutan tanaman antara lain pembibitan, penanaman dan pemeliharaan yang dikeluarkan pada awal-awal tahun, biaya tahunan berupa gaji, pajak dan lain-lain yang dikeluarkan tiap tahun; sedangkan biaya variabelnya adalah waktu dari saat penanaman sampai pemanenan (Sumitro, 2003).

Investasi di hutan tanaman dapat dipantau tiap tahun mengenai volume, tinggi dan diameter pohon. Volume dari pohon merupakan suatu yang unik, karena akan berbeda pada tiap tapak (tempat tumbuh) yang berbeda, sehingga pengukuran real pada areal perlu dilakukan. Bila produk fisik dikalikan dengan harganya, makan akan didapat kurva pendapatan. Harga yang dimaksud adalah harga kayu pada saat masih berdiri (stumpage value) dan akan semakin meningkat dengan umur atau diameter yang lebih besar. Harga yang valid adalah harga yang diperoleh pada pasar yang bersaing (banyak penjual dan pembeli).

Nilai stumpage value dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut ini :

S = R – (M + C),

Keterangan :

S = stumpage value, R = harga pasar (pabrik),


(36)

18

C = biaya pemungutan yaitu pengangkutan, penyaradan dan penebangan, dan

M = Margin untuk keuntungan resiko perusahaan.

Setelah diketahui harga pohon berdiri, maka pendapatan dapat diperoleh dengan mengalikan volume per ha (m3/ha). Volume kayu meningkat dengan bertambahnya umur kayu sehingga harga kayu akan semakin tinggi dengan meningkatnya umur kayu (Tabel 5).

Tabel 5 Pendapatan Acacia mangium sejak umur komersial (4-8 tahun) Umur (th) Volume kayu

komersial (m3/ha)

Harga kayu berdiri (SV)/m3 (Rp.

1000)

Pendapatan (Rp x 1000)/Ha

4 107 119.5 12.786

5 141 129.5 18.259

6 168 139.5 23.436

7 192 139.5 26.784

8 212 139.5 29.574

Pendapatan pada hutan tanaman tidak diperoleh setiap tahun, melainkan menunggu sampai pohon ditebang, yaitu memungut akumulasi riap (pertumbuhan). Jadi dalam periode menunggu tersebut tidak ada pendapatan (cash in flow), kecuali ada kegiatan antara seperti penjarangan pada tahun tertenu, kegiatan tumpang sari dengan tanaman buah-buahan atau hasil hutan non kayu dan kegiatan ekowisata (Sumitro, 2003).


(37)

19

III.

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pabrik Semen PT. Holcim, Kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor dan Laboratorium Kayu Solid Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Kegiatan Penelitian dimulai dari bulan Juni 2007 sampai bulan Januari 2008.

3.2. Alat dan Bahan

Bahan dan peralatan yang digunakan untuk dapat memenuhi tujuan penelitian tersebut diatas antara lain meliputi :

1. Peralatan analisis nilai kalor kayu, kadar air dan berat jenis (kalorimeter, jangka sorong, cawan petri, oven, timbangan, parafin)

2. Peralatan tulis menulis dan dokumentasi.

3. Bahan yang digunakan adalah kayu sengon buto, kayu gmelina dan kayu waru yang berumur 2, 4 dan 6 tahun.

3.3. Penetapan Berat Jenis, Nilai Kalor dan Kadar Abu.

Nilai kalor kayu dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya kadar air dan berat jenis kayu. Tahapan kegiatan pada bagian ini adalah :

3.3.1. Pembuatan contoh uji

Contoh uji diambil pada tiga bagian pohon yaitu bagian teras, gubal dan kulit. Dari setiap bagian ini dibuat contoh uji untuk penentuan berat jenis dan kadar air dengan panjang 2,5 cm. Demikian juga contoh uji untuk penentuan nilai kalor. Selanjutnya contoh uji dibuat dan disesuaikan dengan kebutuhan pengujian lanjutan, yaitu contoh uji untuk penetapan nilai kalor proporsi kayu dan kulit.

3.3.2. Pengujian berat jenis

Berat jenis kayu atau kulitnya ditentukan berdasarkan berat contoh kering tanur dibagi dengan volume basah. Contoh kayu atau kulit dalam penentuan berat jenis ini berukuran lebih kurang 5 x 5 x 2,5 cm untuk kayu dan 5 x 2,5 cm dan tebalnya menurut tebal kulit. Contoh uji kayu dan kulit


(38)

20

ditimbang secara terpisah untuk menentukan berat basahnya, kemudian dicelupkan ke dalam parafin dan ditimbang kembali untuk menentukan volume parafin. Volume parafin dihitung dengan cara membagi berat parafin yang menempel pada contoh dengan berat jenis parafin. Contoh kayu atau kulit yang dilapisi parafin ditimbang dalam air untuk menentukan volumenya berdasarkan prinsip Archimedes. Berat jenis kayu atau kulit dapat ditentukan dengan rumus :

Berat Jenis Berat Kering Oven Volume Basah 3.3.3. Pengujian Nilai Kalor

Contoh kayu atau kulit secara terpisah dibuat serpihan-serpihan kecil dengan menggunakan gergaji. Untuk menetapkan nilai kalor pada kadar air tertentu, maka serpihan kayu tersebut langsung hitung nilai kalornya. Sedangkan untuk menetapkan nilai kalor ada saat kering tanur, serpihan kayu dikeringkan dalam oven selama 24 jam pada suhu 103 ± 2oC. Serpihan kayu atau kulit seberat lebih kurang satu gram dibuat pelet berbentuk tablet kemudian ditimbang untuk menentukan beratnya, lalu ditetapkan nilai kalornya dengan bomb kalorimeter. Nilai kalor dihitung berdasarkan banyaknya kalor yang dilepaskan yang akan sama dengan kalor yang akan diserap oleh air dalam kalorimeter, yang dinyatakan dalam kalori per gram dan dihitung dengan memakai rumus sebagai berikut :

Nilai kalor W x t t

A B

Keterangan : W : Nilai air dari alat kalorimeter t2 : Suhu setelah pembakaran t1 : Suhu mula-mula

A : Berat contoh

B : Koreksi panas pada kawat besi 3.3.4. Pengujian Kadar Abu (TAPPI T211 om-93)

Sebelum dilakukan pengujian kadar abu, perlu dilakukan pengujian kadar air sesuai TAPPI T 264, yaitu :


(39)

21

Sekitar 2 gram sampel mendekati 0,001 g (A) ditimbang dan dikeringkan selama 2 jam dalam oven pada suhu 102 ± 3oC. Sampel didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel di oven kembali sampel selama 1 jam, didinginkan dan ditimbang. Pekerjaan diulang hingga dicapai berat konstan (B), yaitu penimbangan tidak berubah lebih dari 0,002 g. Kadar air kayu yang dinyatakan dalam persen yang mendekati 0,1% :

Kadar air % A-B/B x 100 %

Sedangkan prosedur penentuan kadar abu dalam kayu (TAPPI T 211 om-93) adalah sebagai berikut :

Cawan abu kosong dibersihkan dan dipanaskan pada suhu 525 ± 25oC selama 30-60 menit. Setelah pemanasan, cawan didinginkan dalam desikator dan ditiimbang. Contoh uji uji ekuivalen 1 g kering tanur dipindahkan kedalam cawan abu. Contoh uji kemudian dipanaskan pada suhu 100 oC, lalu ditingkatkan sampai mencapai 525oC secara bertahap sehingga terjadi karbonasi tanpa pembakaran. Suhu pengabuan diatur pada 525 ± 25oC. Pembakaran selesai jika partikel hitam telah hilang, cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Pembakaran dan penimbangan dilakukan hingga berat abu konstan hingga ± 0,2 mg. Kadar abu dihitung dengan rumus :

Abu, % A/B x 100 , dimana : A = berat abu (g)

B = berat kayu kering (g)

3.4. Metode Analisis

Dalam penelitian ini dipakai rancangan percobaan faktorial dalam kelompok dengan subsampling, dengan model umum sebagai berikut :

Yijkl µ + ρk + αi + βj + αβij + εijk + Sijkl Dengan,

Yijkl = nilai pengamatan

µ = nilai rataan umum

ρk = pengaruh kelompok (jenis) ke k


(40)

22

βj = pengaruh faktor letak dalam pohon ke j

αβij = pengaruh interaksi faktor umur ke i dengan faktor letak dalam pohon ke j

εijk = kesalahan percobaan karena faktor umur ke i, letak ke j dalam kelompok ke k

Sijkl = kesalahan sampling pada satuan pengamatan ke l karena faktor umum ke i, faktor letak ke j dalam kelompok ke k

Sebagai kelompok dalam penelitian ini berupa jenis kayu berikut lingkungannya (ρk , k = 1,2,3). Sedangkan sebagai faktor terdiri atas umur (αi , i = 2, 4, 6) dan letak dalam pohon (βj, j = 1, 2, 3) yaitu teras, gubal dan kulit.

Untuk mengetahui hubungan kadar air dengan nilai kalor, dibuat persaman regresi untuk mencari kesesuaian dengan rumus :

NKB NKT [1 – % kadar air / 100 ] Keterangan :

NKB = Nilai Kalor Bersih NKT = Nilai Kalor Tertinggi

3.5. Analisis Persentase Bahan Bakar yang dapat di Substitusi oleh Kayu.

Analisis persentase bahan bakar dilakukan dengan beberapa tahap kegiatan berikut :

1. Penentuan riap kayu dengan studi pustaka.

2. Penetapan Volume tebang tahunan secara lestari, menggunakan rumus Cotta, yaitu :

Ay V + 0,5I R Keterangan :

Ay = Panen tahunan (m3/ha)

V = Volume total/tegakan persediaan (m3) I = Riap total dari volume/riap nyata (m3/ha) R = Daur (tahun)

3. Menghitung jumlah kalor yang dapat disubstitusi oleh kayu per tahun. Dilakukan dalam dua tahap, yaitu :


(41)

23

NKr A x A1 + B x B1 Keterangan :

NKr = Nilai kalor rata-rata A = Nilai kalor kayu A1 = Proporsi kayu (%) B = Nilai kalor kulit Bb1 = Proporsi kulit (%)

b. Menghitung nilai kalor kayu per tahun. NKt M x NKr

Keterangan :

M = Berat kayu berdasarkan perhitungan volume tebangan lestari

NKr = Nilai kalor rata-rata berdasarkan proporsi kayu dan kulit. 4. Menghitung persentase nilai kalor kayu yang terhadap kebutuhan nilai

kalor batu bara selama setahun.

N NKt

NKbx100% Keterangan :

N = Persentase nilai kalor kayu terhadap nilai kalor batu bara NKt = Nilai kalor kayu per tahun (kkal)

NKb = Nilai kalor batu bara per tahun (kkal)

3.6. Analisis Ekonomis

Analisis ekonomis menggunakan metode Profitability Index (PI) atau disebut juga dengan istilah Benefit Cost Rasio (BCR). BCR merupakan rasio aktifitas dari jumlah nilai sekarang penerimaan bersih dengan nilai sekarang penggeluaran investasi selama umur investasi (Kasmir dan Jakfar, 2003). Untuk menghitung B/C rasio diperlukan nilai NPV (Net Present Value), yaitu selisih antara nilai investasi dengan nilai sekarang penerimaan kas bersih (aliran ks masuk/cash in) di waktu yang akan datang. Jika hasil menunjukkan positif, usulan investasi dapat dipertimbangkan untuk diterima (Arifin, 2007). NPV dihitung pada kondisi bunga 9% dan 15%. Metode perhitungan NPV dan BCR mengikuti metode Sumitro (2003) untuk contoh kasus HTI Akasia Mangium.


(42)

24

Diagram alir penelitian secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini :

Gambar 3 Diagram alir penelitian.

BAHAN BAKAR DI PABRIK SEMEN

Batu Bara (95%) Kelayakan Ekonomis

Persentase kebutuhan bahan bakar per tahun

Kayu (5%)

Analisis Sifat Dasar

Kelompok Faktor Umur/ kelas diameter

Faktor Posisi Horisontal

SB, Gmelina, Waru

2, 4 dan 6 th tahun

Teras, Gubal BJ Kayu dan

Kulit

Nilai Kalor Kayu dan Kulit pada Kondisi Basah, Kering Udara dan Kering Tanur

Kadar Abu Kayu dan Kulit


(43)

25

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Berat Jenis, Nilai Kalor dan Kadar Abu.

Pada penelitian ini, sampel tanaman diambil dari tanaman yang ditanam pada areal bekas tambang kawasan Pabrik Semen PT. Holcim di Narogong, kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor. Penghijauan sudah dilakukan oleh bagian lingkungan PT. Holcim sejak tahun 2001 seluas kurang lebih 50 Ha dengan berbagai tanaman yang dapat tumbuh pada kondisi yang kritis dan berpotensi sebagai kayu energi. Jenis yang telah ditanam diantaranya adalah sengon buto, waru, gmelina, lamtoro, trembesi, turi, gamal dan angsana. Tanaman sengon buto, waru dan gmelina digunakan dalam penelitian ini karena tersedia pada berbagai kelas umur. Berat jenis sengon buto, waru dan gmelina dianalisis berdasarkan faktor jenis, umur dan faktor posisi horisontal (gubal, teras dan kulit). Analisis berdasarkan faktor tersebut juga dilakukan dalam menghitung nilai kalor pada kondisi basah, kering udara dan kering tanur.

4.1.1. Berat Jenis Kayu dan Kulit

Hasil pengujian berat jenis kayu menunjukkan rata-rata berat jenis kayu sengon buto adalah 0,50 dengan kisaran dari 0,48 - 0,52. Kayu waru memiliki rata-rata berat jenis 0,58 dengan kisaran dari 0,55 - 0,63. Kayu gmelina memiliki rata-rata berat jenis sebesar 0,57 dengan kisaran dari 0,51 - 0,63. Sementara itu untuk pengujian berat jenis kulit, kulit waru memiliki rata-rata berat jenis paling besar yaitu 0,47 dengan kisaran 0,44 - 0,49. Kulit gmelina memiliki rata-rata sebesar 0,46 dengan kisaran 0,44 - 0,49. Kulit sengon buto memiliki rata-rata 0,39 dengan kisaran 0,32 - 0,45.

Secara umum, rata-rata berat jenis kayu lebih besar dibandingkan dengan berat jenis kulit. Sebagai contoh, kayu gmelina memiliki rata-rata berat jenis kayu sebesar 0,57 sedangkan rata-rata berat jenis kulitnya 0,47. Berat jenis kayu dan kulit juga meningkat seiring dengan pertambahan umur kayu. Sementara itu, berat jenis kayu gubal secara umum lebih rendah dibandingkan dengan kayu teras, kecuali pada beberapa sampel yang menunjukkan perbedaan. Sebagai contoh pada kayu sengon buto umur 4 tahun, rata-rata berat jenis kayu teras sebesar 0,50 dan


(44)

26

rata-rata berat jenis kayu gubal sebesar 0,49. Variasi perbedaan berat jenis berdasarkan faktor-faktor yang diteliti disajikan pada Gambar 4 berikut ini :

Gambar 4 Berat jenis kayu sengon buto, waru dan gmelina pada umur dan posisi horisontal kayu yang berbeda.

Keterangan : sb = sengon buto, wr = waru, gm = gmelina 2, 4 dan 6 = menunjukkan umur 2, 4 dan 6 tahun Rata-rata dihitung sesuai proporsi kayu dan kulit

Berat jenis dan kerapatan dipengaruhi oleh kadar air, struktur sel, ekstraktif dan komposisi kimia. Berat jenis dan kerapatan bervariasi antara jenis, diantara jenis yang sama dalam satu spesies dan di dalam satu pohon. Kerapatan kulit luar kayu daun jarum bervariasi dari 0,29 sampai 0,70 g/cm3, sedangkan kayu daun lebar berkisar antara 0,28 sampai 0,81 g/cm3 (Tsoumis, 1991).

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa faktor jenis kayu, umur dan faktor posisi horisontal berpengaruh sangat nyata terhadap berat jenis baik pada taraf 1 % maupun 5 %. Sedangkan faktor interaksi antara umur dan faktor posisi horisontal tidak berpengaruh baik pada taraf 1% maupun 5%.

4.1.2. Nilai Kalor dan Kadar Abu

Hasil pengujian nilai kalor kayu menunjukkan bahwa rata-rata nilai kalor kayu sengon buto sebesar 4.700 kkal/kg dengan kisaran 4.647 kkal/kg - 4.777 kkal/kg. Kayu waru memiliki rata-rata nilai kalor sebesar 4.840 kkal/kg dengan kisaran antara 4.847 kkal/kg -i 4.976 kkal/kg. Kayu gmelina memiliki rata-rata nilai kalor sebesar 4.840 kkal/kg dengan kisaran antara 4.735 kkal/kg - 4.963 kkal/kg. Pada bagian kulit, nilai kalor rata-ratanya lebih rendah dibandingkan

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7

sb2 sb4 sb6 wr2 wr4 wr6 gm2 gm4 gm6

B

e

ra

t

je

n

is

Jenis dan umur kayu

gubal teras kulit rata-rata


(45)

27

dengan kayu. Pada bagian kulit, rata-rata nilai kalor kulit sengon buto adalah 3.746 kkal/kg dengan kisaran antara 3.056 kkal/kg - 4.206 kkal/kg, kulit waru memiliki rata-rata nilai kalor sebesar 4.025 kkal/kg dengan kisaran antara 3.809 kka/kg - 4.342 kkal/kg dan kulit gmelina memiliki rata-rata nilai kalor sebesar 3.810 kkal/kg dengan kisaran antara 3.724 kkal/kg - 4.424 kkal/kg.

Hasil rata-rata pengukuran nilai kalor menunjukkan bahwa secara umum nilai kalor kayu teras lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kalor kayu gubal kecuali pada beberapa sampel kayu menunjukkan hasil sebaliknya, misalnya kayu gubal gmelina umur 2 tahun nilai kalornya 4.820 kkal/kg sedangkan nilai kalor kayu terasnya sebesar 4.773 kkal/kg. Perbedaan nilai kalor pada kayu menurut faktor-faktor yang diteliti disajikan pada Gambar 5 berikut ini:

Gambar 5 Nilai kalor kayu sengon buto, waru dan gmelina pada umur dan posisi horisontal kayu yang berbeda.

Keterangan : sb = sengon buto, wr = waru, gm = gmelina 2, 4 dan 6 = menunjukkan umur 2, 4 dan 6 tahun Rata-rata dihitung sesuai proporsi kayu dan kulit

Hasil analisis sidik ragam terhadap nilai kalor kayu menunjukkan bahwa perbedaan posisi horisontal (gubal, teras dan kulit) berpengaruh nyata terhadap nilai kalor kayu baik pada taraf 1 % maupun 5 %. Sedangkan faktor jenis, umur kayu dan faktor interaksi antara jenis dan umur tidak berpengaruh yang nyata terhadap nilai kalor baik pada taraf 1 % maupun 5 %.

Pengujian terhadap kadar abu mendapatkan hasil rata-rata kadar abu kulit sengon buto adalah 4,82%. Rata-rata kadar abu kulit waru dan gmelina masing-masing sebesar 4,23% dan 4,06%. Rata-rata kadar abu seluruh sampel kulit yang

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000

sb2 sb4 sb6 wr2 wr4 wr6 gm2 gm4 gm6

N Il a i k a lo r (k k a l/ k g )

Jenis dan umur kayu

gubal teras kulit rata-rata


(46)

28

diteliti sebesar 4,37%. Rata-rata kadar abu kayu sengon buto adalah 0,65%. Kayu waru dan gmelina memiliki rata-rata kadar abu masing masing sebesar 1,27 dan 1,11%. Rata-rata kadar abu seluruh sampel kayu (gubal dan teras) adalah 1,01%. Hasil perhitungan ini masih dalam kisaran kadar abu yang disajikan oleh Tsoumis (1991), yaitu kadar abu kayu daun jarum berkisar antara 0,02 – 1,1%, kayu daun lebar berkisar antara 0,1 – 5,4% dan kulit kayu berkisar antara 0,6 – 10,7%. Variasi rata-rata kadar abu pada seluruh sampel yang diteliti dapat dilihat pada Gambar 6 berikut ini :

Gambar 6 Kadar abu kayu sengon buto, waru dan gmelina pada umur dan posisi horisontal kayu yang berbeda.

Keterangan : sb = sengon buto, wr = waru, gm = gmelina 2, 4 dan 6 = menunjukkan umur 2, 4 dan 6 tahun Rata-rata dihitung sesuai proporsi kayu dan kulit

Dari gambar 6 diatas terlihat bahwa rata-rata kadar abu kayu memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata kadar abu kulit. Rata-rata kadar abu kayu sebesar 1,01% sedangkan rata-rata kadar abu kulit sebesar 4,37%. Hal ini sesuai dengan apa yang disajikan oleh Tsoumis (1991), yaitu kadar abu kulit (khususnya kulit bagian dalam) memiliki kandungan inorganik lebih besar dibandingkan dengan kayu gubal.

Hasil analisis sidik ragam terhadap kadar abu menunjukkan bahwa perbedaan posisi horisontal (gubal, teras dan kulit) berpengaruh sangat nyata terhadap kadar abu baik pada taraf 1% maupun 5%. Sedangkan faktor jenis, umur kayu dan faktor interaksi antara jenis dan umur tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu baik pada taraf 1% maupun 5%.

0 1 2 3 4 5 6

sb2 sb4 sb6 wr2 wr4 wr6 gm2 gm4 gm6

K a d a r a b u ( % )

Jenis dan umur kayu

gubal teras kulit rata-rata


(47)

29

Abu menunjukkan kandungan bahan inorganik kayu yang merupakan sisa setelah pembakaran bahan organik. Abu dapat ditelusuri karena adanya senyawa yang tidak terbakar yang mengandung unsur-unsur seperti kalsium, kalium, magnesium, mangan dan silikon. Kayu yang mengandung silika lebih dari 0,3% akan menyebabkan alat pertukangan akan cepat tumpul (Haygreen et al., 2003). Abu pada sebuah pembakaran harus dihindari, karena dapat menyebabkan penumpukan abu dan mengganggu proses pembakaran. Pada proses produksi semen, kadar abu bukan merupakan masalah yang mengganggu, karena abu yang dihasilkan dari proses pembakaran juga merupakan salah satu bahan yang dicampur pada proses produksi sehingga tidak meninggalkan unsur abu dalam jumlah yang besar. Silika yang dihasilkan dalam proses pembakaran kayu juga merupakan salah satu bahan dasar pembuat semen.

4.1.3. Analisis hubungan antara kadar air dengan nilai kalor.

Faktor utama yang berpengaruh terahadap nilai kalor kayu adalah berat jenis dan kadar air. Faktor lainnya adalah kandungan lignin dan adanya zat ekstraktif seperti resin dan tannin. Nilai kalor kayu yang mengandung kadar air dalam jumlah tertentu memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan nilai kalor kayu pada saat kering tanur, karena sebagaian besar kalor hilang untuk menghilangkan dan menguapkan air (Panshin, 1970).

Sementara itu menurut Haygreen et al. (2003), Faktor utama yang mempengaruhi nilai kalor kayu adalah kadar air. Nilai kalor kayu tertinggi dicapai jika kayu dalam kondisi kering tanur dan terus menurun dengan semakin tingginya kadar air di dalam kayu. Nilai kalor pada kondisi kering tanur disebut nilai kalor tertinggi (NKT), sedangkan nilai kalor pada kadar air tertentu disebut nilai kalor bersih (NKB).

Pada penelitian ini, nilai kalor diukur pada tiga kondisi, yaitu pada kondisi kering tanur, kondisi kering udara dan kondisi basah. Nilai kalor pada kondisi kering tanur digunakan pada analisis faktor jenis kayu, posisi horisontal dan umur kayu terhadap nilai kalor. Pengukuran nilai kalor pada kadar air kering udara dan kadar air pada kondisi basah digunakan untuk melihat keeratan hubungan antara penurunan nilai kalor kayu dengan perubahan kadar air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan nilai kalor kayu sangat signifikan dengan


(48)

30

meningkatnya kadar air. Sebagai contoh, nilai kalor kayu sengon buto umur 4 tahun pada kadar air 7,96% sebesar 4.011 kkal/kg, sedangkan pada kadar air 44,4% sebesar 2.677 kkal/kg, penurunannya diatas 50% (selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4). Hasil regresi linier antara kadar air dan nilai kalor dapat dilihat pada Gambar 7 berikut ini :

Gambar 7 Regresi linier antara nilai kalor dan kadar air.

Dari Gambar 7 terlihat bahwa regresi linier antara nilai kalor dan kadar air didapatkan persamaan : Kadar air = -50,87 (nilai kalor) + 4695. Dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,94 menunjukkan adanya korelasi yang tinggi antara pengurangan nilai kalor dengan perubahan kadar air. Hasil analsis sidik ragam (Lampiran 5) menunjukkan nilai f hitung yang sangat besar yaitu 394,18 sehigga dapat dikatakan dikatakan kadar air sangat nyata memiliki korelasi dengan nilai kalor, baik pada taraf nyata 5 % maupun 1 %.

4.1.4. Nilai Kalor dan Kadar Abu berdasarkan Proporsi Kayu dan Kulit.

Hasil penelitian pada sub bab 4.1.2 menunjukkan nilai kalor kayu berdasarkan faktor jenis, umur dan posisi horisontal secara parsial. Pada pemakaian kayu sebagai bahan bakar dalam industri, penggunaan kayu tidak dipisah-pisahkan antara kayu atau kulit, melainkan campuran keduanya atau bahkan campuran dengan jenis lainnya. Nilai kalor tertinggi dicapai jika kayu dalam kondisi kering tanur, yaitu sekitar 4.500 kkal/kg. Dalam penggunaan kayu sebagai bahan bakar, mengeringkan kayu sampai kondisi kering tanur tidak

y = -50,87x + 4695, R² = 0,943

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 5000

0,00 20,00 40,00 60,00 80,00

N il a i k a lo r (k k a l/ k g )

Kadar air (%)

Kalori Linear (Kalori)


(1)

Lanjutan

No. Jenis Kayu Nama lokal Riap

(m3/ha/th)

Bj Produksi Energi (GJ/ha/th) 45 Eucalyptus saligna Eukaliptus 29,0 0,50 261,0 46 Eucalyptus salmonephora Eukaliptus 11,0 1,35 267,3 47 Eucalyptus umbellata Eukaliptus 18,5 0,80 266,4 48 Eucalyptus urophylla Eukaliptus 25,0 0,84 378,0 49 Eucalyptus viminalis Eukaliptus 20,0 0,75 270,0 50 Langerstroemia speciosa Bugur 10,0 0,69 124,2 51 Leucaena leucocephalla Lamtoro gung 21,0 0,82 310,0 52 Melaleuca leucadendron Gelam 14,0 0,60 151,2 53 Michelia champaca Cempaka 13,0 0,60 140,4 54 Pinus canariensis Pinus 13,0 0,55 128,7

55 Pinus Caribea Pinus 15,0 0,55 148,5

56 Pinus Mercusiana Pinus 13,0 0,52 121,7

57 Pinus merkusii Tusam 19,5 0,51 179,0

58 Pinus oocarpa Pinus 25,0 0,53 238,5

59 Pinus patula Pinus 22,5 0,44 178,2

60 Pinus pinastar Pinus 18,0 0,47 152,3

61 Pinus ponderosa Pinus 22,5 0,45 210,6 62 Pinus pseodofulus Pinus 22,5 0,45 182,2

63 Pinus radiata Pinus 21,0 0,44 166,3

64 Pinus Strobus Pinus 20,0 0,43 154,8

65 Pinus taeda Pinus 21,0 0,47 177,7

66 Pterocarpus indicus Sonokembang 15,0 0,88 237,6 67 Pterocarpus javanicum Bayur 13,0 0,62 145,1 68 Samanea saman Ki Hujan 30,0 0,51 275,4 69 Sesbania grandiflora Turi 15,0 0,46 124,2 70 Terminalia catappa Ketapang 30,0 0,40 216,6


(2)

Lampiran 4 Data pengukuran nilai kalor pada beberapa kondisi kadar air

No. Jenis Kayu Posisi Tahun H2O (%) Kalori kkal/kg)

1 Sengon buto Gubal 6 7,50 3.864

2 Sengon buto Teras 6 19,51 3.083

3 Sengon buto Kulit 6 30,65 3.195

4 Sengon buto Gubal 4 7,96 4.011

5 Sengon buto Teras 4 44,54 2.677

6 Sengon buto Kulit 4 39,64 2.425

7 Sengon buto Gubal 2 11,22 4.166

8 Sengon buto Teras 2 2,49 4.477

9 Waru Kulit 2 45,13 2.375

10 Waru Gubal 6 9,42 4.305

11 Waru Teras 6 9,58 4.296

12 Waru Kulit 6 46,26 2.394

13 Waru Gubal 4 10,22 4.132

14 Waru Teras 4 22,50 3.947

15 Waru Kulit 4 47,37 2.280

16 Waru Gubal 2 6,21 4.509

17 Waru Teras 2 9,43 4.302

18 Waru Kulit 2 51,52 2.002

19 Gmelina Gubal 6 11,03 4.135

20 Gmelina Teras 6 19,64 3.735

21 Gmelina Kulit 6 55,51 1.768

22 Gmelina Gubal 4 12,40 4.122

23 Gmelina Teras 4 35,30 3.446

24 Gmelina Kulit 4 57,22 1.656

25 Gmelina Gubal 2 7,22 4.510

26 Gmelina Teras 2 18,60 3.925


(3)

Lampiran 5 Analisis sidik ragam regresi antara kadar air dengan nilai kalor

SUMMARY OUTPUT

Regression Statistics

Multiple R 0,969721779 R Square 0,940360329 Adjusted R Square 0,937974742 Standard Error 244,1814277

Observations 27

ANOVA

df SS MS F Significance F

Regression 1 23503056 23503056 394,1841 8,03816E-17 Residual 25 1490614 59624,57


(4)

Lampiran 6 Contoh perhitungan persentase kebutuhan kayu dibandingkan dengan batu bara (Contoh untuk kayu sengon buto)

1. Riap kayu sengon buto 60 m3/ha. Produksi kayu sengon buto per Ha diambil 340m3/Ha. Untuk areal sekitar perusahan semen seluas 850 Ha, maka total volume adalah 340 x 850 = 289.000 m3.

2. Perhitungan Etat dengan menggunakan metode Cota

3. 56 78.:::; :,<;=:

< 57.806 m

3

/tahun.

4. Dengan kerapatan rata-rata 0,55 g/cm3, maka berat 57.806 m3 kayu sengon buto adalah : 0,55 x 57.806 = 31.637 ton.

5. Dengan menggunakan nilai kalor kayu rata-rata dengan proporsi kayu dan kulit sebesar 4.038 kkal/kg, maka total nilai kalor kayu adalah 31.637 x 4.038 x 1.000 = 1,27 x 1011.

6. Dengan menggunakan nilai kalor batu bara 6000 kkal/kg, dan kebutuhan batu bara per tahun Pabrik Narogong adalah 474.440 ton. Nilai kalor batu bara per tahun adalah 474.440 x 6.000 x 1.000 = 2,85 x 1012.

7. Persentase total nilai kalor kayu (nkk) dibandingkan dengan batu bara adalah :


(5)

Lampiran 7 Contoh perhitungan penetapan harga kayu yang berdasarkan nilai kalornya

1. Nilai kalor total batu bara per tahun dengan nilai kalor 6.000 kkal/kg sebanyak 474.440 ton adalah 474.440 x 6.000 x 1000 = 2,85 x 1012 kkal.

2. 5 % dari kebutuhan tersebut sebesar 5% x 2,85 x 1012 = 1,42 x 1011 kkal. Jika dibagi dengan nilai kalor 4.000 kkal/kg didapatkan nilai berat kayu adalah 1,42 x 1011/4.000/1000 = 35.583 ton.

3. Harga yang harus dikeluarkan untuk batu bara per tahun adalah Rp. 450.000 x 474.440 = Rp. 213 milyar.

4. 5 % dari harga batu bara pertahun adalah 5% x 213 milyar = Rp. 10,6 milyar. 5. 10,6 milyar jika dibagi dengan berat kayu pertahun yaitu 35.583 ton

didapatkan harga kayu Rp. 300.000

6. Jadi berdasarkan nilai kalor, batu bara yang memiliki nilai kalor 6.000 kkal/kg dengan harga Rp. 450.000 setara dengan kayu yang memiliki nilai kalor 4.000 dengan harga Rp. 300.000.

7. 1 ton kayu sengon buto kering udara (kadar air 12%) setara dengan 1,63 m3 kayu. Sehingga harga kayu sengon buto per m3 adalah 300.000/1,63 = Rp. 184.049.


(6)

Lampiran 8 Peta lokasi penelitian

Skala hanya merupakan acuan, karena ukuran peta sudah diperkecil dari ukuran peta sebenarnya pada kertas A3