Latar belakang Aspek Teknis Dan Kelayakan Ekonomis Pemanfaatan Kayu Sebagai Bahan Bakar Substitusi Di Pabrik Semen Studi Kasus di PT. Holcim Narogong

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

PT Holcim Indonesia dulunya PT Semen Cibinong, telah berdiri dan aktif melakukan kegiatan pertambangan sejak tahun 1971 di Bogor. PT. Holcim Indonesia memiliki dua pabrik semen yang beroperasi di Narogong dan Cilacap serta tambang agregat terbesar di pulau Jawa dengan kapasitas produksi sebesar 7,9 juta ton semen. Pabrik Narogong memiliki 2 buah tanur semen, yaitu NR3 dan NR4 dengan kapasitas total terpasang sebesar 4,1 juta ton sementahun Bertschinger, 2006. Secara umum, kegiatan pabrik semen terdiri atas tiga tahap, yaitu penambangan bahan baku, proses produksi semen dan proses pemasaran. Proses produksi secara khusus terdiri dari 4 tahap yaitu penggilingan bahan baku, pembakaran, penggilingan akhir dan pengantongan semen. Kegiatan pembakaran dalam proses produksi merupakan proses inti, karena sebagian besar energi diperlukan dalam proses ini. Kegiatan pembakaran menggunakan batu bara sebagai bahan bakar utama. Kebutuhan batu bara Pabrik Narogong tahun 2006 adalah 474.440 ton. Jika rata-rata nilai kalor batu bara yang digunakan adalah 6.000 kkalkg, maka kebutuhan kalor batu bara adalah sebesar 2,84 x 10 12 kkal. Jika harga batu bara Rp. 450.000ton, maka dibutuhkan Rp. 213,5 miliar untuk biaya pengadaan batu bara. Komponen biaya energi, termasuk listrik pada pabrik semen mencapai 40 dari total biaya produksi. Ditinjau dari pengaruh lingkungan, maka proses pembakaran termasuk salah satu yang paling berpotensi disamping juga kegiatan penambangan dalam mempengaruhi kualitas lingkungan Bertschinger, 2006. Indonesia termasuk negara dengan sumber tambang batu bara terbesar di dunia. Cadangannya diperkirakan 36,3 milyar ton. Dari total sumber daya tersebut, hanya 7,6 milyar ton yang dapat dikatakan sebagai cadangan pasti reserve. Sekitar 58,5 dari cadangan batu bara tersebut tergolong batubara muda lignite, sub-bituminous 26,6 , bituminous 14 dan sisanya adalah antrasit . Penyebaran terbesar berada di Kalimantan Timur 50,1 , Kalimantan Selatan 23,5 dan Sumatra Selatan 23,2 . Kendala yang dihadapi dalam pemakaian batu bara muda ini adalah nilai kalor rendah, sedangkan kadar sulfur dan air tinggi. Karena itu, batu bara muda yang disebut juga batu bara lignite atau batu bara coklat tidak ekonomis dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Bila sumber energi ini dibawa ke lokasi yang jauh dari areal tambang, maka biaya transportasinya menjadi mahal karena biaya transportasi sebagian besar dikeluarkan untuk membawa air dan abu yang nantinya harus dibuang dalam proses pemanfaatan batu bara. Selanjutnya, ketika batu bara muda dibakar, banyak energi yang terbuang untuk menguapkan air, sedangkan nilai kalor bersih yang diperoleh relatif rendah. Selain itu, kandungan sulfur yang tinggi akan menjadi gas pencemar. Karenanya diperlukan biaya tambahan untuk mengurangi emisi gas sulfur Widagdo, 2004. Semakin rendahnya kualitas batu bara yang dipasok oleh produsen batu bara dan semakin meningkatnya harga batu bara di dalam negeri berdampak pada industri yang memanfaatkan batu bara sebagai bahan bakar. Sebagai contoh, masalah yang dihadapi PT. Indocement Tunggal Prakarsa adalah jika sebelumnya pasokan batu bara memilki nilai kalor 6.500 kkkg, maka sekarang hanya mencapai 5.600 kkkg Susianto, 2005. Sementara itu harga batu bara kualitas baik terus naik dari US 50,54ton Maret 2004 menjadi US 70ton Januari 2008. Harga batu bara kualitas rendah berada pada kisaran US32 - US34ton, naik hampir 100 dibandingkan awal tahun 2007 yang masih berada pada kisaran US 16 – US 20ton Budhiwijayanto, 2008. Untuk mengatasi masalah tersebut, industri yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakar mulai mengintensifkan program substitusi batu bara dengan bahan bakar dan material alternatif BBMA. Salah satu pemanfaatan energi alternatif adalah energi yang berasal dari biomassa. Pemanfaatan energi alternatif dari biomassa akan terus dikembangkan sampai tersedia sumber energi yang murah dan tersedia berlimpah. Smith 1981 dalam Haygreen et al. 2003 menyatakan bahwa pada tahun 2000, secara menyeluruh di dunia, kayu akan berjumlah 10 dari pemakaian energi. Sementara itu menurut Buongiorno et al. 2003, pemakaian kayu sebagai bahan bakar selama tahun 1961 – 1997 meningkat hampir 53 dan diprediksikan peningkatannya akan mencapai 73 pada tahun 2010. Bahan bakar biomassa lain selain kayu juga digunakan dalam memenuhi kebutuhan energi alternatif . Sebagai contoh, PT. Indocement Tunggal Perkasa telah menanam 100.000 bibit jarak pagar yang dimulai pada bulan Januari 2007 Lavalle, 2007. PT. Semen Padang mempersiapkan limbah tandan kosong sawit TKS sebagai bahan bakar substitusi. Tahap awal substitusi adalah 5 dari kebutuhan batu bara. Persentase substitusi akan terus ditingkatkan dengan syarat tidak ada modifikasi terhadap mesin utama pembakaran. Bahan substitusi ini bisa dicampur dengan batu bara ataupun tanpa dicampur. Bahan bakar selain biomassa yang telah digunakan dan mendapat legalisasi dari Kementrian Negara Lingkungan Hidup diantaranya adalah limbah bahan berbahaya dan beracun B3 KepMenLH No. 136 Tahun 2004 Saksono, 2006. Pabrik semen PT. Holcim yang beroperasi di Narogong terletak di Kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor menempati areal seluas 1.337,81 Ha. Luasan tersebut termasuk areal pertambangan bahan baku, tapak pabrik, perumahan karyawan, perkantoran dan fasilitas penunjang lainnya. Aktifitas pertambangan yang telah dilakukan sampai Desember 2006, luas quari batu gamping yang telah terbuka seluas 214,69 Ha, tanah liat 47,8 Ha dengan elevasi terendah 84 m dpl. Luas areal yang sudah ditambang sampai elevasi terendah mencapai 78,9 Ha. Areal dengan elevasi terendah tersebut telah dimanfaatkan antara lain untuk penghijauan 15,43 Ha, settling pond 8,19 Ha, reklamasi 8 Ha, areal topsoil 0,65 Ha dan tapak pabrikbangunan 46,63 Ha. Jenis tanaman penghijauan yang telah ditanam sejak tahun 2001 diantaranya adalah Sengon Buto, Gmelina, Waru, Lamtoro, Trembesi, Turi, Gamal dan Angsana. PT. Holcim juga telah mempunyai rencana reklamasi serta rencana revegetasi untuk jangka waktu 20 tahun 2002 – 2022 Bertschinger, 2006. Penelitian tentang pemanfaatan limbah kelapa sawit Susanto, 2006, sekam padi Susanto, 2005, limbah B3 Bertschinger, 2006 pernah dilakukan untuk menjawab permasalahan penyediaan bahan bakar dan material alternatif pada pabrik semen. Penelitian tentang monitoring reforestasi pada areal bekas tambang untuk memantau parameter pertumbuhan dan kondisi tempat tumbuh juga pernah dilakukan Puspaningsih, 2007. Sedangkan pemanfaatan hasil reforestasi untuk penyediaan kayu energi untuk mensuplai bahan bakar pada industri semen belum pernah dilakukan. Oleh karena itu diperlukan suatu kajian teknologi dan kelayakan ekonomis pemanfaatan hasil reforestasi pada areal bekas tambang untuk penyediaan kayu energi sebagai bahan bakar dan material alternatif BBMA substitusi 1 batu bara.

1.2. Tujuan