Dakwah Ajengan Sofwan Abdul Ghoni Padapondok Pesantren Baitul Burhan Karawang

(1)

KARAWANG

Skripsi

DiajukanuntukMemenuhiPersyaratanMemperoleh GelarSarjanaKomunikasi Islam (S.Kom.I)

Oleh:

Muhammad Edi Abdillah

NIM: 109051000243

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

ii

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Ciputat, 19 September 2014


(3)

iii

Skripsi

DiajukankepadaFakultasIlmuDakwahdanIlmuKomunikasiUntukMemenuhi Salah SatuPersyaratanMemperolehGelarSarjanaKomunikasi Islam (S. Kom. I)

Oleh

Muhammad Edi Abdillah NIM: 109051000243

Pembimbing

NIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1435 H./2014 M.


(4)

(5)

v

Muhammad Edi Abdillah

Dakwah Ajengan Sofwan Abdul Ghoni

pada Pondok Pesantren Baitul Burhan Karawang

Dakwah merupakan kegiatan yang memiliki tujuan untuk merealisasikan ajaran Islam ke dalam semua aspek kehidupan manusia. Banyak upaya yang sudah dilakukan oleh para agen dakwah untuk mencapai tujuan mulia tersebut. Ajengan Sofwan Abdul Ghoni salah satu da’i yang cukup berhasil melakukan itu. Kehadiran beliau dan pondok pesantren yang dipimpinnya mendapat sambutan yang positif dari masyarakat. Karenanya penelitian ini berupaya mengetahui dan mendeskripsikan secara rinci dakwah yang dilakukan Ajengan Sofwan Abdul Ghoni pada ponpes Baitul Burhan yang meliputi tiga bentuk dakwah diantaranya, aktifitas tabligh, aktifitas pengembangan masyarakat, dan aktifitas manajemen dakwah.

Berdasarkan gambaran di atas, ada dua hal yang perlu digali lebih jauh lagi. Pertama, berkaitan dengan bagaimana dakwah yang dilakukan Ajengan Sofwan Abdul Ghoni pada pondok pesantren Baitul Burhan. Kedua, pendekatan apa yang digunakan Ajengan Sofwan Abdul Ghoni dalam melakukan dakwahnya.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Untuk menggambarkan secara cermat karakteristik dakwah Ajengan Sofwan Abdul Ghoni pada pondok pesantren Baitul Burhan dan berusaha mendapatkan dan menyampaikan fakta-fakta dengan jelas, teliti dan lengkap. Selain itu penelitian ini juga menggunakan dua pendekatan dakwah yaitu pendekatan cultural dan pendekatan structural.

Hasil penelitian menunjukan bahwa dakwah Ajengan Sofwan Abdul Ghoni pada pondok pesantren Baitul Burhan dilakukan melalui berbagai bentuk. Diantaranya melalui pengajian santri di pesantren, pengajian bapak-bapak dan ibu-ibu baik di dalam maupun di luar pesantren, pembuatan Poskestren, produksi susu sari kedelai murni, pemberdayaan lahan pertanian, dan menjadi ketua MUI kecamatan Tempuran. Semuanya dilakukan secara konsisten, dan penuh tanggungjawab.

Menurut analisa penulis, berdasarkan temuan-temuan data di lapangan. Proses dakwah Ajengan Sofwan Abdul Ghoni sudah merepresentasikan tiga bentuk dakwah. Yaitu kegiatan tabligh, pengembangan masyarakat, dan manajemen dakwah. Selain itu dakwahnya sangat adaptif, menyesuaikan dengan kondisi masyarakat yang ada. Sehingga bisa diterima dengan mudah oleh masyarakat. Akhirnya penulis berkesimpulan bawa faktor inilah yang melatarbelakangi pesatnya kemajuan dakwah Ajengan Sofwan Abdul Ghoni dengan ponpes Baitul Burhan nya.


(6)

vi

Puji dan syukur kitapanjatkankepada Allah SWT.Atas semua nikmat dan karunianya.Dzatpemilikilmudanpenguasaalamsemesta.Hanyakarenahidayahdanta ufiknyapenulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalutercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW.Yang telah membawa pencerahan pada umat manusia dari kondisi jahil menjadi berakhlak. Tidak ada yang lebih layak kita tauladanai selain dari sikap dan perilakunya yang begitu mulia.

Ucapan terima kasih sebanyak-banyaknyakepada semua pihak yang telah membantubaiksecaralangsungmaupuntidak. Betapapun hebatnya manusia, tak ada yang bisa melakukan segala sesuatunya sendiri tanpa bantuan orang lain. Untuk itu perkenankanlah penulis secara khusus dengan rasa hormat dan bangga menyampaikan ucapan terima kasih yang mendalam kepada :

1. Bapak Dr. Arief Subhan, MA, selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi

2. Pembantu Dekan Bidang Akademik, Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum dan Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi

3. Bapak Rachmat Baihaky, MA, selaku Ketua Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI)

4. Ibu Fita Fathurrohmah, M.Siselaku Sekertaris Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) danBapak H. Fatoni, S.Sosselakustaf TU yang telah


(7)

vii

5. Bapak Drs. H. HasanudinIbnuHibban, MA, yang dengan sabar membimbing dan memberiarahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Seluruh Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komuikasi yang telah memberikan ilmu, pengalaman, wawasan, dan nasihat yang tak ternilai harganya. Semoga menjadi amal ibdah yang tak akan terputus.

7. Seluruh staf dan karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, para staff perpustakaan fakultas dan perpustakaan utama yang telah memberikan pelayanan kepada penulis selama menjalani studi di kampus ini

8. PanitiaujianskripsibapakDrs. Jumroni, M.Si (ketua), ibuFitaFathurrohmah, M.Si (sekretaris), ibuRubiyanah, MA (penguji 1), danibuUmiMusyarofah, MA (penguji 2) yang telahbersediameluangkanwaktunyauntukmenguji, mengoreksi, mengkritisi, dan memberikan arahan pada penulis dalam rangka menyempurnakan skripsi yang penulissusun.

9. KH. Sofwan Abdul Ghoni dan segenap pengurus pondokpesantren Baitul Burhan yang telah membantu dan mempermudah penulis dalam melakukan penelitian sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik

10.Ibunda tercinta, mak Enah yang selalu memberikan do’a, nasihat, motivasi,dukungan, dan kasih sayang yang tulussehingga penulis bisa sampai pada titik ini. Salam ta’dzim dari anakmu.


(8)

viii

Do’a dan harapanya lah yang mengantarkan penulis sampai di sini.

12.Istriku tercinta Wikoyati, S.Pdyang begitu sabar memberi support, perhatian,dando’a pada penulis dalam menyelsaikan penulisan skripsi ini. Juga malaikat kecilku yang saat ini berusia 8 bulan dalam kandungan, tak sabar rasanya menunggu kehadiranmu.Kalianlah alasan dari semua ini. 13.Keluarga besarku teh Entin, kang Endam, kang Inang, kang Nawi, teh

Yayah. Berkat doa dan dukungannya penulis bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini.

14.Keluarga besar bapak Wahidin dan Ibu Fauziah. Dini Nasihah, a Wandi, Syifa Qolbiyah, Aulia Zahrotunnisa, dan Melani Salsabila yang selama ini selau direpotkan oleh penulis, namun tak pernah henti-hentinya berdo’a dan memberikan dukunganuntuk kesuksesan penulis. Semoga menjadi amal shaleh yang akan diganti dengan kebaikan oleh Allah SWT. Penulis berharap tidak mengecewakannya dan bisa membalas jasa-jasanya.

15.Keluarga besar KPI G angkatan 2009. Terima kasih banyak atas dukungan, do’a, dan motivasi selama menjalani kuliah di kampus ini. Kalian adalah pengalaman indah yang tak terlupakan. Semoga ikatan silaturrahim kita akan tetap terjaga selamanya.

16.Keluarga besar KMIK (Keluarga Mahasiswa Islam Karawang) Jakarta. yang telah memberikan warna lain selama penulis kuliah dan tinggal di Ciputat. Semoga tetap jaya dan ikatan kelurga kita akan terus terjalin meski status memisahkan kita.


(9)

ix

Nya. Amin Yaa Robbal Aalamiin.

Jakarta, 19 September 2014 Muhammad Edi Abdillah


(10)

x

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI... x

BAB IPENDAHULUAN A. LatarBelakangMasalah ... 1

B. PembatasandanPerumusanMasalah ... 5

C. TujuandanManfaatPenelitian ... 5

D. MetodologiPenelitian ... 6

E. TinjauanPustaka ... 9

F. SistematikaPenulisan. ... 9

BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Dakwah ... 12

1. PengertianDakwah ... 12

2. RuangLingkupDakwah ... 16

3. PendekatanDakwah ... 17

B. PondokPesantren ... 18

1. PengertianPondokPesantren ... 18

2. SejarahPondokPesantren ... 19


(11)

xi

BAB III PROFIL AJENGAN SOFWAN ABDUL GHANI DAN PONDOK PESANTREN BAITUL BURHAN

A. ProfilAjenganSofwan Abdul Ghoni

1. RiwayatHidup ... 30

2. RiwayatKeluarga ... 36

3. RiwayatPendidikan ... 37

B. ProfilPondokPesantrenBaitulBurhan 1. Sejarah ... 40

2. VisidanMisi ... 45

3. StrukturKepengurusan ... 45

4. Sistem Pembagian Kelas ... 47

BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS A. AktifitasTabligh 1. Mengajar di Pesantren ... 49

2. PengajianBapak-BapakdanIbu-Ibu di Pesantren ... 50

3. MengisiPengajianRutinLuarPesantren ... 51

4. CeramahKeagamaan ... 51

B. AktifitasPengembanganMasyarakat 1. Usaha Produksi Susu Sari Kedelai Murni ... 52

2. Pertanian ... 54


(12)

xii

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 59

B. Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61


(13)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang khas dalam sejarah pendidikan Islam di dunia.Pasalnya pondok pesantren merupakan produk asli bangsa Indonesia dan hanya bisa ditemukan di Indonesia. Walaupun ada perbedaan pandangan mengenai asal-muasal proses lahirnya pondok pesantren. Tetapi mayoritas para peneliti, seperti Karel Steenbrink, Cliffordrd Geerts, dan yang lainya sepakat dengan hal ini1.Senada dengan pandangan tersebut, Nurcholish Madjid menyatakan bahwa dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (Indigenous).2

Sebagai institusi pendidikan sekaligus institusi dakwah Islam paling tua di Indonesia, pesantren memiliki akar sejarah yang jelas.Perintis pertama yang mengawali berdirinya pondok pesantren dapat ditelusuri dengan jelas, walaupun ada sedikit pandangan yang berbeda.Namun perbedaan itu tidak mengurangi apalagi memutus tali sejarah berdirinya pondok pesantren.Dari beberapa pandangan, nampaknya analisis Lembaga Research Islam (Pesantren Luhur) bisa dijadikan pedoman.Dikatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim adalah sebagai peletak dasar pertama sendi-sendi berdirinya pondok pesantren.Adapun Sunan Gunung Djati mendirikan pondok pesantren

1

Amin Haedari, dkk.,Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas dan Komplesitas Global (Jakarta: IRD PRESS, 2005), h. 1.

2

Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 3.


(14)

setelahnya.Hal itu dlihat dari selisih masa hidup keduanya yang terpaut ±103 tahun.3Yang dianggap cukup untuk menetukan perbedaan generasi keduanya.

Dari sejarahnya sebagaimana dijelaskan di atas, tentunya menambah keyakinan kita bahwa pondok pesantren memang produk asli bangsa Indonesia.Sampai saat ini eksistensinya masih tetap terjaga.Bahkan mengalami kemajuan yang sangat pesat, melebihi kemajuan sistem pendidikan modern di tanah air.

Sejalan dengan pesatnya kemajuan dunia dalam semua aspeknya, menghadirkan tantangan yang cukup berat bagi pondok pesantren.Sebagai institusi dakwah yang sudah mapan dan sebagai benteng terakhir pertahanan moral bangsa, pondok pesantren harus mampu berinovasi dalam pengembangan sistem pendidikan dan mampu beradaptasi dengan kondisi masyarakat yang ada. Secara otomatis para kyai pimpinan pesantren-lah yang punya peran sentral dalam melakukan itu. Karena pesantren adalah wujud nyata dari semangat dakwah yang dibawa oleh mereka.Banyak pondok pesantren yang gugur dalam menghadapi derasnya perkembangan zaman.Tetapi tidak sedikit pula pondok pesantren yang mampu bertahan bahkan menjadi pusat peradaban di wilayahnya.

Tujuan utama didirikannya pondok pesantren adalah Dakwah Islamiyah.Sejalan dengan semangat kyai yang mendirikannya. Dengan cara inilah proses transformasi nilai-nilai keislaman selama ini berlangsung. Sebelum maraknya kegiatan tabligh yang sering kita lihat di layar TV sekarang ini. Walaupun tidak bisa menyentuh mad’u secara luas, tetapi

3

Mujamil Qomar, PESANTREN: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi (Jakarta: Erlangga), h. 9.


(15)

kegiatan dakwah bisa dilakukukan secara komprehensif di lingkungannya.Karena terlibat langsung dalam aktifitas keseharian masyarakat sebagai mad’u, bahkan menjadi bagian darinya.

Problematika ummat adalah pertanyaan yang harus dijawab oleh paraagen dakwah, tidak hanya sebatas teoritis tetapi juga dalam bentuk-bentuk lain yang mungkin lebih kompleks.Atas dasar itulah para agen dakwah dituntut untuk mampu berinovasi dalam melakukan kegiatan dakwahnya. Jika itu tidak dilakukan, maka tujuan dakwah akan sulit tercapai.

Sebelah utara kota Karawang. Tepatnya di kampung Jarakah desa Lemahduhur kecamatan Tempuran kabupaten Karawang. Terdapat sebuah pondok pesantren dengan nama Baitul Burhan yang cukup populer di wilayah Karawang. Kepopuleran itu tidak lepas dari keberhasilan dalammelakukan kegiatan dakwahnya. Setidaknya ada beberapa indikasi sederhana yang menunjukan keberhasilan tersebut diataranya jumlah santri yang banyak dan stabil, bangunan yang terus berkembang, respon positif masyarakat, dan dukungan dari para ulama setempat juga aparatur pemerintahan.

Sejauh pengetahuan penulis, ada banyak pondok pesantren di wilayah ini.Tetapi kebanyakan kondisinya antara hidup dan mati.Paling tidak beberapa indikasi keberhasilan di atas tidak ditemukan di dalamnya. Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan besar, mengapa kondisi itu terjadi, apakah dakwah yang dilakukan tidak sesuai dengan kondisi masyarakat, ataukah ada hal lain. tentunya hal ini perlu diteliti lebih jauh lagi.


(16)

Al-Qur’an memberikan beberapa gambaran mengenai bagaimana seharusnya dakwah itu dilakukan. Sebagaimana tercantum dalam surat an-Nahl ayat 125.

                                   

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125)

Berdasarkan ayat di atas, ada tiga pendekatan dakwah dalam kontek dakwah bil al lisan.Diantaranya, al-Hikmah, Mau’idzatul Hasanah, dan Mujadalah Bi-Al-Lati Hiya Ahsan.Kata hikmah memiliki pengertian yang sangat luas.Menurut M. Abduh sebagaimana dikutip oleh M. Munir dalam bukunya yang berjudul Metode Dakwah, kata al-Hikmah dalam ayat di atas didefinisikan sebagai ilmu yang sahih (benar dan sehat) yang menggerakan kemauan untuk melakukan sesuatu perrbuatan yang bermanfaat (berguna). Dalam sumber yang sama disimpulkan bahwa metode dakwah dapat dikategorikan ke dalam metode dakwah Bil al-Hikmah.Dimana metode dakwah menggunakan pendekatan yang nyata dalam berdakwah, dengan memperhatikan kondisi mad’u.4Ini tentu hanya pedoman umum saja. Untuk bisa mengekspresikannya menjadi kegiatan dakwah yang menarik dan bisa diterima di masyarakat tentu memerlukan kreatifitas dari setiap agen dakwah..

Berkaitan dengan itu ada hal yang ingin penulis ketahui lebih jauh lagi yaitu mengenai dakwah dan pendekatannya khusunya yang dipraktekan

4


(17)

langsung oleh para da’i.Sebagai respon mereka terhadap kondisi masyarakat sebagai objek dakwahnya (Mad’u). Karenannya dalam penelitian ini penulis

mengangkat judul “DAKWAH AJENGAN SOFWAN ABDUL GHONI PADA PONDOK PESANTREN BAITUL BURHAN KARAWANG

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Untuk memperjelas ruang lingkup penelitian, sehingga menjadi lebih fokus dan terarah, maka penulis membatasi penelitian ini hanya pada persoalan dakwahdan pendekatannya yang dilakukan Ajengan Sofwan Abdul Ghoni pada pondok pesantren Baitul Burhan.

2. Rumusan Masalah

a. Bagaimana dakwah Ajengan Sofwan Abdul Ghani di pondok pesantren Baitul Burhan?

b. Pendekatan apa yang digunakan Ajengan Sofwan Abdul Ghani dalam melakukan dakwahnya?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana dakwah yang dilakukan Ajengan Sofwan Abdul Ghani di pondok pesantren Baitul Burhan. Selain itu juga untuk mengetahui pendekatan apa yang digunakannya.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dapat dilihat dari dua aspek.Yaitu aspek akademis dan aspek praktis. Adapun isi dari keduanya sebagai berikut:


(18)

a. Aspek Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan pengetahuan dalam kajian Ilmu Dakwah.Juga sebagai tambahan referensi bagi peneliti selanjutnya yang memiliki minat dalam bidang ini.

b. Aspek Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi, pengetahuan, masukan, juga pedoman bagi para pimpinan pondok pesantren khusunya yang ada di wilayah tempat penelitian berlangsung, Sehingga mampu mengembangkan kegiatan-kegiatan dakwah yang sudah ada menjadi bentuk-bentuk lain yang lebih menarik dan relevan dengan kondisi masyarakat sekitar. Bagi pondok pesantren Baitul Burhan semoga bisa menjadi masukan dalam upaya meningkatkan kualitas pesantren.

D. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Jenis penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara cermat karakteristik suatu gejala atau masalah yang diteliti dan berusaha mendapatkan dan menyampaikan fakta-fakta dengan jelas, teliti dan lengkap tanpa banyak detail yang tidak penting.5

5


(19)

Penelitian kualitatif adalah untuk memberikan gambaraan tentang suatu gejala atau hubungan antara dua gejala atau lebih.6 Dalam sumber lain dikatakan bahwa penelitian kualitatif digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti sebagai instrument kunci dan hasil penelitian lebih menekankan makana daripada generalisasi.7Karena itulah, peneliti menganggap penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini cukup sesuai.

2. Subjek dan Objek Penelitian

Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah pimpinan dan pengurus pondok pesantren Baitul Burhan.Sedangkan yang menjadi objek penelitian adalah dakwah Ajengan Sofwan Abdul Ghani pada Pondok Pesantren Baitul Burhan.

3. Teknik Pengumpulan Data a. Observasi

Observasi adalah suatu cara penelitian untuk memperoleh data dalam bentuk pengamatan dan pencatatan dengan sistematis tentang fenomena yang diselidiki.8 Adapun jenis observasi apa yang akan digunakan akan disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Jika diperlukan, mungkin ketiga jenis observasi akan peneliti gunakan. Tetapi tetap melalui prosedur tahapan observasi yang sudah disepakati.Diantaranya observasi deskripsi, reduksi, dan seleksi.9 b. Wawancara

6

Irwan Soehartono, Metode Penelitian Sosial (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 35. 7

Sugiyono, Memahami penelitian kualitatif (Bandung: ALFABETA, 2010), h. 1. 8

Muhammad Natsir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), h. 234. 9


(20)

Wawancara adalah salah satu tehnik pengumpulan data dengan cara bertanya langsung kepada narasumber. Sehingga dengan wawancara peneliti akan memperoleh data-data yang lebih mendalam tentang persoalan yang sedang diteliti. Menurut Estemberg (2002)

sebagaimana dikutip oleh prof. Dr. Sugiono dalam “memahami penelitian kualitatif”, mengemukakan beberapa jenis wawancara, yaitu wawancara terstruktur, semiterstruktur, dan tidak terstruktur.

Berkaitan dengan itu, dalam penelitian ini wawancara semi terstruktur mungkin akan lebih banyak digunakan. Wawancara semi terstruktur dalam pelaksanaannya lebih bebas dibandingkan dengan wawancara terstruktur.Tujuannya untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat dan ide-idenya.10

Narasumber utama wawancara dalam penelitian ini adalah ajengan Sofwan Abdul Ghoni sebagai pimpinan pondok pesantren Baitul Burhan.Adapun narasumber lain akan disesuaikan dengan perkembangan hasil temuan di lapangan dan kebutuhan data dalam penelitian.

c. Dokumentasi

Dokumen merupakan catatan yang telah berlalu.Bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.11Cara ini perlu peneliti gunakan, mengingat penelitian ini berkaitan dengan sebuah institusi dakwah yang sudah cukup lama

10

Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, h. 73. 11


(21)

keberadaannya.Tentunya memiliki catatan-catatan sejarah atau dokumen-dokumen yang mengiringi perjalanannya. Peneliti berharap, dengan menggunakan tehnik ini akan memperoleh data-data yang lebih koprehensif.

E. Tinjauan Pustaka

Sebelum melakukan penelitian, peneliti melakukan kajian pustaka terlebih dahulu. Dalam kegiatan tersebut ditemukan beberapa karya ilmiah yang membahas tema yang hampir sama. Peneliti menjadikan karya ilmiah tersebut sebagai panduan sekaligus pembanding dalam penelitian ini. Diantara karya ilmiah tersebut adalah:

- Skripsi dengan judul “Aktifitas Dakwah K.H. Ahmad Syahid” oleh Nurul Fachri tahun 2012.

Karya ilmiah di atas memiliki kesamaan dalam hal objek penelitian yaitu

“Dakwah” namun subjek penelitiannya berbeda. Selain itu, fokus pembahasan atau penekanannya pun tidak sama.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penulisan, maka perlu dibuat sistematika penulisan. Dalam kesempatan ini peneliti membuat sistematika penulisan yang terdiri dari lima bab dan masing-masing bab terdiri dari sub bab dengan penyusunan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis akan membahas mengenai latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan


(22)

manfaat penelitian, tinjauan Pustaka, metodologi Penelitian, dan sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN TEORITIS

Bab iiakanmembahas mengenai penjelasan secara teoritis dari konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini misalnya mengenai pengertian dakwah, ruang lingkupdakwah, pendekatan dakwah, pengertian pondok pesantren, sejarah pondok pesantren, Jenis-Jenis Pondok Pesantren, unsur-unsur pondok pesantren dan model pengajaran di pesaantren.

BAB III PROFIL AJENGAN SOFWAN ABDUL GHANI DAN PONDOK PESANTREN BAITUL BURHAN

Pada bab iii penulis akan membahas mengenai profil ajengan Sofwan Abdul Ghoni yang di dalamnya mencakup riwayat hidup, riwayat keluarga, dan riwayat pendidikan. Selain itu juga akan dibahas mengenai profil pondok pesantren Baitul Burhankhususnya mengenai sejarah berdirinya, visi dan misi, struktur kepengurusan, dan system pengajaran.

BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DAKWAH AJENGAN SOFWAN ABDUL GHANI PADA PONDOK PESANTREN BAITUL BURHAN KARAWANG

Dalam bab ini akan dibahas mengenai temuan-temuan dan analisis mengenai dakwah yyang dilakukan oleh ajengan Sofwan Abdul Ghoni pada pondok pesantren Baitul Burhan meliputi kegiatan tabligh, pengembangan masyarakat, dan manajemen


(23)

dakwah. selain itu akan dibahas juga mengenai pendekatan yang digunakan Ajengan Sofwan Abdul Ghani dalam melakukan dakwahnya

BAB V PENUTUP

Dalam ban penutup penulis akan membahas kesimpulan dari hasil penelitian secara keseluruhan. Tentunya yang berhubungan dengan rumusan masalah dalam penelitian ini. Selanjutnya akan ditulis saran-saran baik kepada peneliti yang minat di bidang ini maupun lembaga-lembaga terkait khususnya pondok pesantren Baitul Burhan.


(24)

A. Dakwah

1. Pengertian Dakwah

Dalam bahasa arab kata “Dakwah” berarti panggilan, ajakan, seruan, atau undangan.1 Diambil dari kata ةوعد - وعدي - اعد , yang secara lughawi (etimologi) memiliki kesamaan makna dengan kata al nida

(ءادنلا(yang berarti menyeru atau memanggil.2

“Ketika menjelaskan istilah tersebut, pakar bahasa Ibn Manzur menyebutkan beberapa arti yang terkandung seperti berikut: Pertama, meminta pertolongan (ةثاغتساا( seperti ucapan seseorang ketika bertemu musuhnya dalam keadaan sendirian fad’u al-muslimin yang menurut Ibn Manzur dapat disamakan dengan, istaghitsu al-muslimin (minta tolonglah pada muslimun). Kedua, menghambakan diri (Ibadah), baik kepada Allah SWT. Maupun kepada selain Allah SWT. Seperti dalam firman-Nya (QS. al-A’raf/7: 194). Ketiga, memanjatkan permohonan kepada Allah SWT. (berdoa), seperti dalam firman-Nya (QS. al-Baqarah/2: 168). Keempat, persaksian Islam (Syahadat al-Islam), seperti surat Nabi Muhammad SAW. Kepada Heraklius “…..م اسإا ةياعدب كوعدأ ” (aku memanggil kamu dengan persaksian Islam). Kelima, memanggil atau mengundang (al-nida). Seperti dalam firman Allah SWT. (QS. al-Ahzab/33: 46). Senada dengan Ibn Manzur, pakar al-Qur’an kenamaan al-Asfihany menyebutkan adanya

1

Toha Yahya Omar, Ilmu Dakwah (Jakarta: Widjaya, 1985), cet. Ke-4, h. 1. 2

A. Ilyas Ismail dan Prio Hotman, FILSAFAT DAKWAH: Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), h. 27.


(25)

kesamaan data al-du’a dengan al-nida yang berarti memanggil namun dengan argument yang berbeda. Kesimpulan ini oleh al-Asfahany didasarkan atas firman Allah SWT.

                                                    

Janganlah kamu memanggil Rasul sebagai panggilan sesama kamu saja. Sesungguhnya Tuhan mengetahui orang yang keluar bersembunyi-sembunyi di antara kamu sambil diam-diam. Maka hendaklah orang-orang yang melanggar ketentuan Rasul itu awas menjaga supaya jangan ditimpakan Tuhan kepada mereka ujian ataupun ditimpa mereka oleh azab siksa yang pedih(QS. an-Nur/24: 63).

Islam disebut sebagai agama dakwah (din al-da’wah), karena ia mengajak orang agar berkenan mengikuti seruannya.”3

Secara terminologi banyak para ahli yang memberikan definisi dakwah. Diantaranya sebagai berikut:

1) Menurut Toha Yahya Qomar

Dakwah adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan, untuk keselamatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.4

2) Menurut Jumu’ah Amin Abdul Aziz

Dakwah adalah menyeru manusia kepada Islam yang hanif dengan keutuhan dan keuniversalanya, dengan syi’ar-syi’ar dan syariatnya, dengan akidah dan kemuliaan akhlaknya, dengan metode

3

Ismail dan Hotman, Filsafat Dakwah, h. 8. 4


(26)

dakwahnya yang bijaksana dan sarana-sarananya yang unik, serta cara-cara penyampaiannya yang benar.5

3) Menurut M.Quraish Shihab

Dakwah adalah seruan atau ajakan kepada keinsyafan atau usaha mengubah situasi kepada situasi yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap pribadi maupun masyarakat. Perwujudan dakwah bukan sekedar usaha penigkatan pemahaman dalam tingkah laku dan pandangan hidup saja, tetapi juga menuju sasaran yang lebih luas. Apalagi pada masa sekarang ini, ia harus lebih berperan menuju kepada pelaksanaan ajaran Islam secara menyeluruh dalam berbagai aspek kehidupan.6

4) Samsul Munir Amin

Dakwah adalah suatu aktifitas yang dilakukan secara sadar dalam rangka menyampaikan pesan-pesan agama Islam kepada orang lain agar mereka menerima ajaran Islam tersebut dan menjalankannya dengan baik dalam kehidupan individual maupun bermasyarakat untuk mencapai kebahagiaan manusia baik di dunia maupun di akhirat, dengan menggunakan media dan cara-cara tertentu.7

5) Tarmizi Taher

Dakwah adalah upaya untuk mengajak seseorang atau kelompok orang (masyarakat) agar memeluk dan mengamalkan ajaran Islam ke dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini dakwah dapat

5 Jumu’ah Amin Abdul Aziz,

Fiqih Dakwah (Solo: PT. Era Adicitra Intermedia, 2011), h.64.

6

M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1997), h. 194. 7


(27)

dimaknai sebagai sarana pembangunan kualitas sumber daya manusia (SDM), pengetasan kemiskinan, memerangi kebodohan dan keterbelakangan, serta mewujudkan agenda pembebasan.8

6) Syekh Ali Mahfuz

Mengartikan dakwah dengan mengajak manusia kepada kebaikan dan petunjuk Allah SWT. Menyeru mereka kepada kebiasaan yang baik dan melarang mereka dari kebiasaan buruk supaya mendapatkan keberuntungan di dunia dan akhirat.9

7) Letjend. H. Soedirman

Mendefinisikan dakwah sebagai usaha untuk merealisasikan ajaran Islam di dalam kenyataan hidup sehari-hari baik kehidupan seseorang, maupun kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan tata hidup bersama dalam rangka pembangunan bangsa dan ummat, untuk memperoleh keridhoan Allah SWT.10

Meskipun terdapat perbedaan redaksi dalam mendefinisikan dakwah. Tetapi ada kesimpulan-kesimpulan yang bisa diambil dari definisi-definisi di atas.

Pertama, bahwa dakwah merupakan proses penyelenggaraan suatu usaha atau aktifitas yang dilakukan secara sadar dan disengaja. Kedua, dasar dakwah adalah mengajak manusia kepada ajaran Allah AWT. Demi kemaslahatan baik secara individual maupun sosial kemasyarakatan. Ketiga, bahwa pada dasarnya kewajiban dakwah

8

Nurul Badru Tamam, Dakwah Kolaboratif Tarmizi Taher (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2005), h. 96.

9

Ismail dan Hotman, FILSAFAT DAKWAH, h. 28. 10


(28)

adalah menyampaikan yang benar (ajaran Islam) dan mencegah hal-hal yang bersifat munkar (niat, sifat, dan tingkah laku). Keempat, bahwa proses penyelenggaraan usaha tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat serta keridhoan Allah SWT. Kelima, untuk mencapai semua itu, maka dalam dakwah terdapat upaya mempengaruhi orang lain agar mau “menganut, menyetujui, dan melaksanakan suatu ideologi, pendapat, atau pekerjaan tertentu.”11

Secara garis besar, ada dua pengertian yang selama ini hidup dalam pemikiran dakwah. Pertama, bahwa dakwah diberi pengertian tabligh/penyiaran/penerangan agama. Kedua. Bahwa dakwah diberi pengertian semua usaha merealisir ajaran Islam dalam semua segi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin.12

Berdasarkan semua uraian di atas, nampaknya pengertian yang kedua lebih representatif untuk menjelaskan mengenai dakwah. Sedangkan pengertian yang pertama merupakan salah satu bagian di dalamnya. Kesimpulannya dakwah mempunyai bentuk dan pengertian yang lebih luas dari sekedar tabligh atau penyiaran (bil al-Lisan). 2. Ruang Lingkup Dakwah

Berdasarkan pengertian dan penjelasan di atas mengenai dakwah, memungkinkan adanya bentuk-bentuk dakwah yang variatif yang dilakukan oleh para agen dakwah (Da’i). Tentunya sesuai dengan keyakinan dan pemahaman yang dimilikinya. Namun secara umum

11

Hasanudin, Manajemen Dakwah, h. 42. 12


(29)

dakwah dapat dibedakan ke dalam tiga bentuk. Pertama, kegiatan Tabligh (dakwah bil al-lisan). Kegiatan pokoknya adalah sosialisasi, internalisasi, dan eksternalisasi ajaran Islam. Kedua, kegiatan pengembangan masyarakat, kegiatan pokoknya meliputi transformasi dan pelembagaan ajaran Islam ke dalam realitas Islam (khairu ummah). Ketiga, kegiatan manajemen dakwah. kegiatan pokoknya meliputi penyusunan kebijakan, perencanaan program, pengorganisasian program, monitoring, dan evaluasi dakwah.13

3. Pendekatan Dakwah a. Pendekatan Kultural

Adalah aktivitas dakwah yang menekankan pendekatan Islam kultural. Islam kultural adalah salah satu pendekatan yang berusaha meninjau kembali kaitan doktrin yang formal antara Islam dan politik atau Islam dan Negara.14

b. Pendekatan struktural

Gerakan dakwah yang berada dalam kekuasaan. Aktivis dakwah struktural yang bergerak mendakwahkan ajaran Islam dengan memanfaatkan struktur sosial, politik, maupun ekonomi yang ada guna menjadikan Islam menjadi ideology negara, nilai-nilai Islam mengejawantah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.15

13

Hasanudin, Manajemen Dakwah, h. 51-52. 14

Samsul munir amin, Ilmu Dakwah (Jakarta: Amzah, 2009),h.161. 15


(30)

B. Pondok Pesantren

1. Pengertian Pondok Pesantren

Kata pondok (kamar, gubuk, rumah kecil) dipakai dalam bahasa Indonesia dengan menekankan kesederhanaan bangunan. Mungkin juga “pndok” diturunkan dari kata Arab “funduk” (ruang tidur, wisma, hotel sederhana).16

Kata pesantren yang terdiri dari kata asal “santri” awalan “pe” dan akhiran “an”, yang menentukan tempat, jadi berarti “tempat para santri”. Kadang-kadang ikatan kata “sant” (manusia baik) dihubungkan dengan suku kata “tra” (suka menolong)”, sehingga kata pesantren dapat berarti “tempat pendidikan manusia baik-baik”.17

Mengenai istilah “santri” menurut Nurcholish Madjid setidaknya ada dua pendapat yang bisa kita jadikan acuan. Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa “santri” itu berasal dari kata “sastri” sebuah kata dari bahasa sansekerta, yang artinya “melek huruf”. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa “santri” berasal dari bahasa Jawa, persisnya dari kata cantrik, yang artinya seseorang yang selalu mengikuti seorang guru ke mana guru ini pergi menetap.18

Tetapi dalam pendapat lain disebutkan bahwa istilah santri sendiri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji. C.C Berg meyatakan bahwa akar kata santri berasal dari shastri bahasa India yang berarti orang yang tahu buku-buku Agama Hindu. Kata shastri sendiri berasal dari

16

Manfred Ziemek, Pesantren dalam Pembahasan Sosial (Jakarta: P3M, 1986), h. 98. 17

Ziemek, Pesantren dalam Pembahasan Sosial, h. 99. 18


(31)

shastra yang berarti buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.19

Dalam pemakaian sehari-hari, istilah pesantren bisa disebut dengan pondok saja atau kedua kata ini digabung menjadi pondok pesantren. Secara esensial, semua istilah ini mengandung makna yang sama, kecuali sedikit perbedaan. Asrama yang menjadi penginapan santri sehari-hari dapat dipandang sebagai pembeda antara pondok dan pesantren.20

2. Sejarah Pondok Pesantren

Dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (Indigenous).21 Sebagai model pendidikan yang memiliki karakter khusus dalam perspektif wacana pendidikan nasional sekarang ini, sistem pondok pesantren telah mmengundang spekulasi yang bermacam-macam. Minimal ada tujuh teori yang mengungkapkan spekulasi tersebut. Teoripertama menyebutkan bahwa pondok pesantren merupakan bentuk tiruan atau adaptasi terhadap pendidikan hindu dan budha sebelum Islam datang ke Indonesia. Teori kedua, mengklaim berasal dari India. Teori ketiga, menyatakan bahwa model pendidikan pondok pesantren ditemukan di Baghdad. Teori keempat, bersumber dari perpaduan Hindu-Budha (pra muslim di Indonesia dan India. Teori kelima, mengungkapkan dari kebudayaan Hindu-Budha dan Arab. Teori keenam, menegaskan dari India

19

Habibullah Bahwi, “Peran Intelektual Pesantren Indonesia dan Hauzah Iran,” artikel

diakses pada 6 Desember 2013

darihttp://citation.itb.ac.id/pdf/JURNAL/KARSA,JurnalSosialdanBudayaKeislaman/Vol%2020,% 20No%201%20(2012)/128-131-1-PB.pdf

20

Qomar, PESANTREN, h. 1. 21


(32)

dan orang Islam Indonesia. Teori ketujuh, menilai dari India, Timur Tengah dan tradisi lokal yang lebih tua.22

Agaknya pesantren terbentuk atas pengaruh India, Arab, dan tradisi Indonesia sebagaimana dimaksudkan teori terakhir. Ketiga tempat ini merupakan arus utama dalam mempengaruhi tebentuknya sistem pendidikan pesantren. Arab sebagai tempat kelahiran Islam mengilhami segala bentuk pengajaran dan pendidikan Islam. India minimal menjadi daerah transit para penyebar Islam masa awal. Sedang Indonesia saat kehadiran pesantren didominasi Hindu-Budha dijadikan pertimbangan dalam membangun sistem pesantren sebagai bentuk akulturasi (acculturation) atau kontak budaya (culture contact).23 Hal ini diperkuat oleh pernyataan Nurcholish Madjid yang mengatakan bahwa lembaga yang serupa pesantren ini sebenarnya sudah ada sejak pada masa kekuasaan Hindu-Buddha. Sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengIslamkan lembaga pendidikan yang sudah ada. Tentunya ini tidak mengecilkan peranan Islam dalam memelopori pendidikan di Indonesia.24

Dikalangan para ahli sejarah terdapat perselisihan pendapat dalam menyebutkan pendiri pesantren pertama kali. Sebagian mereka menyebutkan Syaikh Maulana Malik Ibrahim, atau yang dikenal dengan Syaikh Maghribi dari Gujarat India sebagai pendiri atau pencipta pondok pesantren yang pertama di Jawa. Namun menurut S.M.N. A-attas Maulana Malik Ibrahim itu oleh para ahli dikenal sebagai penyebar Islam pertama di Jawa, yang mengIslamkan wilayah-wilayah pesisir utara Jawa,

22

Qomar, PESANTREN, h. 1o 23

Qomar, PESANTREN, h. 1o. 24


(33)

bahkan berkali-kali mencoba menyadarkan raja Hindu-Budha Majapahit, Vikramavardhana (berkuasa 788-833/1386-1429 agar sudi masuk Islam. Akan tetapi mengingat pesantren yang dirintis Maulana Malik Ibrahim itu belum jelas sistemnya, maka keberadaan pesantrennya masih dianggap spekulatif. Mengenai teka-teki siapa pendiri pesantren pertama kali di Jawa khususnya, agaknya analisis lembaga research Islam (pesantren luhur cukup cermat dan dapat dijadikan pedoman. Dikatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim sebagai peletak dasar pertama sendi-sendi berdirinya pesantren, sedang Raden Rahmatullah (Sunan Ampel) sebagai wali pembina pertama di Jawa Timur. Ia juga mendirikan pusat pendidikan dan pengajaran yang kemudian disebut dengan pesantren Kembang Kuning Surabaya.25

3. Unsur-Unsur Pondok Pesantren

Hampir dapat dipastikan, lahirnya suatu pesantren berawal dari beberapa elemen dasar yang selalu ada di dalamnya. Ada lima elemen pesantren, antara satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Kelima elemen atau unsur tersebut meliputi:

a. Kyai b. Santri c. Pondok d. Masjid

25


(34)

e. Pengajaran kitab-kitab Islam klasik atau yang sering disebut dengan kitab kuning.26

Senanda dengan pendapat di atas, Ziemek menyebutkan bahwa unsur-unsur pesantren yang tersebar luas di Indonesia diantaranya:

a. Kyai sebagai pendiri b. Santri

c. Masjid atau Langgar

d. Asrama untuk pelajar serta ruangan-ruangan belajar.27 4. Jenis-Jenis Pondok Pesantren

Pesantren terbentuk dari hasil usaha mandiri kyai dengan dibantu santri dan masyarakat sekitar, sehingga memiliki berbagai bentuk. Setiap pesantren memiliki ciri khusus akibat perbedaan selera kyai dan keadaan sosial budaya maupun sosial geografis yang mengelilinginya.28

Kemunculan pesantren memang sangat tergantung pada figur seorang kyai sebagai pendirinya. Tanpa kyai, siklus pesantren akan terputus dan akan berjalan timpang, atau bisa saja buyar. Karenanya, kyai menjadi sosok sentral yang paling diagungkan di lingkungan pesantren. Posisinya yang demikian tinggi itu memaksa lembaga ini harus tunduk dan patuh sepenuhnya di bawah kehendak sang kyai, karena otoritas sepenuhnya berada dalam genggamannya. Maka dari itu, jatuh bangunnya sebuah pesantren sangatlah tergantung pada kuat tidaknya seorang kyai memikul beban lembaganya. Karena porsi ketergantungannya pada sosok

26

Amin Haedari, Masa depan pesantren dalam tantangan modernitas dan tantangan komplesitas global (Jakarta: IRD PRESS, 2004), cet. I. h. 25.

27

Ziemek,Pesantren dalam Pembahasan Sosial,h. 100. 28


(35)

kyai begitu tinggi, maka gerak lajunya pun tak jarang tersendat oleh kehendak para kyai. Kondisi inilah yang menjadikan lembaga ini terkesan lamban dalam merespons perkembangan situasi global. Kalau karakter kyainya tertutup, maka dapat dipastikan lembaga pesantren yang diasuhnya juga akan tertutup. Jadi, seperti apapun bentuk pesantren yang kita saksikan sekarang ini tidak bisa lepas dari hasil perjuangan para kyai. Format dan sistem apapun yang akan dikembangkan di dalamnya adalah konsep utuh dari seorang kyai selaku pendirinya.29

Perbedaan corak antar pesantren merupakan hal yang niscaya. Karena setiap kyai mempunyai latar belakang pendidikan dan selera yang berbeda. Pengklasifikasian pesantren bisa dilihat dari berbagai perspektif, diantaranya:

1) Keterbukaan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi a. Pesantren Salafi

Jenis pesantren ini tetap mengajarkan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikannya. Penerapan sistem madrasah untuk memudahkan sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengajarkan pengetahuan umum.

b. Pesantren Khalafi

Jenis pesantren ini telah memasukana pelajaran-pelajaran umum dalam madrasah-madrasah yang

29


(36)

dikembangkan atau membuka tipe-tipe sekolah umum di lingkungan pesantren.

2) Jumlah Santri a. Pesantren Kecil

biasanya mempunyai santri dibawah seribu dan pengaruhnya terbatas pada tingkatan kabupaten.

b. Pesantren Menengah

Biasanya mempunyai seribu sampai dua ribu santri, yang memiliki pengaruh dan menarik santri-santri dari berbagai kabupaten.

c. Pesantren Besar

Biasanya memiliki lebih dari dua ribu yang berasal dari berbagai kabupaten dan propinsi.

3) Sistem Pendidikan

a. Memiliki santri yang belajar dan tinggal bersama kyai, kurikulum tergantung kyai, dan pengajaran secara individual. b. Memilik madrasah,kurikulum tertentu, pengajaran bersifat

aplikasi, kyai memberikan pengajaran secara umum dalam waktu tertentu, santri bertempat tinggal di asrama untuk mengetahui pelajaran agama dan umum.

c. Hanya berupa asrama, santri belajar di sekolah, madrasah, bahkan perguruan tinggi umum atau agama di luar, kyai sebagai pengawas dan Pembina mental.


(37)

a. Pesantren Alat (mengutamakan penguasaan gramatika bahasa Arab)

b. Pesantren Fiqih c. Pesantren Qira’ah d. Pesantren Tasawuf 5) Jenis Santri

a. Pesantren Khusus Anak b. Pesantren Khusus Orang Tua c. Dan pesantren Mahasiswa.30 5. Model Pengajaran di Pesaantren

Pada kebanyakan pesantren salafi (tradisional), metode klasik kegiatan belajar mengajarnya terdiri dari dua bentuk, yakni 1) Sorogan, dan 2) Bandungan (Sunda; di Jawa dikenal dengan istilah bandongan

atau wetonan). Sistem sorogan disebut pula dengan sistem individual (individual learning). Sedangkan, sistem bandungan (bandongan atau wetonan) disebut pula dengan sistem kolektif (collectival Learning atau

together learning). 1) Sistem Sorogan

Sistem sorogan adalah sistem membaca kitab secara individul, atau seorang murid nyorog (menghadap guru sendiri-sendiri) untuk dibacakan (diajarkan) oleh gurunya beberapa bagian dari kitab yang dipelajarinya, kemudian sang murid menirukannya berulang kali. Pada prakteknya, seorang murid mendatangi guru yang akan membacakan

30


(38)

kitab-kitab berbahasa Arab dan menerjemahkannya ke dalam bahasa ibunya (misalnya: Sunda atau Jawa). Pada gilirannya murid mengulangi dan menerjemahkannya kata demi kata (word by word) sepersis mungkin seperti apa yang diungkapkan oleh gurunya.

Sistem ini biasanya diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan al-Qur’án. Dalam sistem tersebut, murid diwajibkan menguasai cara pembacaan dan terjemahan secara tepat, dan hanya boleh menerima tambahan pelajaran bila telah berulang-ulang mendalami pelajaran sebelumnya. Sistem sorogan inilah yang dianggap fase yang tersulit dari sistem keseluruhan pengajaran pesantren, karena di sana menuntut kesabaran kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari sang murid sendiri. Murid seharusnya sudah paham tingkat sorogan ini sebelum dapat mengikuti pendidikan selanjutnya di pesantren. Sistem sorogan juga digunakan di pondok pesantren tetapi biasanya hanya untuk santri baru yang memerlukan bantuan individual.

2) Sistem Bandungan

Bandungan berasal dari kata ngabandungan yang berarti "memperhatikan" secara seksama atau "menyimak". Bandungan

merupakan metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren.

Kebanyakan pesantren, terutama pesantren-pesantren besar

menyelenggarakan bermacam-macam kelas bandungan

atauhalaqohuntuk mengajarkan mulai kitab-kitab elementer sampai tingkat tinggi,


(39)

Sistem bandungan adalah sistem transfer keilmuan atau proses belajar mengajar yang ada di pesantren salaf di mana kyai atau ustad membacakan kitab, menerjemah dan menerangkan. Sedangkan santri atau murid mendengarkan, menyimak dan mencatat apa yang disampaikan oleh kyai. Dalam sistem ini, sekelompok murid mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, dan menerangkan buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang artinya sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru. Penyelenggaraan kelas bandungan dapat pula dimungkinkan oleh suatu sistem yang berkembang di pesantren di mana kyai seringkali memerintahkan santri-santri senior untuk mengajar dalam halaqah. Santri senior yang mengajar ini mendapat titel ustad (guru).

Sistem bandungan (bandongan atau wetonan) dibangun di atas filosofis, bahwa 1) pendidikan yang dilakukan secara berjamaah akan mendapatkan pahala dan berkah lebih banyak dibandingkan secara individual, 2) pendidikan pesantren merupakan upaya menyerap ilmu dan barokah sebanyak-banyaknya, sedangkan budaya "pasif" (diam dan mendengar) adalah sistem yang efektif dan kondusif untuk memperolah pengetahuan tersebut. 3) pertanyaan, penambahan, dan kritik dari sang murid pada kyai merupakan hal yang tidak biasa atau tabu, agar tidak dianggap sebagai tindakan su' al-adab (berakhlak yang tidak baik).31

31

Dadan Rusmana, Sorogan dan Bandungan: Sistem Klasik Pendidikan di Pesantren”

artikel diakses pada 23 Agustus 2013 dari


(40)

Dalam sistem ini sekelompok murid (antara 5 sampai 500)

mendengarkan seorang Guru atau Kyai yang membaca,

menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Setiap murid memperhatikan buku atau kitabnya sendiri dan membuatcatatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang artinya lingkaran murid, atau sekelompok santri yang belajar di bawah bimbingan seorang guru. Metode pengajaran bandungan ini adalah metode bebas, sebab tidak ada absensi santri, dan tidak ada pula sistem kenaikan kelas. Santri yang sudah menamatkan sebuah kitab boleh langsung menyambung ke kitab lain yang lebih tinggi dan lebih besar.

Ada dua macam bentuk materi kitab kuning, yaitu (1) Bentuk nadzm, yang ditulis dalam ritme syair (2) Bentuk essai (natsr) uraian-uraian masalah. Bentuk yang kedua sering merupakan komentar terhadap matn (original text), baik yang berupa essai (natsr) maupun

nadzm, seperti kitab syarh (commentaries) Ibnu 'Aqil terhadap Alfiah, oleh Ibnu Malik, atau berupa essai yang diikuti oleh syawahid (bukti-bukti teoritis) yang ditulis dalam bentuknadzm, atau tanpa keduanya. Dalam mengajarkan kitab yang di dalamnya adanadzm, baik yang

berfungsi sebagai matn ataupun syawahid, Kyai ataupun Guru

menyuruh santri menghafalkan nadzm-nadzm yang ada, kemudian


(41)

dengan bahr (aturan nada dan ritme syair Arab) yang ada setiap kali pengajian akan dilanjutkan.

3) Sistem Musyawarah atau Munadzarah

Pada beberapa pesantren salafiyah yang besar berkembang pula sistem musyawarah atau munadzarah. Para asatidz (guru-guru) ini dapat dikelompokkan ke dalam kelompok yunior (ustad muda), dan yang senior, mereka menjadi anggota kelas musyawarah. Satu dua ustad senior yang sudah matang dengan mengajarkan kitab-kitab besar akan memperoleh gelar kyai muda. Dalam kelas musyawarah sistem pembelajaran berbeda dengan sistem bandongan atau sorogan. Di sini para santri harus mempelajari sendiri kitab-kitab yang ditunjuk. Kyai memimpin sendiri kelas musyawarah seperti dalam forum seminar dan terkadang lebih banyak dalam bentuk tanya jawab, biasanya hampir seluruhnya diselenggarakan dalam wacana kitab klasik. Wahana tersebut merupakan latihan bagi santri untuk menguji keterampilan dalam menyadap sumber-sumber argumentasi dalam kitab-kitab Islam klasik.32

32

Dadan Rusmana, “Sorogan dan Bandungan: Sistem Klasik Pendidikan di Pesantren” artikel diakses pada 23 Agustus 2013 dari http://dadanrusmana.blogspot.com/2012/05/sorogan-dan-bandungan-sistem-klasik.html


(42)

PROFIL AJENGAN SOFWAN ABDUL GHONI DAN PONDOK PESANTREN BAITUL BURHAN A. Profil Ajengan Sofwan Abdul Ghoni

1. Riwayat Hidup

Ajengan Sofwan Abdul Ghoni atau lebih dikenal dengan sebutan Ajengan Wawan beliau dilahirkan pada hari Rabu tanggal 5 September 1973 atau dalam penanggalan Hijriyah bertepatan dengan tanggal 7 Sya`ban 1393 H. di kampung Tegal Jati desa Cibogo Hilir kecamatan Plered kabupaten Purwakarta. Beliau dididik dan dibesarkan dilingkungan pesantren. Ayahnya adalah seorang ulama sekaligus pengasuh pondok pesantren Miftahul Huda Al-Burhani Plered Purwakarta. Perjalanan hidup beliau selalu diwarnai dengan ujian, perjuangan dan pengorbanan. Seperti lautan yang tak pernah sepi dari hembusan angin dan ombak. Meskipun putra seorang kyai dan menurut silsilah keluarga beliau adalah keturunan darah biru, tetapi kehidupannya sangat sederhana. Kesederhanaan itu terlihat dari sikap dan prilaku kesehariannya. Dalam menu makan saja, Ajengan Sofwan Abdul Ghoni kecil bersama keluarganya tak jauh dari ikan asin.1

Ayahnya bukanlah seorang ulama yang punya banyak harta, meski demikian dia seorang yang sangat dermawan dan selalu mengajarkan anak-anaknya untuk berderma. Ajaran itulah yang tertanam dalam diri KH. Sofwan Abdul Ghani sampai sekarang. Tinggal di lingkungan pesantren

1

Wawancara pribadi dengan KH. Sofwan Abdul Ghoni, Karawang, 06 Juni 2014


(43)

membuatnya terbiasa hidup disiplin, terutama dalam hal ibadah. Tidak banyak waktu yang beliau gunakan untuk bermain-main seperti anak-anak kecil lain. Hidup dalam keluarga yang sederhana tidak membuatnya minder atau mengeluh, melainkan beliau sikapi itu dengan penuh keikhlasan. Sejak masuk SD beliau sudah mulai membantu ibunya berjualan es mambo, es yang cukup populer saat itu. Sepulang sekolah beliau menggembala domba. Pernah suatu ketika saat beliau sedang menggembala domba, biasanya domba-domba itu diikat pada sebuah pohon. Tiba-tiba tali itu lepas dan domba yang digembalanya berlarian. Saat mencoba mengejar, tali itu menjerat kakinya sampai beliau terjatuh dan terluka di bagian paha. Sudah lebih dari 36 tahun kejadian itu terjadi, bekas luka itu masih ada dan beliau menjadikan itu sebagai pengingat kenangan masa kecilnya dulu.

Saat duduk di kelas tiga SD beliau pindah ke kota Plered tinggal bersama kakaknya. Disana betul-betul dilatih hidup disiplin, mandiri, dan kerja keras. Bangun tidur jam empat pagi karena harus mengisi bak mandi sampai penuh, maklum pada waktu itu belum ada mesin pompa air jadi masih manual menggunakan ember yang diikat dengan tali dan ditarik melalui katrol. Kegiatan itu dilakukan sampai waktu subuh tiba. Pagi-pagi sebelum berangkat ke sekolah beliau ke pasar terlebih dahulu untuk membantu kakaknya membuka toko. Setelah semua selesai baru kemudian berangkat ke sekolah dengan jalan kaki padahal jarak dari toko kakaknya ke sekolah hampir 4 km. Pulang sekolah langsung ke pasar lagi untuk membantu kakaknya di toko sampai Maghrib dan malam harinya beliau


(44)

harus mengaji sampai jam sembilan malam. Rutinitas seperti itulah yang beliau jalani selama enam tahun, dari kelas tiga SD sampai lulus SMP.

Setelah enam tahun tinggal di kota Plered Purwakarta bersama kakaknya, beliau kembali ke rumah. Karena pada saat itu KH. Burhanudin kondisinya sudah mulai sakit-sakitan dan beliau harus membantu ibunya. Sempat bersekolah di sekolah kesehatan, karena beliau anak yang cerdas, ada salah satu mantri yang bersimpati dan mau membiayai sekolahnya. Namun baru satu tahun sekolah beliau keluar. Keputusan itu bukan tanpa sebab, ia melihat di sekolah puluhan bahkan ratusan calon mantri yang siap dicetak dan kebanyakan dari mereka adalah anak mantri. Dalam hati kecilnya bertanya, “ kalau calon mantri sudah sangat banyak, lalu siapa yang akan menjadi ulama kalau anak kyainya juga jadi mantri?”. Sejak saat itulah meskipun usianya masih remaja beliau mengambil keputusan yang cukup berani dengan keluar dari sekolah dan meminta izin kepada ayahnya untuk menempuh jalur pedidikan pesantren.

Tidak lama setelah niatan itu diutarakan, KH. Burhanudin wafat. Kejadian itu membuat beliau sangat terpukul dan merasa sangat sedih, tetapi karena itu juga semangat dan tekat beliau untuk sungguh-sungguh belajar ilmu agama di pesantren semakin kuat. Tepat setelah 40 hari ayahnya wafat beliau berangkat ke pesantren. Pesantren yang pertama yaitu pondok pesantren Baitul Hikmah Tasik Malaya pimpinan KH. Saefuddin Zuhri.

Kemampuan ilmu nahwu dan sorof sebagai ilmu dasar yang wajib dikuasai untuk memahami kitab-kitab klasik atau bahasa Arab secara


(45)

umum beliau dapatkan di sini. Sehingga kemudian pesantren inilah yang menjadi stereotype bagi pesantren Baitul Burhan yang beliau dirikan. Beliau terkenal dengan kecerdasan dan kemampuan menghafalnya. Sehingga dalam dalam kurun waktu empat tahun, beliau sudah menguasai ilmu-ilmu yang dipelajarinya secara mendalam dan itu mendapatkan legitimasi dari KH. Saefuddin Zuhri sebagai pimpinan pesantren. Selain tempat menimba ilmu, di sinilah beliau memperoleh prinsip-prinsip hidup yang beliau pegang teguh. beliau juga sempat menimba ilmu dibeberapa pesantren sebelum akhirnya mukim (menetap di rumah dan mengajar santri di pesantren ayahnya). Kegigihan, Ketulusan, kejujuran, dan sekaligus wibawa KH. Saefuddin Zuhri beliau warisi. Terbukti ketika beliau sudah mukim beliau sangat disegani dan di hormati oleh santri dan pengurus pesantren. Hal itulah yang kemudian memunculkan kecemburuan sosial dikalangan pimpinan pesantren yang notabene adalah saudaranya sendiri.2

Untuk menghindari konfilik keluarga dan untuk menjaga kemaslahatan, akhirnya beliau mengalah sehingga pada tanggal 17 Rojab 1420 H. 26 Oktober 1999 M. Beliau hijrah ke Karawang. Sebetulnya masalah utamanya adalah karena adanya perbedaan pandangan mengenai konsep pendidikan pesantren yang ingin diterapkan. Saat itu ada tiga dewan kyai, diantaranya kakak beliau KH. Jamaludin, adik beliau KH. Dadah Darulfalah, dan beliau sendiri. Ketiganya punya latar belakang keilmuan dari pesantren yang berbeda, karena itulah masing-masing punya misi sebagaimana yang mereka dapatkan di pesantren tempat mereka

2


(46)

belajar. Kejadian inilah yang kemudian menjadi titik balik kehidupan ajengan Sofwan Abdul Ghani.

Karawang seperti surga yang Allah Siapkan buatnya. Karena disinilah beliau mendapatkan lebih dari apa yang diharapkan. Kurang dari setahun beliau beradaptasi di lingkungan yang baru, bersilaturahmi dengan tokoh masyarakat dan tokoh agama dalam rangka menjalankan misi dakwah yang beliau bawa. Akhirnya beliau mampu membangun sebuah pondok pesantren. Dengan nama Baitul Burhan tepat pada tahun 1999. Setelah mendapatkan dukungan keluarga dari istrinya, tokoh masyarakat, jamaah, dan masyarakat sekitar. Keberadaan pesantren merupakan langkah beliau dalam upaya menginstitusionalisasikan dakwah yang wujudnya berupa pondok pesantren.

Seiring berjalannya waktu nama ajengan Sofwan Abdul Ghani semakin dikenal oleh masyarakat sekitar juga kalangan para ulama di kota Karawang sebagai sosok kyai muda yang potensial, punya ketegasan, dan independen. Selain aktifitasnya di pondok pesantren, beliau juga kerap kali mengisi pengajian-pengajian baik di sekitar Karawang maupun di daerah lain. Atas kepercayaan masyarakat dan alim ulama setempat, beliau kemudian dipercaya menjadi ketua MUI di kecamatan Tempuran dan menjadi anggota dewan fatwa MUI kabupaten Karawang. Hal itu semakin memudahkan beliau berdakwah dan memberi ruang lebih untuk jalan dakwahnya.

Baik dalam memimpin pondok pesantren maupun MUI beliau sangat tegas dan betul-betul teliti dalam setiap mengambil keputusan.


(47)

Beliau juga termasuk orang yang teguh memegang prinsip hidup dan itu ditunjukan dalam sikap kesehariannya. Pernah ada perwakilan dari lembaga international yaitu Qatar Foundation yang datang menawarkan dana hibah untuk pembanguna pondok pesantren. Nilainya mencapai milyaran rupiah. Awalnya diterima dengan baik, tetapi setelah ajengan Sofwan Abdul Ghani tau bahwa Qatar Foundation menjadi salah satu sponsor utama klub-klub sepakbola terkenal di Eropa seperti FC. Barcelona. Akhirnya bantuan dana hibah itu tidak diterima. Beliau tidak ingin pesantren dibangun dengan dana dari sumber yang tidak jelas. Sebelumnya pernah juga ada bantuan dari salah satu lembaga di Arab Saudi, namun karena ada syarat yang bertentangan dengan prinsip yang beliau pegang, bantuan itupun di tolaknya. Kejadian-kejadian itu tentunya menunjukan bagaimana ketegasan dan keteguhan sikap yang beliau miliki. Nama besar tidak membuatnya sombong, beliau tetap hidup sederhana sebagaimana yang diajarkan ayahnya dulu. Meskipun ponpes Baitul Burhan sudah besar, tetapi hingga kini beliau tidak punya rumah yang megah. Tak jauh berbeda dari ruangan tempat tinggal para santri, Sehingga tidak jarang orang tua santri kebingungan mencari rumah kyai saat berkunjung ke pesantren. Seandainya beliau mau bisa saja membangun rumah yang megah dan tentunya layak dengan kondisi pesantren sebesar itu, tapi tidak beliau lakukan. Karena menurutnya seperti apapun tempat tinggal kita, saat mata sudah terpejam rasanya sama saja.3

3


(48)

2. Riwayat Keluarga

Ajengan Sofwan Abdul Ghoniadalah putra ke lima dari enam bersaudara. Hasil pernikahan KH. Burhanudin dengan istri ke empatnya yaitu ibu nyai Patonah. jika dilihat dari semua istri KH. Burhanudin, Ajengan Sofwan Abdul Ghonimerupakan anak ke-12 dari 13 bersaudara. Pernikahan pertama KH. Burhanudin bersama ibu Engkar Sukarsih dikarunia tiga orang anak diantaranya ibu Imas Juwairiyah, ust. Asep Burhanudin, dan ustadzah Zulaeha. Pernikahan ke-dua dengan ibu Danci dikaruniai satu orang anak yaitu Neneng Armilah pernikahan ketiga yaitu dengan ibu Nonang dikaruniai tiga orang anak diantaranya Euis Mariyah, Dadang Bustomi, Endang Abdul Aziz, Aceng Sihabudin Dan yang terakhir pernikahannya dengan ibu nyai patonah dikarunia enam orang anak yaitu Hj Popon Solihah, Hj. Lilis Badriyah, KH. Jamaludin, KH. Sofwan Abdul ghoni, dan KH. Dadah Darul Falah.4

Selain seorang ulama, KH. Burhanudin juga seorang pejuang kemerdekaan. Beliau adalah salah satu pimpinan Hizbullah yang bermarkas di gunung Malangbong Garut. pada saat itu zaman pendudukan jepang di Indonesia.

Ajengan Sofwan Abdul Ghoni menikah diusia 25 tahun dengan ustadzah Imas, yang juga salah satu santrinya saat di pondok pesantren Miftahul Huda Al-Burhani. Hingga saat ini beliau dikaruniai tujuh orang anak. Namun anak pertamanya meninggal dunia saat berusia 1 tahun. 3. Riwayat Pendidikan

4


(49)

a. Pendidikan Formal

1) SDN Cibogo Hilir 1 (1979 - 1985)

Ada kepercayaan yang berkembang di masyarakat bahwa kalau anak kyai itu cerdas-cerdas. Terlepas apakah itu benar atau tidak, hal itu terjadi pada diri KH. Sofwan Abdul Ghoni. Sejak sekolah SD beliau selalu mendapat rangking pertama mulai dari kelas satu sampai kelas enam. Selain itu juga selalu menjadi ketua kelas. Beliau sekolah di SDN Cibogo Hilir 1 kecamatan Plered kabupaten Purwakarta.

2) SMP Negeri 1 Plered Purwakarta (1985 - 1988)

Seperti halnya saat di SD, di SMP pun beliau selalu menjadi juara pertama. Walaupun dalam kesehariannya beliau hampir tidak punya waktu untuk belajar, karena harus membantu kakaknya di pasar. Selain kecerdasan yang beliau miliki, jiwa kepemimpinan dengan karakter yang kuat sudah mulai beliau tunjukan. Jika saat SD beliau selalu menjadi ketua kelas, di SMP beliau menjadi ketua OSIS selama 2 periode. Yaitu saat duduk di kelas satu dan kelas dua. Saat kelas satu beliau memberanikan diri mengikuti konvensi bakal calon ketua OSIS. Padahal yang lain umumnya dari kelas dua. Dalam beberapa tahapan konvensi beliau selalu unggul. Hingga akhirnya lolos menjadicalon ketua OSIS. Tanpa diduga pada saat pemilihan ketua OSIS beliau terpilih. Untuk pertama kalinya dalam sejarah SMP Negeri 1 Plered ketua OSIS berasal


(50)

dari kelas satu. Tentunya faktor karakter kepemimpinan yang kuat dan kecerdasan yang beliau miliki membuatnya dipercaya menjadi ketua OSIS. Pada periode berikutnya saat duduk di kelas dua, beliau terpilih kembali menjadi ketua OSIS. Kejadian yang jarang ditemukan dalam sejarah OSIS.

Beliau dikenal oleh semua siswa mulai dari kelas satu sampai kelas tiga juga oleh semua stakeholder sekolah, bahkan sekolah lainpun tak jarang yang mengenalnya. Namun sayang karena faktor biaya, setelah lulus SMP beliau tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya.

Selepas SMP beliau dirumah membantu orangtuanya. Kadang juga jualan minyak tanah atau ikut jualan sayuran bersama ibunya. Malam harinya beliau ikut mengaji bersama para santri di pondok pesantren. Rutinitas itulah yang beliau lakukan selama satu tahun. Sampai akhirnya ada seorang mantri yang dermawan yang menyekolahkan beliau ke sekolah kesehatan SPK Cimahi. Namun belum genap satu tahun beliau berhenti. Karena saat itu beliau mulai tertarik pada dunia pesantren.

b. Pendidikan Nonformal

1) Pondok Pesantren Baitul Hikmah (Haur Kuning) Tasikmalaya (1990 -1994)

Pesantren pertama tempat beliau belajar adalah pondok pesantren Baitul Hikmah (Haur Kuning) Tasikmalaya


(51)

pimpinan KH. Saefudin Zuhri. Kehidupan pesantren sudah sangat familiar buat KH. Sofwan Abdul Ghoni, karena saat di rumahpun tinggal di lingkungan pesantren. Di pesantren ini kajian ilmu-ilmu alat secara khusus lebih diperdalam. Namun demikian bukan berarti cabang-cabang ilmu keagamaan lainnya tidak dipelajari. Seperti ilmu tauhid, fiqih, tasawuf, mantik, dan lain sebagainya. Beliau termasuk santri yang cerdas dan kuat hafalannya. Sehingga untuk menhafal kitab Jurumiyah, Yaqulu, Imriti, dan Alfiyah relatif lebih cepat dibandingkan dengan rekan-rekannya. Tidak hanya hafal matan-nya saja, beliau juga memahami makna dan penjelasan dari setiap kata dan kalimatnya. Hanya dalam kurun waktu empat tahun setengah, kemampuannya dalam ilmu-ilmu alat sudah mumpuni, begitupun cabang ilmu-ilmu yang lain. Hal itu mendapatkan pengakuan dari KH. Saefudin Zuhri sebagai pimpinan pondok pesantren.

2) Pondok Pesantren Cikalama Cicalengka

3) Pondok Pesantren Al Hidayah Warudoyong Sukabumi5 B. Profil Pondok Pesantren Baitul Burhan

1. Sejarah

Pondok Pesantren Baitul Burhan dibangun pada akhir tahun 1999. Bertempat di kp. Jarakah 02 RT. 05/02 desa Lemahduhur kecamatan Tempuran kabupaten Karawang.6 Nama Baitul Burhan diambil dari dua

5

Wawancara pribadi dengan KH. Sofwan Abdul Ghoni, Karawang, 06 Juni 2014 6


(52)

nama pesantren. Baitul diambil dari nama depan ponpes Baitul Hikmah Haur Kuning. Yaitu pesantren pertama beliau menimba ilmu. Kemudian Burhan diambil dari nama ponpes Miftahul Huda Al-Burhani, yaitu ponpes milik ayahnya. Maka jadilah nama Baitul Burhan. Pesantren ini pada awalnya berdiri di tanah seluas 1240 m2 dan hanya memiliki lima asrama tiga diantaranya asrama putra dan dua asrama putri, satu majlis dan satu rumah kyai yang letaknya diantara asrama putra dan putri. Tipe bangunan yang juga ditemukan di pesantren lain pada umumnya. Namun jika kita biasa menemukan masjid sebagai pusat pendidikan di lingkungan pesantren, tetapi tidak dengan ponpes Baitul Burhan. Untuk sementara masjid yang jaraknya tidak terlalu jauh dari lingkungan pesantren dijadikan tempat untuk keperluan shalat berjamaah atau acara-acara keagamaan lainnya.

Cikal bakal berdirinya ponpes Baitul Burhan diawali dari hijrahnya Ajengan Sofwan Abdul Ghoni dari Plered Purwakarta ke kampung halaman istrinya yaitu ustadzah Imas di kp. Jarakah desa Lemahduhur kecamatan Tempuran kabupaten Karawang. Saat tinggal di Plered beliau menjadi salah satu pengajar di ponpes Miftahul Jannah, yaitu ponpes milik ayahnya KH. Burhanudin. Ustadzah Imas adalah salah satu santri putri di pesantren itu, yang notabene adalah santri beliau juga. Namun karena ada konflik internal disebabkan adanya perbedaan pandangan mengenai konsep pedidikan pesantren, akhirnya Ajengan Sofwan Abdul Ghonimemutuskan untuk hijrah ke Karawang Jawa Barat.


(53)

Ditempat yang baru untuk sementara beliau bersama anak dan istri tinggal di rumah mertuanya yaitu H. Dasman. Semangat dakwahnya semakin berkobar, apalagi melihat kondisi masyarakat sekitar yang jauh dari nilai-nilai keislaman. Banyaknya praktek-praktek kurafat, anak-anak muda jauh dari masjid, tidak pernah terdengar ada pengajian. Kurang lebih selama setahun sejak hijrah dari Tegal Jati Plered Purwakarta beliau beradaptasi dengan lingkungan dan bersosialisasi dengan masyarakat, melakukan pendekatan kepada tokoh agama dan tokoh masyarakat. Kemudian atas dukungan dari keluarga dan keinginan beliau untuk membuat lembaga pendidikan Islam sehingga kegiatan dakwah yang selama ini dilakukan ditempat-tempat terpisah bisa disatukan dalam satu tempat. Atas dasar itulah akhirnya beliau memutuskan untuk membangun pondok pesantren. Berawal dari sebidang tanah wakaf keluarga, beliau mulai merintis pembangunan pondok pesantren. Sejak saat itu beliau bekerja keras mencari dana dengan banyak menemui para donatur lewat jaringan keluarga, jamaah, sahabat-sahabatnya saat belajar di pesantren, dan cara-cara lainnya. Namun beliau cukup selektif dan teliti dalam menerima sumber pendanaan, hal itu dilakukan agar pondok pesantren yang beliau bangun bebas dari kepentingan apapun. Sehingga kegiatan dakwah bisa dilakukan dengan maksimal.

Seiring berjalannya waktu, bangunan pesantren mulai berbentuk. Walaupun masih sangat sederhana. Namun demikian kegiatan-kegiatan pengajian sudah berjalan dan nuansa pesantren sudah mulai dirasakan oleh masyarakat sekitar. Sehingga banyak bapak-bapak dan ibu-ibu yang


(54)

mengikuti pengajian di pesantren. Awalnya hanya masyarakat kp. Jarakah, tetapi lambat laun banyak jamaah yang datang dari luar desa, kecamatan bahkan luar kabupaten. Sungguh perkembangan dakwah yang sangat pesat.

Jumlah santri mukimin (santri yang tinggal dan menetap) selalu stabil dan cendrung bertambah. Ditahun pertama ada sekitar 20 santri. Berikutnya dalam rentang waktu 1999-2003 M. Jumlah santri mukimin putra-putri mencapai 100 orang. Kebanyakan dari mereka berasal dari luar daerah. Adapun penduduk sekitar kebanyakan hanya mengikuti pengajian di sore hari saja, atau dalam istilah pesantren dikenal dengan sebutan santri kalong. Jumlahnya sekitar 90 orang, terdiri dari anak-anak usia SD, SMP, dan SMA.

Untuk kegiatan-kegiatan internal pesantren Ajengan Sofwan Abdul Ghoni dibantu tiga orang muridnya, yaitu ust. Rahmat Hidayatussalam, ust. Ridwandul Hakim, dan ust. Andang Hidayat. Ketiganya adalah santri beliau saat di ponpes Miftahul Huda Al-Burhani Plered Purwakarta. Mereka bertiga adalah orang yang sangat berjasa dalam sejarah perjalanan ponpes Baitul-Burhan dimasa-masa awal. Ketiganya memegang peranan penting dalam proses perkembangan ponpes Baitul Burhan. Mereka diberi tanggungjawab sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Ust. Rahmat Hidayatussalam dipercaya sebagai dewan pendidikan, karena kecerdasan dan kemampuannya dalam hal keilmuan khususnya ilmu nahwu dan sorof. Ust. Ridwanul Hakim dipercaya sebagai arsitek pesantren dan segala hal yang berkaitan dengan


(55)

itu. Beliaulah yang menjadi creator bangunan pesantren Baitul Burhan dari awal hingga sekarang. Padahal tidak punya latar belakang pendidikan sebagai arsitek, bahkan beliau hanya mengenyam pendidikan formal di tingkat dasar saja. Tetapi kemampuanya dalam dbidang konstruksi patut diacungi jempol.. Kemudian ust. Andang Hidayat dipercaya sebagai keamanan sekaligus humas pesantren. Beliaulah yang menjaga stabilitas di internal pesantren dan menjaga keharmonisan pesantren dengan masyarakat sekitar. Sebagai bentuk penghargaan pesantren terhadap jasa-jasanya, nama mereka kemudian diabadikan menjadi salah satu nama gedung di ponpes Baitul Burhan. Yaitu gedung Assalam, al-Hidayah, dan al-Hakim.

Tahun 2014 ponpes Baitul Burhan menginjak usia 15 tahun. Usia yang relatif muda untuk ukuran pondok pesantren. Tetapi perkembangannya begitu pesat. Apalagi bila dibandingkan dengan pondok-pondok pesantren di sekitar yang jumlahnya mencapai puluhan. Karena itu ponpes Baitul Burhan masuk 4 besar dalam kategori pesantren dengan tingkat perkembangan tercepat di Jawa Barat.

Ponpes Baitul Burhan merupakan jenis pesantren salafi yang fokus keilmuannya lebih pada ilmu-ilmu alat. Pola belajarnya pun masih menggunakan pola tradisional khas pesantren salafi seperti bandungan dan sorogan. Kitab-kitab islam klasik (kitab kuning) dijadikan sebagai sumber utamanya. Secara umum semua jenis keilmuan islam seperti fiqih, ushul fiqih, tauhid, tasawuf, tajwid, dan hadits itu dipelajari. Tetapi ilmu-ilmu


(56)

yang berkaitan dengan gramatika bahasa Arab seperti nahwu dan sorof itu mendapatkan porsi yang lebih dibandingkan dengan yang lain.

Kedepan ponpes Baitul Burhan akan menyelengarakan pendidikan formal tingkat SLTP dan SLTA. Ini dilakukan sebagai upaya pesantren menjawab tantangan zaman. Selain itu banyak permintaan dari masyarakat, wali-wali santri, dan tokoh masyarakat tentang hal itu. Untuk tetap menjaga konsep pesantren salafi, pesantren dan sekolah dipisahkan secara kelembagaan. Jadi kegiatan pesantren tetap berjalan dan dilakukan seperti biasa.7

Saat ini ponpes Baitul Burhan memiliki dua lokasi yang jaraknya berdekatan masing-masing 1240 M2 (lokasi awal pesantren) dan 6800 M2 (lokasi yang baru). Rencananya lokasi pertama untuk pesantren putri, poskestren, dan sekretariat pesantren. Lokasi kedua untuk pesantren putra, masjid, gedung sekolah (MTs dan Aliyah), ruang pertemuan, area kegiatan usaha pesantren, dan perumahan dewan pengajar. Lokasi yang kedua ini masih dalam proses pembangunan, namun demikian ada beberapa bangunan yang sudah rampung diantaranya perumahan dewan guru, asrama untuk santri putra, dan bangunan sekolah. Secara keseluruhan kira-kira baru sekitar 75% proses pembangunan itu berjalan. Seiring dengan itu, jumlah santri mukimin (santri yang tinggal dan menetap) terus meningkat dari tahun ketahun. Ditahun 2014 terhitung jumlah santri ponpes Baitul-Burhan mencapai 320 orang. Adapun jumlah jamaah pengajian bapak-bapak dan ibu-ibu mencapai 350 orang.8

7

Wawancara pribadi dengan KH. Sofwan Abdul Ghoni, Karawang. 06 Juni 2014. 8


(57)

3) Visi dan Misi

Berilmu Amaliyah Beramal Ilmiyah9 4) Struktur Kepengurusan

 Pimpinan / Pengasuh : KH. Sofwan Abdul Goni

 Sekretaris : Ust. Ridwannul Hakim

 WakilSekretaris : Ust. Asep Mulyana

 Bendahara I : Ust. Muhamad Zakaria

 Bendahara II : H. Muntasib

Staf Pengajar (Badal Kyai) : 1. Ust. Asep Hasan Muttaqin 2. Ust. Asep Umar Faruq 3. Ust. Ajang

4. Ust. M. Adi Masruhudin 5. Ust. Hafiduddin

6. Ust. Muhamad Husen Suyuti 7. Ustadzah Imas Maesaroh 8. Ustadzah Siti Nurlaelawati Seksi-seksi

A. Rois : Ust. M. Adi Masruhudin

Pendidikan : Ust. Asep H.Muttaqin Keamanan : Ust. Amir

Kesehatan : Ust. Yamin

Sekretaris : Ust. Saepul Hidayat

9


(58)

Bendahara : Ust. Hafiduddin Kebersihan : Ust. Imat Rohimat Logistik : Ust. Khoirul Rizal Keterampilan : Ust. Syarif

Humas : Ust. Ujang Asmadi

B. Roisah : Ustadzah Siti Nurlaelawati Pendidikan : Ustadzah Sodiah

Keamanan : Ustadzah Lilis Sofiyatunnisa Kesehatan : Ustadzah Nadlirotussa’diyah Sekretaris : Ustadzah Aliyah

Bendahara : Ustadzah Nunung Nurhasanah Kebersihan : Ustadzah Imas Siti Masitoh Keterampilan : Ustadzah Siti Nurohmah10

10


(59)

5) Sistem Pembagian Kelas a. Kelas Ibdtida (دتبإا(

Adalah kelas bagi santri yang baru masuk. Materi yang dipelajarinya adalah membaca al-Qur’an, hafalan do’a sehari-hari, surat-surat pendek, dan bacaan shalat. Cara belajarnya lebih banyak menggunakan sistem sorogan. Mereka dibagi menjadi beberapa kelompok, kemudian santri-santri senior yang sudah mendapat kepercayaan menjadi pembimbingnya.

b. Kelas Jurumiyah )ةيمورج(

Ini adalah tingkatan kedua bagi para santri yang lulus dari kelas ibtida. Di kelas ini mereka mulai dikenalkan dengan kitab-kitab kuning dasar dari semua cabang ilmu. misalnya kitab Sulamunajat, Safinatunnaja, Fathul Qorib, Tijan Daruri, Ta’limal Muta’alim, dan yang lainnya. Tetapi ada kitab wajib yang harus mereka hafal, yaitu kitab Jurumiyah (ةيمورج), Nadhom Maqshud Yaqulu (دوصقملا مظن نتم), dan Nadhom Imriti (ىطيرمعلا مظن(. Ketiga kitab ini menjadi syarat bagi mereka untuk bisa naik ke kelas Alfiyah (ة يفلا).

Proses belajarnya lebih banyak menggunakan sistem sorogan. Terutama saat mempelajari ilmu Nahwu dan Sorof, baik hafalannya maupun pembahasan sarh-nya. Dalam proses sorogan santri dibagi menjadi beberapa kelompok kecil (halaqah) dengan seorang guru sebagai pembimbing. Namun dalam kesempatan lain mereka


(1)

C. Aktivitas Manajemen Dakwah (Menjadi Ketua MUI)

Pada tahun 2004 Ajengan Sofwan Abdul Ghoni diberi kepercayaan menjadi ketua MUI kecamatan Tempuran. Pengangkatan beliau merupakan hasil kesepakatan para ulama setempat. Beliau sudah menjabat selama tiga periode kepengurusan dan akan berakhir tahun 2016. Selain menjabat sebagai ketua MUI kecamatan Tempuran, beliaupun menjadi anggota dewan fatwa MUI kabupaten Karawang. Berkat kepemimpinannya, MUI kecamatan Tempuran terasa lebih hidup dibandingkan dengan yang lain. Sehingga tak heran jika MUI Tempuran selalu dijadikan rujukan. Baik karena program kerjanya yang inovatif maupun fasilitas infrastrukturnya yang lengkap. Selama mejabat banyak program dan kebijakan yang dilakukan diantaranya: 1. Pembentukan Forum Dakwah

Kegiatan ini melibatkan juru-juru dakwah seperti para mubaligh, guru nagaji, dan tokoh agama. Mereka dikumpulkan dalam satu forum untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan dakwah khususnya dakwah dalam pengertian tabligh. Tujuannya agar ada kesepahaman dan keseragaman dalam berdakwah termasuk di dalamnya pendalaman materi dakwah. Sehingga kegiatan dakwah betul-betul dilakukan dengan cara yang baik dan dilakukan oleh orang-orang yang kompeten.

Pelaksanaanya dilakukan dua kali dalam setahun, waktunya tidak ditentukan namun salah satunya dilakukan menjelang bulan Ramadhan. Peserta yang terlibat biasanya sekitar 40 orang dan Semua keperluan acara ini difasilitasi oleh MUI.


(2)

58

2. Bahtslul Masail

Bahtslul Masail adalah kegiatan membahas persoalan-persoalan yang berhubungan dengan keagamaan yang muncul di tengah masyarakat atau yang ramai diperbincangkan. Kegiatan ini diikuti oleh para ulama dan para pimpinan pesantren di kecamatan Tempuran. Selain tempat untuk berdiskusi, berdebat, dan musyawarah, kegiatan ini juga dilakukan sebagai ajang silaturahmi diantara tokoh agama. Biasanya dilakukan dua bulan sekali, tetapi jika ada persoalan yang muncul, saat itu juga kegiatan ini dilakukan.

3. Program Pelatihan dan Pemberdayaan Remaja Mesjid (P3RM).

Di kecamatan Tempuran ada sekitar 15 kelompok remaja mesjid. Ajengan Sofwan Abdul Ghoni melihat bahwa mereka adalah sebuah potensi besar dalam dakwah islamiyah. Karena mereka bisa masuk ke dalam segmen terpenting dalam kehidupan masyarakat, yaitu pemuda dan remaja. Karenanya perlu ada pelatihan khusus bagi mereka. Maka Ajengan Sofwan Abdul Ghoni melalui MUI kecamatan Tempuran membuat program P3RM.

Kegiatan ini diadakan setiap bulan Muharam dan berlangsung selama 3 hari. Isi kegiatannya berupa pengajian, diskusi, dan penampilan kreatifitas dari masih-masing kelompok. Banyak kalangan yang mendukung dan mengapresiasi kegiatan ini, mulai dari pemerintahan baik tingkat desa maupun kecamatan, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan masyarakat tempuran pada umumnya.5

5


(3)

A. Kesimpulan

1. Dakwah Ajengan Sofwan Abdul Ghoni diklasifikasikan menjadi tiga bentuk, pertama aktivitas tabligh. Jenis kegiatannya mengajar di pesantren, mengisi pengajian bapak-bapak dan ibu-ibu di dalam dan di luar pesantren, dan ceramah keagamaan. Kedua aktivitas pengembangan masyarakat. Kegiatanya berupa usaha produksi susu sari kedelai murni, penyelenggaraan Poskestren, dan pertanian. Ketiga aktivitas manajemen dakwah yaitu dengan menjadi ketua MUI kecamatan Tempuran.

2. Dakwah Ajengan Sofwan Abdul Ghoni secara umum menggunakan 2 pendekatan dakwah, yaitu pendekatan kultural dan pendekatan struktural. Pendekatan kultural digunakan pada kegiatan yang bersifat seremonial

seperti perayaan maulid nabi, muharoman, nuzulul qur’an, dan saat

ceramah. Adapun pendekatan struktural lebih banyak digunakan dalam kegiatan pengembangan masyarakat dan manajemen dakwah. hal itu dilakukan Karena mad’u sebagai central of dakwah yang kita hadapi memiliki banyak keberagaman dalam hal budaya, tingkat pendidikan, status sosial, ekonomi, usia, dan jenis kelamin.

3. Kehadiran pondok pesantren Baitul Burhan memiliki peran penting dalam kegiatan dakwah Ajengan Sofwan Abdul Ghoni. Menjadi tempat kegiatan belajar santri, kegiatan pengajian untuk masyarakat umum, kegiatan usaha, kegiatan pelayanan kesehatan, dan kegiatan-kegiatan dakwah lainnya. Selain itu ponpes Baitul Burhan mampu menyatukan


(4)

60

tokoh-tokoh masyarakat, tokoh agama, dan pemerintah untuk sama-sama berjuang mendukung kegiatan dakwah.

B. Saran

1. Penelitian ini membahas aktifitas-aktifitas dakwah yang dilakukan Ajengan Sofwan Abdul Ghoni secara umum, sehingga hasilnya tidak begitu mendalam. Kedepan bagi peneliti yang berminat membahas hal yang sama, mungkin akan lebih menarik jika penelitiannya lebih difokuskan pada jenis aktifitas dakwah tertentu. Misalnya aktifitas dakwah

bil al-hal nya saja. Karena mungkin hasilnya akan lebih fokus dan mendalam. Selain itu penulis juga tidak menggunakan perspektif keilmuan lain yang mungkin berkaitan, sehingga tidak ada perbandingan.

2. Sejauh pengamatan penulis ponpes Baitul Burhan sudah melakukan peran dan fungsinya dengan sangat baik. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan misalnya saja persoalan dokumentasi pesantren yang sangat minim. Perlu ada upaya pembuatan dan pengelolaan dokumentasi secara lengkap agar tidak terlupakan sejarah di masa-masa yang akan datang.


(5)

61

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Samsul Munir. Ilmu Dakwah. Jakarta: AMZAH, 2009.

Aziz, Jumu’ah Amin Abdul. Fiqih Dakwah. Solo: PT. Era Adi Citra Intermedia, 2011.

Haedari, Amin. dkk. Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas dan Komplesitas Global. Jakarta: IRD PRESS, 2005.

Hasanudin. Manajemen Dakwah. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.

Ismail, A. Ilyas dan Hotman, Prio. FILSAFAT DAKWAH: Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam. Jakarta: Prenada Media Group, 2011.

Madjid, Nurcholish. Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina, 1997.

M. Munir. Metode Dakwah. Jakarta: Prenada Media Group, 2009. Natsir, Muhammad. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998. Omar, Toha Yahya. Ilmu Dakwah, Jakarta: Widjaya, 1985.

Qomar, Mujamil. PESANTREN: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta: Penerbit Erlangga,

Saputra, Wahidin. Pengantar Ilmu Dakwah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011.

Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1997.

Silalahi, Ulber. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama, 2009. Soehartono, Irwan. Metode Penelitian Social. Bandung: Remaja Rosdakarya,

2004.

Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: ALFABETA, 2010.

Tamam, Nurul Badru. Dakwah Kolaboratif Tarmizi Taher. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2005.

Ziemek, Manfred. Pesantren Dalam Perubahan Sosial. Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), 1986.


(6)

62 Sumber lain:

Bahwi, Habibullah. Peran Intelektual Pesantren Indonesia dan Hauzah Iran. Artikel diakses pada 6 Desember 2013 dari http://citation.itb.ac.id/pdf/ JURNAL/KARSA,JurnalSosialdanBudayaKeislaman/Vol%2020,%20No%2 01%20(2012)/128-131-1-PB.pdf

Dokumen pondok pesantren Baitul Burhan, profil dan Susunan pengelola pondok pesantren Baitul Burhan.

Draf Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1 tahun 2013 tentang pedoman penyelenggaraan dan pembinaan Pos Kesehatan Pesantren, diakses pada 13 Agustus 2014 dari http://www.djpp.kemenkumham.go.id /arsip/bn/2013/bn163-2013lamp.pdf

Hardiyanti, Yati. Arti, Hakekat, dan Dasar Pendidikan artikel diakses pada 10 September 2014 dari http://haedarakib.files.wordpress.com/2012/01/arti-hakekat-dan-dasar-pendidikan.pdf

Rusmana, Dadan. Sorogan dan Bandungan: Sistem Klasik Pendidikan di Pesantren artikel diakses pada 23 Agustus 2013 dari http://dadanrusmana. blogspot.com/2012/05/sorogan-dan-bandungan-sistem-klasik.html

Wawancara pribadi dengan KH. Sofwan Abdul Ghoni, Karawang. 06 Juni dan 04 Juli 2014.