commit to user
B. Kerangka pemikiran
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Penyelidikan
diatur oleh KUHAP
dilaksanakan oleh
Kepolisian Terjadi tindak pidana diatur oleh KUHP
Tindak pidana khusus diatur dalam Undang-Undang tersendiri
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 Penyidikan
diatur oleh KUHAP
dilaksanakan oleh
Kepolisian Kejaksaan
Tindak pidana korupsi diatur oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Sinkronisasi hukum kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU Kepolisian, UU
Kejaksaan, KUHAP, UU KPK dan UU Tipikor guna menemukan keselarasan dan keserasian kewenangannya
commit to user
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana
Korupsi dalam UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Kewenangan penyelidikan dan penyidikan dalam penanganan tindak pidana korupsi dimiliki oleh beberapa lembaga negara antara lain:
Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi KPK, sedangkan pengaturan mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan
terhadap perkara tindak pidana korupsi diatur didalam beberapa peraturan perundang-undangan antara lain: Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian RI, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP,
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
1. Pengaturan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak
Pidana Korupsi dalam UU Kepolisian
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, salah satu tugas dan wewenang Kepolisian yaitu
melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap suatu tindak pidana. Hal ini termuat di dalam Pasal 1 angka 8 sampai dengan 13, yaitu :
a. Penyelidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan
penyelidikan. b. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari
dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana
commit to user
guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
c. Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
d. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang berdasakan peraturan perundang-undangan ditunjuk
selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang
menjadi dasar hukumnya masing-masing. e. Penyidik Pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang
tertentu dalam melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang.
f. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Kepolisian merupakan segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai tugas-tugas pokok tercantum di dalam Pasal 13, antara lain:
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, b. Menegakkan hukum, dan
c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Didalam tugas pokok penegakkan hukum, Kepolisian Nagara Republik Indonesia mempunyai tugas dan wewenang salah satunya yaitu
melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana. Hal tersebut diperjelas didalam Pasal 14 ayat 1 huruf g yang berbunyi
”Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal
commit to user
13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan
hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.” Dalam Pasal tersebut menjelaskan bahwa Ketentuan Undang-Undang Hukum
Acara Pidana memberikan peranan utama kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam penyelidikan dan penyidikan sehingga secara
umum diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana. Namun demikian, hal tersebut tetap
memperhatikan dan tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh penyidik lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar hukumnya masing-masing. Maka Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan
dan penyidikan terhadap semua tindak pidana termasuk juga tindak pidana korupsi.
Mengenai hal-hal yang berhubungan dengan penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana sesuai ketentuan dalam Pasal 15 ayat 1
huruf g, h, dan i, dalam menjalankan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang antara lain melakukan tindakan pertama di tempat
kejadian, mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang serat mencari keterangan dan barang bukti. Keterangan dan
barang bukti yang dimaksud adalah yang berkaitan baik dengan proses pidana maupun dalam rangka tugas kepolisian pada umumnya. Selain itu
didalam Pasal 16 ayat 2 mengatur bahwa dalam menjalankan tugas yang dimaksud, Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai
wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab yaitu tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika
memenuhi syarat sebagai berikut: a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;
c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
commit to user
d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. Menghormati hak asasi manusia.
2. Pengaturan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak
Pidana Korupsi dalam UU Kejaksaan
Berdasar Pasal 30 ayat 1 huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI menyatakan bahwa di bidang pidana,
Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang salah satunya mengenai penyidikan yaitu melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang, dimana dalam penjelasannya kewenangan tersebut mengenai kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan ketentuan dari Pasal tersebut memperlihatkan dengan jelas akan
kewenangan jaksa dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. Selain itu di dalam Pasal 30 ayat 1 huruf e menyatakan bahwa
tugas dan wewenang Kejaksaan yang lainnya adalah melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan
sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Dalam hal ini dijelaskan bahwa untuk
melengkapi berkas perkara, pemeriksaan tambahan dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Tidak dilakukan terhadap tersangka; b. Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, danatau
dapat meresahkan masyarakat, danatau yang dapat membahayakan keselamatan Negara;
commit to user
c. Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 empat belas hari setelah dilaksanakan ketentuan Pasal 110 dan 138 ayat 2 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. d. Prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik.
Berdasar Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang kejaksaan RI di dalam melakukan penegakkan hukum tidak diatur
mengenai kewenangan kejaksaan dalam melakukan penyelidikan terhadap suatu tindak pidana karena kewenangan penyelidikan oleh
Kejaksaan untuk menangani suatu tindak pidana seperti korupsi kewenangan penyelidikan tersebut telah melekat dengan kewenangan
penyidikan yang dimiliki oleh Kejaksaan dalam menangani suatu tindak pidana. Pada umumnya, Kejaksaan mempunyai tugas utama adalah
Penuntutan di bidang Peradilan Pidana termasuk didalamnya pada tindak pidana korupsi. Namun mengenai kewenangan penyelidikan terhadap
tindak pidana korupsi, kewenangannya melekat pada kewenangan penyidikan. Disamping itu, untuk kesempurnaan penyelesaian suatu
perkara pidana baik mengenai perkaranya itu sendiri maupun mengenai cara-cara penyelesaiannya ataupun untuk kepentingan hukum orang yang
kena perkara yang selalu harus menajdi pedoman bagi para pejabat dalam mengerjakan perkara-perkara itu, jaksa perlu turut campur tangan di
dalam segala tindakan-tindakan penyelesaian perkara dari mula-mula perkara itu diungkap. Maka untuk kesempurnaan pemeriksaan perkara
dalam keseluruhannya yang pada hakekatnya ditujukan kepada pekerjaan penuntutan perkara itu pada sidang peradilan, jaksa perlu mempunyai
wewenang penyidikan. Guna menjamin lancarnya penyidikan dan penuntutan perkara-perkara tindak pidana, sewaktu-waktu jaksa
menganggap perlu dapat diadakan pertemuan dengan penyidik lainnya. Jaksa yang berfungsi sebagai penuntut umum, juga merupakan
penyidik atau pengusut yang paling luas dan penting karena tugasnya pengusutan dari permulaan sampai akhir, penyidikan lanjutan dan
mengawasi serta mengkoordinasikan alat penyidikan terhadap perkara
commit to user
tertentu. Untuk itu jaksa wajib melengkapi berkas pemerikasaan perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum
dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Maka dalam perkara tindak pidana korupsi, pihak
Kejaksaan juga mempunyai peran dalam hal melakukan penyidikan.
3. Pengaturan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak
Pidana Korupsi dalam KUHAP
Berdasar Pasal 1 ayat 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP
penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Menurut Pasal 1 ayat 4 Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana KUHAP penyelidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang
ini untuk melakukan penyelidikan. Sesuai dengan Pasal 1 ayat 5 KUHAP di atas, maka tugas pokok penyelidik adalah mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.
Dari ketentuan Pasal 1 ayat 5 dan Pasal 5 KUHAP dapat diperinci terhadap fungsi dan wewenang penyelidik adalah Lilik
Mulyadi, 2000:37-38: a. Apabila dilihat dari fungsi dan wewenang penyelidik berdasarkan
hukum dapat berupa: 1 Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya
tindak pidana; 2 Mencari keterangan dan barang bukti;
3 Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
commit to user
4 Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
b. Apabila dilihat dari fungsi dan wewenang penyelidik berdasarkan perintah penyidik dapat berupa:
1 Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan;
2 Pemeriksaan dan penyitaan surat; 3 Mengambil sidik jari dan memotret seorang;
4 Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik c. Apabila dilihat dari hasil membuat dan menyampaikan laporan
pelaksanaan tindakan penyelidik kepada penyidik: Untuk itu, penjelasan Pasal 5 huruf a angka 4 KUHAP
menyebutkan yang dimaksud ”tindakan lain” adalah tindakan penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat:
1 Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; 2 Selaras
dengan kewajiban
hukum yang
mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan;
3 Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
4 Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa;dan 5 Menghormati hak asasi manusia.
Sedangkan mengenai penyidikan atau ”opsporing” itu menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP disebutkan sebagai serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang- undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti
itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menentukan tersangkanya. Mengenai personil dari penyidik sebagaimana
ditentukan Pasal 6 ayat 1 KUHAP adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi
commit to user
wewenang khusus oleh undang-undang. Sedangkan mengenai syarat kepangkatan pejabat sebagaimana tersebut diatas berdasarkan ketentuan
Pasal 6 ayat 2 KUHAP dan Pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP dapat disebutkan
bahwa syarat kepangkatan pejabat polisi negara RI itu sekurang- kurangnya Pembantu Letnan Dua Polisi, sedangkan pejabat pegawai
negeri sipil yang diberi wewenang penyidikan adalah berpangkat sekurang-kurangnya Pengatur Muda Tingkat I Gol IIb atau yang
disamakan dengan itu. Apabila dalam suatu daerah tidak terdapat pejabat penyidik
berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi ke atas, maka berdasarkan Ketentuan Pasal 2 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983
Komandan Sektor Kepolisian yang berpangkat bintara dibawah Pembantu Letnan Dua Polisi karena jabatan adalah penyidik. Penyidik
pejabat polisi negara tersebut ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan dapat melimpahkan wewenang tersebut kepada pejabat polisi lain Pasal 2 ayat 3, 4 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983.
Sedangkan untuk penyidik pegawai negeri sipil berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat 5 dan 6 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983
diangkat oleh Menteri Kehakiman RI atas usul departemen yang membawahi pegawai tersebut. Wewenang pengangkatan ini dapat
dilimpahkan didelegasikan Menkeh RI sebagaimana ditentukan Kepmenkeh RI Nomor: M.08-UM.01.06 Tahun 1963 sebelum
pengangkatan tersebut dilakukan oleh Menkeh RI, terlebih dahulu meminta pertimbangan Jaksa Agung RI dan Kepala Kepolisian RI.
Adapun apabila dilihat fungsi dan wewenang penyidik berdasarkan ketentuan Pasal 7 KUHAP maka dapat berupa:
a Penyidik pejabat polisi negara RI karena kewajibannya mempunyai wewenang:
commit to user
1 Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tendang adanya tindak pidana.
2 Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian. 3 Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal tersangka. 4 Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan. 5 Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
6 Mengambil sidik jari dan memotret seseorang. 7 Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
ataupun saksi. 8 Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara. 9 Mengadakan penghentian penyidikan.
10 Melakukan tindakan lain menurut hukum secara bertanggung jawab
b Penyidik pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang mempunyai wewenang
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat 2 KUHAP sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan
dalam pelaksanaanya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 ayat 1
huruf a KUHAP. Apabila melalui visi tugas dan wewenang, maka sebenarnya antara Penyelidikan dan Penyidikan merupakan fungsi
yang tidak dapat dipisahkan. Penyelidikan merupakan salah satu cara atau metoda yang menyatu dengan fungsi penyidikan sebagaimana
ditentukan Pedoman Pelaksanaan KUHAP berikut ini Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1982:27:
”Penyelidikan bukanlah merupakan fungsi yang berdiri sendiri, terpisah dari fungsi penyidikan,melainkan hanya merupakan salah
satu cara atau metoda atau sub daripada fungsi penyidikan, yang
commit to user
mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan
surat, pemanggilan; tindakan pemeriksaan penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada Penuntut Umum. Latar
belakang,
motivasi dan
urgensi diintrodusirnya
fungsi penyelidikan, antara lain adanya perlindungan dan jaminan
terhadap hak asasi manusia, adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa, ketatnya pengawasan
dan adanya lembaga ganti kerugian dan rehabilitasi, dikaitkan bahwa tidak setiap peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai
tindak pidana itu menampakkan bentuknya secara jelas sebagai tindak pidana, maka sebelum melangkah lebih lanjut dengan
melakukan penyidikan dengan konsekuensi digunakannya upaya paksa perlu ditentukan terlebih dahulu berdasarkan data atau
keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan bahwa peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu benar adanya
merupakan tindak pidana sehingga dapat dilanjutkan dengan tindakan penyidikan.”
Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam melakukan suatu penyidikan diperlukan adanya taktik dan teknik sehingga apa yang menjadi modus
operandi dari tindak pidana tersebut dapat diungkap sekaligus dengan tersangkanya.
4. Pengaturan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana
Korupsi dalam UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berdasarkan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi untuk selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Dalam ketentuan ini yang dimaksud ”kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang
dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi KPK atau anggota Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif,
legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi,
commit to user
atau keadaan dan situasi apapun dengan alasan apapun Ermansjah Djaja, 2008 : 185.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, KPK mempunyai kekuatan ekstra dibandingkan aparat penegak hukum lainnya. Selain dapat
melaksanakan fungsi penyelidikan dan penyidikan fungsi yang selama ini dipegang oleh Polisi, KPK juga dapat melaksanakan fungsi penuntutan
fungsi yang selama ini di pegang oleh Kejaksaan. Berdasarkan alasan-alasan tertentu, KPK bahkan diberi kewenangan untuk mengambil alih proses
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan atas suatu tindak pidana korupsi yang sebelumnya ditangani oleh aparat penegak hukum lainnya Kepolisian
dan Kejaksaan untuk dilaksanakan sendiri oleh KPK.
Mengenai ketentuan umum kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi diatur dalam Pasal 6, Pasal 7 huruf a, Pasal 8 ayat 2, 3, 4, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan
Pasal 38 sampai dengan Pasal 41. Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas-tugas sebagaimana
diatur di dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, sebagai berikut:
a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi.
b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
c. Melakukan penyelidikan, peenyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi dan e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Untuk menjelaskan Pasal 6 huruf a mengenai koordinasi tersebut maka Pasal 7 huruf a menyebutkan bahwa:
”Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang
commit to user
mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi.”
Pasal 8 yang menyatakan tentang kewenangan Komisi pemberantasan Korupsi dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi tercantum
dalam ayat 2, 3, 4 yaitu: 2 Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih
penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korusi yang sedang dilakukan Kepolisian dan Kejaksaan.
3 Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka
dan seluruh berkas beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 empat belas hari kerja, terhitung sejak
tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi. 4 Penyerahan dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara
penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi. Pasal 9 menyatakan bahwa pengambilalihan penyidikan dan penuntutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan :
a. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti. b. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau
tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. c. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku
tindak pidana korupsi yangs esungguhnya. d. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung korupsi.
e. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif, atau
f. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat
dipertanggungjawabkan.
commit to user
Pasal 10 menyatakan bahwa: ”Dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9,
Komisi Pemberantasan Korupsi memberitahukan kepada penyidik atau penuntut umum untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang
sedang ditangani.”
Pasal 11 menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang:
a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum atau penyelenggara negara. b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, danatau
c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 satu milyar rupiah.
Pasal 12 menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c,
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang: a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.
b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri.
c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa.
d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka,
terdakwa atau pihak lain yang terkait. e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk
memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya. f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa
kepada instansi yang terkait.
commit to user
g. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta
konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan
tindak pidana korupsi yang sedang dipriksa. h. Meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara
lain untuk melakukan pencarian, penangkapan dan penyitaan barang bukti di luar negeri.
i. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam
perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani. Sedangkan isi dari Pasal 38 sampai dengan Pasal 42 juga mengenai
ketentuan umum dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal 38 menyatakan bahwa:
1 Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik dan penuntut umum pada Komisi Pemberantsan Korupsi.
2 Ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat 2 Undang- undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku
bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Dalam penjelasan Pasal 38 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 tahun
2002 dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan “yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan” dalam ketentuan ini antara lain,
kewenangan melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat.
Pasal 39 menyatakan bahwa: 1 Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi
dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan
commit to user
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan
lain dalam undang-undang ini. 2 Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi
dilakukan berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama Komisi Pemberantasan Korupsi.
3 Penyelidik, penyidik dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi, diberhentikan sementara dari instansi
Kepolisian dan Kejaksaan selama menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Selanjutnya dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 42 menyatakan bahwa:
a. Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak
pidana korupsi. b. Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melaksanakan kerja sama dalam
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dengan lembaga penegak hukum negara lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku atau berdasarkan perjanjian internasional yang telah diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Dalam penjelasan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan “lembaga penegak hukum
negara lain”, termasuk kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan badan-badan khusus lain dari negara asing yang menangani perkara tindak pidana
korupsi. c. Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan
mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada
peradilan militer dan peradilan umum.
commit to user
a. Ketentuan mengenai penyelidikan tindak pidana korupsi oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi
Pengaturan mengenai penyelidikan perkara tindak pidana korupsi pada Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 43
dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, adalah sebagai berikut :
Pasal 43 1 Penyelidik adalah Penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi
yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. 2 Penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan fungsi
penyelidikan tindak pidana korupsi. Pasal 44
1 Jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam
waktu paling lambat 7 tujuh hari kerja terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut, penyelidik
melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. 2 Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah
ditemukan sekurang-kurangnya 2 dua alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima,
atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik. 3 Dalam hal penyelidik melakukan tugasnya tidak menemukan bukti
permulaan yang cukup yaitu sekurang-kurangnya 2 dua alat bukti, penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan
Komisi Pemberantasan Korupsi menghentikan penyelidikan. 4 Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi berpendapat bahwa perkara
tersebut diteruskan, Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan penyidikan sendiri atau dapat dilimpahkan perkara tersebut kepada
penyidik kepolisian atau kejaksaan.
commit to user
5 Dalam hal penyidikan dilimpahkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi kepada Kepolisian atau Kejaksaan, maka Kepolisian atau
kejaksaan wajib
melaksanakan koordinasi
dan melaporkan
perkembangan penyidikan kepada Komisi Pemberantsan Korupsi.
b. Ketentuan mengenai penyidikan tindak pidana korupsi oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi
Pengaturan mengenai penyidikan perkara tindak pidana korupsi pada Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 45
sampai dengan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, adalah sebagai berikut :
Pasal 45 1 Penyidik adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang
diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. 2 Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan fungsi
penyidikan tindak pidana korupsi. Pasal 46
1 Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut
prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku
berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 ini. 2 Pemeriksaan tersangka dengan berdasarkan Undang-undang Nomor 30
Tahun 2002, dilakukan dengan tidak mengurangi hak-hak tersangka. Dalam penjelasan Pasal 46 ayat 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun
2002 dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan “prosedur khusus” adalah kewajiban memperoleh izin bagi tersangka pejabat negara tertentu untuk
dapat dilakukan pemeriksaan. Pasal 47
1 Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti pemulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan
Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya.
commit to user
2 Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur mengenai tindak penyitaan, tidak berlaku berdasarkan Undang- undang
Nomor 30 Tahun 2002. 3 Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 wajib membuat berita
acara penyitaan pada hari penyitaan sekurang-kurangnya memuat : a. Nama, jenis dan jumlah barang atau benda berharga lain yang
disita. b. Keterangan tempat, waktu, hari, tanggal, bulan dan tahun
dilakukan penyitaan. c. Keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang atau
benda berharga lain tersebut. d. Tanda tangan dan identitas penyidik yang melakukan penyitaan,
dan e. Tanda tangan dan identitas dari pemilik atau orang yang menguasai
barang tersebut. 4 Salinan berita acara penyitaan barang atau benda berharga lain
disampaikan kepada tersangka atau keluarganya. Pasal 48
Untuk kepentingan penyidikan, tersangka tindak pidan korupsi wajib memberikan keterangan kepada penyidik tentang seluruh harta bendanya
dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan
dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh tersangka. Pasal 49
Setelah penyidikan dinyatakan cukup, penyidik membuat berita acara dan disampaikan kepada kepada pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
untuk segera ditindaklanjuti. Pasal 50
1 Dalam hal tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut
telah dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi
commit to user
tersebut wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 empat belas hari hari kerja terhitung sejak
tanggal dimulainya penyidikan. 2 Penyidikan suatu tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepolisian
atau kejaksaan wajib dilakukan koordinasi secara terus-menerus dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.
3 Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan suatu tindak pidana korupsi, kepolisian atau kejaksaan
tidak berwenang lagi melakukan penyidikan. 4 Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian
danatau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera
dihentikan. Dalam penjelasan Pasal 50 ayat 4 Undang-undang Nomor 30 Tahun
2002 dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan “dilakukan secara bersamaan” adalah dihitung berdasarkan hari dan tanggal yang sama
dimulainya penyidikan
5. Pengaturan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana
Korupsi dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana
korupsi diatur dalam Pasal-pasal sebagai berikut:
Pasal 25 menyatakan bahwa: ”Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam
perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya”.
Di dalam penjelasan Pasal 25 disebutkan bahwa ”apabila terdapat 2 dua atau lebih perkara yang oleh undang-undang ditentukan untuk
didahulukan maka mengenai penentuan prioritas perkara tersebut diserahkan
commit to user
pada setiap lembaga yang berwenang di setiap proses peradilan”. Makna dari kalimat tersebut adalah penyelesaian yang secepatnya pada waktu melakukan
penyidikan, penuntutan, dan pemerikasaan di sidang pengadilan terhadap perkara tindak pidana korupsi daripada penyelesaian penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan tindak pidana yang bukan tindak pidana korupsi. Walaupun pada dasarnya semua perkara hukum yang diproses sampai di sidang
pengadilan harus dilakukan dengan cepat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, tetapi berdasarkan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 penyelesaian perkara tindak pidana korupsi tetap harus didahulukan
dibanding perkara tindak pidana yang lain walaupun perkara pidana yang lain tetap juga harus diselesaikan secepatnya sebagaimana yang diamanatkan Pasal
5 ayat 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 26 menyatakan bahwa: ”Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”.
Didalam Pasal 26 tersebut yang dimaksud dengan ”hukum acara pidana yang berlaku” adalah:
a. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap tersangka tindak
pidana korupsi yang statusnya adalah masyarakat sipil. b. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 31
Tahun 1997 tentang Peradilan Militer terhadap tersangka tindak pidana korupsi yang statusnya adalah anggota militer.
Adapun yang dimaksud dengan ”kecuali ditentukan lain dalam undang- undang ini” adalah bahwa yang menjadi dasar hukum untuk melakukan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi adalah:
commit to user
a. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang mengatur tentang penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi.
b. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 yang mengatur tentang penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana
korupsi. Pasal 28 menyatakan bahwa:
”Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau
suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui danatau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana
korupsi yang dilakukan tersangka”.
Rumusan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sama persis dengan rumusan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni:
”Untuk kepentingan penyidikan, tersangka tindak pidan korupsi wajib memberikan keterangan kepada penyidik tentang seluruh harta
bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai
hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh tersangka”.
Pasal 29 menyatakan bahwa: 1 Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang
pengadilan, penyidik, penuntut umum atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau
terdakwa. 2 Permintaan keterangan kepada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat
1 diajukan kepada Gubernur Jenderal Bank Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
commit to user
3 Gubernur Bank
Indonesia berkewajiban memenuhi permintaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dalam waktu selambat-lambatnya 3 tiga hari kerja, terhitung sejak dokumen permintaan diterima secara
lengkap. 4 Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk
memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil dari korupsi.
5 Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak diperoleh bukti yang cukup atas permintaan penyidik, penuntut umum,
atau hakim, bank pada hari itu juga mencabut pemblokiran. Di dalam penjelasan Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan bahwa ketentuan ini
bertujuan untuk
meningkatkan efektivitas
penyidikan, penuntutan,
pemberantasan tindak pidana korupsi dengan tetap memperhatikan koordinasi lintas sektoral dengan instansi terkait. Demikian pula dalam alinea ke-1
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dijelaskan bahwa untuk memperlancar proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi undang-undang ini
mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tingkat penanganan perkara untuk dapat langsung meminta keterangan
tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa kepada bank dengan mengajukan hal tersebut kepada Gubernur Bank Indonesia. Dengan
berdasarkan kepada Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi tersebut bahwa penyidik dan penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi, dan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk
meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi.
Pasal 30 menyatakan bahwa:
commit to user
”Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat lainnya yang dicurigai
mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi”.
Dalam penjelasan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dijelaskan bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kewenangan kepada penyidik dalam rangka mempercepat proses penyidikan
yang pada dasarnya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk membuka, memeriksa atau menyita surat harus memperoleh izin
terlebih dahulu dari Ketua Pengadilan Negeri. Pasal 32 ayat 1 menyatakan bahwa:
”Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan
secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa
Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan”.
Pasal 33 menyatakan bahwa: ”Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan
padahal secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut
kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”.
B. Taraf Sinkronisasi Horisontal Pengaturan Kewenangan Penyelidikan
dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi dalam UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Korupsi merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh Indonesia pada saat ini. Setiap pergantian periode kepemimpinan selalu
menjanjikan akan melakukan tindakan hukum dalam pemberantasan tindak
commit to user
pidana korupsi. Namun tindakan pemberantasan tersebut selalu tidak berjalan dengan optimal sehingga tanda-tanda bahwa masalah korupsi telah dapat
diatasi belum dapat dilihat secara nyata. Pemberantasan tindak pidana korupsi memang pada dasarnya tidak semudah apa yang kita pikirkan, karena korupsi
seperti telah membudaya pada masyarakat negara kita. Sehingga secara bertahap, tindak pidana korupsi harus segera ditangani, setidak-tidaknya
dapat berkurang dan harus dilenyapkan semua. Salah satu langkah penanganan masalah tindak pidana korupsi ini yaitu
dengan pembentukan lembaga penanganan masalah tindak pidana korupsi yang dilakukan baik oleh eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Selain itu,
penanganan masalah korupsi juga diatur didalam beberapa peraturan tertulis yaitu dibentuknya peraturan perundang-undangan mengenai pengaturan
pemberantasan tindak pidana korupsi serta lembaga yang berwenang dalam penanganan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Penanganan pemberantasan tindak pidana korupsi diawali dengan adanya proses penyelidikan dan penyidikan. Proses penyelidikan dan
penyidikan terhadap tindak pidana korupsi dimana tindak pidana ini termasuk didalam tindak pidana khusus diatur baik didalam peraturan perundang-
undangan yang bersifat umum dan peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus mengatur mengenai tindak pidana korupsi.
Kewenangan penyelidikan dan penyidikan dalam penanganan tindak pidana korupsi dimiliki oleh beberapa lembaga negara antara lain: Kepolisian,
Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi KPK, sedangkan pengaturan mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara tindak
pidana korupsi diatur didalam beberapa peraturan perundang-undangan antara lain: Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
commit to user
Pembahasan tentang kewenangan dalam sistem peradilan pidana terpadu, tidak lepas dari hukum acara pidana sebagai tata cara untuk
melaksanakan hukum meteriil. Posisi Kejaksaan dalam peradilan pidana terpadu adalah melaksanakan fungsi penuntutan terhadap suatu perkara.
Semenjak diberlakukannya KUHAP kewenangan penyidikan Kejaksaan hanya dalam hal tindak pidana khusus salah satunya yaitu tindak pidana
korupsi. Namun dalam hal kewenangan penyidikan yang di miliki oleh Kejaksaan dalam penanganan tindak pidana korupsi, didalam kewenangan
penyidikan tersebut juga melekat kewenangan penyelidikan terhadap tindak pidana korupsi. Setelah lahirnya Undang-Undang Kepolisian yang baru tahun
2002 yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI membuat semakin rancu lagi kewenangan yang telah ada, dimana terdapat
arahan bahwa polisi memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan merupakan penyidik tunggal terhadap segala bentuk tindak pidana baik
tindak pidana umum maupun khusus. Pengaturan mengenai kewenangan dalam penanganan tindak pidana korupsi menimbulkan pertentangan
perundang-undangan yang melahirkan tumpang tindih kewenangan, sehingga timbul kesan perebutan penanganan perkara tindak pidana khusus, dalam hal
ini perkara korupsi. Kewenangan penyelidikan dan penyidikan yang dimiliki oleh kedua institusi tersebut dapat juga diambil alih oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi KPK berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun
dengan diambil alihnya kewenangan penyelidikan dan penyidikan dari Kepolisian atau Kejaksaan oleh KPK tidak menghilangkan permasalahan
kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara tindak pidana korupsi, karena ketiga instansi tersebut secara yuridis-normatif sama-sama
mempunyai kewenangan terhadap perkara tindak pidana korupsi. Dengan hadirnya KPK yang mempunyai kewenangan jauh lebih besar dari Kepolisian
atau Kejaksaan, KPK dapat melakukan pengambilalihan penyelidikan dan penyidikan yang sedang ditangani Kepolisian atau Kejaksaan, walau
pengambilalihan tersebut harus disebabkan alasan tertentu, namun dirasakan
commit to user
oleh Kepolisian atau Kejaksaan dalam menangani penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi telah berjalan dengan baik dan sesuai
dengan prosedur serta tidak menimbulkan alasan tertentu yang dapat diambilalih penyelidikan dan penyidikan oleh KPK, KPK kadang
memandang penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan baik oleh Kepolisian maupun Kejaksaan tersebut kurang baik sehingga perlu diambil
alih penyelidikan dan penyidikannya. Pihak Kepolisian dan Kejaksaan sebagai bagian dari sistem peradilan
pidana terpadu memang mempunyai kewenangan yang sama dalam rangka penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi karena kedua pihak
tersebut mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam sistem peradilan pidana, polisi dan jaksa merupakan dua institusi penegak hukum
yang memiliki hubungan fungsional sangat erat. Kedua institusi ini seharusnya dapat bekerja sama dan saling berkoordinasi dengan baik untuk
mencapai tujuan dari sistem ini yaitu menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi
yang dapat diterima masyarakat. Berlakunya Undang-Undang Kepolisian yang baru yaitu Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 dimana dalam Pasal 14 ayat 1 huruf g menyebutkan :
“Kepolisian Negara RI bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara
pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya”.
Pengaturan mengenai wewenang penyelidikan oleh pihak Kepolisian juga diatur dalam Pasal 1 butir 4 KUHAP yaitu:
“Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan
penyelidikan”.
Sedangkan wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana diatur dalam Pasal 1 butir 1 KUHAP yaitu:
commit to user
“Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang untuk melakukan penyidikan”.
Hal ini berarti kewenangan penyelidikan dan penyidikan semua jenis tindak pidana termasuk tindak pidana khusus tindak pidana korupsi dimiliki oleh
Kepolisian, padahal Kejaksaan juga mempunyai kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi dimana didalam kewenangan penyidikan
tersebut melekat pula kewenangan penyelidikan yang di lakukan oleh bagian Intelejen di tubuh Kejaksaan. Kewenangan yang dimiliki oleh Kejaksaan
dalam melakukan penyidikan diatur didalam Pasal 30 ayat 1 huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang
menyebutkan : “Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang”.
Dimana dalam Penjelasan Pasal 30 ayat 1 huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan kewenangan tersebut mengenai
kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan ketentuan dari Pasal tersebut sehingga
memperlihatkan dengan jelas akan kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi.
Berdasarkan penjelasan yang telah diungkapkan diatas, maka baik Kepolisian maupun Kejaksaan mempunyai kewenangan dalam melakukan
penyelidikan dan penyidikan tehadap tindak pidana korupsi dan dalam hal kewenangan ini, kedua institusi tersebut mempunyai dasar hukum yang
mengatur mengenai kewenangan yang dimiliki baik oleh Kepolisian maupun
commit to user
Kejaksaan dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi sesuai dengan yang telah dijelaskan diatas. Maka terlihat bahwa antara Kepolisian
dan Kejaksaan memiliki kewenangan yang sama dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi, hal tersebut dapat dianggap adanya
tumpang tindih kewenangan dalam menangani suatu perkara. Meskipun kedua institusi tersebut mempunyai kewenangan yang sama dalam
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dan kewenangan yang dimiliki oleh kedua institusi tersebut diatur didalam peraturan perundang-
undangan yang didalamnya mengatur mengenai kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing institusi tersebut namun sesungguhnya tidak terjadi
tumpang tindih kewenangan dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yang dimiliki baik oleh Kepolisian dan Kejaksaan karena
kedua pihak tersebut mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan dalam sistem peradilan pidana, Kepolisian dan Kejaksaan merupakan dua
institusi penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat. Kedua institusi ini harus dapat bekerja sama dan saling berkoordinasi dengan
baik dalam penanganan suatu tindak pidana baik tindak pidana umum maupun khusus.
Jaksa dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana terutama korupsi juga mempunyai landasan dasar hukum yaitu pasal 17 Peraturan
Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. KUHAP yang dikenal sebagai karya agung bangsa Indonesia karena telah melakukan
perubahan fundamental dalam Hukum Acara Pidana melalui Undang-Undang No. 8 tahun 1981 perubahan fundamental tersebut antara lain di bidang
Penyidikan. Pada waktu HIR Penyidikan dapat dilakukan oleh banyak instansi, kedudukan Jaksa sebagai Penuntut dapat sekaligus sebagai,
Koordinator Penyidikan. Setelah berlakunya KUHAP wewenang Penyidikan dialihkan kepada Polri sebagai Penyidik Utama dan PPNS dengan
kewenangan terbatas sesuai dengan Undang-undang yang menjadi dasar hukumnya. Dalam pelaksanaan Penyidikan di bawah Koordinasi Penyidik
Polri dengan memberikan pengawasan, petunjuk dan bantuan Penyidikan
commit to user
Pasal 6, Pasal 7 ayat 2, Pasal 107 dan Pasal 109 ayat 3 KUHAP. Ketentuan-ketentuan dalam KUHAP sudah merupakan sistem Peradilan
Pidana Terpadu dan adanya saling kontrol dengan menempatkan para penegak Hukum pada fungsi, tugas dan wewenangnya masing-masing. Pasal
284 KUHAP merupakan pasal mengenai Ketentuan Peralihan, suatu ketentuan untuk menjamin agar tidak terjadi kekosongan dalam hukum
rechts vacuum dengan menghubungkan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-undang yang lama HIR dan Undang-undang yang baru
KUHAP. Fungsinya sebelum dapat dilaksanakannya seluruh ketentuan yang berada dalam Undang-undang yang baru, maka terbitlah Ketentuan Peralihan
Pasal 284 KUHAP yang berbunyi : 1. Terhadap perkara yang ada sebelum Undang-Undang ini
diundangkan, sejauh mungkin diberlakukan Undang-Undang ini. 2. Dalam waktu dua tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan,
maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan Undang- Undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai
ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang- Undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak
berlaku lagi.
Penjelasan Pasal 284 ayat 2 berbunyi : 1. Yang dimaksud dengan semua perkara adalah perkara yang telah
dilimpahkan ke pengadilan. 2. Yang dimaksud dengan ketentuan khusus acara pidana
sebagaimana tersebut pada Undang-Undang tertentu ialah ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada, antara
lain : a. Undang-Undang tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi Undang-Undang No. 7 Drt
Tahun 1955. b. Undang-Undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 yang telah
diubah menjadi Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang- Undang No. 20 Tahun 2001. Dengan catatan bahwa semua
ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-
commit to user
Undang tertentu akan ditinjau kembali, diubah atau dicabut dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Rumusan ayat 2 pasal 284 KUHAP dengan menjelaskan bahwa terhadap semua perkara setelah 2 dua tahun berlakunya KUHAP, mutlak
dilakukan sebagaimana diatur oleh KUHAP. Adapun batasan-batasan terhadap pengecualian adalah bersifat sementara, sehingga kata “Sementara“
dan “Sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi“ merupakan keharusan untuk tidak membiarkan ketentuan-ketentuan tersebut
tetap berlaku, dan harus segera disesuaikan dengan ketentuan KUHAP yang menginginkan adanya kodifikasi dan unifikasi. Peraturan pemerintah No. 27
tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP, dalam peraturan pemerintah ini mengenai penyidikan terhadap tindak pidana tertentu sebagaimana diatur
dalam pasal 17 yang berbunyi: “Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana
tersebut pada Undang-Undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 284 ayat 2 KUHAP dilaksanakan oleh Penyidik Jaksa, dan
pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan ”.
Pasal 284 ayat 2 KUHAP sebagai pasal ketentuan peralihan dari periode HIR ke KUHAP masih menyisakan kewenangan penyidikan kepada
penuntut umum sepanjang mengenai tindak pidana tertentu. Terlepas dari ketentuan peralihan yang diatur dalam Pasal 284 ayat 1 KUHAP khususnya
mengenai peraturan peralihan yang disebut dalam pasal 284 ayat 2 KUHAP sebab peraturan peralihan ini mempunyai kaitan yang agak khusus terhadap
fungsi dan wewenang jaksa sebagai penuntut umum. Karena peraturan peralihan pada ayat 2 melibatkan jaksa penuntut umum sebagai penyidik
dalam tindak pidana tertentu, justru jaksa yang berwenang melakukan penyidikan. Namun di dalam Pasal 284 ayat 2 KUHAP menyatakan bahwa:
“Dalam waktu 2 dua tahun setelah undang-undang ini, diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang
ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus
commit to user
acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”.
Dalam beberapa tindak pidana khusus, masih ada wewenang Jaksa melakukan penyidikan, oleh karena undang-undang tindak pidana khusus itu
sendiri menyebut secara tegas tentang wewenang Jaksa melakukan penyidikan, seperti Tindak Pidana Ekonomi, Tindak Pidana Korupsi, dan
lain-lain. Meskipun begitu, adanya pengecualian tersebut di atas sama sekali bukan berarti mengurangi keabsahan penerapan KUHAP sebagai hukum
acara pidana bagi semua perkara tindak pidana, termasuk tindak pidana khusus sepanjang tindak pidana khusus tersebut tidak mengatur sendiri
hukum acaranya secara keseluruhan. Juga sama sekali tidak mengurangi prinsip diferensasi fungsional yang memberi wewenang tunggal kepada
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai instansi yang diberi wewenang penyidikan. Berkaitan dengan hal tersebut apa yang diatur pada
Pasal 284 ayat 2 KUHAP sebagai pengecualian atas prinsip umum diatas, dimaksudkan:
1. Untuk menjaga jangan terjadi kevakuman pelaksanaan penyidikan, disebabkan undang-undang tindak pidana khusus sendiri telah
melimpahkan wewenang penyidikan kepada jaksa penuntut umum. Hal ini, disebabkan karena Polri saat itu tidak dapat menjangkaunya,
sehingga bisa menimbulkan kekosongan hukum dalam penegakan hukum.
2. Pengecualian ini tidak mengurangi arti prinsip-prinsip umum secara permanen dalam ketentuan Pasal 284 ayat 2, yakni:
a Pengecualian tersebut bersifat sementara. b Hanya mengenai ketentuan-ketentuan khusus acara pidana yang
terdapat pada undang-undang pidana khusus. c Sampai adanya perubahan atau dinyatakan tidak berlaku lagi
ketentuan Pasal 284 ayat 2 KUHAP tersebut. Kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yang
dimiliki baik oleh Kepolisian dan Kejaksaan bukanlah suatu hal yang dapat
commit to user
dianggap perebutan kewenangan di tubuh Kepolisian dan Kejaksaan, namun hubungan fungsional yang sangat erat antara Kepolisian dan Kejaksaan dapat
menciptakan suatu koordinasi diantara dua institusi tersebut. Begitu juga dalam hal penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi, apabila
terdapat suatu tindak pidana korupsi maka untuk menghindari perebutan maupun tumpang tindih kewenangan dalam penanganan penyelidikan dan
penyidikannya maka sebelumnya antara Kepolisian dan Kejaksaan melakukan koordinasi terlebih dahulu untuk menentukan apakah Kepolisian
atau Kejaksaan yang akan melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara korupsi tersebut.
Selain itu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga mengatur bahwa Komisi
Pemberantasan Korupsi KPK juga memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. Dalam
penanganan tindak pidana korupsi sebenarnya telah ada instansi-instansi yang telah mempunyai kewenangan berdasarkan hukum untuk menangani kasus
korupsi, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan, namun KPK ini dibentuk karena lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi dirasa
belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai Ketentuan lain-lain yang
menyebutkan bahwa: 1. Dalam waktu paling lambat 2 dua tahun sejak Undang-undang ini
mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk
commit to user
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur masyarakat.
4. Ketentuan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja, pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan
Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 diatur dengan Undang-Undang.
Walaupun KPK memiliki kewenangan yang sama dengan Kepolisian dan Kejaksaaan dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi
namun kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan juga penuntutan yaitu terhadap tindak pidana korupsi yang tertera di dalam
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu antara lain:
1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum atau penyelenggara negara. 2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; danatau
3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 satu milyar rupiah.
Sehingga untuk tindak pidana korupsi yang tidak tergolong dalam ketiga kategori diatas penanganan penyelidikan dan penyidikannya dapat dilakukan
oleh Kepolisian atau Kejaksaan walaupun tidak menutup kemungkinan juga tindak pidana korupsi yang tergolong dalam kategori diatas juga dapat
ditangani oleh Kepolisian ataupun Kejaksaan selama ada koordinasi antara ketiga instansi tersebut.
Komisi Pemberantasan Korupsi KPK dapat mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang
dilakukan oleh Kepolisian ataupun Kejaksaan, alasan pengambilalihan wewenang penanganan ini diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang tentang
KPK yaitu: 1. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti
commit to user
2. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
3. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya.
4. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi. 5. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari
eksekutif, yudikatif, atau legislatif. 6. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan,
penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 tersebut maka Komisi Pemberantasan Korupsi memberitahukan kepada penyidik atau
penuntut umum untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang ditangani. Pasal 68 Undang-Undang KPK mengenai Ketentuan Peralihan
juga menegaskan: “Semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana
korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9”.
commit to user
BAB IV. PENUTUP
A. Simpulan