Pengaturan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana

commit to user tersebut wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 empat belas hari hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan. 2 Penyidikan suatu tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan wajib dilakukan koordinasi secara terus-menerus dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. 3 Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan suatu tindak pidana korupsi, kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan. 4 Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian danatau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan. Dalam penjelasan Pasal 50 ayat 4 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan “dilakukan secara bersamaan” adalah dihitung berdasarkan hari dan tanggal yang sama dimulainya penyidikan

5. Pengaturan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana

Korupsi dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal-pasal sebagai berikut: Pasal 25 menyatakan bahwa: ”Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya”. Di dalam penjelasan Pasal 25 disebutkan bahwa ”apabila terdapat 2 dua atau lebih perkara yang oleh undang-undang ditentukan untuk didahulukan maka mengenai penentuan prioritas perkara tersebut diserahkan commit to user pada setiap lembaga yang berwenang di setiap proses peradilan”. Makna dari kalimat tersebut adalah penyelesaian yang secepatnya pada waktu melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemerikasaan di sidang pengadilan terhadap perkara tindak pidana korupsi daripada penyelesaian penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidana yang bukan tindak pidana korupsi. Walaupun pada dasarnya semua perkara hukum yang diproses sampai di sidang pengadilan harus dilakukan dengan cepat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, tetapi berdasarkan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 penyelesaian perkara tindak pidana korupsi tetap harus didahulukan dibanding perkara tindak pidana yang lain walaupun perkara pidana yang lain tetap juga harus diselesaikan secepatnya sebagaimana yang diamanatkan Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 26 menyatakan bahwa: ”Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”. Didalam Pasal 26 tersebut yang dimaksud dengan ”hukum acara pidana yang berlaku” adalah: a. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap tersangka tindak pidana korupsi yang statusnya adalah masyarakat sipil. b. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer terhadap tersangka tindak pidana korupsi yang statusnya adalah anggota militer. Adapun yang dimaksud dengan ”kecuali ditentukan lain dalam undang- undang ini” adalah bahwa yang menjadi dasar hukum untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi adalah: commit to user a. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang mengatur tentang penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi. b. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang mengatur tentang penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi. Pasal 28 menyatakan bahwa: ”Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui danatau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka”. Rumusan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sama persis dengan rumusan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni: ”Untuk kepentingan penyidikan, tersangka tindak pidan korupsi wajib memberikan keterangan kepada penyidik tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh tersangka”. Pasal 29 menyatakan bahwa: 1 Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa. 2 Permintaan keterangan kepada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diajukan kepada Gubernur Jenderal Bank Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. commit to user 3 Gubernur Bank Indonesia berkewajiban memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dalam waktu selambat-lambatnya 3 tiga hari kerja, terhitung sejak dokumen permintaan diterima secara lengkap. 4 Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil dari korupsi. 5 Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak diperoleh bukti yang cukup atas permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim, bank pada hari itu juga mencabut pemblokiran. Di dalam penjelasan Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan bahwa ketentuan ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas penyidikan, penuntutan, pemberantasan tindak pidana korupsi dengan tetap memperhatikan koordinasi lintas sektoral dengan instansi terkait. Demikian pula dalam alinea ke-1 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan bahwa untuk memperlancar proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi undang-undang ini mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tingkat penanganan perkara untuk dapat langsung meminta keterangan tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa kepada bank dengan mengajukan hal tersebut kepada Gubernur Bank Indonesia. Dengan berdasarkan kepada Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut bahwa penyidik dan penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi, dan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi. Pasal 30 menyatakan bahwa: commit to user ”Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi”. Dalam penjelasan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kewenangan kepada penyidik dalam rangka mempercepat proses penyidikan yang pada dasarnya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk membuka, memeriksa atau menyita surat harus memperoleh izin terlebih dahulu dari Ketua Pengadilan Negeri. Pasal 32 ayat 1 menyatakan bahwa: ”Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan”. Pasal 33 menyatakan bahwa: ”Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan padahal secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”.

B. Taraf Sinkronisasi Horisontal Pengaturan Kewenangan Penyelidikan

dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi dalam UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Korupsi merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh Indonesia pada saat ini. Setiap pergantian periode kepemimpinan selalu menjanjikan akan melakukan tindakan hukum dalam pemberantasan tindak

Dokumen yang terkait

#$ ! KEWENANGAN KEPOLISIAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS PT. ASABRI).

0 4 12

TINJAUAN NORMATIF TERHADAP KEWENANGAN PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI Tinjauan Normatif Terhadap Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Republik Indonesi

0 2 17

TINJAUAN NORMATIF TERHADAP KEWENANGAN PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI Tinjauan Normatif Terhadap Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Republik Indonesi

0 2 12

PENDAHULUAN Tinjauan Normatif Terhadap Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Republik Indonesia.

0 2 11

KAJIAN NORMATIF TERHADAP DUALISME KEWENANGAN PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN TINDAK PIDANA KORUPSI Kajian Normatif Terhadap Dualisme Kewenangan Penyidikan Dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi Antara Kepolisian, Kejaksaan Dan Kpk.

0 4 19

SINKR Sinkronisasi Regulasi Penyidikan Dan Penuntutan Terhadap Tindak Pidana Korupsi.

0 1 12

PENDAHULUAN Sinkronisasi Regulasi Penyidikan Dan Penuntutan Terhadap Tindak Pidana Korupsi.

0 2 12

SINKR Sinkronisasi Regulasi Penyidikan Dan Penuntutan Terhadap Tindak Pidana Korupsi.

0 2 17

OPTIMALISASI TUGAS DAN WEWENANG ANTARA KEPOLISIAN DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI ARTIKEL

0 0 17

DISERTASI KEWENANGAN PENYIDIKAN JAKSA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

0 0 28