TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

(1)

commit to user

i

TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

(STUDI TERHADAP UU NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN RI, UU NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN, UU NO. 8 TAHUN

1981 TENTANG KUHAP, UU NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI, UU NO. 31 TAHUN 1999 jo UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK

PIDANA KORUPSI)

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Oleh SHINTA UTAMI

NIM.E0007211

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011


(2)

commit to user


(3)

commit to user

xvii

PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

(STUDI TERHADAP UU NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN RI, UU NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN, UU NO. 8 TAHUN

1981 TENTANG KUHAP, UU NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI, UU NO. 31 TAHUN 1999 jo UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK

PIDANA KORUPSI)

Oleh Shinta Utami NIM.E0007211

Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada : Hari : Selasa Tanggal : 20 Juli 2010


(4)

commit to user


(5)

commit to user

xvii

PERNYATAAN

Nama : Shinta Utami NIM : E0007211

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

(STUDI TERHADAP UU NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN RI, UU NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN, UU NO. 8 TAHUN 1981 TENTANG KUHAP, UU NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI, UU NO. 31 TAHUN 1999 jo UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK

PIDANA KORUPSI) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya

saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, Maret 2011 yang membuat pernyataan

Shinta Utami NIM.E0007211


(6)

commit to user

xviii ABSTRAK

Shinta Utami, E0007211. 2011. TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI TERHADAP UU NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN RI, UU NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN, UU NO. 8 TAHUN 1981 TENTANG KUHAP, UU NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI, UU NO. 31 TAHUN 1999 jo UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sinkronisasi hukum mengenai pengaturan kewenangan dalam hal penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi berdasarkan peraturan yang mengaturnya.

Penulisan hukum ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat preskriptif, mengkaji bagaimana pengaturan mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi serta taraf sinkronisasi hukum mengenai kewenangan tersebut berdasarkan peraturan yang mengaturnya yaitu UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, UU No. 8 tahun 1981 Tentang KUHAP, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sumber penelitian sekunder yang digunakan meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan sumber bahan hukum yang digunakan yaitu studi kepustakaan dan rujukan internet. Analisis penelitian yang digunakan adalah silogisme deduktif dengan pengumpulan sumber penelitian untuk menafsirkan norma terkait, kemudian sumber penelitian tersebut diolah dan dianalisis untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap terakhir adalah menarik kesimpulan dari sumber penelitian yang diolah, sehingga pada akhirnya dapat diketahui pengaturan mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi serta sinkronisasi hukum mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi.

Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa pengaturan mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yaitu terdapat didalam Pasal 1 angka 8 sampai dengan 13 UU Kepolisian, Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, Pasal 1 ayat (4) dan Pasal 6 ayat (1) KUHAP, Pasal 6, Pasal 7 huruf a, Pasal 8 ayat (2), (3), (4), Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 38 sampai dengan Pasal 41 serta Pasal 43 sampai dengan Pasal 45 UU KPK, Pasal 25, 26, 28, 29, 30, 32, dan 33 UU Tipikor. Sedangkan taraf sinkronisasi horosontal kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi berdasarkan peraturan yang telah mengaturnya sesungguhnya terdapat sinergisitas antar instansi yang menanganinya sesuai dengan aturan yang telah mengaturnya.

Kata Kunci : sinkronisasi hukum, kewenangan penyelidikan dan penyidikan, tindak pidana korupsi.


(7)

commit to user

xvii ABSTRACT

Shinta Utami, E0007211. 2011. A STUDY OF LAW SYNCHRONIZATION

OF PERUSAL AND INVESTIGATION COMPETENCE OF

CORRUPTION CRIMINALITY (A STUDY TOWARDS UU NO. 2 YEAR 2002 ABOUT REPUBLIK OF INDONESIA POLICE DEPARTEMENT, UU NO. 16 YEAR 2004 ABOUT HOUSE OF PROSECUTION, UU NO. 8 YEAR 1981 ABOUT KUHAP, UU NO. 30 YEAR 2002 ABOUT CORRUPTION CRIMINALITY DISMISS COMISSION, UU NO. 31 YEAR 1999 jo UU NO. 20 YEAR 2001 ABOUT CORRUPTION CRIMINALITY DISMISS). Faculty of Law of SEBELAS MARET UNIVERSITY.

This law essay is aimed at finding how the synchronization of law about the regulation of competence in perusal and investigation towards corruption criminality based on the rule that regulate it.

This law essay is a normatuve law research prescription, that examine how the rule about perusal and investigation fowards corruption criminality ang law synchronization degree about that compentence based on the rule that regulate it, that is UU No. 2 Year 2002 about Republik Of Indonesia Police Departement, UU No. 16 Year 2004 about House Of Prosecution, UU No. 8 Year 1981 about KUHAP, UU No. 30 Year 2002 about Corruption Criminality Dismiss Comission, UU No. 31 Year 1999 Jo UU No. 20 Year 2001 about Corruption Criminality Dismiss. Secondary source used is primary law materials, secondary law materials and tertiary law materials. The law material source collection technique used is literature study and internet recomendation. The research analysis used in this reaserch is deductive syllogism with research source is processed and is analyzed to solve the problem examined. The last stage is infering all the research source processed, so it can be found about the perusal and investigation competence towards corruption criminality and the synchronization of law about perusal and investigation competence towards corruption criminality.

Based on the research, it can be infer that the regulation about perusal and investigation competence towards corruption criminality that is stated in Chapter 1 number 8 until 13 UU Republik of Indonesia Police, Chapter 30 verse (1) letter d UU House of Prosecution, Chapter 1 verse (4) and Chapter 6 verse (1) KUHAP, Chapter 6, Chapter 7 letter a, Chapter 8 verse (2), (3), (4), Chapter 9, Chapter 10, Chapter 11, Chapter 12, Chapter 38 until Chapter 41, Chapter 43 until Chapter 45 UU Corruption Criminality Dismiss Comission, Chapter 25, 26, 28, 29, 30, 32, and 33 UU Corruption Criminality Dismiss.. meanwhile, the horizontal synchronization degree of perusal on investigation towards corruption criminalitybased on the regulation that had been regulated is in fact there is a synergy between instances that handle it based on the regulation that regulate it. Key words: Law synchronization, perusal and investigation competence, corruption criminality.


(8)

commit to user

xviii MOTTO

Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika

dia (yang terdakwa) kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kebaikannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari

kebenaran. Dan kalau kamu memutar balikkan kenyataan atau enggan menjadi saksi maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu

kerjakan.

(Q.S.An-Nisa 4 : 135 )

Hiduplah bersama Al-quran, baik dengan cara menghafal, membaca, mendengarkan, maupun merenungkannya. Sebab ini obat yang mujarab

untuk mengusir kesedihan dan kedukaan. (Dr. Aidh Al Qarni, La Tahzan)

Terkadang Tuhan memberikan kita cukup kebahagiaan untuk membuat kita belajar bagaimana untuk tidak melupakan-Nya dengan bersyukur dan memberikan cukup cobaan membuat kita belajar bagaimana untuk tetap

kuat dan berproses. (Penulis)


(9)

commit to user

xvii

PERSEMBAHAN

Karya kecil ini Penulis persembahkan kepada :

· Allah SWT, Dzat yang Maha Sempurna,

Maha mendengar doa manusia dan memberi jalan untuk setiap kesulitan dan kemudahan hamba-NYA

· Baginda Rasulullah Muhammad SAW,

yang telah menyampaikan kebenaran-kebenaran dari Allah SWT kepada kita hamba-Nya yang terlalu kecil di hadapan-Nya

· Ibu dan Bapak, doamu adalah energiku

dan harapanmu adalah kekuatanku

· Simbah, sujud dan doamu adalah

semangatku

· Kakakku teman berbagiku, gudang

pengalamanku


(10)

commit to user

xviii

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur Penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, atas setiap kasih sayang-Nya, berkah dan rahmat-NYA sehingga Penulis dapat menyusun dan

menyelesaikan Penulisan Hukum yang berjudul “TELAAH SINKRONISASI

HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN

TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI TERHADAP UU NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN RI, UU NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN, UU NO. 8 TAHUN 1981 TENTANG KUHAP, UU NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI, UU NO. 31 TAHUN 1999 jo UU NO. 20 TAHUN 2001

TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI)”. Shalawat

dan salam semoga selalu tercurah kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW. Penulisan Hukum atau Skripsi merupakan tugas wajib yang harus diselesaikan oleh setiap mahasiswa untuk melengkapi syarat memperoleh derajat sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penanganan tindak pidana korupsi seperti halnya dengan tindak pidana lain di awali dengan penyelidikan dan penyidikan. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana khusus, dalam penanganan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi (tindak pidana khusus) dimiliki oleh beberapa instansi yang memiliki kewenangan dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi, diantaranya alah Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi di atur di dalam beberapa aturan perundang-undangan yaitu UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, UU No. 8 tahun 1981 Tentang KUHAP, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga terlihat seperti adanya tumpang tindik kewenangan antar instansi dalam penanganan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu adanya


(11)

commit to user

xvii

sinkronisasi hukum kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi untuk menjelaskan sinergisitas kewenangan antar instansi-instansi yang berwenang tersebut

Untuk itu, mengenai pengaturan kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi harus diatur secara jelas agar terlihat sinergisitas antar pihak yang mempunyai kewenangan tersebut dan tidak terlihat adanya tumpang tindih kewenangan dalam penanganan korupsi di Indonesia dan dapat tetap berjalan secara maksimal.

Penulis menyadari bahwa terselesainya Penulisan Hukum ini tidak terlepas dari bantuan baik moril maupun materiil serta doa dan dukungan berbagai pihak, dalam kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H., selaku pembimbing I yang telah memberikan banyak masukan, saran dan motivasi bagi Penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini.

3. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H.,M.H., selaku pembimbing II yang dengan

sabar memberikan bimbingan, saran, kritik, dan motivasi serta bersedia menyediakan waktu, pemikiran dan berbagi ilmu dengan penulis.

4. Ibu Kus Sunaryatun, S.H.,M.H., selaku pembimbing akademis, atas nasehat yang berguna bagi penulis selama penulis belajar di Fakultas Hukum UNS. 5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu

pengetahuan kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan skripsi ini.

6. Ketua Bagian PPH Bapak Lego Karjoko S.H., M.Hum., dan Mas Wawan anggota PPH yang banyak membantu penulis dalam penulisan skripsi ini. 7. Segenap staff Perpustakaan Fakultas Hukum UNS, yang telah membantu

menyediakan bahan referensi yang berkaitan dengan topik penulisan hukum. 8. Ibu dan Bapak tercinta yang selalu mengantarkan kepergianku dengan penuh


(12)

commit to user

xviii

dengan senyum dan perhatiannya. Terima kasih atas setiap cinta, doa, kasih sayang, perhatian, harapan, dukungan, motivasi, semangat dan segala yang telah kalian berikan yang tidak ternilai harganya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini.

9. Simbah tercinta, terimakasih disela-sela setiap sujud dan doamu tak lupa selalu ada doa untukku.

10.Kakak terbaik didunia, Sulistyo Utomo teman berbagi yang telah memberikan pandangan dan bantuan cukup ilmu bagi Penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini.

11.Saudara-saudara dan keluarga besar atas doa dan dukungan yang luar biasa kepada penulis.

12.Sahabat-sahabat motivasiku, Lina “partner in crime” sahabat yang selalu memberikan bantuan dan informasi selama hampir 4 tahun ini, Venni sahabat ceriaku teman berbagi cerita, Tyas sahabat saling menopang teman untuk saling menguatkan. Suka, duka, tawa dan tangis pernah mewarnai kebersamaan kita dan kita selalu bertahan dalam keadaan apapun untuk tetap menjadi satu dari awal sampai ujung kapanpun dibawah pedoman yang selalu kita ingat bersama “Perbedaan Itu Indah!!”.

13.Sahabat-sahabat yang dipertemukan ketika Magang di Kejaksaan Negeri Karanganyar : Mey, Wawan, Mas Agung, Mas Sukma, Puspita, Dhika, Mardiyan. Tak akan pernah sekeping kenanganpun akan terlupakan dari kebersamaan kita yang hanya 1 bulan saja.

14.Sahabat malamku, Mey, Wawan, Mas Agung dan Mas Sukma terimakasih untuk hari-hari dan setiap malam yang kita lewati bersama. Walau hanya sekedar kopi yang terkadang selalu menjadi teman bekumpul kita tapi rajutan impian selalu terukir untuk menjadi semangat dan batu loncatan kita. Tarimakasih dan maav atas segala kejutan yang terkadang menimbulkan tawa ataupun amarah itu semua tak luput dari kealpaan dari diri pribadi untuk kebersamaan kita.

15.Sahabat perjuangan, kawan untuk saling berproses : Dayat, Gopal, Padank, Refi, Yuda, Mia, Citra, Dina, Riri, Desi, Hangga keluarga dalam satu tubuh


(13)

commit to user

xvii

Pengurus HMI Kom FH UNS serta mas-mas yang telah membagi banyak ilmu dan pandangan hidup untuk merubah dunia : Mas Didit, Mas Yasser, Mas Anung, Mas Ridho, Mas Aldi, Mas Okki, Mas Aji, Mas Arman, Yedi, Mas Martin, Mas Wisnu.

16.Keluarga keduaku, teman hidup bersama di kota Solo yang menumbuhkan arti keluarga antara kita “Kethoprak” : Wulan, Lina, Dasri, Duden, Nopek, Nia, Huzna, Dek Aning. Terimakasih atas perhatian dan bantuan serta canda tawa yang mewarnai rumah kontrakan kita, walau hanya sekedar “gubuk” tetapi banyak cerita tertoreh bersama.

17.Rahadian Anhar Ansori “kawan dalam bersaing” makasih untuk semua waktunya sudah menjadi teman berbagi, menjadi pendengar dan penasehat yang baik dan terimakasih untuk selalu mengingatkan tentang ajaran agama. 18.Sahabat senyum dan tawa : Prisil, Enggar, Lisa, Radit walau tak bisa

menempuh ilmu di kota yang sama dengan kalian tetapi terimakasih untuk semua waktu, canda, tawa, cerita yang telah kalian luangkan dan bagi bersama. Terima kasih untuk mau menampungku di Jogja ketika Solo terkadang membuat lengah. Tetap saling berbagi semangat dalam keadaan apapun. Bangkitkan kawan disaat dia terjatuh.

19.Teman-teman angkatan 2007 Fakultas Hukum UNS, teman-teman PETITUM

2010, teman-teman Kru DepDok (Hafidz, Mamo, Ebik, Yayas, Ocki, Yudha) terimakasih atas kekompakan kita dan ilmu yang kita dapat bersama. Tak pernah ada kata sesal pernah berada diantara kalian.

20.Para pihak “di belakang layar” yang telah banyak membantu dalam penyelesaian Penulisan Hukum ini, yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu, semoga Allah SWT membalasnya dengan kebaikan yang lebih atas jasa-jasa yang telah diberikan.

Penulis menyadari bahwa Penulisan Hukum atau Skripsi ini masih jauh dari sempurna baik dari segi subtansi ataupun teknis penulisan. Untuk itu sumbang saran dari berbagai pihak yang bersifat konstruktif, sangat penulis harapkan demi perbaikan penulisan hukum selanjutnya. Demikian semoga penulisan hukum ini


(14)

commit to user

xviii

dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, baik untuk penulisan, akademisi, praktisi maupun masyarakat umum.

Surakarta, Maret 2011

Penulis


(15)

commit to user

xvii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... v

ABSTRAK ... vi

HALAMAN MOTTO ... viii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xviii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Metode Penelitian ... 9

F. Sistematika Penulisan Hukum ... 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori ... 15

1. Tinjauan tentang Sinkronisasi Hukum ... 15

2. Tinjauan tentang Penyelidikan dan Penyidikan ... 16

a. Pengertian Penyelidikan dan Penyidikan ... 16

b. Pengertian Penyelidik dan Penyidik ... 18

c. Tugas dan wewenang Penyelidik... 19

d. Tugas dan wewenang Penyidik ... 21

3. Tinjauan tentang Tindak Pidana Korupsi ... 24


(16)

commit to user

xviii

b. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ... 27 c. Pembagian Tindak Pidana Korupsi ... 29 d. Faktor-faktor timbulnya korupsi ... 33

4. Tinjauan tentang Undang-Undang Penegakan Hukum Tindak Pidana

Korupsi ... 35 a. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI ... 35 b. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI .... 36 c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP... 38

d. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ... 38

e. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ... 39 B. Kerangka Pemikiran ... 41

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pengaturan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi dalam UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU KPK, UU Tipikor ... 42 1. Pengaturan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak

pidana korupsi dalam UU Kepolisian ... 42 2. Pengaturan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak

pidana korupsi dalam UU Kejaksaan ... 45 3. Pengaturan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak

pidana korupsi dalam KUHAP ... 47 4. Pengaturan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak

pidana korupsi dalam UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ... 51 5. Pengaturan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak


(17)

commit to user

xvii

B. Taraf Sinkronisasi Horisontal Pengaturan Kewenanagn Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi dalam UU Kepolisian, UU

Kejaksaan, KUHAP, UU KPK dan UU Tipikor ... 64

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan ... 75 B. Saran ... 77 DAFTAR PUSTAKA


(18)

commit to user

xviii

DAFTAR GAMBAR


(19)

commit to user BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Era globalisasi semakin lama semakin menunjukkan era persaingan dan kemajuan di segala bidang mulai saling berhadapan. Indonesia sebagai suatu negara yang sedang berkembang tidak mau untuk ketinggalan dalam melalui era ini, sehingga mau tidak mau masyarakatnyapun harus dapat menyesuaikan dengan kemajuan zaman.

Seiring dengan fenomena di atas, tidak hanya persaingan dan kemajuan di segala bidang saja yang mencuat ke permukaan, tetapi kebutuhan masyarakatpun juga semakin meningkat, bahkan meningkatnya berbagai kebutuhan tersebut tidak senada dengan meninggkatnya daya beli dan pendapatan masyarakat yang terkadang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Hal inilah yang akhirnya dapat memunculkan barbagai cara untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Berbagai inovasi akhirnya muncul, masyarakat semakin produktif, namun tidak jarang cara-cara negatif juga ikut bermunculan. Menghalalkan segala cara untuk memenuhi berbagai kebutuhan menjadi hal yang biasa terjadi di tengah-tengah masyarakat tanpa mempedulikan kepentingan orang lain bahkan kepentingan negara sekalipun jika perlu akan dikorbankan. Perampokan, pencurian, penggelapan, penyelundupan, penipuan dan berbagai bentuk kejahatan lainnya terjadi. Itu semua dapat terjadi seakan-akan disebabkan karena faktor ekonomi, seiring dengan kemajuan dan persaingan yang semakin meningkat.

Di sini peran penegak hukum sangatlah penting untuk menciptakan kehidupan yang selaras dengan tujuan Pancasila dan UUD 1945. dalam system penegakan hukum di peradilan pidana, polisi dan jaksa merupakan dua institusi penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat. Hukum acara pidana menjadi pegangan bagi Polisi, Jaksa, serta Hakim (bahkan termasuk Penasihat Hukum) di dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan dan pemeriksaan di pengadilan. Para pelaksana hukum ini dalam melaksanakan tugasnya tidak


(20)

commit to user

boleh menyimpang dari asas-asas hukum acara pidana. Di dalam hukum acara pidana diatur dengan jelas apa tugas dan kewenangan masing-masing alat negara yang bekerja dalam sistem peradilan pidana.

Secara nyata pelanggaran terhadap peraturan-peraturan hukum sangatlah marak terjadi di masyarakat bahkan di kalangan penegak hukum itu sendiri. Pelanggaran terhadap peraturan-peraturan hukum ini merupakan tindak pidana yang sangat merugikan masyarakat bahkan Negara itu sendiri. Tindak pidana yang saat ini menjadi sorotan masyarakat adalah korupsi, kolusi dan nepotisme. Masalah korupsi itu sendiri merupakan masalah yang besar dan ruwet yang dihadapi oleh negara kita saat ini. Masalah korupsi merupakan masalah banyak seginya, banyak sangkut pautnya dan tidak tentu pangkalnya.

Andi Hamzah berpendapat, masalah korupsi telah mendunia. Buktinya telah ada konvensi internasional mengenai pemberantasan korupsi, jadi penentuan peringkat korupsi Indonesia yang demikian tingginya masih dapat

dipertanyakan kebenarannya, melihat negara lain yang sampai

mempergunakan kekuatan militer untuk merebutkan kekayaan negara lain, ini sudah meningkat dari persoalan korupsi individual atau kelompok ke korupsi negara (Andi Hamzah, 2004:13)

Korupsi merupakan suatu bentuk tindak pidana yang dianggap suatu extra ordinary crime (kejahatan luar biasa), karena korupsi dapat menjegal dan melumpuhkan sendi-sendi perekonomian negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Semenjak reformasi pada tahun 1998, sejak lengsernya pemerintahan Orde baru, dimana pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto tersebut dianggap tidak bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), suara-suara tentang perlawanan terhadap korupsi mulai terdengar. Bahkan termuat pula dalam agenda cita-cita reformasi sendiri yang dituangkan dalam Ketetapan MPR No. XI Tahun 1998 tertanggal 13 November tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yang menyatakan antara lain bahwa upaya pemberantasan KKN harus dilakukan secara tegas kepada siapapun juga, baik pejabat negara,


(21)

commit to user

mantan pejabat negara, keluarga dan kroni-kroninya, maupun pihak swasta

atau pengusaha konglomerat termasuk Presiden Soeharto

(http://www.komisihukum.go.id/konten.php/ diakses tanggal 9 September 2010 pukul 22.15 WIB).

Penanganan terhadap perkara-perkara korupsi haruslah dilakukan secara serius, karena seperti yang telah disebutkan di atas korupsi dapat menjegal dan melumpuhkan sendi-sendi perekonomian negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka daripada itu Peraturan Perundang-undangan yang mengaturnyapun harus diupayakan secara efektif dapat menjerat setiap menggeliatnya praktek-praktek korupsi, jadi Peraturan Perundang-undangan tersebut juga harus dapat digunakan secara dinamis dan fleksibel dari zaman ke zaman. Namun karena tidak dapat dibuat Undang-undang tentang korupsi yang semacam itu, maka terpaksa Undang-Undang-undang korupsi selalu diganti setiap undang-undang tersebut sudah dianggap tidak efektif lagi.

Usaha pemberantasan korupsi selain telah diadakan pembaharuan sumber pokok hukum pidana korupsi, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, telah dibentuk dan diberlakukan pula berbagai perangkat peraturan perundang-undangan lainnya sebagai penunjang dan pelengkap dasar hukum bagi pemerintah, dalam usaha memberantas korupsi di Indonesia. Hendaknya dicermati bahwa dengan membuat dan mengganti atau memperbaiki peraturan perundangan-undnagan akan berakibat penegakan hukum dalam mengatasi korupsi menjadi beres. Anggapan tersebut tidak benar, karena penyebab utamanya bukanlah pada perangkat hukumnya, tetapi pada penegak hukumnya. Dahulu gagalnya pemberantasan korupsi disebabkan karena pejabat atau penyelenggara negara banyak turut campur dalam urusan penegakan hukum yang mempengaruhi dan mengatur proses jalannya peradilan. Dalam era reformasi saat ini bukan saja penyelenggara negara (eksekutif) yang ikut campur, tetapi juga dari kekuatan poitik yang ada di


(22)

commit to user

partai politik atau kalangan politikus yang ada di DPR termasuk DPR daerah. Lebih parah lagi bila pengaruh itu menggunakan uang. Tidak dapat di pungkiri dan telah menjadi rahasia umum bahwa penegakan hukum di rusak oleh adanya budaya suap (termasuk kategori korupsi) yang memang sulit dibuktikan secara hukum.

Kesungguhan pemerintah dalam menanggulangi tindak pidana korupsi adalah komitmen yang tidak dapat dipungkiri, harus dilaksanakan secara konsekuen penuh tantangan dan resiko, walaupun kendala sangat komplek, tetapi peraturan yang telah ada dijadikan sebagai pedoman kerja bagi aparat penegak hukum. Setiap pelaku kejahatan korupsi tentu harus dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (Ajimbar, 2007:5)

Kompleksitas kejahatan korupsi mustahil dapat dicari jalan keluarnya hanya dengan pendekatan parsial. Dalam ketentuan hukum internasional, selain korupsi sebagai kejahatan luar biasa akibat adanya penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) yang telah menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bernegara. Juga kejahatan korupsi menjadi sangat sulit diberantas karena muara utamanya berada pada instutusi penegak hukum (Jawahir Thontowi, 2007:2). Kasus korupsi yang juga menjadi masalah di negara-negara lain memunculkan pernyataan bahwa bukti data kuantitatif mengenai korupsi sebenarnya bisa didapatkan dari sumber resmi pemerintah seperti lembaga statistik pemerintah namun data semacam itu hanya sedikit yang dipublikasikan secara riil (Daniel Levy, 2007:1-2). Dalam pemeriksaan perkara pidana di Indonesia secara normatif (substansi) menunjuk kepada peraturan induk yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), beserta aturan lain yang memiliki keterkaitan denagn ketentuan tersebut. Tahapan pemeriksaan dalam aturan itu dapat digambarkan sebagai berikut:

a. Tahap Penyelidikan; b. Tahap Penyidikan;


(23)

commit to user c. Tahap Penuntutan;

d. Tahap Pemeriksaan di Sidang Pengadilan; e. Upaya Hukum Biasa dan Luar Biasa; f. Pelaksanaan Putusan Pengadilan.

Dalam tahap pemeriksaan penyelidikan dan penyidikan merupakan fungsi yang tidak dapat dipisahkan. Penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode yang menyatu dengan fungsí penyidikan sebagaimana yang ditentukan Pedoman Pelaksanaan KUHAP berikut ini : “Penyelidikan bukanlah merupakan fungsi yang berdiri sendiri, terpisah dari fungsi penyidikan, melainkan hanya merupakan salah satu cara atau metode fungsi penyidikan, yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan penyelesaian dan penyerahan berkas perkara lepada penuntut umum. Latar belakang motivasi dan urgensi perkara diintrodusirkan fungsi penyelidikan, antara lain adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa, ketatnya pengawasan dan adanya lembaga ganti kerugian dan rehabilitasi, dikaitkan bahwa tidak setiap peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana, maka sebelum melangkah lebih lanjut dengan melakukan penyidikan denagn konsekuensi di gunakannya upaya paksa perlu ditentukan terlebih dahulu berdasarkan daat atau keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan bahwa peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu benar adanya merupakan tindak pidana sehingga dapat dilanjutkan dengan tindakan penyidikan”. Dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam melakukan statu penyidikan diperlukan adanya taktik, teknik, pengetahuan, modus operandi yang variatif serta kejelian, ketepatan dan kecepatan untuk mengungkapkan alat-alat bukti lain yang dapat berupa surat-surat, baik asli maupun fiktif, neraca dan jurnal-jurnal pembukuan dan lain-lain yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara secara melawan hukum sebagaimana elemen terpenting dari tindak pidana korupsi.


(24)

commit to user

Dalam penanganan tindak pidana korupsi khususnya pada tahap penyelidikan dan penyidikan terdapat ketidak harmonisan bahkan tumpang- tindih penanganan terhadap masalah tersebut karena dilakukan oleh beberapa lembaga yang kesemuanya merasa mempunyai wewenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. Sehinggga muncul sindiran dari masyarakat bahwa lembaga-lembaga penegak hukum tersebut saling berebut rejeki satu sama lain. Rebutan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana khusus (seperti korupsi) antara polisi, jaksa dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, misalnya membuat masyarakat mengkritik bahwa antara lembaga penegak hukum tersebut tengah terlibat “perkelahian” untuk mendapat “rejeki” yang besar. Untuk itu perlu dilihat kembali lembaga mana yang benar-benar penting dan perlu untuk menanggulangi korupsi secara optimal dengan peraturan perbandingan tugas dan wewenang dalam penanganan tindak pidana korupsi.

Berdasarkan uraian di atas, menarik penulis untuk meneliti tentang sinkronisasi hukum kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi di tinjau dari peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, maka penulis mengkaji lebih mendalam di dalam sebuah penulisan hukum dengan

judul “TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN

PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI TERHADAP UU NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN RI, UU NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN, UU NO. 8 TAHUN 1981 TENTANG KUHAP, UU NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI, UU NO. 31 TAHUN 1999 jo UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI)”.


(25)

commit to user

B. Rumusan Masalah

Agar permasalahan yang hendak diteliti tidak mengalami perluasan konteks dan supaya penelitian yang dilaksanakan lebih mendalam maka diperlukan suatu pembatasan masalah. Pokok permasalahan yang hendak menjadi tujuan penulis yaitu terbatas pada masalah yang berkaitan dengan sinkronisasi hukum kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi di lihat dari UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, UU No. 8 tahun 1981 Tentang KUHAP, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga agar tidak terjadi penyebutan berulang-ulang mengenai produk-produk hukum diatas maka selanjutnya akan disebutkan dengan UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU KPK dan UU Tipikor.

Berdasarkan pemaparan dalam latar belakang dan mengacu dari judul penelitian hukum, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dalam UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU KPK dan UU Tipikor?

2. Bagaimana taraf sinkronisasi horisontal pengaturan kewenangan

penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dalam UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU KPK dan UU Tipikor?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian dilakukan karena memiliki tujuan. Tujuannya adalah memecahkan permasalahan yang tergambar dalam latar belakang dan rumusan masalah. Karena itu, tujuan penelitian sebaiknya dirumuskan berdasarkan rumusan masalahnya. Tujuan penelitian dicapai melalui serangkaian metodologi penelitian . Oleh karenanya, tujuan penelitian yang baik adalah rumusannya operasional dan tidak bertele-tele. Dari tujuan inilah, dapat


(26)

commit to user

diketahui metode dan teknik penelitian mana yang cocok untuk dipakai dalam penelitian itu (M. Subana dan Sudrajat, 2001:71)

Selain itu, tujuan penelitian diperlukan untuk memberikan arah dalam melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui pengaturan kewenangan penyelidikan dan

penyidikan tindak pidana korupsi dalam produk hukum di Indonesia.

b. Untuk mengetahui taraf sinkronisasi horisontal pengaturan

kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dalam produk hukum di Indonesia.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk mengembangkan dan memperdalam pengetahuan penulis di bidang Hukum Acara Pidana khususnya mengenai sinkronisasi hukum kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi di lihat dari UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU KPK dan UU Tipikor.

b. Untuk memperoleh data sebagai bahan utama dalam penyusunan skripsi sebagai persyaratan wajib guna mencapai derajat sarjana (S1) di bidang hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian hukum ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun orang lain baik sekarang dan di masa yang akan datang. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan hukum ini sebagai berikut:


(27)

commit to user 1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan sumbangan pemikiran pada pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Acara Pidana pada khususnya. b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dan referensi di bidang karya

ilmiah serta bagi penelitian dan penulisan hukum sejenis di masa yang akan datang.

2. Manfaat Praktis

a. Dapat memberikan data dan informasi mengenai sinkronisasi hukum kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi di lihat dari UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU KPK dan UU Tipikor.

b. Dapat dipergunakan sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak dalam melaksanakan tugas menangani perkara tindak pidana korupsi.

c. Sebagai praktek dan teori penelitian dalam bidang hukum dan juga sebagai praktek dalam pembuatan karya ilmiah dengan suatu metode penelitian ilmiah.

E. Metode Penelitian

Penelitian pada dasarnya merupakan suatu upaya pencarian dan bukan sekedar mengamati dengan teliti terhadap suatu obyek yang mudah terpegang di tangan. Penelitian merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris yaitu research, yang berasal dari kata re (kembali) dan search (meneliti). Dengan demikian artinya ”mencari kembali”. Suatu penelitian secara ilmiah dilakukan oleh manusia untuk menyalurkan hasrat ingin tahunya yang telah mencapai taraf ilmiah, yang disertai dengan keyakinan bahwa setiap gejala akan dicari sebab akibatnya atau kecenderungan yang timbul. Pentingnya dilaksanakan penelitian hukum ialah untuk mengembangkan disiplin hukum dan ilmu hukum sebagai salah satu tridarma perguruan tinggi. Penelitian hukum itu


(28)

commit to user

bertujuan untuk membina kemampuan dan keterampilan para mahasiswa dan para sarjana hukum dalam mengungkapkan kebenaran ilmiah, yang obyektif, metodik, dan sistemati (Hilman Hadikusuma, 1995:8).

Sebuah tulisan baru dapat dirasakan bersifat ilmiah apabila ia mengandung kebenaran secara obyektif, karena didukung oleh informasi yang teruji kebenarannya. Untuk dapat membuktikan kebenaran ilmiah dari penelitian yang dilaksanakan, maka perlu dikumpulkan fakta dan data yang menyangkut masalahnya dengan menggunakan metode dan teknik penelitian. Tanpa adanya metode dan teknik penelitian maka hasil penelitian itu diragukan kebenarannya (Hilman Hadikusuma, 1995:58).

Adapun metode penelitian yang akan digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian hukum ini adalah jenis penelitia hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan mempelajari bahan-bahan kepustakaan atau disebut juga data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan hukum disusun secara sistematis dan juga dikaji untuk selanjutnya dapat ditarik kesimpulan atas apa yang diperoleh. 2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian hukum ini sejalan dengan sifat ilmu hukum itu sendiri. Sifat dari ilmu hukum adalah ilmu yang preskriptif dan terapan (Peter Mahmud Marzuki, 2009:22). Penelitian ini bersifat Preskriptif karena berusaha menjawab isu hukum yang diangkat dengan argumentasi, teori, atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2009:35).

3. Pendekatan Penelitian

Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian hukum ada lima pendekatan, yaitu: pendekatan perundang-undangan (Statute approach), pendekatan kasus (Case approach), pendekatan histories (Historical approach), pendekatan perbandinagn (Comparative approach),


(29)

commit to user

dan pendekatan konseptual (Conceptual approach). (Peter Mahmud Marzuki, 2009:93).

Adapun dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yang relevan dengan permasalahan penelitian yang diangkat yaitu pendekatan perundang-undangan. Pendekatan undang-undang (Statute approach) dilakukan dengan menelaah beberapa undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut denagn isu hukum yang sedang diteliti oleh penulis. Dalam hal ini penulis akan menelaah UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU KPK dan UU Tipikor guna menemukan sinkronisasi hukum kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi.

4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan-bahan hukum autoritatif. Artinya, bahan hukum primer merupakan bahan yang memiliki otoritas atau kekuasaan dalam pelaksanaannya. Yang termasuk bahan hukum primer adalah peraturan perundnag-undangan, catatan resmi atau risalah dalam pembuatan undanng-undang, dan putusan hukum. Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tidak resmi yang berkaitan dengan hukum. Publikasi hukum tersebut meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2009:141).

Sumber data yang diperguanakn dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder. Sumber data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh dari kepustakaan, dalam hal ini dibedakan menjadi 2 yaitu :

a) Bahan hukum primer

Semua bahan hukum yang mempunyai kedudukan mengikat secara yuridis. Meliputi peraturan perundang-undangan dalam hal ini:

(1) Kitab Undang-Undnag Hukum Acara Pidana.

(2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI. (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.


(30)

commit to user

(4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(5) Undang-Undnag Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

b) Bahan hukum sekunder

Semua bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, meliputi:

(1) Buku-buku ilmiah dibidang hukum.

(2) Makalah-makalah dan hasil-hasil karya ilmiah para sarjana. (3) Kamus-kamus hukum dan ensiklopedia.

(4) Jurnal-jurnal hukum.

(5) Literatur dan hasil penelitian lainnya.

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam hal penelitian ini, penulis mengumpulkan data dengan melalui studi pustaka yaitu dengan cara mengkaji, membaca, dan mempelajari bahan-bahan pustaka, baik berupa peraturan perundang-undangan, artikel dari media massa maupun internet, jurnal, makalah, dokumen, serta bahan-bahan lain yang berhubungan denagn pokok bahasan daalm penelitian ini.

6. Teknik Analisis Bahan Hukum

Setelah bahan hukum terkumpul, langkah selanjutnya yang dapat dilakukan ialah mengolah atau menganalisis bahan. Teknik analisis bahan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah interpretasi dan silogisme dengan menggunakan pola berpikir deduktif.

Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penelitian hukum yang memberikan penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.

Pola berpikir deduktif yaitu berpangkal dari prinsip-prinsip dasar untuk kemudian memberikan objek yang akan diteliti. Sedangkan metode silogisme yang menggunakan pendekatan deduktif menurut Aristoteles berpangkal dari pengajuan premis mayor. Kemudian diajukan premis


(31)

commit to user

minor, dari kedua premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2005:46)

Peter Mahmud membedakan interpretasi menjadi beberapa macam, yaitu interpretasi berdasar kehendak pembentuk Undang-Undang, interpretasi sistematis, interpretasi historis, interpretasi teologis, interpretasi antisipatoris, dan interpretasi modern (Peter Mahmud Marzuki, 2005:106-107).

Dalam penulisan hukum ini penulis menggunakan metode interpretasi antara lain adalah sebagai berikut:

a. Interpretasi berdasarkan kata Undang-Undang

Interpretasi ini berdasarkan kata-kata yang terdapat dalam Undang-Undang. Interpretasi ini akan dapat dilakukan terhadap kata-kata dalam undang-undang yang singkat, padat, tajam dan akurat mengenai apa yang dimaksud oleh undang-undang tersebut dan tidak mengandung kata yang multi tafsir atau arti yang bermacam-macam. Hal ini sesuai dengan karakteristik dari Undang-Undang sebagai perintah maupun larangan (Peter Mahmud Marzuki, 2005:112).

b. Interpretasi sistematis

Interpretasi yang menilik keterkaitan antara undang-undang yang satu dengan peraturan perundang-undangan yang lain yang memiliki hubungan saling ketergantungan asas yang mendasarinya satu sama lain. Landasan pemikiran interpretasi sistematis adalah undang-undang merupakan suatu kesatuan dan tidak satupun ketentuan dalam undang-undang merupakan aturan yang berdiri sendiri (Peter Mahmud Marzuki, 2005:112).

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memberikan gambaran secara mneyeluruh mengenai


(32)

commit to user

hukum, maka sistematika penulisan hukum ini terdiri dari empat bab yang tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bab untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini.

Dalam menyajikan penelitian ini penulis menyusunnya dalam sistematiak penulisan sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Bab ini berisi Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, kerangka Teoritis, dan Metode Penelitian.

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini, penulis menguraikan teori-teori yang menjadi landasan dalam penulisan hukum ini yang meliputi tinjauan tentang sinkronisasi hukum, tinjauan tentang penyelidikan dan penyidikan, tinjauan tentang tindak pidana korupsi, tinjauan tentang undang-undang penegakan hukum tentang tindak pidana korupsi dan diakhiri dengan kerangka pemikiran.

BAB III: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan mengenai hasil penelitian dan pembahasan tentang pengaturan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dalam UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU KPK dan UU Tipikor dan taraf sinkronisasi horisontal pengaturan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dalam UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU KPK dan UU Tipikor.

BAB IV: PENUTUP

Pada bab ini berisi simpulan serta saran-saran yang dapat penulis kemukakan kepada para pihak yang terkait dengan bahasan penulisan hukum ini.


(33)

commit to user

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum tentang Sinkronisasi Hukum

Sinkronisasi hukum adalah penyelarasan dan penyelerasian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang

mengatur suatu bidang tertentu (http://www.penataan

ruang.net/Bab4.pdf/ diakses tanggal 16 Oktober 2010 pukul 01.30 WIB).

Sinkronisasi hukum dapat dilakukan baik secara vertikal (beda derajat) ataupun secara horizontal (sama derajat/ sederajat). Sinkronisasi secara vertikal merupakan sinkronisasi yang didasarkan atas hierarki suatu peraturan perundang-undangan. Misalnya antar Undang-Undang 1945 dengan Ketetapan MPR atau dengan peraturan pelaksanaannya, seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan sebagainya. Untuk itu perhatikan beberapa asas perundang-undangan, yaitu (Amiruddin, 2004:129):

a) Undang-undang tidak berlaku surut.

b) Asas lex superior (lex superior derogat legi inferior); Undang-undang yang lebih tinggi mengalahkan yang lebih rendah.

c) Asas lex specialis (lex specialis derogat legi generalis); Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-undang-Undang-undang yang bersifat umum.

d) Asas lex poterior (lex posterior derogat legi priori); Undang-undang yang berlaku belakangan, mengalahkan Undang-undang-Undang-undang yang terdahulu.

e) Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.

Sedangkan sinkronisaasi horizontal merupakan sinkronisasi terhadap peraturan perundangan yang mengatur tentang berbagai bidang yang mempunyai hubungan fungsional, konsisten yang sama


(34)

commit to user

derajatnya. Penelitian ini, disamping mendapatkan data yang lengkap dan menyeluruh mengenai perundang-undangan bidang tertentu, juga dapat mengungkapkan kelemahan-kelemahan yang ada pada perundang-undangan yang mengatur bidang-bidang tertentu. Dengan demikian peneliti dapat membuatrekomendasi agar perundnag-undangan tersebut dilakukan amandemen. Misalnya sinkronisasi antara Undanng-Undang dengan Peraturan Pemerintah atau antara Keputusan Presiden dengan Keputusan Presiden.

Maksud dari kegiatan sinkronisasi adalah agar substansi yang diatur dalam produk perundang-undangan tidak tumpang tindih, saling melengkapi (suplementer), saling terkait, dan semakin rendah jenis pengaturannya maka semakin detail dan operasional materi muatannya. Adapun tujuan dari kegiatan sinkronisasi adalah untuk mewujudkan landasan pengaturan suatu bidang tertentu yang dapat memberikan kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggaraan bidang tersebut secara efisien dan efektif.

2. Tinjauan Umum tentang Penyelidikan dan Penyidikan

a) Pengertian Penyelidikan dan Penyidikan

Penyelidikan berasal dari kata ”selidik” yang berarti memeriksa dengan saksama atau mengawasi gerak-gerik musuh sehingga penyelidikan dapat diartikan sebagai pemeriksaan, penelitian, atau pengawasan (Rusli Muhammad, 2007:52)

Berdasar Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Sedangkan Penyidikan atau yang biasa disebut Pengusutan, dalam istilah asingnya disebut Opsporing adalah merupakan


(35)

commit to user

persiapan perlengkapan untuk melakukan suatu penuntutan

(verpolging) dengan kata lain merupakan dasar untuk

melaksanakan penuntutan. Karena itu tak dapat dilakukan penuntutan sebelum dilakukan penyidikan atau pengusutan. Perbuatan penyidik atau mengusut adalah merupakan usaha atau tindakan untuk mencari dan menemukan kebenaran tentang apakah betul terjadi suatu tindak pidana, siapa yang melakukan perbuatan itu, bagaimana sifat perbuatan itu, serta siapakah yang terlibat dalam perbuatan itu. Dan suatu penyidikan atau pengusutan diakhiri dengan suatu kesimpulan, bahwa atas perkara tersebut akan diadakan penuntutan atau tidak (K. Wantjik Saleh, 1983:58). Perlu diketahui bahwa telah dilakukan penyidikan mungkin tidak akan dilakukan penuntutan, karena Badan Penuntut Umum dapat mempergunakan asas opportunitet yang tidak akan melakukan penuntutan dengan alasan kalau dilakukan penuntutan maka kerugian negara akan lebih besar.

Berdasar Pasal 1 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa: “Penyidikan ádalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti itu terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menentukan tersangkanya”.

Sebelum dilakukan penyidikan, telah diketahui adanya tindak pidana, tetapi tindak pidana itu belum terang dan belum ditemukan siapa pembuatnya. Adanya tindak pidana yang belum terang itu diketahui dari pekerjaan penyelidikan. Karena menurut Pasal 1 ayat (5), pekerjaan penyelidikan itu dilakukan untuk mencari peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan. Jadi, hasil penyelidikan adalah menemukan peristiwa yang diduga tindak pidana yang berarti tindak pidana yang disebut dalam Pasal 1 ayat (2) tadi masih dugaan saja, artinya belum terang. Walaupun belum terang


(36)

commit to user

karena masih berupa dugaan (subjektif penyelidik), tetapi telah dapat ditentukan untuk dilakukan penyelidikan. Dasar untuk menarik dugaan adanya atau terjadinya tindak pidana yang belum terang tadi ialah adanya alat bukti permulaan, alat bukti permulaan itu dalam praktik disandarkan pada adanya laporan polisi, atau temuan penyelidik. Demikian kiranya isi pengertian dari penyidikan (Adami Chazawi, 2005:381).

b) Pengertian Penyelidik dan Penyidik

Menurut Pasal 1 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) penyelidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan. Sesuai dengan Pasal 1 ayat (5) KUHAP di atas, maka tugas pokok penyelidik adalah mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.

Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan (Pasal 1 ayat (1) KUHAP). Penyidikan baru dapat dilaksanakan oleh penyidik apabila terjadi suatu tindak pidana dan terhadap tindak pidana tersebut dapat dilakukan penyidikan menurut yang diatur dalam KUHAP. Untuk dapat menentukan suatu peristiwa yang terjadi adalah termasuk suatu tindak pidana, menurut kemampuan penyidik untuk mengidentifikasi suatu peristiwa sebagai tindak pidana dengan berdasarkan pada pengetahuan hukum pidana. Secara umum tindak pidana bisa diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang untuk dilakukan, yang apabila dilakukan, akan dikenai ancaman hukuman oleh undang-undang. Hal ini berarti bahwa suatu tindak pidana harus mempunyai unsur melawan


(37)

commit to user

hukum dan atas pelanggaran tersebut diancam dengan hukuman pidana (H. Hamrat Hamid dan Harun M. Husein, 1991:2).

c) Tugas dan Wewenang Penyelidik

Berdasarkan definisi tersebut diatas jelaslah bahwa fungsi penyelidikan atau tugas daripada penyelidik merupakan suatu

kesatuan dengan fungsi penyidikan, penyelidikan hanya

merupakan suatu cara, salah satu tahap dari penyidikan, yaitu tahap yang seyogyanya dilakukan lebih dahulu sebelum melangkah pada tahap-tahap penyidikan selanjutnya. Menurut Pasal 4 KUHAP penyelidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

Di dalam buku Pedoman Pelaksanaan KUHAP dijelaskan latar

belakang, motivasi, dan urgensi diintrodusirnya fungsi

penyelidikan yaitu:

1) Adanya perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi manusia.

2) Adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam

penggunaan upaya paksa.

3) Ketatnya pengawasan dan adanya lembaga ganti rugi dan rehabilitasi.

4) Tidak setiap peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu menampakkan bentuknya secara jelas sebagai tindak pidana, maka sebelum melangkah lebih lanjut dengan melakukan penyidikan, dengan konsekuensi digunakannya upaya paksa, perlu ditentukan lebih dahulu berdasarkan data dan keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan bahwa peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu benar adanya merupakan tindak pidana sehingga dapat dilanjutkan dengan tindakan penyidikan.

Kewenangan penyelidik diatur dalam Pasal 5 KUHAP, menyatakan bahwa:


(38)

commit to user

1) Penyelidik sebagaimana diatur dalam Pasal 4:

(a) Karena kewajibannya mempunyai wewenang:

(1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;

(2) Mencari keterangan dan barang bukti;

(3) Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

(4) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang

bertanggung jawab.

(b) Atas perintah penyidik dapat dilakukan tindakan berupa:

(1) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat,

penggeledahan dan penyitaan; (2) Pemeriksaan dan penyitaan surat;

(3) Mengambil sidik jari dan memotret seorang;

(4) Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.

2) Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil

pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b kepada penyidik.

Secara formal prosedural, suatu proses penyidikan sudah dimulai dilaksanakan sejak dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang di instansi penyidik. Setelah pihak kepolisian menerima laporan atau informasi tentang adanya suatu peristiwa tindak pidana, ataupun mengetahui sendiri peristiwa yang diduga merupakan suatu tindak pidana. Hal ini selain untuk menjaga agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dari pihak kepolisian, dengan adanya Surat Perintah Penyidikan tersebut adalah sebagai jaminan terhadap pelindungan hak-hak yang dimiliki oleh tersangka (H. Hamrat Hamid dan Harun M. Husein, 1991:36).


(39)

commit to user 4) Tugas dan Wewenang Penyidik

Sesuai dengan pengertian dari penyidikan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHAP, maka tugas pokok dari seorang penyidik adalah: a) Mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan bukti-bukti

tersebut membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi.

b) Menemukan tersangka (Leden Marpaung, 2001:17).

Untuk menunjang tugas utama penyidik agar berjalan dengan lancar, maka penyidik diberi kewenangan utuk melaksanakan kewajibannya, seperti yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: ”Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang:

a) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tendang adanya tindak pidana.

b) Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian. c) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda

pengenal tersangka.

d) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan

penyitaan.

e) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat. f) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.

g) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka ataupun saksi.

h) Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam

hubungannya dengan pemeriksaan perkara. i) Mengadakan penghentian penyidikan.

j) Melakukan tindakan lain menurut hukum secara bertanggung jawab.”

Hukum acara kita membatasi pelaksanaan penyidikan tersebut sedemikian rupa agar jangan sampai melanggar hak-hak asasi yang paling pokok dari setiap individu dan penyidik wajib menghormati


(40)

commit to user

asas-asas tersebut, yaitu antara lain asas-asas (Mohammad Amari, 2003:6) :

a) Praduga tak bersalah (presumtion of innocence); b) Persamaan di muka hukum (equality before the law);

c) Hak memperoleh bantuan hukum/penasehat hukum (legal and assistance);

d) Peradilan yang cepat, sederhana, murah, serta bebas dan jujur; e) Penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan harus

berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang berwenang. Jika memperhatikan keseluruhan ketentuan didalam KUHP, dapat diketahui bahwa proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dapat digambarkan sebagai berikut:

1) Diawali dengan adanya bahan masukan suatu tindak pidana Sumber bahan masukan suatu tindak pidana ke dalam pross peradilan pidana berupa pengetahuan atau persangkaan telah terjadinya suatu perbuatan tindak pidana dapat diperoleh penyidik dari berbagai sumber, yaitu dari:

(a) Laporan; (b) Pengaduan;

(c) Tertangkap tangan;

(d) Diketahui sendiri oleh aparat penegak hukum dari hasil penyelidikan.

2) Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian

Yang dimaksud dengan ”tempat kejadian” adlah tempat dimana telah dilakukan sesuatu tindak pidana. Sedangkan yang dimaksud dengan ”melakukan tindakan pertama” di etmpat kijadian itu adalah melakukan segala macam tindakan yang oleh penyidik telah dipandang perlu untuk (P.A.F. Lamintang, 1984:76):


(41)

commit to user

(b) Menangkap pelakunya apabila pelaku tersebut masih berada dalam jangkauan penyidik untuk segera ditangkap.

(c) Menutup tempat kejadian bagi siapa pun yang

kehadirannya disitu tidak diperlukan untuk menyelamatkan nyawa korban, untuk menyelamatkan harta kekayaan orang atau untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan dengan maksud agar tempat kejadian itu tetap berada dalam keadaan yang asli untuk memudahkan penyelidikan dan penyidikan.

(d) Menemukan, menyelamatkan, mengumpulkan dan

mengambil barang-barang bukti serat bekas-bekas yang dapat membantu penyidik untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk tentang identitas pelaku atau dari pelaku-pelakunya, tentang cara-cara atau alat-alat yang telah dipergunakan oleh para pelakunya dan untuk melemahkan alibi yang mungkin saja akan dikemukakan oleh seorang tersangka apabila ia kemudian berhasil ditangkap.

(e) Menemukan saksi-saksi yang diharapkan dapat membantu penyidik untuk memecahkan persolan yang sedang ia hadapi dan memisahkan saksi-saksi tersebut agar mereka itu tidak dapat berbicara satu dengan yang lain, dan lain-lain.

3) Pemanggilan dan pemeriksaan tersangka dan saksi

Berdasar Pasal 7 ayat (1) KUHAP, selama dalam tahap penyidikan, penyidik mempunyai wewenang untuk melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap tersangka dan saksi-saksi lain yang diperlukan.

4) Melakukan upaya paksa yang diperlukan

Upaya paksa adalah segala bentuk tindakan yang dapat dipaksakan oleh aparat penegak hukum pidana terhadap kebebasan bergerak seseorang atau untuk memiliki dan


(42)

commit to user

menguasai suatu barang, atau kemerdekaan pribadinya untuk tidak mendapat gangguan terhadap siapapun.

5) Pembuatan berita acara penyidikan

Pada berita acara juga dilampirkan semua berita acara keterangan tersangka dan saksi, berita acara penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan sebagainya jika hal tersebut telah benar-benar dilakukan dalam rangka penyidikan suatu perbuatan pidana.

6) Penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum

Apabila penyidikan telah selesai, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara tersebut kepada penuntut umum.

3. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi

a) Pengertian Korupsi

Korupsi berasal dari bahasa Latin ”Corruptio” atau ”Corruptus”. Yang kemudian muncul dalam banyak bahasa Eropa seperti Inggris ”Corruption”, bahasa Belanda ”Korruptie” yang berarti penyuapan, perusakan moral, perbuatan tak beres dalam jawatan, pemalsuan dan sebagainya kemudian muncul dalam bahasa Indonesia ”Korupsi”.

Definisi korupsi dalam kamus lengkap Webster’s Third New International Dictionary adalah “ajakan (dari seorang pejabat politik) dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya (misalnya suap) untuk melakukan pelanggaran tugas”(Robert Klitgaard dan Selo Soemardjan 2001:29).

Pengertian korupsi secara harfiah dapat berupa (IGM Nurdjana, 2010:14-15):

1) Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidak jujuran.

2) Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.


(43)

commit to user

3) Perbuatan yang kenyataannya menimbulakn keadaan yang bersifat buruk, perilaku yang jahat dan tercela, atau kebejatan moral, penyuapan dan bentuk-bentuk ketidak jujuran, sesuatu yang dikorup, seperti kata yang diubah atau diganti secara tidak tepat dalam satu kalimat, pengaruh-pengaruh yang korup. Arti kata Korupsi oleh Purwadarminta disimpulkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1979): ”Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya” (BPKP, 1999:267-268). Istilah ”korupsi” sering kali selalu diikuti dengan istilah kolusi dan nepotisme yang selalu dikenal dengan singkatan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). KKN saat ini sudah menjadi masalah dunia, yang harus diberantas dan dijadikan agenda pemerintahan untuk ditanggulangi secar serius dan mendesak, sebagai bagian dari program untuk memulihkan kepercayaan rakyat dan dunia internasional dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang bersangkutan.

Transparency International definisi tentang korupsi yaitu sebagai: ”Perbuatan menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan publik untuk kepentingan pribadi”(Pope J, 2003:6). Dalam definisi tersebut, terdapat tiga unsur dari pengertian korupsi :

1) Menyalahgunakan kekuasaan;

2) Kekuasaan yang dipercayakan (yaitu baik di sektor publik maupun di sektor swasta), memiliki akses bisnis atau keuntungan materi;

3) Keuntungan pribadi (tidak selalu berarti hanya untuk pribadi orang yang menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga anggota keluarganya dan teman-temannya).

Beberapa pengertian korupsi menurut John A. Gardiner dan David J. Olson sebagaimana yang dikutip oleh Martiman Prodjohamidjojo antara lain (M. Prodjohamidjojo, 2001:8-12):


(44)

commit to user

1) Rumusan korupsi dari sisi pandang teori pasar

Jacob Van Klaveren mengatakan bahwa seorang pengabdi negara (pegawai negeri) yang berjiwa korup menganggap kantor/instansinya sebagai perusahaan dagang, sehingga dalam pekerjaannya diusahakan pendapatannya akan diusahakan semaksimal mungkin.

2) Rumusan yang menekankan titik berat jabatan pemerintahan M. Mc. Mullan mengatakan bahwa seorang pejabat pemerintahan dikatakan korup apabila menerima uang yang dirasakan sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu yang bisa dilakukan dalam tugas dan jabatannya padahal seharusnya tidak boleh melakukan hal demikian selama menjalankan tugas. J.S. Nye berpendapat bahwa korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari kewajiban-kewajiban normal suatu peran instansi pemerintah, karena kepentingan pribadi (keluarga, golongan, kawan, teman), demi mengejar status dan gengsi, atau melanggar peraturan dengan jalan melakukan atau mencari penngaruh bagi kepentingan pribadi.

3) Rumusan korupsi dengan titik berat pada kepentingan umum Carl J. Friesrich mengatakan bahwa pola korupsi dikatakan ada apabila seorang memegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu seperti seorang pejabat yang bertanggung jawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak dibolehkan oleh undang-undang; membujuk untuk mengambil langkah yang menolong siapa saja yang menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-benar membahayakan kepentingan umum.

4) Rumusan korupsi dari sisi pandangan sosiologi

Makna korupsi secara sosiologi dapat dilihat dari makna korupsi sebagaimana yang dikemukakan oleh Syeh Hussein Alatas yang mengatakan bahwa: ”Seperti halnya dengan semua


(45)

commit to user

gejala sosial yang rumit, korupsi tidak dapat dirumuskan dalam satu kalimat saja. Yang mungkin ialah membuat gambaran yang masuk akal mengenai gejala tersebut agar kita dapat memisahkannya dari gejala lain yang bukan korupsi. Korupsi adalah penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi”(SH Alatas, 1987:1).

Berdasarkan beberapa pengertian tentang korupsi di atas maka dapat disimpulkan bahwa korupsi merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merugikan perekonomian atau keuangan negara yang dari segi materiil perbuatan itu dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan masyarakat. Pengertian tentang korupsi ini sering kali tidak dapat dibedakan ataupun dicampuradukkan dengan pengertian kolusi dan nepotisme. Hal ini disebabkan oleh karena ketiga perbuatan itu mempunyai batasan yang sangat tipis dan dalam praktiknya sering kali menjadi satu kesatuan tindakan atau merupakan unsur-unsur dari perbuatan korupsi.

Pengertian tersebut diatas berdasarkan unsur-unsur mutlak atau pokok korupsi, berupa: a. Adanya pelaku atau pelaku-pelaku korupsi; b. Adanya tindakan yang melanggar norma-norma yang berlaku yang dalam hal ini dapat membentuk moral (aspek agama), etika (aspek profesi), maupun peraturan perundang-undangan (aspek hukum); c. Adanya unsur merugikan keuangan/ kekayaan negara atau masyarakat, langsung atau tidak langsung, serta d. Adanya unsur atau tujuan untuk kepentingan atau keuntungan pribadi/ keluarga/ golongan.

b) Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Tindak pidana korupsi adalah merupakan salah satu dari pada sekian banyak macam tindak pidana. Dalam ilmu hukum pidana


(46)

commit to user

masalah tindak pidana adalah merupakan bagian yang paling pokok dan sangat penting. Berbagai masalah dalam hukum pidana seolah terpaut dan berselingkar dengan persoalan tindak pidana. Oleh karena itu memahami pengertian tindak pidana sangatlah penting sekali. Istilah tindak pidana adalah dimaksudkan sebagai terjemahan dalam Bahasa Indonesia untuk istilah bahasa Belanda strafbaar feit atau delict. Perkataan feit dalam bahasa Belanda diartikan sebagian dari kenyataan sedang strafbaar berarti dapat dihukum sehingga secara harfiah perkataan strafbaar feit berarti sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum, yang sudah barang tentu tidak tepat oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan, tindakan (Evi Hartanti, 2005:5).

Dalam pengertian ini tindak pidana adalah rumusan tentang perbuatan yang dilarang dalam peraturan perundang-undangan yang disertai ancaman suatu pidana terhadap siapa yang melakukan perbuatan yang dilarang tersebut. Apabila istilah tersebut digabungkan dengan kata korupsi akan menjadi tindak pidana korupsi sehingga mudah kita pahami bahwa pengertiannya ialah rumusan-rumusan tentang segal perbuatan yang dilarang dalam Undang No. 31 Tahun 1999 diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ciri-ciri perbuatan tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:

1) Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.

2) Korupsi pada umumnya melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik, dimana kewajiban dan keuntungan itu tidaklah senantiasa berupa uang.


(47)

commit to user

3) Mereka yang mempraktekkan cara-cara korupsi biasanya

berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan

berlindung dibalik pembenaran hukum.

4) Mereka yang terlibat korupsi adalh mereka yang

menginginkan keputusan-keputusan yang tegas dan mereka yang mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu. 5) Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya

badan publik atau masyarakat umum.

6) Setiap bentuk korupsi merupakn suatu pengkhianatan

kepercayaan.

7) Setiap bentuk korupsi menggunakan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka yang melakukan tindakan itu.

8) Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat berdasarkan atas niat kesengajaan untuk menempatkan kepentingan umum dibawah kepentingan khusus.

c) Pembagian Tindak Pidana korupsi

Tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut dirumuskan dalam Pasal : 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 12B, 13, 15, 21, 22, 23 (menarik Pasal 220, 231, 421, 422, 429, 430 KUHP), dan 24. Dari pasal-pasal tersebut ada 44 rumusan tindak pidana korupsi yang atas dasar-dasar tertentu dapat dibedakan dan dikelompokkan sebagai berikut:

1) Atas Dasar Substansi Obyek Tindak Pidan Korupsi

Atas dasar substansi obyeknya, tindak pidana korupsi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis:


(48)

commit to user (a) Tindak Pidana Korupsi Murni

Tindak pidana korupsi murni adalah tindak pidana korupsi yang substansi obyeknya mengenai hal yang berhubungan denngan perlindungan hukum terhadap kepentingan hukum yang menyangkut keuangan negara,

perekonomian negara, dan kelancaran pelaksanaan

tugas/pekerjaan pegawai negeri atau pelaksana pekerjaan yang bersifat publik.

(b) Tindak Pidana Korupsi Tidak Murni

Tindak pidana korupsi tidak murni ialah tindak pidana yang substansi obyeknya mengenai perlindungan hukum terhadap kepentingan hukum bagi kelancaran pelaksanaan tugas-tugas penegak hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

2) Atas Dasar Subyek Hukum Tindak Pidana Korupsi

Atas dasar subyek hukum atau si pembuatnya, maka tindak pidana korupsi dapat dibedakan menjadi dua kelompok:

(a) Tindak Pidana Korupsi Umum

Tindak pidana korupsi umum ialah bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang ditujukan tidak terbatas kepada orang-orang yang berkualitas sebagai pegawai negeri, akan tetapi ditujukan pada setiap orang termasuk korporasi.

(b) Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri dan atau

Penyelenggara Negara

Tindak pidana pegawai negeri atau tindak pidana korupsi pejabat adalah tindak pidana korupsi yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara. Tindak pidana korupsi ini merupakan bagian dari kejahatan jabatan atau dapat disebut sebagai kejahatan jabatan khusus..


(1)

commit to user

dianggap perebutan kewenangan di tubuh Kepolisian dan Kejaksaan, namun hubungan fungsional yang sangat erat antara Kepolisian dan Kejaksaan dapat menciptakan suatu koordinasi diantara dua institusi tersebut. Begitu juga dalam hal penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi, apabila terdapat suatu tindak pidana korupsi maka untuk menghindari perebutan maupun tumpang tindih kewenangan dalam penanganan penyelidikan dan penyidikannya maka sebelumnya antara Kepolisian dan Kejaksaan melakukan koordinasi terlebih dahulu untuk menentukan apakah Kepolisian atau Kejaksaan yang akan melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara korupsi tersebut.

Selain itu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga mengatur bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. Dalam penanganan tindak pidana korupsi sebenarnya telah ada instansi-instansi yang telah mempunyai kewenangan berdasarkan hukum untuk menangani kasus korupsi, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan, namun KPK ini dibentuk karena lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi dirasa belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai Ketentuan lain-lain yang menyebutkan bahwa:

1. Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini

mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas


(2)

commit to user

melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri

atas unsur Pemerintah dan unsur masyarakat.

4. Ketentuan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja,

pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Undang-Undang.

Walaupun KPK memiliki kewenangan yang sama dengan Kepolisian dan Kejaksaaan dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi namun kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan juga penuntutan yaitu terhadap tindak pidana korupsi yang tertera di dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu antara lain:

1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain

yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.

2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau

3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu

milyar rupiah).

Sehingga untuk tindak pidana korupsi yang tidak tergolong dalam ketiga kategori diatas penanganan penyelidikan dan penyidikannya dapat dilakukan oleh Kepolisian atau Kejaksaan walaupun tidak menutup kemungkinan juga tindak pidana korupsi yang tergolong dalam kategori diatas juga dapat ditangani oleh Kepolisian ataupun Kejaksaan selama ada koordinasi antara ketiga instansi tersebut.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh Kepolisian ataupun Kejaksaan, alasan pengambilalihan wewenang penanganan ini diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang tentang KPK yaitu:


(3)

commit to user

2. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau

tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.

3. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku

tindak pidana korupsi yang sesungguhnya.

4. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi.

5. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari

eksekutif, yudikatif, atau legislatif.

6. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan,

penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 tersebut maka Komisi Pemberantasan Korupsi memberitahukan kepada penyidik atau penuntut umum untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang ditangani. Pasal 68 Undang-Undang KPK mengenai Ketentuan Peralihan juga menegaskan:

“Semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9”.


(4)

commit to user

BAB IV. PENUTUP

A. Simpulan

1. Pengaturan mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap

perkara tindak pidana korupsi diatur didalam beberapa peraturan perundang-undangan antara lain:

a. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI,

salah satu tugas dan wewenang Kepolisian yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap suatu tindak pidana. Hal ini termuat di dalam Pasal 1 angka 8 sampai dengan 13.

b. Berdasar Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun

2004 tentang Kejaksaan RI menyatakan bahwa di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang salah satunya mengenai penyidikan yaitu melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang, dimana dalam penjelasannya kewenangan tersebut mengenai kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

c. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) penyelidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan. Mengenai personil dari penyidik sebagaimana ditentukan Pasal 6 ayat (1) KUHAP.

d. Mengenai ketentuan umum kewenangan penyelidikan dan penyidikan

tindak pidana korupsi berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi diatur dalam Pasal 6, Pasal 7


(5)

commit to user

huruf a, Pasal 8 ayat (2), (3), (4), Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan

Pasal 38 sampai dengan Pasal 41. Pengaturan mengenai penyelidikan

perkara tindak pidana korupsi pada Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 43 dan Pasal 44 sedangkan pengaturan mengenai penyidikan perkara tindak pidana korupsi pada Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.

e. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 25, 26, 28, 29, 30, 32, dan 33.

2. Penanganan pemberantasan tindak pidana korupsi diawali dengan adanya

proses penyelidikan dan penyidikan.Kewenangan penyelidikan dan penyidikan

dalam penanganan tindak pidana korupsi dimiliki oleh beberapa lembaga negara antara lain: Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sedangkan pengaturan mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara tindak pidana korupsi tersebut diatur didalam beberapa peraturan perundang-undangan antara lain: Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pembahasan tentang kewenangan dalam sistem peradilan pidana terpadu, tidak lepas dari hukum acara pidana sebagai tata cara untuk melaksanakan hukum meteriil. Posisi Kejaksaan dalam peradilan pidana terpadu adalah melaksanakan fungsi penuntutan terhadap suatu perkara. Semenjak diberlakukannya KUHAP kewenangan penyidikan Kejaksaan hanya dalam hal

tindak pidana khusus salah satunya yaitu tindak pidana korupsi. Kewenangan

penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yang dimiliki baik oleh Kepolisian dan Kejaksaan bukanlah suatu hal yang dapat dianggap perebutan


(6)

commit to user

kewenangan di tubuh Kepolisian dan Kejaksaan, namun hubungan fungsional yang sangat erat antara Kepolisian dan Kejaksaan dapat menciptakan suatu koordinasi diantara dua institusi tersebut. Begitu juga dalam hal penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi, apabila terdapat suatu tindak pidana korupsi maka untuk menghindari perebutan maupun tumpang tindih kewenangan dalam penanganan penyelidikan dan penyidikannya maka sebelumnya antara Kepolisian dan Kejaksaan melakukan koordinasi terlebih dahulu untuk menentukan apakah Kepolisian atau Kejaksaan yang akan melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara korupsi tersebut. Dengan hadirnya KPK yang mempunyai kewenangan jauh lebih besar dari Kepolisian atau Kejaksaan, KPK dapat melakukan pengambilalihan penyelidikan dan penyidikan yang sedang ditangani Kepolisian atau Kejaksaan, walau pengambilalihan tersebut harus disebabkan alasan tertentu, hal ini diatur dalam Pasal 8, 9, dan 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Sedangkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur kewenangan penyelidikan dan penyidikan pada Pasal 26 yaitu dilakukan sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku ataupun ditentukan lain dalam undang-undang tersebut.

B. Saran

1. Perlu adanya ketegasan dan pengaturan yang jelas mengenai kewenangan

penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi pada Undang-Undang Kepolisian, Kejaksaan, KPK, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maupun Hukum Acara Pidana sehingga tidak terluhat adanya tumpang tindih kewenangan dalam menanganinya.

2. Adanya pembagian kewenangan antara Kepolisian, Kejaksaan, maupun KPK

yang diatur secara jelas baik dalam Undang-Undang yang mengatur tiap instansi tersebut maupun di dalam Undang-Undang hukum acara pidana dan tindak pidana korupsi sehingga dapat tumbuh sinergisitas antar instansi tersebut dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi.


Dokumen yang terkait

#$ ! KEWENANGAN KEPOLISIAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS PT. ASABRI).

0 4 12

TINJAUAN NORMATIF TERHADAP KEWENANGAN PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI Tinjauan Normatif Terhadap Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Republik Indonesi

0 2 17

TINJAUAN NORMATIF TERHADAP KEWENANGAN PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI Tinjauan Normatif Terhadap Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Republik Indonesi

0 2 12

PENDAHULUAN Tinjauan Normatif Terhadap Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Republik Indonesia.

0 2 11

KAJIAN NORMATIF TERHADAP DUALISME KEWENANGAN PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN TINDAK PIDANA KORUPSI Kajian Normatif Terhadap Dualisme Kewenangan Penyidikan Dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi Antara Kepolisian, Kejaksaan Dan Kpk.

0 4 19

SINKR Sinkronisasi Regulasi Penyidikan Dan Penuntutan Terhadap Tindak Pidana Korupsi.

0 1 12

PENDAHULUAN Sinkronisasi Regulasi Penyidikan Dan Penuntutan Terhadap Tindak Pidana Korupsi.

0 2 12

SINKR Sinkronisasi Regulasi Penyidikan Dan Penuntutan Terhadap Tindak Pidana Korupsi.

0 2 17

OPTIMALISASI TUGAS DAN WEWENANG ANTARA KEPOLISIAN DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI ARTIKEL

0 0 17

DISERTASI KEWENANGAN PENYIDIKAN JAKSA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

0 0 28