105
b. Batik Parang dan Lereng
Batik parang dan lereng bagi Keraton Surakarta sebagai ageman luhur yang artinya hanya dipakai oleh Agemandalaem Sinuhun dan Putra sentanadalem
saja sedangkan bagi abdi dalem manjadi larangan. Ada yang berpendapat bahwa nama “parang” diidentikkan dengan sebuah senjata tajam yang berupa parang atau
sejenis pedang. Berdasarkan pertimbangan data, kata “parang” perubahan dari kata “pereng” atau pinggiran suatu tebing yang berbentuk “lereng”. Seperti dari
dataran tinggi ke dataran rendah yang berwujud diagonal. Mengambil dasar gambaran tebing di pesisir pantai selatan pulau Jawa, yang diberi nama
Paranggupito, Parangkusumo, dan Parangtritis. Nama Parang sangat erat kaitannya dengan keberadaan Ingkang sinuhun
Panembahan Senopati pendiri Kerajaan Mataram, setelah pindahnya pusat pemerintahan Jawa dari Demak ke Mataram. Tempat-tempat tersebut merupakan
tempat “teteki” atau bertapanya raja Mataram pertama yang mengilhami munculnya batik lereng atau parang sebagai ciri ageman Mataram yang berbeda
dengan batik sebelumnya. Batik-batik parang yang sudah berkembang sebelum berdirinya Mataram-
Kartasura adalah batik parang rusak, parang baron, parang rusak baron, parang kusuma, parang pamor, serta parang klithik. Sedangkan untuk batik lereng “udan
riris” baru muncul pada masa pemerintahan pakoe Boewana III di Surakarta pada pertengahan abad 18.
1 Nilai Filsafati Jawa Dalam Batik “Parang Kusuma”
“Kusuma” artinya bunga, yang dimaknai sebagai darahing ratu
atau disebut darah dalem. Motif batik Parang Kusuma baru ada
pada masa
pemerintahan Ingkang Sinuhun Panembahan
Senopati sebagai
pendiri kerajaan Mataram pada abad
16. Sesuai dengan namanya,
106 maka motif Parang Kusuma hanya dipakai oleh para darahdalem pancer
Ingkang Sinuhun Mataram secara turun temurun.
2 Nilai Filsafati Jawa Dalam Batik “Parang Barong”
Motif parang
dalam penataan
motifnya menerapkan
ragam hias
mlinjon yang berasal dari kata
mlinjo. Tanaman
mlinjo sangat
merakyat karena seluruh bagiannya
dapat dimanfaatkan. Batu karang
melambangkan kekerasan dan keteguhan.
Jadi makna
dari batik
parang baron adalah agar menjadi pemimpin yang tangguh dan merakyat.
3 Nilai Filsafati Jawa Dalam Batik “Parang Gondosuli”
Parang artinya karang dan Gondosuli
merupakan nama sejenis bunga. Motif
parang gondosuli
menggambarkan kekerasan yang bertujuan
baik. Batu
karang melambangkan kekerasan
dan keteguhan
setiap orang
yang memiliki
kepribadian teguh.
107
4 Nilai Filsafati Jawa Dalam Batik “Parang Pamor”
Batik Parang
Pamor termasuk batik parang awal,
artinya termasuk
dalam yasan Mataram Kuthagedhe
pada abad XVI. Pamor berarti
memancarkan cahaya atau berseri-seri.
Dalam istilah keris, pamor adalah
hasil campuran
bahan pembuat wilahan yang membentuk desain yang memancarkan keindahan yang mendatangkan “daya perbawa”. Demikian juga dalam batik
Parang Pamor yang melambangkan ageman luhur yang mempunyai “perbawa” dan “wibawa”.
5 Nilai Filsafati Jawa dalam Batik “Parang Rusak”
Batik jenis
ini pada
awalnya hanya digunakan oelh kalangan istana saja,
namun saat ini masyarakat umum sudah banyak yang
memakai. Motif
parang tergolong
motif yang
tersusun memnurut garis miring atau kadang-kadang
disebut garis
diagonal.
Parang
berarti senjata tajam yang lebih besar daripada pisau tetapi lebih kecil
108 dari pedang,
rusak
berarti binasa, tidak baik dan tidak teratur. “Parang Rusak” menggambarkan deretan parang secara tidak teratur dan menurut garis miring.
Makna dari batik “Parang Rusak” dalam kehidupan manusia itu tidak langgeng atau abadi. Semua tergantung dari kehendak Tuhan Yang Maha Esa.
Hal ini berarti bahwa dalam mengarungi kehidupan manusia diharapkan untuk terus berusaha. Karena dipakai oleh para sentana dalem atau keluarga raja
maka penggunaannya hanya boleh dilakukan oleh orang yang masih memiliki keturunan dengan raja Mataram. Menurut kepercayaan bahwa dalam membuat
batik parang tidak boleh melakukan kesalahan atau harus sekali jadi. Sebab bila dalam membatik melakukan kesalah akan menghilangkan kekuatan
ghaibnya. Makna batik parang adalah memberikan makna keluhuran bagi pemakai.
Sehingga dalam adat ruwatan orang yang diruwat diharpakan memiliki keluhuran budi dalam menghadapi kehidupan di dunia. Selain itu batik parang
digunakan sebagai simbol untuk menolak gangguan.
6 Nilai Filsafati Jawa Dalam Batik “Lereng Udan Riris”
Latar belakang lahirnya motif udan
riris adalah
dari keprihatinan Pakoe Boewana
III. Setelah perjanjian Giyanti, Mataram
dibagi menjadi
Surakarta dan
Yogyakarta sehingga
kondisi pemerintahan waktu itu belum
teratur, masih
banyak pembenahan keprajan. Pada
saat itu Pakoe Boewana III laku teteki salah satunya dengan kungkum atau berendam di sungai Premulung desa Laweyan, yang mengalir dekat makam
leluhur Kyai Nis orang tua ki Ageng Pemanahan. Dalam teteki Pakoe Boewana III diterangi dengan lampu teplok. Pada saat itu tiba-tiba hujan
109 gerimis dan tertiup angin, sehingga mengilhami beliau menciptakan motif
batik yang kemudian diberi nama “Udan Riris”. Batik udan riris mengandung makna yang melambangkan kesuburan atau
mengarah pada kemakmuran. Menurut keraton Surakarta, batik jenis parangan dan lereng hanya dipakai oleh para sentana kerabat raja saja. Hal ini sudah
secara turun temurun seperti bentuknya yang miring diagonal dari atas ke bawah yang melambangkan garis keturunan Mataram di mana Panembahan
Senapati sebagai pendirinya.
7 Nilai Filsafati Jawa Dalam Batik “Sari Ngrembaka”
Batik Sari
Ngrembaka diartikan dengan rasa manis
yang berkembang.
Sari diartikan sebagai anak atau
keturunan yang berkembang. Batik
Sari Ngrembaka
tergolong “glebagan”
lerengan antara latar putih dengan latar hitam. Batik
Sari Ngrembaka
mengandung makan bahwa dalam kehidupan manusia tidak akan lepas dari padhang dan peteng, bungah
dan susah, tetapi hendaknya selalu mendapatkan rasa yang manis atau enak.
c. Batik Ceplokan