Kesimpulan Politik Lingkungan: Analisis Dampak Pengusahaan Sarang Burung Walet di Kota Rantauprapat Kabupaten Labuhan Batu

84 BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dengan berlakunya otonomi daerah, setiap daerah berhak menjalankan pemerintahannya sendiri demi perwujudan desentralisasi kekuasaan. Pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan dengan membuat peraturan daerah guna memperkuat legitimasi kekuasaan di daerah serta sebagai dasar dalam pengelolaan pemerintahan. Otonomi berarti kekuasaan eksekutif dan legislatif berjalan tanpa adanya intervensi langsung dari pemerintahan pusat. Kota Rantauprapat sebagai daerah otonom pun demikian. Status kabupaten Labuhan Batu yang telah mengalami pemekaran menjadi dua Kabupaten baru, Kota Rantauprapat dapat dinilai sebagai percontohan bagi Kabupaten Labuhan Batu Utara dan Labuhan Batu Selatan sebagai daerah yang pernah satu. Hal tersebut menjadikan Kota Rantauprapat menjadi sebuah kawasan perkotaan yang perlu memperhatikan keberlangsungan statusnya sebagai kawasan perkotaan. Dari segi ekonomi, Kota Rantauprapat masih mengandalkan perkebunan sebagai motor utama dalam pendapatan daerah meskipun bukan hanya itu saja. Potensi Kota Rantauprapat sebagai kawasan perkotaan tampaknya tidak diimbangi dengan proses pelestarian lingkungan. Terutama pada pengusahaan sarang burung walet yang masih banyak beroperasi secara bebas di Kota Rantauprapat.Mengingat 85 status perkotaan yang tersemat, pemerintah dirasa tidak banyak memperhatikan tentang lingkungan hidup. Kota Rantauprapat memang sudah sejak lama banyak dijumpai pengusahaan sarang burung walet, bahkan konon sempat dikenal dunia akan kualitas sarang burung waletnya. Hal tersebut tidak sama dengan hari ini, di mana pasar sarang burung walet khususnya dari daerah Labuhan Batu sedang lesu. Berbagai spekulasi mengatakan bahwa penyebab utamanya adalah kerakusan oknum pengusaha yang memanipulasi sarang burung walet menjadi kualitas super. Dari sekian lamanya kegiatan ini berusaha di Kota Rantauprapat, pemerintah setempat hanya mengeluarkan peraturan yang kurang tegas.Peraturan Daerah No. 17 Tahun 2009 tentang izin pengusahaan sarang burung walet saat ini hanya sebatas pajangan saja. Terbukti, semua pengusahaan sarang burung walet di Kota Rantauprapat tidak memiliki izin pengusahaan. Berlanjut dengan Peraturan Daerah No. 10 Tahun 2011 tentang pajak sarang burung walet yang dinilai juga kurang efektif. Bagaimana mungkin dapat dikutip pajaknya sementara pengusahanya tidak mempunyai izin menjalankan kegiatan. Penelitian ini meneliti dampak pengusahaan sarang burung walet terhadap lingkungan di Kota Rantauprapat di Kecamatan Rantau Utara. Kecamatan Rantau Utara sendiri merupakan pusat pelayanan perkotaan di Kota Rantauprapat, tetapi justru masih banyak dijumpai ruko-ruko sarang burung walet yang beroperasi 86 berdampingan dengan pemukiman warga, juga tidak mempunyai izin menjalankan kegiatan. Terdapat empat dampak yang dibahas dalam penelitian ini tentang dampak pengusahaan sarang burung walet di Kota Rantauprapat. Pertama, dampaknya terhadap tata ruang perkotaan Kota Rantauprapat. Melalui dokumen hasil rencana tata ruang perkotaan Kota Rantauprapat, tidak ada bentuk pengalokasian terhadap kegiatan ini di Rantauprapat. Artinya, kegiatan ini merupakan kegiatan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang perkotaan Rantauprapat yang sudah diproyeksikan sebagai pusat perkotaan yang diharapkan dapat mewujudkan kondisi lingkungan perkotaan yang kondusif. Bahwa Kota Rantauprapat sudah difungsikan menjadi pusat pelayanan perkotaan sesuai dengan hasil rencana tata ruang perkotaan. Kecamatan Rantau Utara sendiri memiliki sekitar lima puluh pengusahaan sarang burung walet, sementara fungsi Kecamatan ini sudah diproyeksikan sebagai pusat pelayanan kota dengan daya dukung fasilitas perkotaan seperti, pasar skala regional, terminal skala regional, terminal skala regional, sekolah, perkantoran, pertokoan grosir, serta ruang terbuka hijau RTH. Kedua, pencemaran lingkungan yang disebabkan pengusahaan sarang burung walet. Dampaknya terjadi akibat pembiaran lingkugan perkotaan, bahwa lingkungan tempat lokasi pengusahaan sarang burung walet menjadi tidak sehat, sampah berserakan, saluran parit tersumbat, jalanan rusak, dan udara yang tidak sehat. Hasil 87 observasi penelitian ini menunjukkan bahwa dampak-dampak di atas merupakan kondisi nyata dari berdirinya pengusahaan sarang burung walet. Ketidaksadaran pengusaha dan warga akan keadilan lingkungan menjadikan kawasan di Kecamatan Rantau Utara tercemar lingkungannya. Ketiga, polusi suara yang ditimbulkan dari musik pemancing burung walet yang beroperasi sepanjang hari. Tweeter merupakan alat yang digunakan untuk memanggil walet yang berterbangan di udara, agar mau masuk ke dalam ruko dan bersarang di dalam. Pemerintah setempat pun tidak pernah merasa bahwa lingkungan perkotaan menjadi tidak kondusif atas kebisingan yang dialami sepanjang hari. Demikian juga warga Rantauprapat yang sejauh ini tidak pernah melakukan protes yang berarti atas ketidaknyamanan yang mereka alami. Masalah kebisingan merupakan hal yang dapat memicu gangguan fisiologis dan psikologis, melalui penelitian yang dilakukan oleh Universitas Riau terhadap kebisingan dari pengusahaan sarang burung walet. Terakhir, ancaman kesehatan yang senantiasa mengintai masyarakat. Kondisi lingkungan yang tidak kondusif, tidak bersih tentu akan mengakibatkan kualitas kesehatan perkotaan akan rentan. Menurut data, penyakit yang paling sering terjadi di Kota Rantauprapat adalah penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas ISPA, yang diketahui penyebab utamanya adalah kualitas udara yang tidak sehat. Belum lagi, pemerintah belum pernah melakukan penelitian tentang dampak kesehatan yang dapat ditularkan oleh burung walet seperti yang dilakukan oleh LIPI, yang mengatakan bahwa burung walet mampu menularkan virus yang dapat menyerang otak dan syaraf. 88

4.2 Saran