BAB 5 PEMBAHASAN
Diagnosa ortodonti merupakan kunci dan pendukung dari keberhasilan perawatan ortodonti.
29
Tsunori dkk melaporkan bahwa diantara karakteristik fasial, setiap tipe wajah wajah pendek hypodivergent, normal normodivergent dan
panjang hyperdivergent mempunyai karakteristik morfologi yang berbeda-beda. Masing-masing tipe wajah tersebut memiliki karakteristik yang berbeda pada struktur
gigi dan oklusi yang dapat berpengaruh dalam sistem penjangkaran, prediksi pertumbuhan struktur maksilofasial dan fungsi pengunyahan.
12
Oleh sebab itu, penentuan tipe vertikal wajah sangat penting dilakukan dalam menyusun rencana
perawatan ortodonti. Penentuan tipe vertikal wajah dapat dilakukan dengan sefalometri. Ada
beberapa analisis sefalometri yang dapat digunakan dalam menentukan vertikal wajah, salah satunya adalah analisis Steiner. Alasan pemilihan analisis Steiner dalam
penelitian ini adalah dikarenakan analisis ini merupakan analisis yang paling umum dan sering digunakan oleh praktisi ortodonti untuk menentukan pertumbuhan vertikal
wajah. Steiner menggunakan sudut MP-SN dalam penentuan tipe vertikal wajah. Sudut MP-SN dibentuk oleh pertemuan garis MP Gonion
– Gnathion dan SN Sella Turcica
– Nasion.
3
Hasil besar sudut tersebut kemudian dikelompokkan ke dalam tipe vertikal wajah menurut Steiner.
Tipe vertikal wajah menurut Steiner dibagi menjadi tiga yaitu tipe pendek 27°, tipe normal 27°-37° dan tipe panjang 37°. Sudut MP-SN yang lebih kecil
27° mengindikasikan pola pertumbuhan wajah ke arah depan dan berlawanan arah jarum jam menyebabkan wajah pendek hypodivergent sedangkan nilai sudut MP-
SN yang lebih besar 37° mengindikasikan pola pertumbuhan wajah ke arah bawah dan searah jarum jam menyebabkan wajah panjang hyperdivergent.
8,10,11
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persentase tipe vertikal wajah berdasarkan analisis Steiner pada Suku Batak dengan subjek penelitian adalah foto
Universitas Sumatera Utara
sefalometri lateral pasien Suku Batak di klinik Ortodonti RSGMP Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara dengan syarat usia pasien di atas 18
tahun karena masa pertumbuhan sudah berhenti. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam menegakkan diagnosis ortodonti dan menyusun rencana
perawatan ortodonti yang tepat. Hasil analisis sefalometri dalam pengukuran sudut MP-SN Tabel 1
memperlihatkan bahwa tipe vertikal wajah yang paling sering dijumpai pada pasien laki-laki maupun perempuan Suku Batak adalah tipe normal normodivergent 52,
hal ini terjadi karena 26 dari 50 sampel memiliki nilai sudut MP-SN 27°-37° dengan rerata 32,19°. Kemudian diikuti tipe pendek hypodivergent 32, hal ini terjadi
karena 16 dari 50 sampel memiliki niliai sudut MP-SN 27° dengan rerata 23,41°. Sedangkan tipe panjang hyperdivergent hanya sedikit 16, hal ini terjadi karena 8
dari 50 sampel memiliki nilai sudut MP-SN 27° dengan rerata 40,25°. Hasil penelitian ini mendekati hasil penelitian Aldress di Arab Saudi terhadap
385 orang Saudi yang dominan memiliki tipe wajah normal normodivergent dengan rerata nilai MP-SN 31,92°.
30
Sejalan pula dengan penelitian In Chool Park cit, Baruah di Korea terhadap 80 orang Korea yang dominan memiliki tipe wajah normal
normodivergent dengan rerata nilai MP-SN 33,40°.
31
Namun hasil penelitian ini kurang sesuai dibanding dengan penelitian Agrawal di India terhadap 60 orang populasi Jaipur India yang dominan memiliki tipe
wajah pendek hypodivergent dengan nilai 24,60° pada laki-laki dan 27,70° pada perempuan.
Hal ini mungkin disebabkan karena perbedaan etnis. Thomas dkk, mengungkapkan bahwa percampuran etnis pada masyarakat menyebabkan keragaman
latar belakang genetik, sehingga norma yang spesifik pada suatu kelompok etnis mungkin tidak selalu dapat diterapkan pada etnis lain.
16
Gulati mengatakan bahwa populasi di India cenderung memiliki pertumbuhan skeletal wajah horizontal
dibandingkan dengan orang Kaukasoid, Jepang, Negro dan Cina.
19
Jefferson menyatakan bahwa orang yang memiliki tipe vertikal wajah normal jarang mengalami masalah nyeri kraniofasial dan sakit kepala.
25
Universitas Sumatera Utara
Bjork menyatakan bahwa rotasi mandibula ke arah depan pada pasien dengan tipe wajah pendek mempengaruhi erupsi gigi dan pada kasus tertentu bahkan dapat
meningkatkan kemungkinan timbul deep bite yang lebih parah serta gigi anterior mandibula berjejal.
32
Jefferson menyatakan individu dengan tipe wajah pendek sering terjadi penekanan sendi temporomandibula akibat tidak ada ruang yang cukup antara
artikular sendi temporomandibula dan fossa glenoid. Ini dapat menyebabkan timbulnya popping, clicking, sakit kepala, dan migrain.
25
Tabel 2 menunjukkan hasil bahwa dari 31 sampel yang memiliki relasi rahang klas I terdapat 48,39 tipe normal normodivergent, 35,48 tipe pendek
hypodivergent dan 16,13 tipe panjang hyperdivergent. Hal ini terjadi karena 15 dari 31 sampel klas I memiliki rerata nilai MP-SN 32°, 11 dari 31 sampel klas I
memiliki rerata nilai MP-SN 23,22°, dan 5 dari 31 sampel klas I memiliki rerata nilai MP-SN 39,6°. Pada 15 sampel yang memiliki relasi rahang klas II terdapat 66,67
tipe normal normodivergent, 13,33 tipe pendek hypodivergent, 20 tipe panjang hyperdivergent. Hal ini terjadi karena 10 dari 15 sampel klas II memiliki rerata nilai
MP-SN 32,9°, 2 dari 15 sampel klas II memiliki rerata nilai MP-SN 23,5°, dan 3 dari 15 sampel klas II memiliki rerata nilai MP-SN 41,3°. Pada 4 sampel yang memiliki
relasi rahang klas III terdapat 25 tipe normal normodivergent dan 75 tipe pendek hypodivergent. Hal ini terjadi karena 1 dari 4 sampel klas III memiliki rerata nilai
MP-SN 28° dan 3 dari 4 sampel klas III memiliki rerata nilai MP-SN 24°. Hasil ini mendekati penelitian Awwad di Kuwait yang menemukan bahwa
dari 56 orang dewasa Kuwait klas I skeletal dominan memiliki tipe wajah normodivergent dengan rerata nilai MP-SN 27,94°.
33
Sejalan pula dengan penelitian Sidlauskas di Lithuania terhadap 86 orang yang didiagnosa klas II skeletal, diperoleh
70 dari klas II skeletal memiliki tipe wajah normal normodivergent dengan rerata nilai MP-SN 32,24°.
34
Namun hasil penelitian ini sedikit berbeda dengan penelitian Abbasy di Mesir yang menemukan bahwa dari 50 perempuan Mesir klas I skeletal dominan memiliki
tipe wajah hypodivergent dengan rerata nilai MP-SN 23,57°. Perbedaan yang diperoleh antara tipe vertikal wajah berdasarkan beberapa penelitian tersebut dapat
Universitas Sumatera Utara
disebabkan oleh adanya karakteristik yang berbeda pada struktur tulang pada setiap suku dan ras.
29
Jefferson mengatakan bahwa ketiga tipe vertikal skeletal dapat terjadi pada setiap hubungan rahang klas I, II dan III skeletal.
25
Karlsen menyatakan bahwa pertumbuhan vertikal wajah yang berlebihan pada kasus hyperdivergent terjadi karena sudut bidang mandibula yang curam 37°
mendorong pertumbuhan korpus lebih kearah bawah.
35
Pasien hyperdivergent sindrom wajah panjang cenderung memiliki hambatan saluran nafas atas dan
gangguan sendi temporomandibular karena jaringan keras dari rongga sinus sempit dan tertekan.
25
Roy dkk menyatakan bahwa tipe vertikal wajah dapat dihubungkan dengan pola morfologi dentoalveolar maksila dan mandibula. Penentuan hubungan ini dapat
membantu diagnosis maupun kuratif masalah-masalah maloklusi dari aspek vertikal.
36
Variasi arah pertumbuhan yang ditimbulkan oleh rotasi mandibula tidak hanya merupakan faktor dalam perkembangan maloklusi tetapi juga memegang
peranan penting dalam hasil perawatan.
8
Oleh sebab itu, ortodontis harus mengetahui tipe vertikal wajah dari setiap suku dan ras sebelum memulai perawatan ortodonti
untuk mencapai hasil terbaik.
29
Universitas Sumatera Utara
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN