51
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Lele sangkuriang Clarias sp
Induk lele sangkuriang merupakan hasil perbaikan genetik melalui cara silang balik antara induk betina generasi ke-2 F
2
dengan induk jantan generasi ke-6 F
6
. Induk betina F
2
merupakan koleksi yang ada di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar BBPBAT Sukabumi, merupakan hasil
keturunan kedua lele dumbo yang diintroduksikan ke Indonesia pada tahun 1985, sedangkan induk jantan F6 merupakan sediaan induk yang berada di BBPBAT
Sukabumi Sunarma,2004. Antara lele sangkuriang dengan lele dumbo memiliki beberapa kesamaan
dalam hal diameter telur yaitu sebesar 1,1-1,4 mm, lamanya waktu inkubasi telur yaitu selama 30-36 jam, lamanya penyerapan telur yaitu 4-5 hari setelah
penetasan, panjang larva umur 5 hari yaitu 9,13 cm, berat larva umur 5 hari yaitu 2,85 gram, dan pakan alami. Namun lele sangkuriang me miliki beberapa
keunggulan yaitu seperti yang tertera dalam tabel 2 berikut ini:
Tabel 2 . Keunggulan lele sangkuriang bila dibandingkan dengan lele dumbo
Sunarma,2004. No
Keterangan Lele sangkuriang
Lele dumbo 1.
Umur kematangan gonad pertama bulan
8-9 4-5
2. Fekunditas butir
40.000-60.000 20.000-30.000
3. Derajat penetasan telur
90 80
4. Pertumbuhan harian bobot umur
5 hari-26 hari 29,26
20,38
5. Konversi pakan pada
pembesaran 0,8-1
1
6. Intensitas Trichodina sp pada
pendederan di kolam 30-40
100
7. Intensitas Ichtiophthirius sp pada
pendederan di kolam 6,30
19,50
52
C C
C C
C N
N H
H
H H
H
O H
S C
NH
2
CH
3
C
2
H
5
2.2. Bacitracin Methyle Disalisilat BMD
BMD merupakan suatu bahan yang dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi pakan. Menurut Federal Food, Drug, and Cosmetic Act FFDCA BMD
ini merupakan suatu antibiotik yang digunakan untuk mengobati penyakit Clostridium perifingens dan digunakan untuk merangsang pertumbuhan pada
kalkun dengan cara meningkatkan bobot rata-rata dan peningkatan efisiensi pakan.
Bacitracin adalah antibiotik polipeptida hasil dari Bacillus subtilis yang dibiakkan pada tryptone atau kaldu hidrolisa protein, yang terdiri dari : ammonia,
sistein, asam aspartat, asam glutamate, histidin, lesin, isolesin, lisin dan phenilalanin Maynard et al.,1983. Menurut Brander dan Pugh 1977 secara
struktural bacitracin memiliki rumus bangun seperti pada gambar berikut:
Polipeptida
Gambar 1
. Rumus bangun Bacitracin. Sekuen dari genom Bacillus subtilis telah disempurnakan pada tahun 1997
dalam bentuk bakteri soliter. Genomnya memiliki panjang 4,2 mega base pair pasang basa dengan 4.100 protein. Bacillus subtilis mampu mensintesis peptide
anti fungal. B. subtilis dapat digunakan sebagai biokontrol untuk meningkatkan hasil pertanian.
Gambar 2
. Spora Bacillus subtilis
53 Bacillus subtilis termasuk kedalam jenis bakteri gram-positif, bersifat
aerobik atau fakultatif anaerobik. Kebanyakan bacilli bersifat saprofit. Masing- masing bakteri menghasilkan satu spora, yang tahan terhadap suhu tinggi, suhu
rendah, radiasi dan disinfektan, mampu hidup dalam lingkungan yang ekstrim seperti di gurun pasir dan tanah arktik. Spesies dari Bacillus dapat bersifat
thermofilik, psikofilik, acidofilik, alkalifilik, halotoleran atau halofilik yang dapat hidup dalam kisaran pH, temperatur dan konsentrasi garam dimana organisme lain
tidak mampu hidup. Bacillus subtilis bersifat saprofit dan kebanyakan bakteri saprofit mampu
menguraikan bahan organik. Bacillus subtilis hidup pada akar-akar tanaman dan tanah. Akar tanaman dan lapisan biofilm akan berpengaruh pada kimia tanah
sehingga membentuk lingkungan yang unik. Bacillus subtilis bersifat kanibal apabila berada pada lingkungan yang ekstrim. Agar mampu hidup dalam
lingkungan ekstrim Bacillus subtilis membentuk spora Gambar 2, tetapi ini membutuhkan energi yang besar bagi bakteri. Langkah termudahnya bakteri ini
menghasilkan antibiotic untuk menghancurkan sesamanya, sehingga bakteri ini mampu bertahan dalam lingkungan yang ekstrim dengan jumlah yang lebih
sedikit Secara fisik, bacitracin memiliki wujud berupa tepung berwarna kuning
pucat, sedikit berbau dan sangat pahit. Tepung ini bersifat higroskopis sehingga larut dalam air dan larut sebagian dalam ethyl, methyl alkohol serta asam asetat,
tetapi tidak larut dalam aseton, chloroform dan ether Brander dan Pugh,1977. Dijelaskan kembali oleh keduanya bahwa antibiotik tersebut dalam bentuk kering
akan stabil dalam suhu kamar dan aktif kurang lebih selama 15 bulan, tetapi bila suhu meningkat sampai diatas 30
o
C kualitasnya semakin buruk dan penurunan kualitas itu makin cepat terjadi pada suhu
56
o
C. Larutan bacitracin akan rusak dalam waktu cepat pada suhu kamar, tetapi masih berpotensi 90 jika didinginkan selama 2 sampai 3 bulan.
Menurut rekomendasi Swan 1968 yang dikutip Brander dan Pugh 1977, Zinc Bacitracin digunakan dalam ransum babi dan unggas terutama untuk
pemacu pertumbuhan. Bacitracin tidak menyebabkan resistensi bakteri atau silang
54 resisten dengan pengobatan antibiotik lain dan hampir tidak ada penyerapan ole h
usus Coates dan Harrison,1962. Zinc Bacitracin mempunyai aktivitas bakteriostatik dan berspektrum
sempit, hanya melawan satu grup organisme bakteri yaitu ”gram positif”, beberapa spirochaeta dan juga untuk melawan amoebiasis usus pada manusia
Jones,1957; Brander dan Pugh,1977. Menurut Gan 1980, Zinc Bacitracin mempunyai cara kerja menghambat
sintesa dinding sel mikroba. Terutama Clostridium walchii dalam usus ayam Woodbine,1977. Sejalan dengan pernyataan tersebut Anggorodi 1985
menjelaskan bahwa dengan pemberian antibiotik, racun yang dihasilkan Clostridium walchii atau mikroorganisme lain akan disingkirkan dari alat
pencernaan sehingga dinding usus menjadi lebih tipis dan akan mempertinggi penyerapan zat- zat makanan seperti kalsium, fosfor atau magnesium.
Dalam percobaannya, Wickler et al 1977 yang dikutip Kedi 1980 memperlihatkan bahwa selain sebagai pemacu pertumbuhan dan memperbaiki
konversi ransum, Zinc bacitracin juga mampu mencegah terjadinya enteritis nekrotik.
Rosen 1976 menjelaskan bahwa pemberian Zinc bacitracin 20-100 mgkg ransum pada ayam petelur akan meningkatkan produksi telur dan
menurunkan konversi ransum dibandingkan dengan tanpa pemberian Zinc bacitracin. Pada kalkun pemberian 110 mgkg ransum memperlihatkan pengaruh
lebih besar dari pada pemberian 55 mgkg ransum Daghigian dan Waibel,1982.
2.3. Kematangan gonad