54 resisten dengan pengobatan antibiotik lain dan hampir tidak ada penyerapan ole h
usus Coates dan Harrison,1962. Zinc Bacitracin mempunyai aktivitas bakteriostatik dan berspektrum
sempit, hanya melawan satu grup organisme bakteri yaitu ”gram positif”, beberapa spirochaeta dan juga untuk melawan amoebiasis usus pada manusia
Jones,1957; Brander dan Pugh,1977. Menurut Gan 1980, Zinc Bacitracin mempunyai cara kerja menghambat
sintesa dinding sel mikroba.  Terutama  Clostridium walchii  dalam usus ayam Woodbine,1977. Sejalan dengan pernyataan tersebut Anggorodi 1985
menjelaskan bahwa  dengan pemberian antibiotik, racun yang dihasilkan Clostridium walchii  atau mikroorganisme lain akan disingkirkan dari alat
pencernaan sehingga dinding usus menjadi lebih tipis dan akan mempertinggi penyerapan zat- zat makanan seperti kalsium, fosfor atau  magnesium.
Dalam percobaannya, Wickler  et al  1977 yang dikutip Kedi 1980 memperlihatkan bahwa selain sebagai pemacu pertumbuhan dan memperbaiki
konversi ransum, Zinc bacitracin juga mampu mencegah terjadinya enteritis nekrotik.
Rosen 1976 menjelaskan  bahwa pemberian Zinc bacitracin 20-100 mgkg ransum pada ayam petelur akan meningkatkan produksi telur dan
menurunkan konversi ransum dibandingkan dengan tanpa pemberian Zinc bacitracin.  Pada kalkun pemberian 110 mgkg ransum memperlihatkan pengaruh
lebih besar dari pada pemberian 55 mgkg ransum Daghigian dan Waibel,1982.
2.3. Kematangan gonad
Secara lengkap proses steroidogenesis di dalam tubuh ikan menurut Nagahama 1987; Yaron 1995; Vanston et al 1996 digambarkan sebagai
berikut: proses steroidogenesis dimulai dengan pemecahan kolesterol menjadi pregnenolon dengan  bantuan  vitamin  K  Gambar 3.   Pregnenolon   dengan
aktivitas  dari   enzim 3ß-hidroxysteroid dehidrogenasi 3ß-HSD diubah menjadi progesteron.
Kemudian progesteron ini oleh enzim 17a-hidroxylase diubah menjadi 17a- hidroxyprogesteron. Selama proses vitelogenesis berlangsung, 17a-
55 hidroxyprogesteron diubah menjadi androstenedion. Proses ini dibantu oleh C
17
- C
20
lyase. Androstenedion kemudian diubah menjadi testosteron. Sintesis testosteron ini dibantu oleh enzim 17ß-hydroxysteroid dehidrogenase 17ß-HSD.
Proses perubahan kolesterol menjadi testosteron terjadi didalam lapisan teka pada folikel oosit. Selanjutnya testosteron yang dihasilkan didalam lapisan teka ini
masuk kedalam lapisan granulosa. Di dalam lapisan granulosa testosteron diubah menjadi estradiol-17ß, dengan demikian selama proses vitelogenesis terjadi
konsentrasi estradiol-17ß  di dalam tubuh ikan tinggi. Sintesis estradiol-17ß  ini dibantu oleh enzim aromatase. Pada waktu terjadi pematangan oosit,
17a-hydroxyprogesteron yang dihasilkan oleh lapisan teka menyebar kedalam lapisan granulosa pada folikel oosit. Di dalam lapisan ini,17a- hydroxyprogesteron
diubah menjadi 17a,20ß-dihydroxy-4-pregnen-3-one 17a,20ß-diOHProg. Proses ini dibantu oleh enzim 20ß-hydroxysteroid dehydrogenase 20ß-HSD.
Kolesterol Vitamin K
Pregnenolon        3ß-HSD         Progesteron
17a-hidroxylase 17a-hidroxyprogesteron
C
17
-C
20
lyase Androstnendion                       Testosteron
Estradio 17ß
Gambar 3. Diagram steroidogenesis
Purdom 1993 menjelaskan bahwa siklus seksual ikan dipengaruhi oleh keadaan lingkungan temperatur dan cahaya dan hormonal. Hal ini secara praktis
menguntungkan karena situasilingkungan dapat merangsang reproduksi. Reproduksi dapat dirangsang oleh rangsangan lingkungan seperti suhu dan
fotoperiodisme dengan pengaruh hormon secara langsung De Vlaming,1972; Donaldson dan Hunter,1983 dalam Purdom,1993.
56 GnRH
Umpan balik                                                                                                Umpan balik
positif negatif
Gonadotropin
Gambar 4 . Bagan proses perkembangan oosit Nagahama et al,1995.
Gambar 4  menjelaskan bahwa proses perkembangan gonad ikan membutuhkan hormon gonadotropin yang dilepas oleh kelenjar pituitari yang
kemudian terbawa oleh aliran darah dan masuk ke gonad. Gonadotropin kemudian masuk ke sel teka menstimulir terbentuknya testosteron yang kemudian
testosteron ini masuk ke sel granulosa dan dirubah oleh enzim aromatase menjadi estradiol-17ß, kemudian masuk ke hati melalui aliran darah dan merangsang hati
untuk mensintesis vitelogenin yang akan dialirkan lewat darah menuju gonad untuk diserap oleh oosit, sehingga penyerapan vitelogenin ini disertai dengan
perkembangan diameter telur Sumantri 2006. Per-
kem- bang-
an oosit
Gonad Sel teka
Testosteron Otak
hipotalamus
Gonad
Gonad P450
Aromatase Pituitary
Sel teka Testosteron
Sel granulosa
Estradiol-17ß
57 Perkembangan telur atau penyerapan vitelogenin ini berhenti ketika oosit
mencapai ukuran maksimal. Epler 1981 menyatakan bahwa aksi hormon gonadotropin maupun steroid menyebabkan posisi inti yang semula berada di
tengah mulai bergeser menuju ke  tepi dekat mikrofil dan sesaat sebelum ovulasi inti tadi melebur. Bila kondisi GTH  Gonadothropin II cukup maka akan
merangsang sekresi 17a-  hidroksiprogesteron yang bersama hidroksi steroid dehidrogenase membentuk 17 a,20 ß- hidroksi pregnen yang akan masuk ke dalam
sel telur untuk mendorong  Maturation Promoting Factor MPF yang mendorong inti ke tepi dan inti mengalami Geminal Vesicle Break Down GVBD, kemudian
folikel pecah dan sel telur siap untuk diovulasikan. Menurut Nayak dan Singh 1992, konsentrasi hormon- hormon steroid
seks estradiol-17ß dan estron selama siklus reproduksi tahunan ikan lele betina Clarias batracus  rendah selama fase previtelogenesis, meningkat secara cepat
pada fase vitelogenesis dan mencapai puncak pada fase akhir vitelogenesis. Begitu juga dengan konsentrasi testosteron yang meningkat pada fase akhir vitelogensis.
Oogenesis  adalah proses transformasi oogonia yang tersebar dalam ovary menjadi oosit. Oogonia menjadi oogonia primer melalui pembelah meiosis
yang bertahan pada fase diplotein. Kemudian mengalami pertumbuhan hingga terbentuk previtelogenesis dan vitelogenesis. Previtelogenesis adalah
bertambahnya ukuran oosit tanpa disertai dengan penambahan materi kuning telur. Pada tahap ini  terbentuk dua lapisan sel dan membentuk folikel, yaitu sel
granulose dan sel teka. Vitelogenesis adalah proses penimbunan atau akumulasi kuning telur yang menyebabkan oosit pada fase pertumbuhan kedua.
Vitelogenesis dibagi menjadi dua, yaitu vitelogenesis endogen dan vitelogenesis eksogen.
Oosit yang telah tumbuh penuh memiliki satu nukleus GVgerminal vesicle  yang terletak ditengah oosit. Fenomena yang pertama kali  dilihat
berkenaan dengan pematangan oosit akhir adalah pergerakkan GV ke kutub anima, kemudian membran itu pecah dan terjadi  GVBD Germinal Vesicle Break
Down. Tingkat kematangan gonad ikan secara umum  menurut Woynarovich dan
Horvath 1990 adalah sebagai berikut :
58 Tingkat 1  :  muda ukuran gonad kecil.
Tingkat 2 : tahap istirahat, ukuran gonad belum  dapat dibedakan dengan mata biasa.
Tingkat 3 :  proses pemasakan, proses pertumbuhan berat gonad sangat cepat, telur dapat dibedakan dengan mata.
Tingkat  4 :    masak, gonad mencapai berat maksimum tetapi  telur  belum mau keluar jika ditekan di daerah perut.
Tingkat 5 :  tahap reproduksi, telur  akan keluar jika perut ditekan. Dari awal pemijahan berat gonad turun drastis.
Tingkat 6 :  kondisi salin, telur  telah dikeluarkan, lubang genital berwarna kemerah- merahan, gonad telah mengempis dan berisi telur dalam
jumlah yang sangat sedikit. Tingkat istirahat : produk seksual telah dikeluarkan, lubang genital tidak berwarna
merah lagi dan ukuran oosit masih sangat kecil. Tahap perkembangan telur menurut Woynarovich dan Horvath 1990:
Tahap 1 :  sel-sel telur oogonia berukuran sangat kecil 8-12 mikron. Sel–sel ini diperbanyak melalui proses mitosis.
Tahap 2   :  sel-sel telur tumbuh mencapai ukuran 12-20 mikron, mulai terbentuk folikel, akhirnya terbentuk 2 lapisan sel.
Tahap 3   : pada tahap ini sel tumbuh mencapai ukuran 40-200 mikron Tahap 4 :  tahap ini, akumulasi kuning telur dimulai Vitelogenesis. Telur tumbuh
mencapai ukuran 200-350 mikron. Tahap 5   : telur mencapai ukuran 350-500 mikron.
Tahap 6   :  telur mencapai ukuran 500-900 mikron. Tahap 7   :  proses vitelogenesis lengkap mulai terbentuk mikrofil dan ukuran
telur pada tahap ini adalah 900-1000 mikron. Setelah tahap 7 adalah fase dorman atau resting.
59 Oogonia     Growing      Resting        Yolk               Mature
Oosyte        Oocyte      formation
10.00
1.00
0.10
0.01 Tahap
perkembangan oosit
Gambar  5 . Grafik diameter oosit dalam perkembangannya menurut Purdom
1993. Gambar 5  menjelaskan oogonia merupakan stadia awal  perkembangan
telur dengan diameter 0.01 mikron. Perkembangan oogonia terjadi cepat pada saat mengalami pertumbuhan  yaitu pembelahan sel secara meiosis  hingga mencapai
ukuran 1.00 mikron. Pertumbuhan ini terjadi karena oogonia aktif melakukan pembela han    kemudian istirahat  dan berhenti  pada fase diplotein atau profase II.
Pada saat itu  terjadi akumulasi kuning telur hingga ukurannya  bertambah lagi mencapai 10 mikron disertai dengan pergerakkan inti ke tepi. Pada saat inti telah
mengalami GVBD maka telur telah matang dan siap dibuahi. Menurut Purdom 1993 oogonia merupakan sel kecil yang belum
terdiferensiasi yang memiliki nukleus besar dan sitoplasma yang sangat kecil. Oosit primer  merupakan perkembangan lebih lanjut dari oogonia, pada fase ini
terjadi perkembangan sitoplasma dengan cepat. Terdapat 2 kejadian dalam telur pada saat oosit primer matang, yaitu peningkatan ukuran dan modifikasi susunan
kromosom atau  meiotic cell division. Ukuran telur meningkat dari beberapa mikrometer hingga centimeter pada beberapa spesies tertentu, namun pada
umumnya selang maksimum dari ukuran telur adalah 1-2 mm. Peningkatan Diameter
telur
60 ukuran diameter telur ini disebabkan karena penyerapan  glicolipoprotein  dalam
jumlah besar yang disebut Vitelogenesis. Glicolipoprotein dibuat di liver dibawah kontrol hormon steroid yang terdapat pada ovarian folikel.  Glicolipoprotein  ini
juga berperan dalam perkembangan telur. Pada keadaan ini telur dalam tahap oosit sekunder dan dapat terlihat dengan ukuran beraneka macam beragam. Ukuran
telur ikan sangat penting untuk diketahui dalam budidaya karena telur yang besar akan menghasilkan larva yang besar dan ini berpengaruh terhadap waktu
pemberian pakan alaminya Purdom,1993.
2.4. Fekunditas