Di bawah kondisi tertentu diazinon dapat membentuk senyawa yang berbahaya khususnya jika pelarut hidrokarbon terkontaminasi oleh sejumlah kecil
air 0.1-2.0 dan terkena udara, suhu, dan intensitas cahaya yang tinggi. Pada kondisi ini akan membentuk formasi monothiotepp O,S-TEPP dan Sulfotepp
S,S-TEPP. Senyawa-senyawa ini memiliki toksisitas yang tinggi dan mempunyai pengaruh yang kuat sebagai inhibitor pada sistem enzim kolinesterase
Allender dan Britt 1994. Diazinon mempunyai gugus organofosfat yang terikat dengan gugus
nitrogen heterosiklik melalui ikatan ester, yang bersifat aromatik dan efektif mempengaruhi sistem saraf dimana diazinon akan menghambat asetilkolinesterase
AChE sehingga terjadi akumulasi asetilkolin ACh dan tidak dapat berfungsi lagi sebagai neurotransmitter, kemudian akan mengakibatkan kontraksi otot yang
diikuti dengan kelemahan, hilangnya refleksi kelumpuhan dan paralisis jaringan Lu 1995; EPA 1999. Selanjutnya saraf tidak dapat berfungsi sebagai pengatur
atau pusat koordinasi pergerakan tubuh, dimana koordinasi pergerakan tubuh yang tidak teratur dapat mengakibatkan kematian .
2.3. Bioremediasi dan Biodegradasi
Bioremediasi didefinisikan sebagai proses penguraian limbah organikanorganik secara biologis dalam kondisi terkendali, umumnya melibatkan
mikroorganisme khamir, fungi, dan bakteri. Pendekatan umum yang dilakukan untuk meningkatkan biodegradasi adalah dengan cara: 1 Menggunakan mikroba
indigenous bioremediasi instrinsik, 2 Memodifikasi lingkungan dengan
penambahan nutrisi dan aerasi biostimulasi, 3 Penambahan mikroorganisme bioaugmentasi, www.ipard.com.
Menurut Yani et al. 2003 bioremediasi merupakan bagian dari bioteknologi lingkungan yang memanfaatkan proses alami biodegradasi dengan
menggunakan aktivitas mikroba yang dapat memulihkan lahan tanah, air dan sedimen dari kontaminasi terutama senyawa organik. Citroreksoko 1996
menerangkan bahwa bioremediasi merupakan proses degradasi bahan organik berbahaya secara biologi menjadi senyawa lain misalnya CO
2
, metan, air, garam
anorganik, biomassa dan hasil samping yang sedikit lebih sederhana dari senyawa semula.
Sedang menurut Gumbira-Said dan Fauzi 1996 bioremediasi merupakan proses penyehatan remediasi secara biologis terhadap komponen tanah dan air
yang telah tercemar oleh kegiatan manusia. Bahan pencemar tersebut biasanya merupakan senyawa xenobiotik asing di alam misalnya residu pestisida,
deterjen, limbah eksplorasi dari pengolahan minyak bumi dan residu amunisi. Senyawa-senyawa tersebut bersifat rekalsitran sulit terdegradasi sehingga
senyawa tersebut memiliki ketahanan yang tinggi di alam. Lebih lanjut Subroto 1996 menerangkan bahwa bioremediasi merupakan proses dekontaminasi yang
lebih bersahabat dengan lingkungan dan lebih murah dibanding dengan metode penanganan limbah lain yang telah ada.
Beberapa dekade terakhir, teknik bioremediasi adalah merupakan salah satu cara penanganan secara cepat dalam pengolahan limbah dalam suatu industri,
karena teknik bioremediasi merupakan suatu metode yang efektif dan ekonomis sebagai suatu alternatif untuk membersihkan tanah, permukaan air dan
kontaminasi air tanah yang mengandung sejumlah bahan beracun seperti rekasitran dan kimia. Bioremediasi tidak hanya mendegradasi polutan tetapi juga
digunakan untuk menyerap bahan-bahan logam dan mineral dan memisahkan zat- zat yang tidak diinginkan dalam udara, air, tanah dan bahan baku proses produksi
industri. Proses bioremediasi didasarkan pada siklus karbon untuk mendaur ulang
senyawa organik dan anorganik melalui reaksi oksidasi dan reduksi. Bioremediasi dapat dilakukan secara in situ ataupun secara ex situ. Secara in situ yaitu
bioremediasi dilakukan langsung di lingkungan yang tercemar sedang secara ex situ
yaitu bioremediasi dilakukan di luar lingkungan yang tercemar dengan membuat lingkungan baru berupa bioreaktor yang dikondisikan dengan
menggunakan inokulan yang dapat mendegradasi cemaran kontaminan organik Citroreksoko 1996.
Proses bioremediasi didasari oleh dekomposisi bahan organik di biosfer yang dilakukan oleh mikroorganisme bakteri, kapang, khamir, dan jamur
heterotropik yang memiliki kemampuan memanfaatkan senyawa organik alami
sebagai sumber karbon dan nitrogen. Teknologi bioremediasi dapat dimanfaatkan
sebagai salah satu teknik dalam penanganan limbah senyawa kimia sintetis seperti
pestisida senyawa kloroaromatik, senyawa kloroalipatik, dan sebagainya. Biodegradasi merupakan penguraian suatu senyawa menjadi senyawa yang lebih
sederhana oleh mikroba Ohshiro et al. 1996. Sedang Gumbira-Said dan Fauzi 1996 menerangkan bahwa biodegradasi merupakan transformasi struktur dalam
senyawa oleh pengaruh biologis sehingga terjadi perubahan integritas molekuler. Dalam proses degradasi kondisi lingkungan harus sesuai dengan pertumbuhan dan
perkembangan mikroorganisme. Berbagai reaksi enzimatik yang terjadi dalam proses bioremediasi dapat
berupa reaksi oksidasi, hidrolisis, dehalogenasi dan reaksi gugus nitro. Reaksi ini dikenal dengan proses kometabolisme dimana mikroorganisme tidak
memanfaatkan kontaminan sebagai sumber substrat tetapi kontaminan tersebut dapat terdegradasi.
Keberhasilan proses degradasi banyak ditentukan oleh aktivitas enzim. Aktivitasnya dioptimasikan dengan pengaturan kondisi dan pemberian suplemen
yang sesuai. Faktor-faktor lain yang berpengaruh dan mendukung proses biodegradasi adalah:
1. Oksigen
Keberadaan oksigen merupakan faktor pembatas laju degradasi hidrokarbon dan juga dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri aerob. Oksigen
digunakan untuk mengkatabolisme senyawa hidrokarbon dengan cara mengoksidasi substrat dengan katalisis enzim oksidase. Ketersediaan oksigen
dalam tanah tergantung pada kecepatan konsumsi oleh mikroorganisme tanah, tipe tanah dan kehadiran substrat lain juga bereaksi dengan oksigen.
2. Kelembaban
Kelembaban tanah juga dapat mempengaruhi keberadaan kontaminan, transfer gas dan tingkat toksisitas dari kontaminan. Kelembaban sangat penting
untuk hidup, tumbuh dan aktivitas metabolik mikroorganisme. Namun kandungan air dalam tanah yang terlalu tinggi selama proses bioremediasi berlangsung akan
mengakibatkan sulitnya oksigen untuk masuk ke dalam tanah.
3. pH
Tingkat keasaman pH juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan mikroorganisme. Kebanyakan bakteri dapat
tumbuh dengan baik pada kisaran pH netral pH 6.5–7.5. Misalnya P. aeruginosa mampu tumbuh pada kisaran pH 6.6–7.0 dan mampu bertahan pada kisaran 5.6–
8.0, sedangkan bakteri tanah Rhizobium mampu bertahan pada kisaran pH 3.4– 8.1.
4. Suhu Suhu akan berpengaruh terhadap sifat fisik dan kimia, kecepatan degradasi
oleh mikroorganisme serta komposisi komunitas mikroorganisme selama proses degradasi.
5. Nutrisi Mikroorganisme
membutuhkan nutrisi
sebagai sumber karbon, energi dan keseimbangan metabolisme sel.
Boopathy 2000 menerangkan bahwa hasil dari setiap proses degradasi tergantung pada mikroorganisme konsentrasi biomassa, keragaman populasi dan
aktivitas enzim, substrat karakteristik fisikokimia, struktur molekul dan konsentrasi, dan faktor lingkungan pH, suhu, kelembaban, tersedianya akseptor
elektron sebagai sumber karbon dan energi. Struktur molekul dan konsentrasi kontaminan mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam proses bioremediasi
serta tipe transformasi bakteri yang terjadi, meskipun senyawa tersebut dipakai sebagai substrat primer, sekunder atau kometabolit.
2.4. Degradasi Residu Pestisida Diazinon