3. pH
Tingkat keasaman pH juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan mikroorganisme. Kebanyakan bakteri dapat
tumbuh dengan baik pada kisaran pH netral pH 6.5–7.5. Misalnya P. aeruginosa mampu tumbuh pada kisaran pH 6.6–7.0 dan mampu bertahan pada kisaran 5.6–
8.0, sedangkan bakteri tanah Rhizobium mampu bertahan pada kisaran pH 3.4– 8.1.
4. Suhu Suhu akan berpengaruh terhadap sifat fisik dan kimia, kecepatan degradasi
oleh mikroorganisme serta komposisi komunitas mikroorganisme selama proses degradasi.
5. Nutrisi Mikroorganisme
membutuhkan nutrisi
sebagai sumber karbon, energi dan keseimbangan metabolisme sel.
Boopathy 2000 menerangkan bahwa hasil dari setiap proses degradasi tergantung pada mikroorganisme konsentrasi biomassa, keragaman populasi dan
aktivitas enzim, substrat karakteristik fisikokimia, struktur molekul dan konsentrasi, dan faktor lingkungan pH, suhu, kelembaban, tersedianya akseptor
elektron sebagai sumber karbon dan energi. Struktur molekul dan konsentrasi kontaminan mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam proses bioremediasi
serta tipe transformasi bakteri yang terjadi, meskipun senyawa tersebut dipakai sebagai substrat primer, sekunder atau kometabolit.
2.4. Degradasi Residu Pestisida Diazinon
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta adanya keinginan untuk mewujudkan lingkungan yang bersih dan bebas polutan, telah banyak ditemukan
upaya untuk meningkatkan kinerja mikroba indigenous, yang dilakukan dengan rekayasa kondisi lingkungan sehingga menjadi optimum. Hal ini dapat dilakukan
secara in situ yaitu dengan pengkayaan terhadap kondisi lingkungan tercemar ataupun secara ex situ yaitu dengan mengisolasi mikroba indigenous untuk
kemudian dipekerjakan pada suatu bioreaktor yang telah diatur kondisi optimum
lingkungannya untuk melakukan degradasi residu pestisida dari areal yang tercemar. Pestisida yang banyak tertinggal di alam harus didegradasi agar menjadi
berkurang atau hilang secara keseluruhan. Penggunaan pestisida secara luas telah mengundang problem-problem yang
disebabkan oleh interaksi antara zat-zat tersebut dengan sistim biologis alam. Residu pestisida secara alamiah dapat hilang atau terurai baik dalam lingkungan
abiotik maupun dalam lingkungan biotik. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam penguraian pestisida adalah penguapan, pencucian, pelapukan, pertumbuhan,
cahaya dan dengan degradasi baik secara kimia, biologi, maupun secara fotokimia.
Kecepatan degradasi pestisida di alam ataupun di dalam tumbuhan mengikuti kinetika ordo pertama yaitu kecepatan degradasi dipengaruhi oleh
banyaknya pestisida dan faktor waktu .
Residu pestisida dalam tanaman atau hewan menurun atau hilang akibat metabolisme yang berkaitan dengan
pertumbuhan tanaman atau hewan tersebut. Rani dan Lalithakumari 1994 dalam penelitiannya diperoleh Pseudomonas
putida yang mampu mendegradasi pestisida organofosfat metil parathion.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Shelton et al. 1996 dilaporkan bahwa hampir seluruh herbisida dapat ditransformasikan oleh Streptomyces sp lebih dari
50 dari konsentrasi awalnya. Arthrobacter sp merupakan mikroba indigenous yang diisolasi dari tanah mampu mendegradasi pestisida organofosfat isoxathion,
diazinon, parathion, EPN, fenithrothion, isophenfos, clorpyrifos, dan ethoprophos Oshiro et al. 1996. Penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Chaudhry et al.
1988 mengisolasi bakteri dari tanah dan diidentifikasi sebagai genus Pseudomonas sp
yang dapat mendegradasi parathion dan metil parathion. Menurut Rao 1994 bahwa beberapa genus mikroorganisme yang mampu
menguraikan pestisida golongan organoklorin jenis DDT menjadi DDD dalam tanah antara lain: Achromobacter, Aerobacter, Agrobacterium, Bacillus,
Clostridium, Streptonebacterium, Escherichia, Erwinia, Kurthia, Pseudomonas, dan Streptococcus. Aldrin diubah menjadi dieldrin namun sifat-sifat
insektisidanya tidak hilang oleh mikroorganisme genus Trichoderma, Fusarium, Penicillium,
dan Pseudomonas. Heptaklor diubah menjadi heptaklor epoksida
oleh Rhizopus, Fusarium, Penicillium, Trichoderma, Nocardia, Streptomyces, Bacillus,
dan Micromonospora.. Sedangkan pestisida golongan organofosfat diketahui dapat diuraikan oleh mikroorganisme genus Torulopsis, Chlorella,
Pseudomonas, Thiobacillus, dan Trichoderma.
Penelitian yang dilakukan oleh Britton 1984 dalam Cookson 1995 melaporkan bahwa Bacillus sp dan Pseudomonas sp dominan untuk mendegradasi
hidrokarbon demikian pula Chromobacterium sp dan Azetobacteri sp juga mempunyai kemampuan seperti Pseudomonas sp dalam mendegradasi
hidrokarbon. Aktivitas bersama Pseudomonas stutzeri dan Pseudomonas aeruginosa
dapat mendegradasi paration. Sedangkan Bacillus cereus dapat mendegradasi pestisida jenis piretroid Cookson 1995.
Mikroba yang ada dalam SMC diharapkan mampu melakukan degradasi terhadap diazinon. Faktor yang sangat berpengaruh dalam proses transformasi dan
degradasi diazinon yaitu faktor fisik, kimiawi dan faktor mikrobial. Namun kenyataannya sulit untuk membedakan faktor-faktor yang sangat berpengaruh
karena struktur tanah yang kompleks, hal ini juga dapat menyebabkan terjadinya proses absorpsi molekul pestisida ke dalam zat-zat yang ada dalam tanah ataupun
yang ada dalam jaringan tumbuhan Bollag 1974. Dalam penelitian ini diharapkan agar biodegradasi yang terjadi adalah
degradasi yang melibatkan metabolisme mikroba dimana mikroba tersebut mampu menggunakan senyawa diazinon sebagai sumber karbon dan energi.
Selain sebagai sumber karbon dan energi juga dapat terjadi gangguan mikrobial yakni terjadinya transformasi kometabolisme reaksi konjugasi dan akumulasi
pestisida dalam sel mikroba itu sendiri dan dapat menyebabkan terbentuknya
senyawa-senyawa yang lebih toksik dari pada senyawa asalnya Bollag 1974. Reaksi perubahan zat racun yang mungkin terjadi ialah oksidasi, reduksi,
hidrolisis dan sintesis. Setiap reaksi tersebut merupakan bagian dari berbagai kegiatan metabolisme yang berlangsung dalam tubuh organisme. Proses
detoksifikasi zat racun berlangsung dalam dua tahap yaitu tahap primer dan sekunder. Tahap primer proses non sintesis melalui reaksi oksidasi, hidrolisis
dan kegiatan enzimatik yang menghasilkan produk-produk yang bersifat polar.
Sedang tahap sekunder proses sintesis adalah reaksi yang menghasilkan konjugat-konjugat sebagai produk sintesis Tarumengkeng 1995.
Formulasi diazinon terdegradasi menjadi sejumlah tetraetilpirofosfat, menghasilkan sulfotepp S,S-TEPP dan monothiotepp O,S-TEPP seperti pada
Gambar 2 a dan b, kedua senyawa tersebut mempunyai sifat toksik yang lebih tinggi dan merupakan inhibitor enzim kolinesterase terutama O,S-TEPP yaitu
14000 kali lebih toksik dari pada diazinon Allender dan Britt 1994. Komponen heterosiklik diazinon dapat diaktivasi oleh enzim monooksidase yang membentuk
derivatif P = O menghasilkan diazoxon Gambar 2c yang juga bersifat lebih toksik dari diazinon karena adanya aktivitas anti asetilkholinesterase Zhang dan
Pehkonen, 1999. Secara umum diazinon mempunyai rute degradasi mencakup pemutusan ikatan P – O – Pirimidin oleh aktivitas NADPH-dependent oksidase.
Pelepasan diazinon ke dalam tanah diharapkan tidak terikat pada tanah akan tetapi bergerak mengalir dalam tanah. Fotolisis diazinon terjadi pada permukaan
tanah yang membentuk produk berupa senyawa 2-1-hidroksi-1-metiletil-4-metil- 6-hidroksipirimidin Gambar 2d.
+
fotolisis fotolisis
hidrolisis oksidasi
asetilasi
Diazinon
dekomposisi dekomposisi Gambar 2 Produk-produk degradasi diazinon
a
g a
a f
e a
d
a a
a b
a c
Proses pembentukan metabolit diazinon reaksi transformasi enzimatik terjadi melalui reaksi primernya yaitu hidrolisis yang diikuti oleh reaksi
pemecahan rantai cincin diazinon, sehingga diazinon terdegradasi pada reaksi primer menjadi 2-isopropil-4-metil-6-pirimidinol IMP dan tiofosfonat. Menurut
Ku et al. 1997 bahwa dekomposisi diazinon secara hidrolisis dan fotolisis berkaitan erat dengan pH dan intensitas cahaya ultraviolet yang membentuk
senyawa IMP dan tiofosfonat Gambar 2e dan 2f. Produk hidrolisis dan fotolisis tersebut diidentifikasi sebagai senyawa yang sifat toksiknya menurun dibanding
dengan senyawa diazinon Bollag 1974. Menurut Machin et al. 1971 dalam Gallo dan Lawryk 1991 bahwa irradiasi sinar ultraviolat pada diazinon selama 2
jam maka dapat mensubstitusi gugus isopropil pada cincin menjadi gugus asetil Gambar 2g . Senyawa tersebut merupakan inhibitor kolinesterase tidak langsung
dan lebih kuat dari pada diazinon. Secara alamiah di lingkungan yang tercemar diazinon mengandung
beraneka ragam mikroorganisme sehingga polutan yang ada di lingkungan tersebut dapat didegradasi. Degradasi diazinon tidak hanya dilakukan oleh
mikroba yang ada di lingkungan tersebut mikroba indigenous, tetapi dengan adanya cahaya diazinon juga dapat terdegradasi. Mikroba indigenous
membutuhkan waktu yang sangat lama untuk beradaptasi dengan bahansenyawa pencemar residu pestisida, yang disebabkan karena mikroba tersebut tidak
pernah berhubungan langsung dengan residu pestisida tersebut. Oleh karena itu perlu suatu adaptasi dimana dalam proses adaptasi mikroba tersebut berusaha
mengeluarkan enzim dan plasmid yang dapat mendetoksifikasi senyawa yang akan didegradasi. Tapi sebaliknya sering pula terjadi aktivasi yaitu zat racun lebih
dimodifikasi dan dikonversi menjadi zat yang lebih beracun. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Suherman 2000 telah dapat
diisolasi mikroba indigenous galur B3 yang dapat mendegradasi diazinon. Isolat tersebut menunjukkan kemampuannya untuk beradaptasi dengan diazinon sampai
konsentrasi 1000 ppm dalam media agar. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Ningsih 2001 menunjukkan bahwa isolat B3 mampu hidup dalam
lingkungan yang mengandung diazinon pada konsentrasi 200 ppm.
Isolat B3 yang diisolasi dari areal persawahan mampu menurunkan konsentrasi residu diazinon sebesar 55.52 pada konsentrasi 50 ppm 54.98 ppm
dan sebesar 68.34 untuk konsentrasi 100 ppm 118.82 ppm selama kurun waktu 27 jam Suherman 2000. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ningsih
2001 yakni untuk melihat kemampuan isolat B3 dalam mendegradasi diazinon, ternyata isolat B3 dapat menurunkan konsentrasi diazinon 54.82 pada
konsentrasi diazinon 50 ppm, sebesar 79.66 pada konsentrasi diazinon 100 ppm, dan sebesar 36.75 pada konsentrasi diazinon 200 ppm. Menurut Bollag 1974
diazinon mempunyai masa persistensi selama 9 hari di dalam tanah, sehingga dapat disimpulkan bahwa penurunan konsenstrasi diazinon diakibatkan karena
terdegradasinya diazinon secara mikrobial Suherman 2000; Ningsih 2001.
2.5. Kompos