Bioremediasi Lahan Tercemar Profenofos Secara ex-situ dengan Cara Pengomposan

(1)

BIOREMEDIASI LAHAN TERCEMAR PROFENOFOS

SECARA

EX-SITU

DENGAN CARA PENGOMPOSAN

NUR INDRAYANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

ABSTRACT

NUR INDRAYANI. Ex-situ bioremediation of profenofos-contaminated soil with composting. Under the direction of NASTITI SISWI INDRASTI, MOH.YANI and M. AHKAM SUBROTO

Pesticide have significantly increased agricultural yields while impacting detrimentally on the food chain of wildlife and human. Composting bioremediation strategy relies on mixing the primary ingredients of composting with contaminated soil, wherein as the compost matures, the pollutant will be degraded by the active microorganisms within the mixture. Composting is a relatively new clean-up strategy and because of this, there are a limited number of studies.

This study was carried out to determine the concentration of profenofos decomposition rate of profenofos-contaminated soil composted with agricultural wastes (such as saw dust, carrot leaves, beef manure). The mixed of them was based on C/N ratio 40, 35 and 30. The degradation of profenofos was measured during the composting. The composting with C/N ratio 30 mineralized profenofos rapidly than the others after 28 days of composting (98% of profenofos). Bioremediation could be increased the crop yield compared to unbioremediated soil.

Some kinds of bacteria have been isolated from the compost mixture. Three of them were able to grow in solid medium containing 1500 ppm of profenofos. The ability to degradate the profenofos was tested in mineral salt peptone yeast (MSPY) medium by changing from opaque medium to clear medium. It’s ability was indicated by the formation of clear zones surrounding the bacteria.

Keywords: bioremediation, profenofos, contaminated soil, composting


(3)

RINGKASAN

NUR INDRAYANI. Bioremediasi lahan tercemar profenofos secara ex-situ

dengan cara pengomposan. Dibimbing oleh NASTITI SISWI INDRASTI, MOH. YANI DAN M. AHKAM SUBROTO

Pestisida secara signifikan mampu meningkatkan produksi pertanian meskipun di sisi lain mengakibatkan terganggunya rantai makanan hewan dan manusia. Teknik bioremediasi dengan cara pengomposan yaitu dengan mencampur bahan utama pengomposan dengan tanah tercemar, dimana saat kompos matang akan terjadi degradasi polutan oleh mikroorganisme yang aktif di dalam campuran kompos tersebut. Pengomposan merupakan teknik bioremediasi yang relatif masih baru sehingga penelitian mengenai hal tersebut masih terbatas.

Penelitian ini ber tujuan untuk menentukan laju penurunan konsentrasi profenofos selama proses pengomposan tanah tercemar profenofos dengan sisa-sisa pertanian (serbuk gergaji, daun wortel, kotoran sapi). Campuran bahan-bahan tersebut dibedakan berdasarkan C/N rasio 40, 35, 30. Pengomposan dengan C/N rasio 30 mampu mendegradasi profenofos lebih cepat selama 28 hari dibandingkan dengan campuran yang lain (98% dari konsentrasi awal). Bioremediasi dapat meningkatkan produksi tanaman dibandingkan dengan tanah yang belum dibioremediasi.

Beberapa bakteri berhasil diisolasi dari campuran kompos. Tiga jenis bakteri mampu tumbuh pada media NA yang mengandung profenofos 1500 ppm. Kemampuan bakteri-bakteri tersebut dalam mendegradasi profenofos diuji dengan menumbuhkannya pada media MSPY. Kemampuan mendegradasi ditunjukkan dengan terbentuknya zona jernih di sekitar bakteri tersebut.


(4)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah S.W.T atas limpahan rahmat dan hidayah -Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Bioremediasi Lahan Tercemar Pestisida Secara E x-Situ dengan Cara Pengomposan”. Penulis mengucapkan apresiasi dan terimakasih kepada:

1. Dr.Ir.Nastiti Siswi Indrasti selaku ketua komisi pembimbing 2. Dr.Ir.Mohamad Yani, M.Eng selaku anggota komisi pembimbing

3. Bapak Dr.Ir.Muhamad Ahkam Subroto, M.App.Sc.APU selaku anggota komisi pembimbing dan yang telah menfasilitasi dana penelitian dalam Proyek Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi Lingkungan melalui Sistem Bioremediasi, Puslit Biotek LIPI-Cibinong.

4. Dr.Ir. Catur Herison, M.Sc. selaku dosen penguji luar komisi.

5. Dr.Ir.Surjono H. Sutjahjo, M.Si selaku ketua program studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB.

6. Dr.Ir.Etty Riani, MS selaku sekretris eksekutif program studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB.

7. Kedua orang tua tercinta dan keluarga yang selalu mengiringi penulis dengan do’a tulus. Terimakasih kepada teman-teman penulis semua.

8. Bapak Mulyadi selaku kepala Agropolitan Pacet, Kab. Cianjur dan keluarga serta terimaksih kepada rekan-rekan di Agropolitan Pacet.

9. Dr.Asep Nugraha Ardiwinata, M.Si sebagai kepala Laboratorium BB-BIOGEN

10.M’ Ririn, M’ Suli dan M’ Herlin yang telah banyak membantu penulis dalam urusan administrasi di PSL.

11.Jumbriah, M.Si selaku rekan penelitian. Staff Laboratorium Bioproses IV Bioteknologi LIPI-Cibinong, Bustanussalam, S.Si. Fauzi Rachman. S.Si. Yatri Hapsari, S.Si. Yoice Srikandace, S.Si, Mas Yadi, Indra dan Aril. Staff BB-BIOGEN Cimanggu Pak Eman, Pak Cahyadi dan Pak Mulyadi

Penulis menyadari, tulisan ini masih jauh dari sempurna sehingga masukan dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca dan penulis.

Agustus, 2006


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 2

1.3. Kerangka Pemikiran ... 4

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

1.5. Hipotesis ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pestisida dan Degradasi Pestisida ... 7

2.2. Profenofos dan Degradasi Profenofos... 11

2.2.1. Sifat Kimia Profenofos... 11

2.2.2. Degradasi Profenofos ... 12

a. Persisten... 14

b. Mobilitas ... 15

c. Akumulasi ... 16

2.3. Bioremediasi ... 16

2.4. Pengomposan ... 18

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian... 22

3.2. Alat dan Bahan ... 22

3.2.1. Alat ... 22

3.2.2. Bahan... 22

3.3. Desain Penelitian ... 23

3.4. Pen golahan Data... 26

3.4.1. Rancangan Percobaan ... 26

3.4.2. Penurunan Profenofos Selama Pengomposan ... 27

3.4.3. Analisis Residu Profenofos... 28

3.4.4. Analisis Mikroba... 28

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penentuan Lokasi Penelitian ... 30

4.2. Proses Pengomposan ... 35

4.3. Uji Pertumbuhan Tanaman Bayam Jepang ... 52

4.4. Isolasi dan Uji Kemampuan Bakteri dalam Mendegradasi Profenofos ... 55


(6)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan ... 59

5.2Saran... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 60


(7)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Persistensi beberapa pestisida di tanah ... 8

Tabel 2. Ringkasan Degradasi Profenofos... 15

Tabel 3. Komposisi Sel Mikroba... 17

Tabel 4. Sampling dan Parameter yang diamati... 25

Tabel 5. Standar Mutu Kompos ... 27

Tabel 6. Residu Pestisida di Lahan Pertanian Hortikultura Kecamatan Dramaga, Ciawi, Cisarua dan Pacet ... 31

Tabel 5. Komoditas Unggulan Kecamatan di Kabupaten Cianjur... 27

Tabel 7. Analisis Kimia Tanah Kawasan P ertanian Cipatat Cianjur ... 32

Tabel 8. Komoditas Unggulan Kecamatan di Kabupaten Cianjur... 34

Tabel 9. Rasio C/N dan Kadar Air Bahan-bahan Pengomposan... 35

Tabel 10. Hasil analisis Proses Pengomposan ... 40

Tabel 11. Perbandingan mutu kompos dengan Standar Mutu Kompos... 52


(8)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Diagram Alir Kerangka B erfikir ... 5

Gambar 2. Peluang Perubahan Keberadaan Polutan Organik di Tanah ... 9

Gambar 3. Rumus Bangun Profenofos ... 11

Gambar 4. Pathway Metabolit Profenofos... 13

Gambar 5. Diagram Tahapan Penelitian ... 24

Gambar 6. Bak Proses Pengomposan ... 26

Gambar 7. Peta Lokasi dan Peta Tanah Lokasi Penelitian... 32

Gambar 8. Grafik Suhu dan pH Selama Proses Pengomposan... 36

Gambar 9. Penurunan Residu Profenofos Selama Proses Pengomposan .... 41

Gambar 10. Pertumbuhan B akteri dan Penurunan Residu Profenofos Selama Pengomposan... 43

Gambar 11. Hubungan Laju Pertumbuhan dan Aktivitas Bakteri Terhadap Laju Konsentrasi Residu Profenofos... 44

Gambar 12. Aktivitas Bakteri dan Penurunan Residu Profenofos Selama Pengomposan ... 48

Gambar 13. Pertumbuhan Benih Bayam Jepang (Horingso) di Green House Selama 17 hari ... 53

Gambar 14. Pertumbuhan Tanaman Bayam Jepang (Horingso) di Lapangan ... 54

Gambar 15. Bobot Tanaman Uji Bayam Jepang (Horingso) di Green House dan di L apangan ... 54

Gambar 16. Isolat Bakteri dari Campuran Pengomposan ... 56

Gambar 17. Pertumbuhan Isolat Pada Media Adaptasi pada 500, 750, 1000 dan 1500 ppm Profenofos ... 57

Gambar 18. Pengujian Kemampuan Degradasi Profenofos pada konsentrasi 100, 500, 750 dan 1000 ppm Profenofos... 58


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Komposis i Bahan-bahan Pengomposan ... 63

Lampiran 2. Campuran bahan -bahan pengomposan ... 64

Lampiran 3. Analisis Residu Profenofos... 65

Lampiran 4. Analisis Biomassa Benih Tanaman Bayam Jepang... 66

Lampiran 5. Analisis biomassa Tanaman Bayam Jepang Hari ke-40... 67

Lampiran 6. Analisis Suhu Tertinggi Selama Pengomposan ... 68

Lampiran 7. Analisis pH akhir Pengomposan ... 69

Lampiran 8. Analisis C/N rasio Akhir Pengomposan ... 70

Lampiran 9. Kurva standar Analisis Mikroba dengan Spektrofotometri Pada panjang Gelombang (λ) 490 nm... 71

Lampiran 10. Analisis Aktivitas mikroba dengan spektrofotometri pada panjang gelombang (λ) 490 nm ... 72

Lampiran 11. Pengamatan Suhu Harian Selama Proses Pengomposan ... 73

Lampiran 12. Prosedur Analisis Residu Profenofos... 74

Lampiran 13. Prosedur Analisis Mikroba... 75

Lampiran 14. Prosedur Analisis Kadar Air, Kadar Abu, Nitrogen dan Karnon Total ... 78


(10)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Polusi tanah merupakan permasalahan yang kini d ihadapi negara-negara agraris, termasuk Indonesia. Tanpa disadari sebenarnya agrokultur sendiri merupakan sumber terbesar penyebab tercemarnya tanah dan hilangnya produktivitas tanah. Pemakaian pupuk kimia dan pestisida dalam jumlah besar menimbulkan pencemaran, baik tanah maupun air tanah, dengan kadar racun yang beranekaragam. Degradasi tanah pertanian sudah makin parah dengan sudah mengendapnya pestisida maupun bahan agrokimia lainnya dalam waktu yang cukup lama. Padahal untuk mengembalikan kesuburan tanah, memerlukan waktu bertahun-tahun. Sementara itu, manusia hanya memerlukan beberapa tahun untuk merusaknya. Hal ini bisa dilihat dari tanah pertanian di Indonesia yang semakin lama semakin menurun produktivitasnya disebabkan mulai hilangnya kemampuan tanah untuk memproduksi nutrisi. Salah satu penyebab menurunnya produktivitas pertanian Indonesia berdasarkan kajian Bappenas adalah berkurangnya lahan pertanian di Indonesia akibat erosi, residu bahan kimia seperti herbisida dan pestisida. Hal ini menyebabkan kekhawatiran akan tidak seimbangnya antara kebutuhan dan ketersediaan pangan nasional di masa yang akan datang.

Meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia yang diperkirakan pada tahun 2035 akan bertambah menjadi dua kali lipat dari jumlah saat ini atau menjadi 400 juta jiwa. Selain itu, dengan semakin meningkatnya tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat terjadi pula peningkatan konsumsi perkapita untuk berbagai jenis pangan, akibatnya dalam waktu 35 tahun yang akan datang Indonesia membutuhkan tambahan ketersediaan pangan yang lebih dari 2 kali lipat jumlah kebutuhan saat ini. Hal ini telah memunculkan kerisauan akan terjadinya keadaan “rawan pangan” di masa yang akan datang (Djakapermana, 2003). Kenyataanya tercatat, Indonesia harus mengimpor kedelai sebanyak 1.277.685 ton pada tahun 2000 dengan nilai nominal sebesar US$ 275 juta. Pada tahun yang sama, Indonesia mengimpor sayur-sayuran senilai US$ 62 juta dan buah-buahan senilai US$ 65 juta (Yudohusodo dalam Djakapermana, 2003). Berdasarkan kenyataan tersebut pemerintah telah mengembangkan program


(11)

BIOREMEDIASI LAHAN TERCEMAR PROFENOFOS

SECARA

EX-SITU

DENGAN CARA PENGOMPOSAN

NUR INDRAYANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(12)

ABSTRACT

NUR INDRAYANI. Ex-situ bioremediation of profenofos-contaminated soil with composting. Under the direction of NASTITI SISWI INDRASTI, MOH.YANI and M. AHKAM SUBROTO

Pesticide have significantly increased agricultural yields while impacting detrimentally on the food chain of wildlife and human. Composting bioremediation strategy relies on mixing the primary ingredients of composting with contaminated soil, wherein as the compost matures, the pollutant will be degraded by the active microorganisms within the mixture. Composting is a relatively new clean-up strategy and because of this, there are a limited number of studies.

This study was carried out to determine the concentration of profenofos decomposition rate of profenofos-contaminated soil composted with agricultural wastes (such as saw dust, carrot leaves, beef manure). The mixed of them was based on C/N ratio 40, 35 and 30. The degradation of profenofos was measured during the composting. The composting with C/N ratio 30 mineralized profenofos rapidly than the others after 28 days of composting (98% of profenofos). Bioremediation could be increased the crop yield compared to unbioremediated soil.

Some kinds of bacteria have been isolated from the compost mixture. Three of them were able to grow in solid medium containing 1500 ppm of profenofos. The ability to degradate the profenofos was tested in mineral salt peptone yeast (MSPY) medium by changing from opaque medium to clear medium. It’s ability was indicated by the formation of clear zones surrounding the bacteria.

Keywords: bioremediation, profenofos, contaminated soil, composting


(13)

RINGKASAN

NUR INDRAYANI. Bioremediasi lahan tercemar profenofos secara ex-situ

dengan cara pengomposan. Dibimbing oleh NASTITI SISWI INDRASTI, MOH. YANI DAN M. AHKAM SUBROTO

Pestisida secara signifikan mampu meningkatkan produksi pertanian meskipun di sisi lain mengakibatkan terganggunya rantai makanan hewan dan manusia. Teknik bioremediasi dengan cara pengomposan yaitu dengan mencampur bahan utama pengomposan dengan tanah tercemar, dimana saat kompos matang akan terjadi degradasi polutan oleh mikroorganisme yang aktif di dalam campuran kompos tersebut. Pengomposan merupakan teknik bioremediasi yang relatif masih baru sehingga penelitian mengenai hal tersebut masih terbatas.

Penelitian ini ber tujuan untuk menentukan laju penurunan konsentrasi profenofos selama proses pengomposan tanah tercemar profenofos dengan sisa-sisa pertanian (serbuk gergaji, daun wortel, kotoran sapi). Campuran bahan-bahan tersebut dibedakan berdasarkan C/N rasio 40, 35, 30. Pengomposan dengan C/N rasio 30 mampu mendegradasi profenofos lebih cepat selama 28 hari dibandingkan dengan campuran yang lain (98% dari konsentrasi awal). Bioremediasi dapat meningkatkan produksi tanaman dibandingkan dengan tanah yang belum dibioremediasi.

Beberapa bakteri berhasil diisolasi dari campuran kompos. Tiga jenis bakteri mampu tumbuh pada media NA yang mengandung profenofos 1500 ppm. Kemampuan bakteri-bakteri tersebut dalam mendegradasi profenofos diuji dengan menumbuhkannya pada media MSPY. Kemampuan mendegradasi ditunjukkan dengan terbentuknya zona jernih di sekitar bakteri tersebut.


(14)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah S.W.T atas limpahan rahmat dan hidayah -Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Bioremediasi Lahan Tercemar Pestisida Secara E x-Situ dengan Cara Pengomposan”. Penulis mengucapkan apresiasi dan terimakasih kepada:

1. Dr.Ir.Nastiti Siswi Indrasti selaku ketua komisi pembimbing 2. Dr.Ir.Mohamad Yani, M.Eng selaku anggota komisi pembimbing

3. Bapak Dr.Ir.Muhamad Ahkam Subroto, M.App.Sc.APU selaku anggota komisi pembimbing dan yang telah menfasilitasi dana penelitian dalam Proyek Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi Lingkungan melalui Sistem Bioremediasi, Puslit Biotek LIPI-Cibinong.

4. Dr.Ir. Catur Herison, M.Sc. selaku dosen penguji luar komisi.

5. Dr.Ir.Surjono H. Sutjahjo, M.Si selaku ketua program studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB.

6. Dr.Ir.Etty Riani, MS selaku sekretris eksekutif program studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB.

7. Kedua orang tua tercinta dan keluarga yang selalu mengiringi penulis dengan do’a tulus. Terimakasih kepada teman-teman penulis semua.

8. Bapak Mulyadi selaku kepala Agropolitan Pacet, Kab. Cianjur dan keluarga serta terimaksih kepada rekan-rekan di Agropolitan Pacet.

9. Dr.Asep Nugraha Ardiwinata, M.Si sebagai kepala Laboratorium BB-BIOGEN

10.M’ Ririn, M’ Suli dan M’ Herlin yang telah banyak membantu penulis dalam urusan administrasi di PSL.

11.Jumbriah, M.Si selaku rekan penelitian. Staff Laboratorium Bioproses IV Bioteknologi LIPI-Cibinong, Bustanussalam, S.Si. Fauzi Rachman. S.Si. Yatri Hapsari, S.Si. Yoice Srikandace, S.Si, Mas Yadi, Indra dan Aril. Staff BB-BIOGEN Cimanggu Pak Eman, Pak Cahyadi dan Pak Mulyadi

Penulis menyadari, tulisan ini masih jauh dari sempurna sehingga masukan dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca dan penulis.

Agustus, 2006


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 2

1.3. Kerangka Pemikiran ... 4

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

1.5. Hipotesis ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pestisida dan Degradasi Pestisida ... 7

2.2. Profenofos dan Degradasi Profenofos... 11

2.2.1. Sifat Kimia Profenofos... 11

2.2.2. Degradasi Profenofos ... 12

a. Persisten... 14

b. Mobilitas ... 15

c. Akumulasi ... 16

2.3. Bioremediasi ... 16

2.4. Pengomposan ... 18

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian... 22

3.2. Alat dan Bahan ... 22

3.2.1. Alat ... 22

3.2.2. Bahan... 22

3.3. Desain Penelitian ... 23

3.4. Pen golahan Data... 26

3.4.1. Rancangan Percobaan ... 26

3.4.2. Penurunan Profenofos Selama Pengomposan ... 27

3.4.3. Analisis Residu Profenofos... 28

3.4.4. Analisis Mikroba... 28

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penentuan Lokasi Penelitian ... 30

4.2. Proses Pengomposan ... 35

4.3. Uji Pertumbuhan Tanaman Bayam Jepang ... 52

4.4. Isolasi dan Uji Kemampuan Bakteri dalam Mendegradasi Profenofos ... 55


(16)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan ... 59

5.2Saran... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 60


(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Persistensi beberapa pestisida di tanah ... 8

Tabel 2. Ringkasan Degradasi Profenofos... 15

Tabel 3. Komposisi Sel Mikroba... 17

Tabel 4. Sampling dan Parameter yang diamati... 25

Tabel 5. Standar Mutu Kompos ... 27

Tabel 6. Residu Pestisida di Lahan Pertanian Hortikultura Kecamatan Dramaga, Ciawi, Cisarua dan Pacet ... 31

Tabel 5. Komoditas Unggulan Kecamatan di Kabupaten Cianjur... 27

Tabel 7. Analisis Kimia Tanah Kawasan P ertanian Cipatat Cianjur ... 32

Tabel 8. Komoditas Unggulan Kecamatan di Kabupaten Cianjur... 34

Tabel 9. Rasio C/N dan Kadar Air Bahan-bahan Pengomposan... 35

Tabel 10. Hasil analisis Proses Pengomposan ... 40

Tabel 11. Perbandingan mutu kompos dengan Standar Mutu Kompos... 52


(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Diagram Alir Kerangka B erfikir ... 5

Gambar 2. Peluang Perubahan Keberadaan Polutan Organik di Tanah ... 9

Gambar 3. Rumus Bangun Profenofos ... 11

Gambar 4. Pathway Metabolit Profenofos... 13

Gambar 5. Diagram Tahapan Penelitian ... 24

Gambar 6. Bak Proses Pengomposan ... 26

Gambar 7. Peta Lokasi dan Peta Tanah Lokasi Penelitian... 32

Gambar 8. Grafik Suhu dan pH Selama Proses Pengomposan... 36

Gambar 9. Penurunan Residu Profenofos Selama Proses Pengomposan .... 41

Gambar 10. Pertumbuhan B akteri dan Penurunan Residu Profenofos Selama Pengomposan... 43

Gambar 11. Hubungan Laju Pertumbuhan dan Aktivitas Bakteri Terhadap Laju Konsentrasi Residu Profenofos... 44

Gambar 12. Aktivitas Bakteri dan Penurunan Residu Profenofos Selama Pengomposan ... 48

Gambar 13. Pertumbuhan Benih Bayam Jepang (Horingso) di Green House Selama 17 hari ... 53

Gambar 14. Pertumbuhan Tanaman Bayam Jepang (Horingso) di Lapangan ... 54

Gambar 15. Bobot Tanaman Uji Bayam Jepang (Horingso) di Green House dan di L apangan ... 54

Gambar 16. Isolat Bakteri dari Campuran Pengomposan ... 56

Gambar 17. Pertumbuhan Isolat Pada Media Adaptasi pada 500, 750, 1000 dan 1500 ppm Profenofos ... 57

Gambar 18. Pengujian Kemampuan Degradasi Profenofos pada konsentrasi 100, 500, 750 dan 1000 ppm Profenofos... 58


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Komposis i Bahan-bahan Pengomposan ... 63

Lampiran 2. Campuran bahan -bahan pengomposan ... 64

Lampiran 3. Analisis Residu Profenofos... 65

Lampiran 4. Analisis Biomassa Benih Tanaman Bayam Jepang... 66

Lampiran 5. Analisis biomassa Tanaman Bayam Jepang Hari ke-40... 67

Lampiran 6. Analisis Suhu Tertinggi Selama Pengomposan ... 68

Lampiran 7. Analisis pH akhir Pengomposan ... 69

Lampiran 8. Analisis C/N rasio Akhir Pengomposan ... 70

Lampiran 9. Kurva standar Analisis Mikroba dengan Spektrofotometri Pada panjang Gelombang (λ) 490 nm... 71

Lampiran 10. Analisis Aktivitas mikroba dengan spektrofotometri pada panjang gelombang (λ) 490 nm ... 72

Lampiran 11. Pengamatan Suhu Harian Selama Proses Pengomposan ... 73

Lampiran 12. Prosedur Analisis Residu Profenofos... 74

Lampiran 13. Prosedur Analisis Mikroba... 75

Lampiran 14. Prosedur Analisis Kadar Air, Kadar Abu, Nitrogen dan Karnon Total ... 78


(20)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Polusi tanah merupakan permasalahan yang kini d ihadapi negara-negara agraris, termasuk Indonesia. Tanpa disadari sebenarnya agrokultur sendiri merupakan sumber terbesar penyebab tercemarnya tanah dan hilangnya produktivitas tanah. Pemakaian pupuk kimia dan pestisida dalam jumlah besar menimbulkan pencemaran, baik tanah maupun air tanah, dengan kadar racun yang beranekaragam. Degradasi tanah pertanian sudah makin parah dengan sudah mengendapnya pestisida maupun bahan agrokimia lainnya dalam waktu yang cukup lama. Padahal untuk mengembalikan kesuburan tanah, memerlukan waktu bertahun-tahun. Sementara itu, manusia hanya memerlukan beberapa tahun untuk merusaknya. Hal ini bisa dilihat dari tanah pertanian di Indonesia yang semakin lama semakin menurun produktivitasnya disebabkan mulai hilangnya kemampuan tanah untuk memproduksi nutrisi. Salah satu penyebab menurunnya produktivitas pertanian Indonesia berdasarkan kajian Bappenas adalah berkurangnya lahan pertanian di Indonesia akibat erosi, residu bahan kimia seperti herbisida dan pestisida. Hal ini menyebabkan kekhawatiran akan tidak seimbangnya antara kebutuhan dan ketersediaan pangan nasional di masa yang akan datang.

Meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia yang diperkirakan pada tahun 2035 akan bertambah menjadi dua kali lipat dari jumlah saat ini atau menjadi 400 juta jiwa. Selain itu, dengan semakin meningkatnya tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat terjadi pula peningkatan konsumsi perkapita untuk berbagai jenis pangan, akibatnya dalam waktu 35 tahun yang akan datang Indonesia membutuhkan tambahan ketersediaan pangan yang lebih dari 2 kali lipat jumlah kebutuhan saat ini. Hal ini telah memunculkan kerisauan akan terjadinya keadaan “rawan pangan” di masa yang akan datang (Djakapermana, 2003). Kenyataanya tercatat, Indonesia harus mengimpor kedelai sebanyak 1.277.685 ton pada tahun 2000 dengan nilai nominal sebesar US$ 275 juta. Pada tahun yang sama, Indonesia mengimpor sayur-sayuran senilai US$ 62 juta dan buah-buahan senilai US$ 65 juta (Yudohusodo dalam Djakapermana, 2003). Berdasarkan kenyataan tersebut pemerintah telah mengembangkan program


(21)

pertanian intensif sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan produksi pertanian. Volume pemakaian pestisida oleh petani terus meningkat untuk memenuhi kebutuhan produksi hasil pertanian.

Menurut data dari Komisi Pestisida Indonesia pada tahun 2003 terdapat 152 perusahaan produsen formula pestisida dengan 813 merek dagang terdiri dari 97% pestisida sintetis dan 3% pestisida alami. Sejak penemuan DDT pada tahun 1874 dan bubur bordeox pada tahun 1882 menawarkan alternatif solusi bagi pengusaha tani, pestisida sintetis telah diterima sebagai solusi pengendalian hama sehingga penggunaannya semakin meluas di kalangan petani.

Pencemaran lahan oleh pestisida tersebut harus segera diatasi. Alternatif penanganan yang bisa dilakukan adalah memanfaatkan aktivitas mikroorganisme untuk mendegradasi pestisida tersebut atau disebut bioremediasi. Kelebihan bioremediasi adalah lebih efek tif dan ekonomis untuk mendegradasi polutan -polutan organik, sehingga saat ini menjadi pilihan bagi banyak industri dan lembaga penelitian. Bioremediasi dengan cara pengomposan belum banyak dilakukan di Indonesia sehingga perlu dikembangkan. Hal ini sebag ai upaya mengurangi lahan tercemar pestisida yang sudah sangat meluas di Indonesia.

1.2 Perumusan Masalah

Penggunaan pestisida secara terus -menerus dan berlebihan menimbulkan masalah lingkungan seperti tanah tercemar dan menjadi keras. Salah jenis pestisida yang familiar di kalangan petani hortikultur sebagai pemberantas hama insekta adalah curacron. Curacron merupakan pestisida golongan organofosfat berbahan aktif profenofos yang mempunyai spektrum luas dan bersifat toksik, jika masuk ke rantai makanan ak an meningkatkan toksisitasnya sehingga membahayakan bagi manusia.

Salah satu penyebab menurunnya produktivitas lahan pertanian adalah cemaran bahan kimia di tanah. Cemaran tersebut akan terakumulasi di tanah dan diserap oleh tanaman. Berdasarkan data pertanian dan perkebunan Cianjur 2005, jenis pestisida yang umum digunakan petani diantaranya adalah curacron dan dursban. Kebiasaan petani yang senantiasa mengganti dursban dengan curacron karena alasan lebih murah dan ampuh, menyebabkan volume pemakaian curacron


(22)

tinggi. Berdasarkan hasil penelitian Fuad 2005, residu profenofos pada sayuran di berbagai daerah pertanian di Jawa Barat sudah melewati ambang batas yang ditetapkan oleh WHO yaitu 0.005 ppm. Residu profenofos pada sayuran di mencapai 0.0068 ppm. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka diduga residu profenofos di tanah pertanian tersebut juga tinggi. Residu profenofos tersebut jika dibiarkan dalam waktu yang lama akan merusak tanah pertanian dan menyebabkan tanah menjadi kurang/tidak produktif lagi. Bioremediasi tanah tercemar pestisida perlu dilakukan sebagai upaya mencari solusi menangani dan mengurangi luas lahan yang tercemar pestisida.

Upaya yang sudah dilakukan petani untuk mengatasi pencemaran lahan pertanian mereka adalah mencampurkan kotoran sap i dan tanah sebelum lahan ditanami kembali, dan dibiarkan selama 6 minggu. Perlakuan ini lama dan diduga tidak efektif menurunkan cemaran pestisida.

Meskipun mekanisme degradasi sebagian besar pestisida oleh mikroba tanah telah diketahui, namun mekanisme degradasi selama proses pengomposan belum terungkap dengan jelas (Reddy dan Michel, 1999). Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan studi degradasi pestisida selama proses pengomposan untuk mengetahui laju degradasi konsentrasi residu pestisida (pro fenofos) selama proses pengomposan. Bioremediasi dengan strategi pengomposan dapat dilakukan menggunakan bahan-bahan sisa pertanian, kotoran hewan (misal kotoran kuda, sapi, domba, ayam), lumpur aktif, jerami, serbuk gergaji, gambut (Bernier et al. 1997) dengan memperhatikan C/N rasio campuran. Jika bahan -bahan tersebut diinkubasi dengan tanah tercemar pestisida maka akan terjadi proses penguraian bahan organik secara eksotermik oleh sekelompok mikroba pada suhu tinggi (thermophilic phase) dan proses ini disebut pengomposan.

Selama proses pengomposan akan terjadi degradasi bahan -bahan organik oleh bakteri yang ada di dalam campuran kompos. Penelitian mengenai bioremediasi dengan teknologi pengomposan saat ini mulai berkembang di beberapa negara, termasuk Indonesia. Penelitian bioremediasi pengomposan perlu terus dilakukan dan hasilnya diaplikasikan pada lahan tercemar pestisida yang semakin meluas di Indonesia dan negara berkembang lainnya.


(23)

1.3Kerangka Pemikiran

Penggunaan pestisida yang meningkat dan intensif pada usaha pertanian di Indonesia merupakan upaya untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Namun, pada akhirnya residu pestisida tersebut tidak saja terakumulasi pada produk pertanian tetapi juga akan terakumulasi di dalam tanah sehingga menyebabkan tanah menjadi tidak subur bahkan tidak produktif lagi untuk ditanami. Lahan pertanian tercemar pestisida tersebut harus segera ditangani agar pencemaran tidak semakin meluas dan lahan bisa kembali produktif.

Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mengatasi lah an tercemar pestisida. Salah satu penanganan lahan tercemar pestisida tersebut bisa dilakukan dengan memanfaatkan aktivitas mikroorganisme yang mampu mendegradasi pestisida (bioremediasi). Bioremediasi dengan strategi pengomposan diperkirakan lebih efektif karena keanekaragaman bakteri yang mampu melakukan co-metabolisme terhadap pestisida tersebut. Selain itu pengomposan lebih mudah dilakukan dan murah. Diagram alir kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1.

Bioremediasi dapat dilakukan langsung pada lah an yang tercemar (in situ) atau dilakukan di luar lingkungan yang tercemar dengan membuat lingkungan baru berupa bioreaktor yang dikondisikan menggunakan inokulan yang mampu mendegradasi kontaminan organik (ex situ) (Vidali, 2001). Selanjutnya Vidali (2001) menjelaskan bahwa teknik bioremediasi meliputi: biostimulasi, bioaugmentasi, biofilter, bioreaktor, bioslurry, bioventing, pengomposan dan landfarming.

Bioremediasi ini dapat dilakukan jika tanah terkontaminasi pestisida tersebut mengandung mikroba-mikroba indigen yang mampu hidup dan telah beradaptasi dengan kontaminan pestisida yang ada di lahan tersebut. Bioremediasi menggunakan mikroba indigen memerlukan waktu yang lama, sehingga bisa menjadi kendala dalam upaya pemulihan lahan. Sebagai alternatif, bioremediasi dengan teknologi pengomposan dapat digunakan karena memiliki keunggulan-keunggulan: keanekaragaman mikroba yang tinggi sehingga kemampuan mendegradasi polutan juga tinggi karena terjadi co-metabolisme, suhu yang tinggi saat pengomposan memungkinkan reaksi biokimia yang lebih cepat dan pestisida menjadi lebih mudah terdegradasi. Selain itu pengomposan


(24)

Penggunaan Pestisida Secara intensif

Lahan pertanian Tercemar

pestisida

Bioremediasai (Pengomposan)

Analisis Residu Pestisida

Analisis Kompos

Produksi Pertanian Meningkat

Produksi Pertanian Menurun

Pasca Bioremediasi

Uji Toksisitas Kompos

lebih mudah diaplikasikan dan bahan -bahan yang digunakan banyak tersedia di sekitar masyarakat.

Gambar 1. Diagram Kerangka Berfikir

1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengukur laju degradasi profenofos pada perlakuan C/N rasio selama proses pengomposan.

2. Menguji pertumbuhan tanaman hortikultura pada tanah yang telah diremediasi.


(25)

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Mengetahui pengaruh C/N rasio terhadap laju degradasi profenofos selama proses pengomposan.

2. Mengetahui pertumbuhan tanaman pada lahan yang telah diremediasi. 3. Mengetahui bakteri yang berperan dalam degradasi profenofos.

4. Memberikan masukan kepada petani, Pemerintahan Daerah, Dinas Pertanian, LSM atau produsen pestisida dalam upaya mengatasi lahan tercemar pestisida.

1.5 Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Rasio C/N campuran bahan -bahan pengomposan akan berpengaruh terhadap laju degradasi profenofos.

2. Bioremediasi lahan tercemar profenofos berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman.

3. Campuran pengomposan mengandung bakteri yang berperan dalam degradasi residu profenofos.


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pestisida dan Degradasi Pestisida

Pestisida secara harfiah berarti pembunuh hama, berasal dari kata pest (hama) dan cide (pembunuh). Pestisida mencakup bahan -bahan kimia yang digunakan untuk mengendalikan populasi jasad hidup merugikan manusia, tumbuhan, dan ternak yang diusahakan manusia untuk kesejahteraan hidupnya, agar gangguan dan kerugian dapat ditekan seminimal mungkin (Tarumingkeng, 1992). Menurut Peraturan Pemerintah RI No.7 tahun 1973 tentang pengawasan dan peredaran, penyimpanan dan penggunaan pestisida, pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain yang digunakan untuk memberantas dan mencegah hama serta penyakit yang merusak tanaman, memberantas gulma, mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan.

Tarumingkeng (1992) menyebutkan bahwa, berbagai pestisida yang dikenal terutama dalam bidang pertanian, kesehatan masyarakat dan kesehatan veteriner adalah: insektisida (racun serangga), fungisida (racun cendawan/jamur), herbisida (racun gulma), akarisida (racun tungau), rodentisida (racun binatang pengerat), nematisida (racun nematoda), helmintisida (racun pembunuh cacing) dan termitisida (insektisida pembunuh rayap).

Pestisida yang digunakan pada awalnya ditargetkan pada objek seperti populasi serangga dan tanaman tertentu, tetapi pada aplikasinya sebagian besar pestisida akan jatuh ke tanah. Banyak faktor yang mempengaruhi deposit pestisida dalam tanah yaitu: kemampuan absorbsi pestisida oleh partikel-partikel tanah dan bahan organik, pencucian oleh air hujan, penguapan, degradasi atau aktivasi oleh jasad renik dalam tanah, dekomposisi fisikokimia maupun aktivasi yang terjadi akibat kondisi komponen -komponen tanah yang bersifat katalisator, dekomposisi oleh cahaya matahari (photo decomposition) dan translokasi melalui sistem hayati baik tanaman maupun hewan ke lingkungan yang lain. Namun yang terpenting adalah sifat dari pestisida itu sendiri. Sifat-sifat seperti daya larut dalam air, polaritas (yang menentukan sifat lipofilik pestisida), daya menguap serta sifat reaktivitas dan stabilitas kimia pestisida merupakan sifat yang penting dalam menentukan persistensi pestisida. Selanjutnya Tarumingkeng (1992) menjelaskan


(27)

bahwa sifat pestisida yang sukar larut dalam air dan sulit menguap merupakan faktor utama banyaknya terdapat deposit pestisida di tanah. Sebagian besar pestisida hidrokarbon berklor seperti DDT, BHC, klordan, dieldrin dan heptaklor pada umumnya stabil dan persisten di dalam tanah.

Mengapa pestisida cenderung menumpuk pada lapisan tanah bagian atas, belum jelas sekali. Namun ada asumsi yang dapat dipegang adalah bahwa terdapat dua lapisan tanah, bagian atas yang banyak mengandung bahan organik dan lapisan bawahnya yang banyak mengandung bahan anorganik. Cookson (1995) menyatakan jenis pestisida tertentu akan tetap terdeteksi di tanah pada waktu cukup lama (Tabel 1)

Tabel 1. Persistensi Beberapa Pestisida di Tanah

Bahan Lama Tinggal Waktu Paruh Chlordane 21 tahun 2-4 tahun DDT 24 tahun 3-10 tahun Dieldrin 21 tahun 1-7 tahun Heptachlor 16 tahun 7-12 tahun Toxophene 10 minggu 10 tahun

Dalapon - -

DDVP - 17 hari

Methyldemeton S - 26 hari

Thimet - 2 hari

Sumber: Alexander, 1977 dalam Cookson, 1995

Sebelum membahas tentang degradasi pestisida perlu diketahui bagaimana nasib dari polutant organik saat berhubungan dengan tanah secara umum (Gambar 2). Polutan organik yang masuk ke dalam tanah akan mengalami volatilisasi ke udara, biodegradasi, transfer ke dalam tubuh organisme, terikat ke dalam tanah dan mengalami leaching ke dalam air tanah. Nasib polutan organik di tanah dipengaruhi oleh berbagai faktor misalnya karakteristik tanah, jenis bahan kimia, suhu dan presipitasi. Tingkat persisten polutan organik berhubungan dengan sifat hidrophobik bahan tersebut. Polutan organik di tanah umumnya berkurang secara cepat pada tahap awal yang singkat dan berlanjut secara lambat pada periode waktu yang sangat lama. Sifat volatilitas, hidropobisitas dan avinitas bahan mempengaruhi kedua fase tersebut (Semple et al. 2001)

Penelitian yang telah dilakukan untuk bioremediasi lahan tercemar pestisida dengan teknik pengomposan menggunakan daun dan rumput menunjukkan hasil bahwa setelah 50 hari pengomposan 47% pestisida jenis 2,4-D


(28)

Gambar 2. Peluang perubahan keberadaan polutan organik di tanah (Semple et.al. 2001)

Minieralisasi menjadi CO2

Volatilisasi

Leaching

Induk polutan organik

Proses biologi, kimia dan fisika

Produk degradasi Bioakumulasi

Proses di dalam tanah

termineralisasi pada suhu 60oC (Reddy dan Michel, 1999). Bernier et al. (1997) juga pernah melakukan penelitian mengenai pengomposan tanah tercemar pestisida khususnya DDT. Pada percobaan tersebut, tanah yang tercemar 600 ppm DDT dikomposkan melalui rangkaian pengomposan anaerobik (2 minggu) dilanjutkan dengan pengomposan aerobik (2 minggu) telah sukses mendegradasi DDT menjadi 140 ppm tanpa DDD dan DDE di akhir percobaan. Percobaan tersebut dilakukan pada kontainer pengomposan normal yang mampu menampung 1 ton tanah terkontaminasi. Selanjutnya Bernier et al. (1997) juga melakukan pengomposan skala laboratorium dengan komposisi pencampuran berbeda menghasilkan degradasi pestisida yang berbeda pula. Total campuran akhir 65 g dengan komposisi bahan pengomposan (% berat) terdiri dari tanah : gambut : kotoran hewan : serbuk gergaji = 10 : 1 : 45 : 45 berhasil mereduksi 89% DDT, komposisi 25 : 1 : 37 : 37 berhasil mereduksi 85% DDT dan komposisi 25 : 20 : 35 : 20 berhasil mereduksi 73% DDT.

Cookson (1995) menjelaskan bahwa degradasi pestisida oleh mikroba dapat terjadi melalui beberapa proses: pestisida terakumulasi dalam sel mikroba, penggabungan senyawa pestisida ke dalam fraksi tanah organik, atau termineralisasi yaitu molekul pestisida terdegradasi oleh mikroba dengan menjadikannya sebagai substrat untuk pertumbuhan dan energi.


(29)

Selama pengomposan pestisida akan mengalami degradasi. Degradasi tersebut terjadi karena mikroba-mikroba yang ada menghasilkan enzim-enzim yang akan mengkatalisis oksidasi, reduksi, hid rolisis, dehalogenisasi dan reaksi secara sintetik (Singer dan Chron 2002).

Pestisida yang bersifat persisten di lingkungan dapat diketahui dari struktur kimianya. Struktur kimia tersebut juga bisa membantu untuk mengetahui kelarutan pestisida tersebut. Pestisida yang mempunyai ikatan labil akan lebih mudah dan cepat didegradasi. Penambahan air bisa memecah ikatan yang labil tersebut dengan proses hidrolisis atau enzimatik. Malathion merupakan contoh insektisida yang mempunyai ikatan labil dan dapat terdegradasi dengan enzim hidrolitik (misalnya esterase dan phospatase). Pestisida lain yang mampu terdegradasi melalui reaksi hidrolisis adalah: karbamat, pyrethroid, diazinon, dicamba, asam dikloropikolinat, dimethoat, atrazin, linuron, propanil, kloropirifo s dan 2,4-D (Singer et al. 2002).

Enzim lainnya yang bekerja dalam degradasi pestisida yaitu mono-oksigenase dan di-mono-oksigenase. Enzim tersebut memasukan satu atau dua atom oksigen ke dalam struktur pestisida. Proses oksidasi ini menyebabkan pestisida men jadi lebih mudah untuk degradasi selanjutnya. Degradasi akan dimulai dari tingkat ekstraseluler dan akan dilanjutkan ke tingkat intraseluler (Singer et al. 2002).

Pada tahap awal, mikroba akan mengekskresikan enzim dan bereaksi dengan ikatan pestisida di dalam selulosa, hemiselulosa dan atau lignin merubah ke komponen yang lebih kecil. Enzim ekstraseluler bisa bereaksi dengan unsur kimia yang bukan target. Jika enzim bertemu pestisida sebelum menjangkau substrat target (contohnya selulosa, hemiselulosa, ligin) enzim tetap akan bereaksi dengan pestisida untuk mengurangi kadar toksisitasnya. Sebagian besar enzim ekstraseluler bersumber dari fungi. Fungi yang terdapat pada kompos dan bahan tanah organik beberapa diantaranya adalah genus Trichoderma, Gliocladium, Penicillium dan Phanerocheate. Setelah enzim ekstraseluler memulai mendegradasi pestisida, pestisida akan memasuki sel mikroba dan degradasi selanjutnya terjadi secara intraseluler (Singer et al. 2002).


(30)

2.2 Profenofos dan Degradasi Profenofos 2.2.1 Sifat Kimia Profenofos

Profenofos merupakan senyawa insektisisda dari golongan organofosfat. dengan spektrum luas dan terdaftar penggunaannya untuk tanaman kapas. Merk dagang dikenal dengan Curacron 8E dan diaplikasikan di lapangan sebagai larutan emulsi dengan dosis 1 pon/ha-6 pon/ ha/Tahun (BCPC, 1997).

Gambar 3. Rumus Bangun Profenofos

Profenofos mempunyai nama kimia O-(4-bromo -2-chlorophenyl)O-ethyl S-prophyl Phosporothioate dengan rumus empiris C11H15BrClO3PS dengan rumus

bangun seperti Gambar 3. Profenofos mempunyai bobot molekul 373.6, titik didih 100oC pada 1.80 Pa, tekanan uap sebesar 1.24 x 10-1mPa pada suhu 25oC,

kelarutan dalam air 28 mg/l 25oC dan mudah larut dalam pelarut organik. Profenofos berbentuk cairan kuning muda dengan bau seperti bawang putih. Relatif stabil pada kondisi netral–asam dan tidak stabil pada kondisi basa. Pada roses hidrolisis di laboratorium pada suhu 20oC mencapai 93 hari pada pH 5, 14.6

hari pada pH 7 dan 5.7 hari pada pH 9 (BCPC, 1997). Secara biokimia merupakan inhibitor kolinesterase. Merupakan insektisida dan akarisida non-sistemik tetapi bersifat kontak dengan pencernaan. Direkomondasikan untuk memberantas hama pada kapas, jagung, bit, kentang, aneka sayuran, tembakau dan beberapa tanaman lain.

Profenofos memiliki spektrum daya bunuh yang luas terhadap insekta dan akarisid. EPA, 1998 mendata toksisitas penggunaan profenofos terhadap hewan non-target sebagai berikut. Pada burung LD50 55.0 mg/kg bersifat akut, burung

puyuh LC50 57 ppm dan pada mallard duck LC50 1.646 ppm. Berdasarkan studi

reproduksi, Profenofos mempengaruhi produksi telur burung. Profenofos mempunyai pengaruh akut sangat tinggi terhadap lebah madu yaitu LD50 0.095


(31)

µg/lebah. Profenofos bisa mengakibatkan toksisitas akut dan kronik terhadap biota air ikan dan vertebrata. Pada berbagai jenis ikan pada percobaan toksisitas akut selama 96 jam diperoleh data LC50 25-41 µg/l. Berdasarkan laporan ikan akan

mati pada kadar residu 0.6-1.5µg/l. pada invertebrata air seperti daphnia, profenofos bersifat sangat toksik dengan EC50 0.93µg/L dan dari percobaan yang

dilakukan, daphnia mampu hidup pada 0.2 µg (NOAEC) dan 0.26 µg/L (LOAEC). Hal ini sangat membahayakan ekosistem perairan. Toksistas Profenofos pada ikan laut berkisar LC50 2.4 -7.7 µg/l.

Gejala yang ditimbulkan kepada manusia jika keracunan Profenofos adalah sebagai berikut: produksi air liur berlebihan, berkeringat, keluar air mata, tegang otot, lemas, kejang-kejang, in-koordinasi, sakit kepala, pusing, mual, muntah, kram perut, diare, tekanan pernafasan, sesak dada, batuk parah, mengganggu kerja pupil kadang-kadang penglihatan kabur, tidak sadar/pingsan dan penghalang enzim kolinesterase (BCPC, 1997). EPA (2000) menyatakan bahwa konsentrasi akut profenofos 0.005 ppm/hari dan konsentrasi kronik 0.00005 ppm/hari untuk makanan dan minuman. Sedangkan tipe exposure inhalasi 0.068 ppm bisa menghambat aktivitas otak dan kolinesterase.

2.2.2 Degradasi Profenofos

Data mengenai keberadaan profenofos di lingkungan relatif lengkap tetapi tidak demikian halnya dengan degradasinya. Informasi yang diperoleh lebih kepada degradasi profenofos dalam lingkungan netral-basa.

Penelitian menunjukkan bahwa pH sangat mempengaruhi hidrolisis profenofos. Profenofos menghilang hanya beberapa hari pada tanah basa. Sedikit sekali data yang menunjukkan bagaimana kehilangan Profenofos pada tanah asam, namun demikian diduga lajunya lebih lambat. Alexander (1999) menguraikan bahwa setiap substrat bisa didegradasi oleh enzim tertentu, tetapi bukan berarti setiap enzim khusus mendegradasi satu substrat tertentu. Substrat yang mengandung phospat dimineralisasi oleh enzim phospatase dengan reaksi hidrolisis seperti parathion, paraoxon, diazinon, dursban dan fenitrothion, sedangkan profenofos tidak disebutkan. Substrat 4-bromo dan 2-chloro dapat dimineralisasi oleh enzim dehaloganase. Salah satu produk degradasi profenofos yang utama adalah 4-bromo -2-chlorophenol bersifat sangat persisten di


(32)

lingkungan (Gambar 4). Sedangkan produk lainnya yaitu O-ethyl-S-propyl Phosporthioate tidak diketahui dengan jelas sifatnya.

Gambar 4. ‘Pathway’ Metabolit Profenofos

Profenofos bersifat tidak terlalu mobile sehingga belum ada penelitian mengenai potensi leaching profenofos. Mobilitas dan potensial leaching profenofos belum diketahui. Sedangkan untuk proses leaching profenofos kecil kemunginan terjadi. Pernyataan ini berdasarkan pada penelitian Ngan et al., (2005) bahwa pada tanah pertanian dengan pH 5 mengindikasikan profenofos tidak mengalami leaching lebih dari 10 cm di bawah tanah. Selanjutnya dijelaskan bahwa profenofos bersifat “limited mobiltiy”. Pada penelitian Tejada et al. (2000) mengenai


(33)

pengaruh pemakaian profenofos secara terus menerus di perkebunan kapas, menyimpulkan bahwa profenofos ditemukan hanya sampai kedalaman 20 cm setelah 180 hari penyemprotan sebesar 0.02% dari konsentrasi awal.

a. Persisten

Proses hilangnya profenofos di lingkungan umumnya terjadi secara hidrolisis. Hidrolisis profenofos pada larutan netral dan basa mempunyai t1/2

104-108 hari pada pH 5, 24-62 hari pada pH 7 dan 7-8 jam pada pH 9. Produk degradasi utamanya adalah 4-bromo -2-chlorophenol dan O-ethyl-S-propyl Phosporthioate. Photolisis bukan merupakan ‘pathway’ utama pada degradasi profenofos. Profenofos dapat dianailisis pada UV spektrum panjang gelombang 290-490 nm (EPA, 2000)

Metabolisme profenofos terjadi dengan dengan cepat pada tanah netral dan basa. Pada kondisi aerobik profenofos terdegradasi dengan t1/2 2 hari dan 3 hari

pada kondisi anaerob dengan aplikasi radioaktif. Laju metabolisme profenofos dipengaruhi oleh proses hidrolisis dan metabolisme aerobik dan anaerobik pada kondisi netral dan asam disimpulkan lebih lambat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tanah aerobik dan anaerobik terhadap konsentrasi 4-Bromo-2-chlorophenol, tidak menunjukkan penurunan setelah 60-120 hari setelah aplikasi profenofos. Keberadaan profenofos di lingkungan dapat di lihat pada Tabel 2. (EPA, 2000)

Pada studi lanjutan untuk tanah aerobik, profenofos yang diaplikasikan sebanyak 10.9 ppm pada pH 7.8 terhadap tanah liat berpasir mengalami degradasi selama 19 hari. Konsentrasi profenofos menurun sampai 56% selama 2 hari setelah diaplikasikan radioaktif, 36% setelah 3 hari dan 9% setelah 9 hari. Metabolit utama yaitu: (1) 4-bromo-2-chlorophenol, meningkat dari 11% pada hari 1 sampai maksimum konsentrasi 79% selama 120 hari dan menurun menjadi 32% selama 270-360 hari; (2) BCPEE [4 -bromo-2-chlorophenol ethyl ether], meningkat dari 2% pada hari ke 5 menjadi 13% hari ke 90 dan 42% hari ke 270-360; dan (3) THPME [2-thioethylenecarboxy-4-hydroxyphenyl methyl ether] meningkat 10% pada hari ke 180-270 (EPA, 2000)


(34)

Tabel 2. Ringkasan Degradasi Profenofos

Sumber: EPA, 1998

b. Mobilitas

Mobilitas profenofos dinyatakan dengan koefisien Freundlich (Kads)

sebagai Adsorbsi dan Koc sebagai Desorbsi dimana Kads 4.6 untuk pasir, 7.5

untuk tanah liat berpasir, 17.0 untuk tanah liat dan 89.3 untuk tanah debu. Koefisien desorbsi berada pada selang 6.2 (pasir) – 128.1 (debu). Adsorbsi akan meningkat seiring dengan meningkatnya bahan organik tanah dan debu. Data yang lebih lengkap dibutuhkan untuk mengetahui bagaimana mobilitas dari produk utama degradasi profenofos yaitu 4-bromo-2-chlorophenol dan O-ethyl-S-propyl Phosporthioate (EPA, 2000)

Percobaan di laboratorium menunjukkan bahwa sebagian profenofos bisa hilang ke atmosfer melalui penguapan. Lebih dari 30 hari, rata-rata volatilitas profenofos 6.13 x 10-3 ug/cm2/jam dan tekanan uap rata-rata 3.46 x 10-6 mm Hg. Residu utama pada penguapan adalah 4-bromo -2-chlorophenol (EPA, 2000)

c. Akumulasi

Berdasarkan penelitian, profenofos dan produk degradasinya yaitu 4-bromo -2-chlorophenol masih ditemukan sejauh 6 inchi dari permukaan pada plot

Parameter Nilai

Persisten

Hidrolisis pH 5 t1/2 = 104-108 hari

pH 7 t1/2 = 24-62 hari

pH 9 t1/2 = 0.33 hari

Fotolisis di air stabil

Fotolisis di tanah stabil

Metabolisme aerob di tanah t1/2 = 2 hari pH 7.8

Metabolisme anaerob di tanah t1/2 = 3 hari pH 7.8

Metabolisme anaerob di perairan t1/2 = 3 hari pH 7.3 (air)

pH 5.1 (sediment)

Mobilitas/Adsorbsi – Desorbsi

Koefisien stabilitas (4 jenis tanah) Kd = 4.6-89.3

Koc = 869-3162

Penguapan di Laboratorium 6.13 x 10-3 ug/cm2/jam

Bioakumulasi

Akumulasi pada ikan 29x pada daging; 45x pada kepala;


(35)

yang ditanami kapas dan plot kontrol di California dan Texas. Sedangkan pada penelitian Ngan et al. (2005) bahwa pada tanah pertanian dengan pH 5 mengindikasikan profenofos tidak mengalami leaching lebih dari 10 cm di bawah tanah. Selanjutnya dijelaskan bahwa profenofos bersifat “limited mobiltiy”. Pada penelitian Tejada et al. (2000) mengenai pengaruh pemakaian profenofos secara terus menerus di perkebunan kapas, menyimpulkan bahwa profenofos ditemukan hanya sampai kedalaman 20 cm setelah 180 hari penyemprotan sebesar 0.02% dari konsentrasi awal di permukaan hari ke nol.

Akumulasi residu profenofos pada biota ikan lebih banyak terjadi pada organ dalam/pencernaan. Maksimun faktor biokonsentrasi mencapai 29x pada daging, 45x pada kepala dan 682x pada organ dalam. Residu profenofos dapat didepurasi secara cepat dengan konsentras i hanya 1 ppb pada daging, 2 ppb pada kepala dan 7 ppb pada organ dalam. Bahan kimia yang dominan ditemukan di organ dalam ikan yaitu 4-bromo-2-chlorophenol (EPA, 2000)

2.3 Bioremediasi

Bioremediasi merupakan bagian dari bioteknologi lingkungan yang memanfaatkan aktivitas mikroba untuk mendegradasi kontaminan berbahaya menjadi bahan yang tidak toksik atau toksisitasnya berkurang (Vidali, 2001). Bioremediasi dapat digunakan sebagai teknik untuk pengolahan limbah bahan kimia termasuk pestisida (Cookson, 1995). Bioremediasi akan efektif jika kondisi lingkungan mendukung pertumbuhan dan aktivitas mikroba.

Faktor yang mempengaruhi bioremediasi adalah: keberadaan populasi mikroba yang mampu mendegradasi polutan, faktor lingkungan seperti tipe lahan, suhu, pH, keberadaan oksigen atau electron acceptor lainnya dan nutrien.

Bioremediasi ini dapat dilakukan jika tanah terkontaminasi pestisida tersebut mengandung mikroba-mikroba indigen yang mampu hidup dan telah beradaptasi dengan kontaminan pestisida yang ada di lahan tersebut. Cookson (1995), meguraikan jenis-jenis bakteri yang mampu mendegradasi pestisida adalah; Achromobacter (2,4-D dan carbofuran), Arthrobacter (EPT, esopenphos, 2,4-D), Alcaligenus (Isipenphos (2,4-D), Flavobacterium (PCP, EPTC, 2,4-D),


(36)

Methylomonas (EPTC), Pseudomonas (Alachlor, Isopenfhos, carbofuran, 2,4-D), dan Rhodococcus (EPTC).

Jenis mikroba juga mempengaruhi proses bioremediasi apakah secara aerobik atau anaerobik. Umumnya proses bioremediasi berlangsung secara aerobik namun untuk kond isi tertentu tergantung jenis kontaminan dan mikroba pendegradasi, bisa berlangsung secara anaerobik. Pestisida (atrazin, carbaryl, carbofuran, coumphos, diazinon, glicofosfat, parathion, propham dan 2.4-D) dapat diremediasi secara aerobik maupun anaerobik (Vidali, 2001).

Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa, faktor lingkungan yang berpengaruh yaitu nutrien. Keberadaan mikroba di tanah terkontaminasi harus distimulasi pertumbuhan dan aktivitasnya. Biostimulasi biasanya dilakukan dengan penambahan nutrien dan oksigen untuk membantu mikroba indigen untuk menghasilkan enzim yang dibutuhkan guna mendegradasi kontaminan. Mikroba tersebut membutuhkan nitrogen, karbon dan fosfor (Tabel 3). Karbon merupakan kebutuhan nutrien dasar yang dibutuhkan dalam jumlah besar dibandingkan unsur lain. Kebutuhan nutrien C/N rasio 10:1 dan C/P rasio 30:1.

Tabel 3 Komposisi Sel Mikroba

Unsur Persentase Unsur Persentase

Karbon 50 Natrium 1

Nitrogen 14 Kalsium 0.5

Oksigen 20 Magnesium 0.5

Hidrogen 8 Klorida 0.5

Phospor 3 Besi 0.2

Sulfur 1 lain-lain 0.3

Kalium 1

R.Y Stainer et.al. The Microbial Word 5th ed. Prentice-Hall, NJ (1986) dalam Vidali (2001)

Pertumbuhan dan aktivitas mikroba dipengaruhi oleh pH, suhu dan kelembaban. Meskipun mikroba ters ebut diisolasi dari kondisi yang ekstrim, namun pertumbuhan yang optimal hanya terjadi pada kisaran yang sempit. Oleh karena itu perlu memperoleh kondisi yang optimal. Mikroba dapat tumbuh dan berkembang pada pH 6.5-7.5. Sedangkan suhu yang disarankan adalah 15-45oC.


(37)

Gula, selulosa, hemiselulosa (CH2O)x + xO2 xCO2 + xH2O

Protein (N organik) + O2 NH4 + NO2- + NO3- + Energi

Organik sulfur + O2 SO4 + SO2- + SO3- + Energi

Organik fosfor (lesitin, phitin) + O2 H3PO4 + Ca(HPO4)2

Pengomposan merupakan dekomposisi dan mineralisasi bahan-bahan organik secara biologi pada kondisi termofilik untuk menghasilkan produk akhir yang stabil dan tidak berbahaya sehingga dapat menguntungkan saat diaplikasikan ke tanah (Bertoldi et al. 1998). Selanjutnya dijelaskan bahwa kunci dari definisi tersebut adalah untuk memproduksi hasil akhir yang stabil, bermanfaat dan menyuburkan yang disebut kompos.

Murbandono (2005) mendefinisikan pengomposan adalah proses fermentasi/dekomposisi/degradasi bahan-bahan organik karena adanya interaksi antara mokroba (bakteri pembusuk). Bahan-bahan organik tersebut seperti dedaunan, rumput, jerami, kotoran hewan, sekam padi dan lain-lain.

Menurut Murbandono (2005) dan Indriani (2004 ), selama proses pengomposan terjadi perubahan-perubahan bahan antara lain:

1. Karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, lemak, lilin menjadi CO2 dan air.

2. Protein menjadi amida-amida dan asam amino menjadi amoniak, CO2 dan air.

3. Pengikatan unsur hara di dalam tubuh mikroorganisme terutama N disamping P,K dan lain-lain yang terlepas kembali bila mikroorganisme mati.

4. Penguraian senyawa organik menjadi senyawa yang dapat diserap tanaman Pengomposan dapat dilakukan secara aerob dan anaerob. Pengomposan aerob secara umum mengasilkan unsur C dalam bentuk CO2 dengan keberadaan

oksigen. Hasil akhir lainnya yaitu NH3, H2O dan panas. Reaksi penguraian bahan


(38)

Pengomposan secara anaerob terjadi saat tumpukan campuran kurang suplai oksigen sehingga menghasilkan senyawa merkaptan (CH2O)x dan H2S

yang berbau tak sedap melalui reaksi berikut:

Composting atau pengomposan dapat dilakukan dengan mencampur bahan bahan yang terkontaminasi dengan bahan-bahan sisa organik yang tidak berbahaya seperti limbah pertanian atau kotoran hewan. Keberadaan bahan-bahan organik tersebut akan mendukung perkembangan populasi mikroba dan kondisi temperatur untuk pengomposan (Vidali, 2001). Pengomposan untuk lahan tercemar bahan organik merupakan alternatif strategi baru yang secara umum sudah mulai berkembang tetapi masih terbatas penelitiannya (Semple et.al. 2001). Jika biowaste (jerami, kotoran hewan, sekam padi, tanaman, sayuran, potongan kayu/serbuk gergaji, kotoran hewan, tandan sawit) diinkubasi dengan tanah tercemar akan terjadi proses penguraian pada suhu tinggi (thermophilic phase) dan proses ini disebut pengomposan (composting) ( Gestel et al. 2003). Selama proses pengomposan berlangsung akan terjadi degradasi kontaminan bahan organik.

Pestisida merupakan senyawa persisten di lingkungan pada konsentrasi tertentu, lebih cocok dilakukan bioremediasi dengan strategi pengomposan karena:

♦ Suhu yang tinggi atau suhu termofilik selama pengomposan memungkinkan reaksi biokimia yang lebih cepat. Suhu yang tinggi juga dapat menyebabkan pestisida menjadi lebih mudah terdegradasi dan meningkatkan pertumbuhan mikroba pendegradasi pestisida.

♦ Jenis mikroba yang beragam menyebabkan terjadinya co-metabolisme terhadap pestisida. Struktur bah an organik yang beragam dalam kompos Gula, selulosa, hemiselulosa (CH2O)x xCH3COOH

xCH3COOH CH4 +CO2

N – Organik NH3

2H2S + xCO2 (CH2O)x + S + H2O

Bakteri penghasil asam


(39)

membantu terjadinya co-metabolisme sejumlah bahan yang menjadi obyek degradasi, bahkan xenobiotik yang rekalsitran seperti DDT, dan PCB.

♦ Bahan-bahan organik yang digunakan untuk pengomposan terdiri dari banyak dan beragam mikro organisme yang aktif, dengan karakteristik dan kemampuan masing-masing. Keanekaragaman ini mengindikasikan kemampuan degradasi pestisida yang lebih tinggi dimiliki oleh mikroorganisme

Bahan pengomposan biasanya menggunakan sisa-sisa pertanian, kotoran hewan (misal kotoran kuda, sapi, domba, ayam), lumpur aktif, jerami, serbuk gergaji, gambut (Bernier et al. 1997). Penelitian ini akan menggunakan bahan -bahan daun-daun dari tanaman asal yaitu daun wortel, kotoran sapi dan tanah terkontaminasi pestisida dan serbuk gergaji untuk pengomposan. Bahan-bahan tersebut berbeda dalam hal kandungan C/N dan kadar air (Tabel 5). Bahan yang mempunyai nilai C/N rasio yang terlalu tinggi tidak baik digunakan sebagai bahan utama pengomposan tetapi hanya sebagai bulking agent untuk mengimbangi bahan yang C/N rasionya rendah.

Prinsip pengomposan adalah menurunkan C/N rasio bahan organik menjadi kurang dari 20 atau sama dengan C/N rasio tanah. Jika C/N rasio tinggi, bahan organik tidak dapat langsung dimanfaatkan oleh tanaman.

Menurut CPIS (1992) C/N merupakan faktor utama pengomposan oleh karena proses pengomposan dikendalikan oleh kegiatan mikroba yang memanfaatkan karbon sebagai sumber energi dan pembentukan sel bersamaan dengan nitrogen. Nilai C/N yang ideal untuk pengomposan berkisar 20-40 dan yang efektif adalah 30. Campuran pengomposan yang memiliki rasio C/N terlalu besar memerlukan waktu yang lama dengan kualitas kompos bermutu rendah (Murbandono, 1983). Hal ini disebabkan jumlah nitrogen sedikit untuk pembentukan sel sehingga dibutuhkan beberapa kali siklus untuk mereduksi karbon. Nitrogen yang telah diimobilisasi akan didaur ulang dicirikan dengan matinya beberapa mikroba yang bertanggung jawab melaksanakan pengomposan. Moser (2000) menyebutkan kadar air proses pengomposan perlu dipertahankan, campuran berada pada kondisi lembab tetapi padat sekitar 40-70%. Sedangkan menurut Indriani (1999), kadar air 40-60% baik untuk degradasi bahan


(40)

organik. Indrasti dan Wilmot (2001) menyatakan kadar air harus dikontrol 45-60%.

Faktor penting pengomposan lainnya adalah suhu. Moser (2000) menyatakan suhu akan mencapai 20-65oC saat proses pencampuran bahan-bahan kompos. Jika suhu kurang dari 20oC maka proses akan berjalan lambat dan jika lebih dari 65oC menyebabkan banyak mikroba yang mati. Moser menambahkan suhu yang disarankan pada kisaran 35-55oC. Sedangkan menurut Indrasti dan Wilmot (2001) suhu dipertahankan pada 40-50oC. Nilai pH optimum untuk perkembangan mikroba adalah 6-8 (Indriani, 2004). Cookson (1995), menyatakan bahwa untuk jenis degradasi pestisida seperti DDT, aldrin, heptachlor, endrin dan lindane akan terdegradasi lebih cepat dalam kondisi anaerob. Pengomposan dapat berlangsung secara aerobik maupun anaerobik. Pengomposan aerobik menghasilkan CO2, air dan panas. Pengomposan anaerobik menghasilkan metana

(alkohol), CO2 dan senyawa antara seperti asam organik (Indriani, 2004). Indrasti

dan Wilmot (2001) menjelaskan pada pengomposan sistem windrow, pathogen akan tereduksi jika suhu dipertahankan di atas 50oC selama 3 hari.

Kualitas kompos mengacu kepada standar mutu kompos menurut Departemen Pertanian RI (2004), Indrasti dan Wilmot (2001) dan standar mutu kompos menurut SNI Kompos (19-7030-2004) disajikan pada Tabel 3. Kualitas kompos sangat ditentukan oleh beberapa kriteria yaitu; kematangan kompos, kandungan unsur hara kompos, kandungan bahan berbahaya dan kandungan mikroba patogen dalam tanah. Gaur (1980) menyatakan bahwa kompos yang baik berstruktur remeh dan tidak menggumpal, berwarna coklat kehitaman, bau humus dan reaksi agak masam sampai netral. Nisbah C/N berkisar 5-20 dan kompos yang stabil mengandung N dalam bentuk senyawa nitrat dan tidak ada N dalam bentuk amonia.


(41)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kawasan Agropolitan Desa Sindang Jaya, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Analisis mikroba dan penyemaian benih di Laboratorium Bioproses IV dan Greenhouse, Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI, Cibinong. Analisis residu profenofos dilakukan di Laboratorium Residu Pestisida Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetika Pertanian (BALITBIOGEN). Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2005 -Maret 2006.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian 3.2.1 Alat

Penelitian ini menggunak an alat-alat sebagai berikut: cawan petri, labu Erlenmeyer, tabung reaksi, gelas piala, gelas ukur, autopipet, labu ukur, botol Schott, corong, jarum ose, lampu spritus, kertas saring, neraca analitik, pH meter, autoklaf, sentrifuse, mikropipet Eppendorf 100 dan 1000µl, kertas milipore 0.45µm, termometer, bak pengomposan, pH meter dan Kromatografi gas (GC) dan Spektrofotometer.

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah tercemar pestisida yang diperoleh dari Kawasan Agropolitan Des a Sindang Jaya, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur Jawa Barat Bahan -bahan pengomposan dalam hal ini kotoran sapi dan daun wortel diperoleh dari tempat asal tanah yang terkontaminasi pestisida. Bahan lain yang digunakan adalah media selektif MSPY (Mineral Salt Peptone Yeast), alkohol teknis 70% (v/v), metanol, larutan garam steril, arang aktif, spirtus, larutan NaOH 5% Na2SO4 anhidrat, larutan asam asetat

25%, etil asetat, serium(II)sulfat, asetonitril dan air destilata, standar pestisida, FDA, buffer posfat pH 3-6, CH3CN.


(42)

3.3Desain Penelitian

Penelitian diawali dengan survei lahan pertanian yang tercemar pestisida di kecamatan Darmaga, Ciawi, Cisarua dan Kecamatan Pacet. Lahan pertanian yang mengindikasikan residu pestisida tinggi dianalisis sampel tanahnya. Hasil analisis residu yang melewati ambang batas ditetapkan sebagai lokasi pengomposan.

Tahap penelitian selanjutnya menganalisis C/N dan kadar air bahan-bahan yang digunakan untuk pengomposan yaitu; tanah, serbuk gergaji kotoran sapi dan daun wortel. Berdasarkan data tersebut diperoleh komposisi masing-masing bahan dalam campuran untuk C/N 30, 35 dan 40 menggunakan Software Moisture and Carbon/Nitrogen Ratio Calculation Spread Sheet (Richard 2005 ).

Selanjutnya dilakukan pengomposan tanah tercemar profenofos dengan tanah, serbuk gergaji kotoran sapi dan daun wortel. Tahap ini bertujuan untuk mengetahui laju degradasi profenofos selama pengomposan.

Tanah yang sudah diremediasi dengan cara pengomposan diuji pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman. Pada penelitian ini menggunakan tanaman bayam Jepang, karena mudah di dapat dan cepat panen. Tahap ini dilakukan di 2 tempat yaitu: penyemaian benih di green house dan penanaman di lapangan.

Selanjutnya menghitung jumlah populasi bakteri dengan TPC (Total Plate Count), mengisolasi bakteri yang mampu mendegradasi profenofos selama pengomposan, menguji aktivitas bakteri dengan FDA (Fluorescent Diacetate Assay) dan menguji kemampuan degradasi profenofos oleh bakteri yang telah diisolasi tersebut dengan media adaptasi. Bagan alir tahapan penelitian disajikan pada Gambar 5.

1. Analisis residu profenofos pada tanah yang diduga tercemar profenofos. Analisis C/N dan kadar air tanah, kotoran sapi dan daun wortel.

2. Selama pengomposan 35 hari dilakukan pengukuran suhu harian dan sampling tanah setiap minggu untuk analisis residu profenofos, pH dan analisis mikroba. Menurut Indriani (2004), akhir proses pengomposan ditandai dengan suhu kompos stabil yang berarti kondisi semua bahan organik juga sudah stabil.


(43)

Sampling perminggu untuk analisis: residu profenofos, C/N, pH, TPC dan aktivitas mikroba Minggu ke-5: Analisis kualitas kompos meliputi C/N, KTK, unsur hara, kadar air, kadar abu, pH dan populasi mikro ba

Tanah tercemar pestisida

Pencampuran tanah tercemar dengan biowaste pada Analisis residu pestisida,

C/N dan kadar air

Inkubasi Kotoran sapi dan

daun wortel

Analisis C/N dan kadar air

Kompos/Tanah bebas profenofos

Isolasi Bakteri

Uji Toksisitas Penanaman di lapang Penanaman di

rumah kaca

Pertumbuhan dan biomass

Uji aktivitas dan uji kemampuan degradasi profenofos Survei penggunaan

pestisida

Analisis residu pestisida

Penentuan lokasi pengomposan

Gambar 5 Diagram Tahapan Penelitian

3. Analisis kompos dilakukan pada akhir penelitian meliputi C/N, kadar air, kadar abu, KTK, unsur hara, pH, residu profenofos dan populasi mikroba.


(44)

4. Menguji toksisitas tanah yang sudah dikomposkan dengan menyemai benih bayam Jepang di green house Bioteknologi LIPI Cibinong tanpa pemupukan selama 14 hari dan menanam bayam Jepang di lapangan selama 40 hari (panen). Biomass tanaman ditimbang berdasarkan akar, batang dan daun. Sedangkan hasil panen di lapangan dibandingkan dengan hasil panen petani di lahan sumber tanah yang digunakan untuk penelitian.

Parameter yang diamati selama penelitian secara detail di sajikan pada Tabel 4

Tabel 4 Sampling dan parameter yang diamati

Sampling Parameter Metode/Alat Harian Suhu Termometer Minggu ke-0 pH pH meter

1, 2, 3, 4 C/N Gravimetri & Kjeldal Kadar air AOAC, 1984 Residu profenofos GC

Populasi mikroba TPC Aktivitas mikroba FDA Minggu ke-5 pH pH meter

C/N Gravimetri & Kjeldal Kadar air Gravimetri

Residu profenofos GC Populasi mikroba TPC Aktivitas mikroba FDA Kualitas kompos:

Kadar Abu Gravimetri Total N Kjeldal P2O5

K2O

Bak pengomposan (Gambar 6) memiliki dimensi 1 x 1 x 1 meter terbuat dari kayu yang dipasang dengan jarak 1-2 cm tiap lembarnya guna aliran oksigen selama pengomposan. Pada bak yang sama dilakukan penanaman bayam Jepang untuk uji pertumbuhan tanaman pada tanah sudah dibioremediasi.


(45)

Gambar 6. Bak Proses Pengomposan

3.4Pengolahan Data

3.4.1 Rancangan Percobaan

Penelitian ini dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap satu faktor yaitu komposisi campuran pengomposan (tanah, serbuk gergaji, daun wortel dan kotoran sapi) dengan 3 taraf yaitu C/N 30, C/N 35, C/N 40 dua kali ulangan.

Respon utama yang diamati adalah parameter laju degradasi pestisida. Sebagai kontrol digunakan tanah tercemar pestisida tanpa perlakuan untuk mengetahui laju degradasi pestisida secara alami di lahan tercemar tersebut.

Model Statistik untuk rancan gan ini adalah (Matjik dan Sumertajaya, 2002):

Yij = µ + ti + eij

dimana; i = 1,2,...,t dan j = 1,2,...,r

Yij =Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

µ =Rataan umum

ti =Pengaruh perlakuan ke-i

eij =Pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j

Hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut:

H0 : t1 = t2

=

t3 = 0 (Perlakuan tidak berpengaruh terhadap respon yang

diamati/semua perlakuan memberikan respon yang sama)


(46)

Analisa yang dilakukan meliputi kadar residu pestisida, C/N, KTK, unsur hara, pH, kadar air, kadar abu dan populasi mikroba dalam kompos.

3.4.2 Penurunan Profenofos Selama Pengomposan

Pengomposan dilakukan dengan mencampurkan tanah yang tercemar profenofos dengan serbuk gergaji, kotoran sapi dan daun wortel. Komposisi masing-masing bahan berdasarkan C/N yaitu 30, 35 dan 40 masing-masing 2 ulangan. Selama pengomposan (35 hari) dilakukan 6 kali sampling campuran untuk analisis residu profenofos dan analisis mikroba. Sampling tersebut dilakukan pada 5 titik dan dikompositkan. Pengukuran suhu dilakukan setiap hari dan jika suhu meningkat ditandai dengan campuran menjadi panas atau kelembaban berkurang dilakukan pembalikan sambil disiram. Pada akhir proses pengomposan ditandai dengan suhu menurun dan stabil mendekati suhu ruang, dilakukan analisis kualitas kompos meliputi: C/N, kadar air, kadar abu, KTK, unsur hara, pH, residu profenofos dan populasi mikroba. Selanjutnya dilakukan analisa kualitas kompos mengacu kepada standar mutu kompos menurut Indrasti dan Wilmot (2001), Japan Bark Compost Association (Harada et al. 1993), SNI 19-7030-2004 Kompos (2004) dan Depatemen Pertanian (2004) seperti Tabel 5.

Tabel 5 Standar Mutu Kompos

Paremeter Mutu Satuan A B C D

Total N % 2.5-3.5 0.2 0.4

Rasio C/N - 20-25 <35 10-25

P2O5 % >0.021 >0.5 0.1

K2O % >0.021 >0.3 0.2

pH 7-8 5.5-7.5 6.8-7.5 7-8

KTK Meq/100g 100 >70 - = 80

Kadar air % 35-45 55-65 = 50 = 35

Keterangan: A: Indrasti dan Wilmot (2001)

B: Japan Bark Compost Association (Harada et.al., 1993) C: SNI Kompos (19-7030-2004)

D: Depatemen Pertanian (2004)

Kualitas kompos sangat ditentukan oleh beberapa kriteria yaitu; kematangan kompos, kandungan unsur hara kompos, kandungan bahan berbahaya dan kandungan mikroba patogen dalam tanah. Gaur (1980) menyatakan bahwa kompos yang baik berstruktur remeh dan tidak menggumpal, berwarna coklat


(47)

kehitaman, bau humus dan reaksi agak masam sampai netral. Nisbah C/N berkisar 5-20 dan kompos yang stabil mengandung N dalam bentuk senyawa nitrat dan tidak ada N dalam bentuk amonia (Murbandono, 2005).

3.4.3 Analisis Residu Profenofos

Analsis residu profenofos menggunakan Gas Chromatography (GC) dilakukan dengan metode shaker. Spesifikasi GC yang digunakan adalah adalah: tipe GC Shimadzu Model GC-4CM, kolom OV 17, Dimensi kolom panjang 2m dan diameter 3 mm, detektor 63Ni ECD, phase gerak N2, sensitivitas 102, laju alir

30 ml/menit, kecepatan kertas 5mm/menit, attunation 4, suhu kolom 210oC, suhu detektor dan injektor 250oC. Metode kerja analisis residu profenofos secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 12.

3.4.4 Analisis Mikroba

Analisis mikroba meliputi: jumlah populasi bakteri, isolasi jenis bakteri, analisis aktivitas bakteri dan uji kemampuan bakteri mendegradasi profenofos. Analisis jumlah populasi bakteri dilakukan dengan metode TPC pada media agar PCA/Plate Count Agar.

Mikroba yang terdapat di dalam campuran pengo mposan masih merupakan koloni beberapa jenis bakteri sehingga perlu dilakukan isolasi untuk mendapatkan isolat/biakan murni (koloni tunggal). Isolasi bakteri dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu: metode cawan tuang/taburan (Pour Plate Method) dan metode cawan gores (Streak Plate Method) seperti yang dilakukan pada penelitian ini. Metode awan tuang dilakukan dengan cara menginokulasi medium agar yang sedang mencair pada temperatur 50oC dengan suspensi bahan yang

mengandung bakteri dan menuangkannya ke dalam cawan petri, setelah diinkubasi akan terlihat koloni-koloni yang tersebar di pemukaan agar.

Mikroba dapat mendegradasi pestisida apabila mikroba tersebut telah beradaptasi dengan lingkungan yang mengandung pestisida. Pada proses adaptasi tersebut terjadi sintesis enzim yang dibutuhkan untuk mendegradasi senyawa-senyawa rekalsitran (Gumbira dan Fauzi, 1996).


(48)

Sebelum melakukan pengujian kemampuan bakteri dalam mendegradasi profenofos, bakteri diadaptasikan dahulu pada media padat NA adaptasi yang mengadung profenofos. Bakteri yang mampu tumbuh diuji kemapuannya mendegradasi profenofos dengan uji pembentukan zona jernih pada media MSPY (Mineral Salt Pepton Yeast) yang mengandung profenofos. Bakteri tersebut diinkolasi selama 4 hari.

Pembuatan media padat NA adaptasi sama dengan media padat NA yang mengadung nistayn. Perbedaanya pada media padat NA adaptasi tidak ditambahkan nistatyn tetapi ditambahkan profenofos dengan konsentrasi yang berbeda.

Analisis Aktivitas Mikroba dilakukan dengan metode Fluorescent Diacetate Assay (FDA) seperti yang dilakukan Eggen (1999). FDA digunakan untuk membandingkan aktivitas mikroba hydrolitik dalam satu eksoterm yang sama. Analisis FDA dilakukan dengan cara menginkubasi sampel dalam larutan buffer yang bertindak sebagai penerima elektron yang menurunkan warna fluoroscent. Intensitas warna ditentukan dengan spektrofotometer. Metode kerja analisis mikroba secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 13.


(49)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Penentuan Lokasi Penelitian

Penelitian mengenai bioremediasi lahan tercemar pestisida ini dilakukan dalam empat tahap. Tahap pertama adalah survei lahan pertanian yang terkontaminasi pestisida dengan menganalisis residu pestisida. Tahap ke dua, di lahan tersebut dilakukan pengomposan pada C/N rasio yang berbeda dengan campuran bahan -bahan yang berasal dari lahan itu sendiri yaitu: daun wortel, kotoran sapi dan serbuk gergaji sebagai bulking agent. Tahap ke tiga adalah melakukan uji toksisitas tanah yang sudah diremediasi menggunakan bayam Jepang. Tahap selanjutnya adalah mengisolasi bakteri yang ada di dalam campuran pengomposan dan meguji bakteri apa saja yang berperan dalam mendegradasi pestisida selama proses pengomposan dengan menganalisis aktivitas serta kemampuan degradasinya.

Survei lahan pertanian (kecuali sawah) dimulai dari daerah Bogor. Berdasarkan informasi dari Balai Penyuluhan Pertanian kabupaten Bogor, daerah yang intensif untuk pertanian hortikultura adalah di Desa Petir Kecamatan Daramaga. Setelah dilakukan survei ke lapangan ternyata petani menanam lahan mereka tidak secara teratur sehingga penggunaan pestisida di lahan pertanian tersebut kurang intensif. Sehingga residu pestisida tanah pertanian di Kecamatan Dramaga (Desa Petir) tidak dianalisis. Survei dilanjutkan ke daerah yan g lebih tinggi yaitu Ciawi dan Cisarua. Residu pestisida tanah pertanian di daerah tersbut dianalisis dan hasilnya menunjukkan bahwa residu pestisida masih kecil. Survei diteruskan ke daerah dataran tinggi yaitu di Kecamatan Pacet (agropolitan) karena tanaman hortikultura tumbuh baik pada daerah pegunungan dan suhu dingin. Hasil analisis residu pestisida menunjukkan bahwa konsentrasi residu profenofos tinggi. Hasil analisis awal residu pestisida di lahan pertanian hortikultura di Kecamatan Dramaga, Ciawi, Cisarua dan Pacet disajikan pada Tabel 6. Dengan demikian, Kecamatan Pacet (Agropolitan) ditetapkan sebagai lokasi penelitian.


(50)

Keterangan: hasil survei di Darmaga tidak mengindikasikan pemakaian pes tisida secara intesif sehingga tidak dianalisis (tda)

Tabel 6. Residu Pestisida di Lahan Pertanian Hortikultura Kecamatan Dramaga, Ciawi, Cisarua dan Pacet

Lokasi Parameter Konsentrasi (ppm) Waktu Dramaga (Petir) Tda tda 29 Agustus 2005 Ciawi Malation 0.0144 06 September 2005

Profenofos 0.0044

Cisarua Heptaklor 0.0078 01 September 2005 Aldrin 0.0367

Pacet Endosulfan 0.0889 30 September 2005 Klorpirifos 0.0821

Profenofos 0.3210

Semua petani di kawasan Agropolitan menggunakan pestisida dalam usaha pertanian mereka. Tanaman yang mendominasi adalah bawang daun dan wortel. Tanah pertanian yang di analisis juga berasal dari lahan yang ditanami wortel. Jenis pestisida yang digunakan terutama dursban dan curacron untuk membasmi insekta pada tanaman wortel. Tingginya volume penggunaan pestisida berpotensi mencemari lahan pertanian itu.

Menurut peta rupa bumi Bakosurtanal (1998), Kawasan Agropolitan terletak di Desa Sindang Jaya, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Berdasarkan data satelit, tanah lokasi penelitian termasuk tanah Regosol (Gambar 7).

Tanah regosol terdapat di daerah yang terbentuk dari bahan endapan volkan dan tersebar di kaki Gunung Gede-Pangrango. Tanah ini belum mengalami perkembangan profil yang jelas. Bahan induk tanah ini merupakan bagian dari endapan lahar dari Gunung Gede dengan warna coklat tua kekuningan. Bertekstur kasar (lempung, berpasir, berkerikil, konsistensi gembur/lembab dan agak plastis/basah). Struktur lemah, reaksi sedang di semua lapisan, bahan organik tinggi di lapisan atas, rendah di lapisan bawah. Nitrogen tinggi di lapisan atas, rendah di lapisan bawah. C/N sedang di lapisan atas, rendah di lapisan bawah. P2O5 tinggi di semua lapisan, K2O rendah di seluruh lapisan. Hasil analisis

penelitian Nilawati (2002) sebelumnya berupa data kimia tanah regosol di Cipatat Cianjur seperti Tabel 7.


(1)

Lampiran 11. Pengamatan Suhu Harian Selama Proses Pengomposan

K1 K2 A40 B40 A35 B35 A30 B30

Hari

ke T TL T TL T TL T TL T TL T TL T TL T TL 1 1.0 23.8 23.4 23.0 23.4 22.9 23.4 23.4 2 20.7 25.0 25.0 25.3 24.6 27.6 24.6 23.0 3 22.4 26.3 26.6 25.1 28.1 28.4 34.2 28.8 4 21.9 27.4 27.7 26.0 28.4 29.9 35.0 33.5 5 21.8 27.4 26.9 24.7 29.9 29.9 38.3 34.9 6 20.6 27.7 27.7 24.2 30.4 30.9 38.4 37.6 7 20.9 28.4 28.0 24.8 30.9 31.2 39.9 39.8 8 20.5 29.0 27.9 24.9 30.6 31.7 40.0 40.6 9 20.5 29.1 27.5 24.6 30.7 31.5 38.0 39.0 10 20.5 29.1 27.5 24.6 30.7 31.5 38.0 38.0 11 20.3 28.8 27.1 24.4 30.5 31.1 36.6 36.5 12 19.8 21.0 25.7 21 27.1 21 25.8 20 29.9 21 29.6 20 30.4 21 29.9 20 13 20.3 20.1 25.3 20 27.2 20 23.9 20 29.8 20.5 29.1 20 30.6 20 30.0 19.6 14 19.6 24.0 25.5 24.8 27.3 25 25.4 25 29.9 26 30.1 27.6 31.4 27 30.3 27 15 19.9 23.9 23.8 24.9 26.2 26.6 24.4 24.5 28.2 24.5 28.2 24.5 27.9 24.7 28.4 23.8 16 20.1 24.4 24.1 25.3 25.4 24.6 24.3 25.7 27.4 25.3 27.8 25.9 28.7 25.7 27.8 25.8 17 19.9 26.5 24.4 26.3 27.4 26.8 24.3 26.4 27.9 27.9 27.1 27.4 27.4 27.1 25.7 24.8 18 20.2 25.3 25.3 24.6 25.9 23.5 23.7 24.6 26.8 23.9 26.7 24.9 27.4 25.3 27.4 24.8 19 20.3 25.6 23.9 26.1 27.4 25.8 23.9 23.8 24.8 25.9 29.4 25.8 29.9 25.6 29.0 23.5 20 19.9 22.4 23.9 22.4 26.7 22.8 25.4 23.5 28.4 22.8 27.4 23.1 29.8 25.9 29.0 23.8 21 20.3 23.2 24.8 22.3 27.3 22.8 24.2 22.7 28.2 22.7 28.4 22.9 29.4 22.9 28.3 22.4 22 20.3 24.1 24.6 24.3 27.2 23.3 25.1 22.1 26.2 22.7 27.9 23.4 28.9 22.9 27.9 22.2 23 22.3 25.6 26.7 25.7 24.6 25.4 24.2 25.9 27.4 25.9 27.3 25.8 28.6 25.3 26.3 25.8 24 22.3 24.6 24.6 22.7 25.8 22.6 23.9 24.9 27.3 22.9 27.4 22.6 28.2 23 29.0 22.8 25 20.9 23.6 24.8 23.4 25.6 23.6 23.2 22.2 27.5 23.3 26.4 23.1 27.9 23.1 27.0 22.6 26 20.5 24.1 24.7 24.9 26.1 24.9 24.9 21.9 27.4 24.5 28.4 24.9 27.3 24.9 27.1 21.3 27 19.5 22 24.6 22.2 25.8 22.2 24.4 22.3 27.3 20 25.7 20.1 27.4 22.2 26.0 22.3 28 20.3 21.8 24.4 20.6 25.8 20.9 25.9 20 27.4 20.4 25.9 20 25.3 20.3 24.2 19.9 29 23.4 20.8 25.3 23.4 26.4 22.6 26.0 19.0 25.0 23 24.5 22.1 23.9 20.8 24.5 21 30 22.5 19.0 24.0 19.0 25.6 19.0 26.0 20 25.0 20 25.0 20 24.0 20 24.0 20 31 20.0 20 24.5 20 25.3 20 24.5 20.0 25.0 20.0 23.0 20.0 24.0 20.0 24.8 20.0 32 21.0 20.0 23.0 20.0 25.0 20.0 24.0 19.5 24.6 19.5 24.0 19.5 23.8 19.5 24.0 19.5 33 20.0 19.5 20.0 19.5 23.6 19.5 24.8 20.0 24.0 20.0 22.9 20.0 23.1 20.0 23.7 20.0 34 20.0 20.0 20.0 20.0 21.0 20.0 21.0 20 23.0 20 21.0 20 22.0 20 22.9 20 35 20.0 20 20.0 20 22.0 20 21.0 20 22.0 20 22.0 20 22.0 20 21.0 20


(2)

Konsentrasi profenofos (ppm) = tinggi peak sampel

tinggi peak standar x ppm standar x

pengenceran gram sampel

T : Suhu TL : Suhu Luar

Lampiran 12. Prosedur Analisis Residu Profenofos

Analisis residu profenofos dilakukan dengan metode shaker yaitu dilakukan dengan cara; melarutkan 25 g sampel dengan 100 ml pelarut aseton ke dalam labu bundar 300 ml. Larutan tersebur dishaker selama 20 menit dengan kecepatan 100 rpm. Larutan didiamkan di atas standar labu sampai terjadi pemisahan antara sampel dan pelarut. Selanjutnya memipet pelarut dan difiltrasi dengan corong buchnert. Filtrat ditampung dalam labu bundar dan dievaporasi sampai pelarut tersisa ± 1 ml, kemudian dilakukan pemurnian dengan melewatkan pada kolom kromatografi yang telah diisi oleh florisil dan sodium sulfat anhidrat. Selanjutnya dielusi dengan pelarut n-heksan sebanyak 50 ml. Setelah selesai sampel dievaporasi lagi sampai tersisa ± 1 ml, kemudian labu dibilas dengan aseton secara bertahap dan hasil bilasannya ditampung dengan tabung uji sampai diperoleh volume 10 ml dan sampel siap di analisis dengan menyuntikkan 2-5 µ l sampel ke dalam gas kromatografi (GC).

Sebelum analisis sampel, dilakukan penyuntikan 2 -5 µl stand ar profenofos ke dalam gas kromatografi (GC). Konsentrasi profenofos (ppm b/b) dihitung berdasarkan kromatogram yang dihasilkan dan dibandingkan dengan hasil kromatogram standar berdasarkan rumus berikut:


(3)

Lampiran 13. Prosedur Analisis Mikro ba

a. Populasi Bakteri (Total Plate Count/TPC)

Analisis populasi bakteri dilakukan dengan metode TPC pada media PCA (Plate Count Agar). Pembuaatan media PCA dengan melarutkan 15 agar, 1 g dextrosa, 5 g tripton, 1.5 g yeast ke dalam 1000 ml aquadest. Larutan tersebut dipanaskan sambil diaduk dengan magnetic stirer sampai mendidih dan homogen. Selanjutnya larutan disterilisasi dalam autoclave pada suhu 121oC selama 15 menit. Setelah agak dingin media dituang ke dalam cawan petri steril ± 15-20 ml dan dinginkan. Setelah padat cawan petri ditutup pada posisi dibalik.

Metode TPC dilakukan dengan melarutkan 1 g sampel dengan 9 ml NaCl faali (0.9%) ke dalam tabung reaksi. Larutan ini mempunyai pengenceran 10-1 dan pengenceran dilakukan sampai 10-6. Setiap kali pengenceran larutan diaduk dengan vortek. Selanjutnya 0.1 ml larutan dari pengenceran 10-4 sampai 10-6 dituang ke media PCA menggunakan ependorf dan stip steril. Selanjutnya larutan disebar dengan sprider yang telah dicelup ke dalam alkohol dan dipanaskan. Kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 48 jam. Koloni yang dihitung hanya yang berjumlah 30 – 300 koloni.

b. Isolasi Bakteri

Pada penelitian ini isolasi mikroba dilakukan dengan metode cawan tuang/gores yaitu dengan menginokulasi sampel pada media padat NA (Nutrient Agar) yang telah ditambahkan zat antibiotik nistatyn berfungsi menghambat pertumbuhan kapang dan khamir. Inokulasi dilakukan dengan cara: melarutkan 1 gram sampel dengan 10 mL aquadest steril kemudian dishaker selama 30 menit.


(4)

NA. Masing-masing cawan petri diinkubasi dengan posisi terbalik pada suhu kamar selama 24-48 jam. Bakteri yang tumbuh dipindahkan ke media padat NA lain untuk memperoleh biakan murni. Isolat yang tumbuh dipisahkan berdasarkan perbedaan bentuk dan morfologinya ke media padat NA baru yang tidak mengandung nistatyn untuk memperoleh koloni tunggal (single coloni). Isolat-isolat tersebut dipindahkan menggunakan jarum ose yang telah dipanaskan dengan menggoreskannya pada permukaan media. Koloni yang tumbuh diinkubasi selama 3 hari pada suhu ruang. Hal tersebut dilakukan berulang-ulang sampai diperoleh isolat murni dan dipindahkan ke media padat NA miring. Isolat diinkubasi selama 3 hari pada suhu ruang selanjutnya disimpan di lemari pendingin.

c. Uji Kemampuan Bakteri Mendegradasi Profenofos

Sebelum melakukan pengujian kemampuan bakteri dalam mendegradasi profenofos, bakteri diadaptasikan dahulu pada media padat NA adaptasi yang mengadung profenofos. Bakteri yang mampu tumbuh diuji kemapuannya mendegradasi profenofos dengan uji pembentukan zona jernih pada media MSPY (Mineral Salt Pepton Yeast) yang mengandung profenofos. Bakteri tersebut diinkolasi selama 4 hari.

Pembuatan media padat NA adaptasi sama dengan media padat NA yang mengadung nistayn. Perbedaanya pada media padat NA adaptasi tidak ditambahkan nistatyn tetapi ditambahkan profenofos dengan konsentrasi yang berbeda.

Pembuatan media MSPY dilakukan dengan melarutkan 0.2 g KH2PO4, 0.5 g K2HPO4, 0.2 g MgSO4.7H2O, 0.2 g NaCl, 0.05 g CaCl2.2H2O, 0.025 g FeSO4.7H2O, 0.005 g Na2MoO4, 0.0005 g MnSO4, 0.0005 g NaWO2, 1.0 g Bakto peptone, dan 2.0 g Yeast extract dengan 1 liter aquadest di dalam gelas piala, kemudian diaduk sambil mengatur pH pada kisaran 7.0 (netral). Selajutnya media dipindahkan ke erlenmeyer dan ditambahkan 15 g bacto agar dan disterilkan dalam autoklaf (Oshiro, 1996). Media steril tersebut ditambahkan profenofos dengan konsentrasi berbeda.


(5)

d. Analisis Aktivitas Mikroba dengan Fluorescent Diacetate Assay (FDA)

Pembuatan larutan standar FDA dengan melarutkan 0.0399 g FDA ke dalam 100 mL aseton. Selanjutnya 10 gram tanah dilarutkan dengan 50 mL larutan buffer fosfat di dalam erlenmeyer yang telah diisi larutan standar FDA masing-masing 0, 0.1, 0.2, 0.3, 0.5, 1.0 dan 1.5 mL. Larutan dishaker selama 1 jam dengan kecepatan 120 rpm kemudian ditambahakan 50 mL aseton untuk menghentikan reaksi hidrolisis. Larutan disentrifuse dengan kecepatan 6000 rpm selama 10 menit. Absorban filtrat diukur dengan spektrofotometer UV-VIS (Beckam DU 650) pada panjang gelombang 490 nm.

Perlakuan sampel dilakukan dengan cara melarutkan 0.200 g FDA dengan 10 mL aseton kemudian ditambahkan dengan aquabidest hingga 100 mL sebagai larutan stok. Sampel dilarutkan dengan 50 mL bufferposfat (pH 7.0) dan 0.5 mL larutan FDA. Selanjutnya dishaker selama 1 jam pada kecepatan 120 rpm dan ditambahkan 50 mL aseton. Larutan disentrifuse selama 10 menit dengan kecepatan 6000 rpm. Absorban diukur pada panjang gelombang (?) 490 nm.


(6)

A – B C

Kadar air = x 100% dimana; A = berat cawan dan sample awal (g) B = berat cawan dan sample akhir (g) C = berat sample (g)

Kadar abu = Berat abu (g) Berat sample (g)

x 100%

Lampiran 14. Prosedur Analisis Kadar air, Kadar abu, Nitrogen dan Karbon Total

a. Kadar Air bahan (AOC, 1984)

Cawan porselen kosong dan tutupnya dikeringkan dalam oven selama 15 menit pada suhu 100oC dan dinginkan dalam desikator selama 20 menit. Sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam cawan porselen yang sebelumnya sudah ditimbang berat. Cawan beserta isinya dimasukkan ke dalam oven lalu dikeringkan pada suhu 100-105oC hingga beratnta konstan selama 6 jam. Cawan dan isinya dimasukkan terlebih dahulu ke dalam desikator sebelum ditimbang kembali. Kadar air dapat diketahui dengan rumus:

b. Kadar Abu

Sampel sebanyak 5 g ditempatkan pada cawan porselen yang telah diketahui beratnya, kemudian angkat dan pijarkan pada suhu 600oC selama 5 jam sehingga diketahui berat tetapnya, lau dinginkan dan ditimbang. Kadar abu dihitung dengan rumus;