Studi Pembiakan Vegetatif Intsia bijuga (Colebr.) O.K. Melalui Grafting

(1)

STUDI PEMBIAKAN VEGETATIF

Intsia bijuga (Colebr.) O.K. MELALUI GRAFTING

RISNA TRISNAWATI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Studi pembiakan vegetatif

Intsia bijuga (Colebr.) O.K. melalui grafting

Oleh :

Risna Trisnawati, Andi Sukendro, dan Irdika Mansur.

Pembiakan vegetatif dengan cara grafting merupakan suatu alternatif untuk pemuliaan pohon merbau [Instia bijuga (Colebr.) O.K]. Salah satu keuntungan dari grafting ialah banyak digunakan untuk produksi bibit yang akan ditanam di kebun benih dan bermanfaat untuk penyelamatan kandungan genetik tanaman merbau. Metode grafting yang dipakai adalah Top Cleft Grafting dan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan dua faktorial. Faktor pertama adalah perlakuan rootstock berdiameter 4-6 mm dan rootstock

berdiameter 6.1-8 mm. Faktor kedua adalah perlakuan jenis fase scion yang mengalami fase dorman dan fase aktif. Berdasarkan analisis sidik ragam diketahui bahwa perlakuan rootstock dan perlakuan jenis fase scion tidak berpengaruh nyata terhadap persentase keberhasilan sambungan Merbau dan persentase ketahanan penyakit. Tetapi interaksi perlakuan rootstock dan jenis fase scion berpengaruh nyata terhadap persentase ketahanan penyakit. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata persen keberhasilan sambungan Merbau adalah 21.67%.

Kata Kunci : Grafting, merbau, pembiakan vegetatif, rootstock, scion.


(3)

Study of vegetative propagation Intsia bijuga (Colebr.) O.K. by grafting

By :

Risna Trisnawati, Andi Sukendro, dan Irdika Mansur.

Vegetative propagation by grafting is an alternative method for merbau [Instia bijuga (Colebr.) O.K] breeding. One of the advantages of grafting is mostly used in seed producing that will be planted in seed orchard and it is useful for saving of merbau genetics. The research used Top Cleft Grafting method and completely randomized design with two factors. The first factor is rootstock treatment which has diameter between 4-6 mm and 6.1-8 mm. The second factor is a scion phase type treatment which has dormant type and active type. Based on ANOVA, known that the rootstock and scion phase type treatments do not have significant influence on survival percentage and disease resistance percentage. But, interaction between them have a significant influence on a disease resistance percentage. According to the result of research, known that the average of survival percentage of Merbau grafting is 21.67 %.


(4)

STUDI PEMBIAKAN VEGETATIF

Intsia bijuga (Colebr.) O.K. MELALUI GRAFTING

RISNA TRISNAWATI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Studi Pembiakan vegetatif Intsia bijuga (Colebr.) O.K melalui Grafting adalah hasil karya saya sendiri dibawah bimbingan dosen pembimbing, dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2010

Risna Trisnawati E44051775


(6)

Judul Penelitian : Studi Pembiakan Vegetatif Intsia bijuga (Colebr.) O.K. Melalui

Grafting

Nama : Risna Trisnawati NIM : E44051775

Menyetujui

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Ir. Andi Sukendro, M.Si.) (Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc.)

NIP. 19620505 1987 031 004 NIP. 19660523 1990 021 001

Menyetujui

Ketua Departemen Silvikultur

(Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M. Agr.) NIP 19641110 1990 021 001


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul Studi Pembiakan vegetatif Intsia bijuga (Colebr.) O.K melalui Grafting. Penelitian ini mencakup kegiatan penyambungan (grafting) antara batang bawah (rootstock) tanaman merbau yang mempunyai ukuran diameter 4-8 mm dengan batang atas (scion) yang berasal dari tanaman dewasa. Pada pelaksanaannya parameter yang diamati adalah persen hidup tanaman hasil sambungan yang diharapkan dapat menjadi ukuran keberhasilan sambungan pada Intsia bijuga (Colebr.) O.K. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Pada proses penelitian dan penyusunan skripsi ini, penulis dibimbing oleh Ir. Andi Sukendro, M.Si. dan Dr. Ir. Irdika Mansur M.For.Sc. selaku pembimbing penelitian.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata penulis mengharapkan skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Januari 2010


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Garut, Jawa Barat pada tanggal 17 November 1986 sebagai anak terakhir dari enam bersaudara pasangan Iri Sahri dan Rosmayati. Pada tahun 1993 sampai tahun 1999 penulis menempuh pendidikan dasar di SDN Paas 1. Pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 melanjutkan pendidikan di SLTPN 1 Pameungpeuk. Pendidikan tingkat menengah atas ditempuh penulis di SMAN 1 Pameungpeuk dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2005 penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa Masuk IPB (USMI). Penulis memilih jurusan Silvikultur di Fakultas Kehutanan.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan akademis maupun non-akademis. Di bidang akademis, penulis berkesempatan menjadi asisten di mata kuliah Silvikultur (2008). Di bidang non-akademis, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan yakni sebagai staf Badan Pengurus Harian (BPH) Tree Grower Community (TGC) tahun 2007-2008. Penulis juga bergabung dalam berbagai kepanitiaan di setiap kegiatan Himpro TGC diantaranya Seminar Jabon sebagai Pengganti Sengon, Seminar Jamur Tiram, Go Green Bekasi Planting, Belantara 43, dan lolos dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Kewirausahaan yang didanai oleh Dikti dengan PKMK yang berjudul Sayur Jamur Tiram Kering sebagai Pelengkap Makanan Bergizi. Selain itu penulis juga melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Linggarjati-Indramayu, Praktek Pembinaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi, Jawa Barat, dan Praktek Kerja Profesi (PKP) di Hutan Rakyat Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Studi Pembiakan vegetatif Intsia bijuga (Colebr.) O.K melalui Grafting dibimbing oleh Ir. Andi Sukendro, M.Si. dan Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc.


(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia yang telah dilimpahkan-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini banyak sekali kendala dan hambatan yang dihadapi. Namun berkat dukungan dan bantuan dari semua pihak, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Ir. Andi Sukendro, M.Si. dan Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc. atas segala arahan, petunjuk dan bimbingannya.

2. Bapak dan Ibu atas doa dan kasih sayangnya yang diberikan selama ini. Untuk kakak-kakakku yang selalu memberikan semangat dan dukungan dalam segala hal dan penyemangat dalam menggapai cita.

3. Dr. Ir. Didik Suharjito, MS. selaku dosen penguji wakil dari Departemen Manajemen Hutan, Ir. Edhi Sandra, M.Si. selaku dosen penguji wakil dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, dan Dr. Ir. Nyoman J Wistara, MS. selaku dosen penguji wakil dari Departemen Hasil Hutan.

4. Staf Pengajar di Departemen Silvikultur dan Fakultas Kehutanan IPB serta seluruh guru yang telah memberikan segenap ilmu dengan penuh keikhlasan. 5. Staf TU Departemen Silvikultur atas bantuan dan dukungannya.

6. Feri Andry Susantho, A.Md. beserta keluarga atas dukungan dan rasa cinta yang telah diberikan.

7. Tim Penelitian Grafting yang membantu selama penelitian (Weri, Fidry, Maretha, Tatik, Hilda, Rifa, Rima, Tomi, Yogi, Fa’i, Bramas, dedi dan Doddy). Teman-teman Silvikultur 42, Chandra, Ajeng, Sambang, Yohana, Devi, Asep, Fifi, Kiki, Ghina, Yuli, Farah, Rifki, Benny, Agha dan semuanya yang tidak bisa penulis sebut satu-persatu atas perjuangan dan dukungan selama menjadi mahasiswa.

8. Teman-teman kos Citra Islamic 1, Susan, Amel, Dini, Alin dan adik-adik kelas atas perhatian, bantuan dan dukungannya. Teman-teman PPEH, PPH, dan PKL atas kerjasama dan kebersamaannya.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 4

1.3 Hipotesis ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum tentang Intsia bijuga (Colebr.)O.K. ... 5

2.1.1 Taksonomi dan tatanama ... 5

2.1.2 Deskripsi botani ... 5

2.1.3 Penyebaran dan habitat ... 6

2.1.4 Silvikultur ... 6

2.1.5 Kegunaan dan manfaat ... 7

2.2 Tinjauan Umum tentang Pembiakan Vegetatif ... 8

2.2.1 Definisi dan macam pembiakan vegetatif ... 8

2.2.2 Alasan dilakukannya pembiakan vegetatif ... 9

2.3 Pembiakan Vegetatif Grafting ... 10

2.3.1 Pengertian ... 10

2.3.2 Faktor penentu keberhasilan sambungan ... 12

2.3.3 Proses pertautan pada grafting ... 12

2.3.4 Pengaruh batang bawah terhadap batang atas ... 14

2.3.5 Perbanyakan batang bawah ... 14

2.3.6 Aplikasi teknik grafting pada tanaman kehutanan ... 14

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 16


(11)

3.3 Metode Penelitian ... 16

3.3.1 Pemilihan batang bawah (rootstock) ... 16

3.3.2 Pemilihan batang atas (scion) ... 16

3.3.3 Pelaksanaan sambungan ... 17

3.3.4 Pemeliharaan ... 17

3.3.5 Pengamatan ... 18

3.3.6 Rancangan percobaan ... 19

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil ... 20

4.1.1 Keberhasilan grafting (sambungan) ... 20

4.1.2 Kerentanan terhadap penyakit ... 21

4.1.3 Kesegaran bahan sambungan ... 22

4.2 Pembahasan ... 23

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 30

5.2 Saran ... 30

DAFTAR PUSTAKA ... 31


(12)

DAFTAR TABEL

No Halaman 1. Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam pengaruh besar diameter

dan fase scion terhadap parameter bibit merbau ...

20

2. Uji lanjut Duncan rata-rata persentase kerentanan terhadap penyakit tanaman merbau ...


(13)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Histogram persen keberhasilan grafting akhir pengamatan ... 21

2. Tanaman hasil grafting terserang penyakit (jamur) ... 22

3. Grafik kesegaran tanaman selama 10 minggu ... 23


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman 1. Rekapitulasi hasil pengamatan tanaman grafting merbau ... 34

2. Pengamatan kesegaran tanaman ... 35 3. Pengaruh batang bawah terhadap ketahanan hama dan penyakit .. 35 4. Pengolahan data ... 36


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembiakan vegetatif adalah suatu metode perbanyakan tanaman dengan menggunakan bagian tanaman (bagian-bagian vegetatif yakni akar, batang dan daun) itu sendiri dan tanpa melibatkan proses pembuahan sehingga sifat tanaman induk dapat dipertahankan dan diturunkan ke tanaman anakan (Hartman dan Kester 1983). Salah satu teknik pembiakan vegetatif adalah grafting, yaitu suatu seni menyambung bagian dari satu tanaman (sepotong pucuk) ke bagian tanaman lain (rootstock) sedemikian rupa sehingga tercapai persenyawaan dan kombinasi ini terus tumbuh membentuk tanaman baru (Mahlstede dan Haber 1957; Hartman dan Kester 1978). Bagian bawah dari sambungan yang akan berkembang menjadi sistem perakaran dari tanaman sambungan disebut batang bawah (stock/rootstock), sedangkan potongan kecil dari tunas yang mengandung dua atau beberapa mata tunas dorman, yang ketika disambungkan batang bawah akan menjadi bagian atas dari tanaman yang akan tumbuh menjadi ranting dan cabang dari tanaman sambungan tersebut disebut batang atas (scion).

Pembiakan vegetatif dengan grafting memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan pembiakan generatif. Salah satu keuntungan dari grafting

ialah banyak digunakan untuk produksi bibit yang akan ditanam di kebun benih dan bermanfaat untuk penyelamatan kandungan genetik tanaman. Selain itu, keuntungan dari pembiakan vegetatif dengan grafting ini ialah anakan yang dihasilkan mempunyai sifat dan penampakan yang lebih baik dibanding induknya karena merupakan pnggabungan dua atau lebih sifat unggul dari tanaman berbeda, pembiakan vegetatif dengan grafting juga dapat digunakan untuk membangun kebun pangkas guna mendapatkan bibit yang mempunyai kualitas yang unggul.

Selain itu, metode ini tidak dibatasi oleh waktu, yang berarti pembiakan vegetatif melalui grafting dapat dilakukan kapan saja. Dengan grafting ini juga, tanaman yang disambungkan mempunyai potensi memperpendek periode juvenil, sehingga dapat berbuah dan menghasilkan biji lebih cepat daripada tanaman yang berasal dari biji. Tanaman hasil grafting mempunyai sistem perakaran yang


(16)

2

dalam, tanaman lebih kuat karena batang bawahnya tahan terhadap keadaan tanah yang tidak menguntungkan, temperatur rendah, atau gangguan-gangguan lain yang terdapat di dalam tanah serta tanaman yang dihasilkan merupakan gabungan dari dua sifat unggul dengan membuang dua sifat yang tidak diinginkan.

Grafting dalam dunia kehutanan tidak dimaksudkan untuk perbanyakan tanaman dalam arti bibit untuk penanaman skala luas, melainkan untuk menyelamatkan genetik pohon unggul. Oleh karena itu, keberhasilan grafting

akan mendukung pembangunan kebun benih klonal.

Dewasa ini, beberapa tanaman kehutanan telah dieksploitasi sehingga ketersediaan tanaman tersebut di alam semakin menurun, bahkan terancam punah. Salah satu jenis tanaman yang menjadi perhatian saat ini adalah merbau (Intsia bijuga [Colebr.]O.K.), yang populasinya semakin terbatas di alam karena adanya eksploitasi dan kesulitan dalam perbanyakan generatif di alam. Selain itu, jenis ini memiliki banyak kegunaan yaitu sebagai bahan bangunan, lantai, alat-alat rumah tangga, papan, bantalan, tiang listrik dan telepon, perkapalan dan jembatan.

Melihat banyaknya manfaat dan kegunaan yang diberikan tanaman merbau dan semakin kompleksnya kebutuhan manusia, bukan tidak mungkin untuk tahun-tahun kedepan permintaan akan kayu merbau akan semakin meningkat juga. Peta hasil olahan Greenpeace menunjukkan bahwa dari seluruh luas hutan yang saat ini menjadi tempat pertahanan terakhir populasi merbau di Pulau Papua 83 % sudah dibalak atau dialokasikan untuk pembalakan komersial, sehingga tinggal 17 % habitat merbau yang masih tumbuh asli dan belum dirusak atau ditebang. Diperkirakan populasi merbau di Indonesia akan punah dalam waktu 35 tahun mendatang, bahkan bisa lebih cepat.

Oleh karena itu, merbau telah dimasukkan dalam daftar "menghadapi resiko kepunahan tinggi di alam bebas dalam waktu dekat" oleh Badan Konservasi Dunia (WCU). Menurut the World Conservation Union (IUCN) merbau digolongkan sebagai spesies yang rentan terancam kepunahan (vulnerable), sementara the World Conservation Monitoring Centre menggolongkan kayu merbau Indonesia sebagai spesies yang terancam (threatened). Dan akibat tekanan perdagangan telah menyusutkan populasi kayu ini di alam, sehingga sejak tahun 1992 jenis ini telah diusulkan untuk diatur perdagangannya melalui Apendiks II


(17)

3

Convention on International Trade in Endangered Species (CITES). Untuk itu, penanaman pohon jenis merbau dalam pembangunan hutan tanaman harus dijadikan sebagai suatu prioritas.

Penggunaan metode pembiakan vegetatif melalui grafting sebagai alternatif untuk penyelamatan genetik tanaman merbau (Instia bijuga [Colebr.] O.K), diharapkan kebutuhan akan tanaman merbau yang berkualitas dan jumlah yang mencukupi dalam rangka mendukung program pemuliaan pohon antara lain untuk pembangunan kebun pangkas elit dan kebun benih klonal.

Dalam teknik menyambung terdapatnya pengaruh batang atas (scion) dan batang bawah (rootstock), yang mempengaruhi pada keberhasilan sambungan, kesegaran bahan sambungan dan kerentanan terhadap penyakit. Oleh karena itu, ketiga hal tersebut dijadikan sebagai parameter dalam penelitian pembiakan vegetatif tanaman merbau melalui grafting. Adapun pengaruh perlakuan yang digunakan untuk mengukur ketiga parameter tersebut adalah pembedaan perlakuan pada bahan rootstock dan jenis fase untuk bahan scion. Bahan rootstock

yang digunakan adalah bibit merbau yang berumur antara 8-12 bulan dengan perlakuan besar diameter 6-8 mm. Sedangkan untuk bahan scion diambil dari pohon yang berumur 10 tahun dengan perlakuan fase aktif dan fase dorman. Diharapkan dari pembedaan pengaruh perlakuan untuk scion dan rootstock

tersebut dapat memberikan pengaruhnya terhadap keberhasilan sambungan.

Selain itu, untuk parameter kerentanan terhadap penyakit pengaruh besar diameter rootstock dan jenis fase scion akan memperlihatkan pengaruhnya pada tanaman yang sudah di grafting, karena akan adanya timbul penyakit pada tanaman yang di grafting akibat faktor dalam maupun faktor luar yang menentukan keberhasilan dari grafting sehingga harus dijadikan sebagai perhatian dalam melakukan perbanyakan tanaman merbau melalui grafting.

Oleh karena itu, penelitian mengenai studi pembiakan vegetatif pada merbau (Intsia bijuga [Colebr.] O.K.) melalui grafting dilakukan untuk melihat pengaruh perbedaan perlakuan besar diameter rootstock dengan jenis fase scion terhadap keberhasilan sambungan.


(18)

4

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan pembedaan diameter untuk bahan rootstock dan jenis fase untuk bahan scion terhadap keberhasilan pembiakan vegetatif tanaman Merbau (Intsia bijuga [Colebr.] O.K.) melalui grafting.

1.3 Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah :

1. Tanaman Merbau (Instia bijuga [Colebr.] O.K) dapat dikembangbiakkan melalui grafting.

2. Perbedaan besarnya ukuran diameter bahan rootstock berpengaruh terhadap persen keberhasilan grafting dan kerentanan terhadap penyakit.

3. Perbedaan fase jenis scion akan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberhasilan grafting.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Grafting digunakan untuk memperbanyak Merbau secara vegetatif. 2. Grafting bermanfaat untuk penyelamatan keragaman genetik Merbau.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum tentang Intsia bijua (Colebr.) O.K. 2.1.1 Taksonomi dan tatanama

Merbau termasuk kedalam famili Caesalpiniaceae. Di Indonesia jenis ini mempunyai nama daerah marbau, merbo, taritih (Jawa); marbon, merbau asam, merbau darat, merbau pantai (Sumatera); alai, anglai, ipil, jumelai, maharau, merbau (Kalimantan); bayam, gefi, ipi, ipil, langgiri, ogifi (Sulawesi); aisele, dowora, falai, ipi, ipil, kayu besi (Maluku); doma, fimpi, ipi, ipir (NTT); bau, kayu besi, pas, sekka (Irian Jaya) (Martawijaya et al. 1989). Nama dagang dari jenis ini adalah Merbau dan Bajan.

Berikut tata nama dari jenis merbau : Klasifikasi

Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Caesalpinia Famili : Caesalpiniaceae Genus : Intsia

Jenis : Intsia bijuga (Colebr.) O.Ktze.

2.1.2 Deskripsi botani

Pohon merbau berbentuk lurus, tegak, dapat mencapai tinggi 45 m dengan panjang batang bebas cabang 4-30 m, diameter sampai 100 cm, tinggi banir sampai 4 m dengan lebar sampai 4 m, bergaris tengah 150-180 cm dan bagian bawahnya dilengkapi dengan akar papan. Warna kulit luarnya kelabu cokelat. Daun tersusun majemuk, terdiri atas 4-6 anak daun yang berbentuk bundar atau bundar telur. Perbungaannya berbentuk malai, tersusun dari bunga-bunga kecil yang berwarna putih dan berbau harum. Tangkai utama 5-18 cm, dan panjang tajuk bunga 1,5-2,5 cm. Buah merbau berbentuk polong, bulat atau berbentuk agak panjang lebih kurang 8,5-23 cm, lebar buah 1-8 benih. Polongnya biasanya


(20)

6

mengandung 3-8 biji. Benih merbau berbentuk bulat pipih dan berwarna cokelat tua kemerah-merahan (Sutisna et al. 1998).

Bunga mekar pada bulan November sampai Januari dan buah tua pada bulan Mei sampai Agustus. Benih siap dipanen setelah masak fisiologi yang ditandai dengan warna buah cokelat tua sampai kehitam-hitaman, kulit buahnya sudah keras dan benih sudah berwarna cokelat tua kemerahan (Sutisna et al. 1998).

Kayu teras merbau berwarna sangat bervariasi dari kelabu, cokelat, dan kuning cokelat sampai cokelat merah cerah atau hampir hitam. Kayu gubal berwarna kuning pucat sampai kuning muda, tebal 5-7,5 cm dan dapat dibedakan dengan jelas dari kayu teras. Tekstur kayu kasar dan merata dengan arah serat kebanyakan lurus, kadang-kadang tidak teratur dan terpadu. Permukaan kayu licin dan mengkilap indah (Sutisna et al. 1998).

2.1.3 Penyebaran dan habitat

Penyebaran jenis merbau di Indonesia adalah Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Timor dan Irian Barat. Selain itu, tersebar di Asia Tenggara, yaitu kepulauan Andaman, Thailand, dan Malaysia. Tempat tumbuh di hutan primer lahan kering, pada tempat yang tidak atau sewaktu-waktu digenangi air, diatas tanah pasir atau berbatu-batu, pada lapangan yang rata atau miring, hidup tersebar pada ketinggian 0-50 m diatas permukaan laut. Dalam hutan asli pada tanah liat atau tanah berpasir yang tidak terlampau basah. Jenis ini memerlukan iklim basah sampai iklim kering dengan tipe curah hujan A-D (Sutisna et al. 1998).

2.1.4 Silvikultur

Permudaan alam pohon merbau jarang terdapat karena biji yang jatuh ke tanah sukar berkecambah, kecuali jika jatuh di atas tanah yang baik dan mendapat cahaya penuh. Permudaan buatan belum banyak dilakukan. Biji harus disemaikan di bawah sinar matahari penuh. Sebelum ditanam bagian kulit biji dekat lembaga harus di kikir dan bijinya direndam dalam air dingin selama 4 x 24 jam. Daya kecambah biji merbau ini mencapai 75 %. Anakan yang telah mencapai tinggi 30 cm dapat dipindahkan ke lapangan dengan jarak tanam 3 m x 2 m. Dapat juga


(21)

7

dilakukan dengan stump yang berukuran panjang batang 30 cm, panjang akar 20 cm dan diameter batang 0,5-1,5 cm. Penanaman merbau dengan stump menghasilkan persen tumbuh di atas 90 % (Martawijaya et al. 1989).

Musim bunga dan buah merbau terjadi pada bulan Juni-Oktober. Buahnya merupakan polong yang berbiji besar dan gepeng. Jumlah biji 354 butir per kg atau 200 butir per liter. Biji disimpan setelah dikeringkan di udara selama 10 hari. Biji yang telah kering dan disimpan dalam tempat yang tertutup dapat tahan sampai satu tahun. Hama penyakit pada tanaman muda merbau dimakan pelanduk dan kijang, sedang buah muda di makan kera, kalong dan tupai (Martawijaya et al. 1989).

2.1.5 Kegunaan dan manfaat

Kayunya bernilai tinggi terutama digunakan sebagai bahan bangunan, lantai, alat-alat rumah tangga, papan, bantalan, tiang listrik dan telepon, perkapalan dan jembatan. Kayu terasnya berwarma merah tua, mempunyai berat jenis 0.84 dan digolongkan dalam kelas kekuatan I-II dan kelas keawetan I-II. Selain itu, pohon merbau menghasilkan pepagan yang mengandung tanin dan dimanfaatkan sebagai zat pewarna cokelat untuk kertas dan kain (Martawijaya et al. 1989).

Kayu merbau umumnya tidak sulit digergaji, dapat diserut, di bor, di buat lubang persegi, dibentuk dan diamplas dengan mesin sampai halus dan dapat dipelitur dengan memuaskan tetapi dengan pembubutan akan memberikan hasil yang buruk. Namun jenis kayu ini biasanya pecah jika dipaku dan dapat menimbulkan noda hitam jika berhubungan dengan besi atau terkena air. Kayu merbau umumnya digunakan untuk balok, tiang, dan papan pada bangunan perumahan dan jembatan. Selanjutnya dapat dipakai untuk bantalan dan juga baik untuk perkapalan (lunas, gading-gading dan dek), lantai, panil, mebel, karoseri dan barang bubutan (Martawijaya et al. 1989).

Berdasarkan hasil penelitian bahwa proses pengeringan pada kayu merbau dilakukan menggunakan jadwal pengeringan untuk mencapai kadar air 10 % dengan tahapan pengeringan yaitu break-up, warming-up, drying, equalizing atau conditioning, dan cooling down. Faktor lebar papan merbau yang akan dikeringkan akan mempengaruhi besarnya nilai kadar air sedangkan faktor tebal


(22)

8

papan merbau tidak akan mempengaruhi besarnya nilai kadar air pada papan yanga akan dihasilkan setelah proses pengeringan. Dari hasil pengamatan dalam penelitian terhadap mutu hasil proses pengeringan pada merbau hanya didapatkan cacat bentuk berupa cacat membusur (bowing), cacat tersebut termasuk ke dalam cacat membusur kelas ringan (Kurniawan 2008).

Selain itu, hasil penelitian lain menjelaskan bahwa keawetan alami kayu merbau disebabkan oleh kandungan ekstraktif yang terdapat dalam kayu tersebut. Kayu merbau tergolong kayu berkomponen ekstraktif tinggi dimana mengandung ekstrak terlarut aseton sebanyak 196.47 gr atau 10.904 % berdasarkan berat kering oven. Ekstraktif kayu merbau terutama ekstrak fraksi n-heksana dapat meningkatkan ketahanan kayu terhadap serangan rayap kayu kering. Konsentrasi larutan ekstrak kayu merbau berpengruh nyata terhadap retensi dan kehilangan berat. Retensi larutan ekstrak kayu merbau akan semakin meningkat sejalan dengan peningkatan konsentrasi (Malau 1995).

2.2 Tinjauan Umum tentang Pembiakan Vegetatif 2.2.1 Definisi dan macam pembiakan vegetatif

Pembiakan vegetatif merupakan perbanyakan tanaman tanpa melibatkan proses perkawinan dan dengan cara ini sifat-sifat tanaman dapat dipertahankan (Darmawan dan Baharsjah 1983). Sedangkan menurut Hartman dan Kester (1983) menyebutkan bahwa pembiakan vegetatif atau asexual propagation adalah perbanyakan dari bagian-bagian vegetatif tanaman, dimungkinkan terjadinya setiap sel tanaman mempunyai informasi genetik yang diperlukan untuk membentuk individu tanaman yang lengkap. Perbanyakan dapat terjadi melalui bakal akar, batang, daun, dan tunas atau melalui penyatuan bagian vegetatif seperti grafting dan okulasi.

Harahap (1972) menyatakan bahwa secara garis besar, pembiakan vegetatif dibagi dua, yaitu :

a. Allovegetative propagation, yaitu pembiakan vegetatif dari dua jenis genotif yang berbeda seperti pada sambungan okulasi.

b. Autovegetative propagation, yaitu pembiakan vegetatif dari genotif yang sama seperti stek dan cangkok.


(23)

9

Pembiakan vegetatif dapat dilakukan dengan cara stek (cutting), cangkok (layering), tempelan (budding), dan sambungan (grafting) (Soerianegara dan Djamhuri 1979).

2.2.2 Alasan dilakukannya pembiakan vegetatif

Menurut Rochiman dan Haryadi (1973), sebab utama dilakukannya pembiakan vegetatif adalah banyak tanaman yang tidak akan menyerupai induknya bila dibiakkan dengan biji. Penyebab lainnya adalah :

a. Tanaman tidak atau sedikit menghasilkan biji

b. Tanaman menghasilkan biji tetapi sukar untuk berkecambah

c. Beberapa tanaman lebih resisten terhadap hama dan penyakit bila mereka timbul pada akar-akar yang berhubungan dengan tanaman tersebut

d. Beberapa tanaman lebih tahan terhadap suhu dingin bila disambungkan pada batang lain jenis

e. Tanaman akan lebih kuat bila disambungkan

f. Tanaman akan lebih ekonomis bila dibiakkan secara vegetatif

Dalam rangka pemuliaan tanaman pohon hutan, Wright (1962) dalam

Rinaldo (2007) mengemukakan tujuan dilakukannya pembiakan vegetatif, yaitu : a. Untuk tujuan pembiakan secara besar-besaran

b. Mempermudah dan memperlancar pelaksanaan penyerbukaan terkendali (control pollination)

c. Untuk mempercepat produksi buah d. Untuk memperoleh jenis-jenis hibrid

e. Untuk menentukan varisai genetik melalui clonal test f. Untuk menyimpan germplasma yang tunggal

g. Untuk memperoleh tanaman baru yang mempunyai genotipa yang identik dengan induknya

Supriyanto (1997) menyatakan bahwa pembiakan vegetatif memiliki beberapa keuntungan, antara lain :

a. Secara genetik bibit yang dihasilkan memiliki sifat keturunan yang sama dengan induknya


(24)

10

c. Cepat berbuah

d. Dapat diperbanyak dalam jumlah besar e. Dapat dilakukan berbagai kombinasi

2.3 Pembiakan Vegetatif Grafting 2.3.1 Pengertian

Grafting atau Sambungan adalah suatu seni, proses dan perlakuan menggabungkan suatu tanaman ke bagian tanaman lain sedemikian rupa, sehingga terjadi persenyawaan dan dapat melanjutkan pertumbuhannya sebagai satu individu tanaman (Mahlstede dan Haber 1957). Menurut Ashari (1995) terdapat 2 metode penyambungan, yaitu sambung tunas dan sambung mata tunas.

1. Sambung Tunas/Grafting

Agar persentase jadi dapat memuaskan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :

a. Batang atas dan batang bawah harus kompatibel

b. Jaringan kambium kedua tanaman harus bersinggungan

c. Dilakukan saat kedua tanaman berada pada kondisi fisiologis yang tepat d. Pekerjaan segera dilakukan sesudah entris diambil dari pohon induk

e. Tunas yang tumbuh pada batang bawah (wiwilan) harus dibuang setelah penyambungan selesai agar tidak menyaingi pertumbuhan tunas batang atas

Metode yang dikembangkan adalah sambung lidah (tongue grafting), sambung samping (side grafting), sambung celah (cleft grafting), sambung susu (approach grafting), dan sambung tunjang (inarching).

2. Sambung Mata Tunas/Okulasi (Budding)

Masalah yang sering timbul dalam pelaksanaan teknik ini menurut Ashari (1995) adalah sukarnya kulit kayu batang bawah dibuka, terutama pada saat tanaman dalam kondisi pertumbuhan aktif, yakni pada saat berpupus atau daun-daunnya belum menua. Hal ini berkaitan dengan kondisi fisiologis tanaman. Sebaiknya okulasi dilakukan saat tanaman dalam kondisi dorman. Budding dapat menghasilkan sambungan yang lebih kuat, terutama pada tahun-tahun pertama daripada metode grafting lain karena mata tunas tidak mudah bergeser. Budding


(25)

11

juga lebih ekonomis menggunakan bahan perbanyakkan, tiap mata tunas dapat menjadi satu tanaman baru (Hartmann et al., 1997).

Metode budding yang sering digunakan antara lain okulasi sisip (chip budding), okulasi tempel dan sambung T (T-budding). Pemilihan metode tergantung pada beberapa pertimbangan, yaitu jenis tanaman, kondisi batang atas dan batang bawah, ketersediaan bahan, tujuan propagasi, peralatan serta keahlian pekerja (Ashari, 1995).

Menurut Hartman et al. (1997), grafting merupakan suatu seni menyambung dua potong jaringan tanaman yang hidup sedemikian rupa sehingga kedua jaringan tersebut bersatu, tumbuh dan berkembang menjadi tanaman. Bagian bawah dari sambungan yang akan berkembang menjadi sistem perakaran dari tanaman sambungan disebut batang bawah (stock/rootstock), sedangkan potongan kecil dari tunas yang mengandung dua atau beberapa mata tunas dorman, yang ketika disambungkan batang bawah akan menjadi bagian atas dari tanaman yang akan tumbuh menjadi ranting dan cabang dari tanaman sambungan tersebut disebut batang atas (scion).

Pada pengertian lain, grafting atau ent adalah menggabungkan batang atas dan batang bawah dari tanaman yang berbeda sedemikian rupa sehingga tercapai persenyawaan. Kombinasi ini akan terus tumbuh membentuk tanaman baru. Tujuan dari grafting ini adalah membuat bibit tanaman unggul, memperbaiki bagian-bagian pohon yang rusak, dan juga untuk membantu pertumbuhan tanaman (Wudiyanto 1994).

Secara terperinci juga dijelaskan keuntungan pembiakan vegetatif melalui sambungan, yaitu :

a. Mengekalkan sifat-sifat klon yang tidak dilakukan oleh pembiakan vegetatif lainnya seperti stek, cangkok dan lainnya

b. Bisa memperoleh tanaman yang kuat karena batang bawahnya tahan terhadap keadaan tanah yang tidak menguntungkan, temperatur yang rendah, atau gangguan-gangguan lain yang terdapat di dalam tanah

c. Memperbaiki jenis-jenis tanaman yang telah tumbuh, sehingga jenis yang tidak diinginkan diubah dengan jenis yang dikehendaki


(26)

12

2.3.2 Faktor penentu keberhasilan sambungan

Hartman dan Kester (1983) mengemukakan lima hal penting yang menentukan keberhasilan sambungan, yaitu :

a. Kompabilitas (kesesuaian) antara batang bawah dan bahan sambungan dan kemampuan menyatukan diri

b. Daerah kambium dari batang bawah dan bahan sambungan harus saling menempel sehingga memungkinkan terjadinya kontak langsung

c. Pelaksanaan sambungan harus dilaksanakan pada saat batang dan bahan sambungan berada dalam kondisi fisiologis yang layak. Umumnya ini diartikan bahwa tunas-tunas pada bahan sambungan berada dalam keadaan dorman (istirahat)

d. Segera setelah pelaksanaan sambungan selesai semua permukaan luka/potongan harus dilindungi dari kekeringan. Hal ini dapat dilakukan dengan memberi penutup kain, menutup dengan lilin atau meletakkan tanaman di tempat lembab

e. Diperlukan pemeliharaan selama periode waktu tertentu, guna mencegah kerusakan sambungan

Selain faktor-faktor dari dalam tumbuhan sendiri, faktor luar juga berpengaruh pada keberhasilan sambungan. Salah satu diantaranya adalah temperatur dan kelembaban selama proses penyambungan (Hartman dan Kester, 1983).

Wright (1962) dalam Rinaldo (2007) menyatakan bahwa teknik sambungan juga mempengaruhi berhasil tidaknya sambungan. Dalam hal ini penggunaan pisau sambungan harus setajam mungkin, agar kambium tidak mengalami kerusakan.

2.2.3 Proses pertautan pada Grafting

Proses pertautan sambungan diawali dengan terbentuknya lapisan nekrotik, pada permukaan sambungan yang membantu menyatukan jaringan sambungan terutama didekat berkas vaskular. Pemulihan luka dilakukan oleh sel-sel meristematik yang terbentuk antara jaringan yang tidak terluka dengan lapisan nekrotik. Lapisan nekrotik ini kemudian menghilang dan digantikan oleh kalus


(27)

13

yang dihasilkan oleh sel-sel parenkim (Hartmann et al, 1997). Menurut Ashari (1995) sel-sel parenkim batang atas dan batang bawah masing-masing mengadakan kontak langsung, saling menyatu dan membaur. Sel parenkim tertentu mengadakan deferensiasi membentuk kambium sebagai kelanjutan dari kambium batang atas dan batang bawah yang lama. Pada akhirnya terbentuk jaringan/pembuluh dari kambium yang baru sehingga proses translokasi hara dari batang bawah ke batang atas dan sebaliknya dapat berlangsung kembali.

Agar proses pertautan dapat berlanjut, sela atau jaringan meristem antara daerah potongan harus terjadi kontak untuk menjalin secara sempurna, Ashari (1995) mengemukakan bahwa hal ini hanya mungkin jika kedua jenis tanaman cocok (kompatibel) dan irisan luka rata, serta pengikatan sambungan tidak terlalu lemah dan tidak terlalu kuat, sehingga tidak terjadi kerusakan jaringan.

Dalam melakukan grafting atau budding, perlu diperhatikan polaritas batang atas dan batang bawah. Untuk batang atas bagian dasar entris atau mata tunas harus disambungkan dengan bagian atas batang bawah. Jika posisi ini terbalik, sambungan tidak akan berhasil baik karena fungsi xylem sebagai penghantar hara dari tanah maupun floem sebagai penghantar asimilat dari daun akan terbalik arahnya (Ashari, 1995).

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penyambungan adalah kompabilitas. Pengertian kompabilitas merupakan kemampuan dua jenis tanaman yang disambung untuk menjadi tanaman baru. Bahan tanaman yang disambung akan menghasilkan persentase kompabilitas yang tinggi jika dalam satu spesies atau satu klon, atau bahkan satu famili, tergantung jenis tanaman masing-masing (Ashari, 1995).

Menurut Hartmann et al.(1997) inkompatibilitas antara jenis tanaman yang disambung dapat dilihat dari kriteria sebagai berikut :

1. Tingkat keberhasilan sambungan rendah

2. Pada tanaman yang sudah berhasil tumbuh, terlihat daunnya menguning, rontok dan mati tunas

3. Mati muda pada bibit sambungan

4. Terdapat perbedaan laju tumbuh antara batang bawah dan batang atas 5. Terjadinya pertumbuhan berlebihan baik batang atas maupun batang bawah


(28)

14

2.2.4 Pengaruh batang bawah terhadap batang atas

Menurut Ashari (1995) pengaruh batang bawah terhadap batang atas antara lain (1) mengontrol kecepatan tumbuh batang atas dan bentuk tajuknya, (2) mengontrol pembungaan, jumlah tunas dan hasil batang atas, (3) mengontrol ukuran buah, kualitas dan kemasakan buah, dan (4) resistensi terhadap hama dan penyakit tanaman. Pengaruh batang bawah terhadap batang atas juga sangat nyata. Namun pada umumnya efek tersebut timbal balik sebagaimana pengaruh batang bawah terhadap batang atas.

2.2.5 Perbanyakan batang bawah

Batang bawah ada yang berasal dari semai generatif dan dari tanaman vegetatif (klon). Batang bawah asal biji (semai) lebih menguntungkan dalam jumlah, umumnya tidak membawa virus dari pohon induknya dan sistem perakarannya bagus. Kelemahannya yaitu secara genetik tidak seragam. Variasi genetik ini dapat mempengaruhi penampilan tanaman batang atas setelah ditanam. Oleh karena itu perlu dilakukan seleksi secermat mungkin terhadap batang bawah asal biji (Ashari, 1995).

2.2.6 Aplikasi teknik grafting pada tanaman kehutanan

Secara meluas sambungan dan okulasi (budding) dipakai oleh ahli-ahli holtikultur untuk membiakkan pohon buah-buahan dan tanaman hias, sebab stek dari beberapa jenis tertentu tidak berakar dengan baik dan juga bijinya kurang mempunyai sifat yang baik. Ahli-ahli kehutanan lambat sekali memakai metoda ini secara intensif, tetapi sekarang cara penyambungan telah mulai menjadi alat yang penting dalam program pemuliaan pohon hutan.

Grafting secara luas dipakai dalam pembuatan kebun benih dan untuk keperluan lainnya. Menurut Loekito Darjadi dalam Husaeni (1970), Balai Penyelidikan Kehutanan memulai penyelidikan pembiakan vegetatif jenis jati pada tahun 1951, untuk pembuatan kebun benih dengan percobaan okulasi di daerah hutan Blitar dan Suradan. Langkah pembuatan kebun benih di Indonesia dimulai oleh Ir. W.G. Van der Kloot. Dengan berhasilnya okulasi jati (80 % di kebun LPPK dan 60 % di lapangan) meyakinkan untuk berhasilnya okulasi jati


(29)

15

secara besar-besaran. Untuk jenis pinus sambungan paling banyak dipakai untuk mengembangkan klon. Percobaan dengan bootle grafting telah berhasil memuaskan. Selanjutnya dengan cara bootle grafting LPPK telah memperluas kebun benih Pinus merkusii sampai seluas 10 ha.

Metoda penyambungan dipakai pula untuk membiakkan jenis-jenis pohon untuk keperluan penelitian. Menurut Kramer dan Kozlowski dalam Husaeni (1970) telah mengemukakan bahwa jenis-jenis exotik yang tidak tumbuh baik pada lingkungan yang tersedia, sering dapat ditumbuhkan dengan cara penyambungan dengan stek lokal. Inarching adalah cara yang lebih mudah untuk jenis pinus di daerah semi arid California. Pemakaian teknik budding untuk mengintroduksi bentuk-bentuk pohon unggul ke dalam hutan dan dengan demikian memperbaiki tegakan yang berkualitas rendah.

Ahli-ahli patologi telah menemukan cara sambungan sebagai alat yang berguna dalam mempelajari penyakit pohon. Banyak dari penyakit virus pada pohon dapat dipindahkan dengan cara menyambung dengan pohon yang di infeksi seperti ranting, dahan, batang, bagian kulit atau akar kepada pohon yang sehat. Menurut Kramer dan Kozlowski dalam Husaeni (1970) telah mendapatkan inarching atau bridge grafting sangat berguna dalam menyelamatkan pohon chesnut yang berpenyakit. Sambungan telah pula dipergunakan untuk memproduksi pohon-pohon yang kuat dan tahan terhadap penyakit. Batang pohon peach dapat disambung pada rootstock yang tahan terhadap nematoda.


(30)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Persemaian Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor yang dilakukan pada bulan Juni 2009 hingga bulan September 2009.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah bibit Merbau dengan diameter 4-8 mm yang ditanam dalam polybag sebagai rootstock, sedangkan untuk scion digunakan pohon induk Merbau berumur 10 tahun yang berada di Persemaian Silvikultur. Selain itu juga digunakan alkohol 70% untuk mensterilkan alat grafting.

Peralatan yang digunakan yaitu cutter, kertas koran, kantong plastik bening, plester paralon, sprayer, gunting, higrometer, termometer maksimum minimum, alat tulis, kalkulator, kamera, dan alat penyiram.

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Pemilihan batang bawah (rootstock)

Batang bawah merupakan batang yang berfungsi sebagai batang bagian yang masih memiliki sistem perakaran. Batang bawah ini berasal dari bibit Merbau yang berasal dari biji dan telah berumur sekitar 8-12 bulan atau diameter bahan stock antara 4-8 mm. Bibit yang berasal dari benih ini dimaksudkan supaya perkembangan sistem perakaran lebih kuat dan dalam, karena memiliki akar tunggang, sehingga relatif tahan terhadap kekeringan. Batang bawah yang dipilih mempunyai batang yang lurus, tidak banyak percabangan dan pertumbuhannya baik dan sehat.

3.3.2 Pemilihan batang atas (scion)

Batang atas sambungan berasal dari pohon induk, yaitu pohon yang pertumbuhannya baik, batang lurus, berdiameter besar, tinggi dan bertajuk ramping serta bebas dari hama penyakit. Pohon induk ini berada di Persemaian


(31)

17

Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB. Dari pohon tersebut diambil ranting terminal yang mempunyai panjang sekitar 30 cm sampai 40 cm dengan diameter maksimal 1 cm.

3.3.3 Pelaksanaan sambungan

Metode sambungan yang dipakai adalah dengan metode TopCleft Grafting (Sambungan pucuk dengan metode Cleft) yaitu penyatuan pucuk sebagai calon batang atas dengan batang bawah yang berasal dari anakan, sehingga terbentuk tanaman baru yang mampu saling menyesuaikan diri secara kompleks. Hal ini dimulai dengan pemotongan batang bawah 5 cm sampai 10 cm dari permukaan tanah dengan bidang pemotongan berbentuk huruf V sedalam lebih kurang 1 cm, setelah itu dilakukan pemotongan batang atas dengan panjang 8 cm sampai 10 cm dan bagian pangkal batang atas ini memiliki panjang sama seperti bagian ujung pada batang bawah, yaitu lebih kurang 1 cm.

Batang atas disisipkan ke belahan batang bawah sesuai dengan teknik

grafting masing-masing, sehingga kambium keduanya bisa bertemu. Setelah itu sambungan diikat dengan plester paralon serapat mungkin. Tanaman yang sudah di grafting ini diberi sungkup dari plastik bening dan diikat dengan benang atau tali rafia untuk mengurangi penguapan. Kemudian sungkup plastik tersebut di buka setelah scion bertunas. Sambungan ini dibuka setelah sambungan benar-benar menyatu.

3.3.4 Pemeliharaan

Pemeliharaan yang dilakukan berupa penyiraman, pengaturan suhu dan kelembaban serta penyiangan. Penyiraman dilakukan dua kali setiap harinya yaitu sekitar pukul 07.00 dan pukul 17.00. sedangkan pengaturan suhu dan kelembaban pada saat kondisi suhu dan kelembaban diperkirakan sedang ekstrim yaitu antara pukul 11.00 sampai dengan pukul 15.00. Sedangkan untuk kelembaban udara diatur supaya tetap berada diatas 90%. Untuk itu dilakukan dengan menyemprotkan air serta memberikan naungan paranet 70%. Penyiangan dilakukan untuk menjaga kesehatan tanaman, maka diperlukan pembersihan media tumbuh dari tanaman pengganggu.


(32)

18

3.3.6 Pengamatan

Beberapa parameter yang diamati dan diukur dalam penelitian ini adalah : a. Kesegaran bahan sambungan

Pengamatan terhadap kesegaran bahan sambungan dilakukan setiap minggu selama 10 minggu pengamatan.

Persentase indeks kesegaran bahan sambungan dihitung menggunakan rumus:

Indeks kesegaran = Σ bahan sambungan segar pada akhir penelitian X 100% Σ bahan sambungan pada awal penelitian

b. Keberhasilan sambungan

Persentase keberhasilan sambungan dihitung dengan membandingkan antar jumlah sambungan yang masih segar sampai akhir penelitian dengan jumlah sambungan pada awal penelitian. Pengamatan dilakukan setiap minggu sampai akhir penelitian.

Persentase keberhasilan sambungan dihitung dengan menggunakan rumus:

Persentase keberhasilan = Σ sambungan berhasil pada akhir penelitian X 100% Σ sambungan pada awal penelitian

c. Kerentanan terhadap penyakit

Pengamatan terhadap kerentanan terhadap penyakit dilakukan setiap minggu selama 10 minggu pengamatan. Persentase tanaman yang terserang penyakit dapat dihitung dengan membandingkan jumlah tanaman yang berpenyakit pada akhir penelitian dengan jumlah tanaman pada awal penelitian.

Persentase tanaman terserang penyakit dihitung dengan menggunakan rumus:

Persentase penyakit = Σ tanaman terserang penyakit akhir penelitian X 100% Σ tanaman pada awal penelitian


(33)

19

3.3.7 Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan yang diulang sebanyak 3 kali dan setiap ulangan perlakuan terdiri dari 5 bibit. Dengan demikian terdapat 60 bibit yang di grafting. Bibit yang digunakan sebagai bahan rootstock

berumur 8-12 bulan, sedangkan bahan scion berasal dari pohon induk yang sudah berbuah. Kombinasi perlakuan yang diujicobakan ialah :

A 1 = Rootstock berdiameter antara 4-6 mm A 2 = Rootstock berdiameter antara 6.1-8 mm B 1 = Scion dalam fase dorman

B 2 = Scion dalam fase aktif

Untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diberikan terhadap peubah yang diamati, dilakukan analisis keragaman yang diperoleh dari pengolahan data dengan menggunakan program SPSS. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang berbeda dalam masing-masing perlakuan dilakukan Uji Berganda Duncan pada taraf kepercayaan 95 %.

Yijk = μ + Ai + Bj + (AB)ij + ε ijk

Dimana :

Yijk : Nilai pengamatan karena karena pengaruh bersama dari faktor ukuran diameter taraf ke-i dan faktor jenis scion taraf ke-j serta ulangan ke-k.

μ : Nilai rata-rata umum.

Ai : Pengaruh faktor ukuran diameter taraf ke-i. Bj : Pengaruh faktor jenis scion taraf ke-j.

(AB)ij : Pengaruh interaksi antara ukuran diameter taraf ke-i dan faktor jenis

scion taraf ke-j.

ε ijk : Pengaruh kesalahan percobaan dari ukuran diameter taraf ke-i dan faktor jenis scion taraf ke-j serta ulangan ke-k.


(34)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah keberhasilan sambungan, kerentanan terhadap penyakit, dan kesegaran bahan sambungan. Untuk mengetahui respon pengaruh besar diameter dan fase scion terhadap parameter bibit merbau, maka dilakukan analisis sidik ragam. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang berbeda dalam masing-masing perlakuan maka dilakukan Uji Berganda Duncan. Hasil analisis sidik ragam untuk parameter yang diukur disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam pengaruh besar diameter dan fase

scion terhadap parameter bibit merbau Perlakuan F Hitung Besar Diameter (D) P Fase Scion (S) P Interaksi antara D dan S

P

Persentase Keberhasilan Sambungan

0.111 tn 1.000 tn 0.111 tn

Persentase Ketahanan Penyakit

3.000 tn 0.333 tn 16.333 * Keterangan: tn : tidak nyata; * :nyata : (p<0.05), pada selang kepercayaan 95 %

4.1.1 Keberhasilan sambungan (grafting)

Dari hasil pengamatan selama 10 minggu, Berdasarkan analisis sidik ragam pada Tabel 1, diketahui bahwa perlakuan fase scion dan perlakuan rootstock tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap persen keberhasilan sambungan pada selang kepercayaan 95 %. Hal ini dapat dilihat dari besarnya nilai Fhit yang diperoleh pada selang kepercayaan 95 % (Tabel 1).

Adapun hasil pengamatan selama 10 minggu diketahui bahwa persentase keberhasilan sambungan pada perlakuan A1B1 dan A2B1 sebesar 26.67 %, dimana kedua perlakuan tersebut menggunakan fase scion yang sama yaitu scion

dengan mata tunas dorman. Sedangkan untuk persentase keberhasilan sambungan pada perlakuan A1B2 sebesar 20 % dan A2B2 sebesar 13.33 % yang merupakan perlakuan menggunakan fase scion mata tunas aktif (Gambar 1).


(35)

21

Perbedaan persentase keberhasilan sambungan sampai akhir pengamatan berdasarkan perlakuan yang disajikan pada Gambar 1.

0 5 10 15 20 25 30

A1B1 A1B2 A2B1 A2B2

Pe rla kua n

% k e b e rh a s ila n

Gambar 1 Histogram persen keberhasilan grafting akhir pengamatan.

4.1.2 Kerentanan terhadap penyakit

Berdasarkan analisis sidik ragam diketahui bahwa interaksi perlakuan

rootstock dan perlakuan fase scion memberikan pengaruh nyata terhadap kerentanan terhadap penyakit diketahui Fhit sebesar 16.333 pada selang kepercayaan 95% sehingga perlu dilakukan Uji Berganda Duncan (Tabel 2).

Tabel 2 Uji lanjut Duncan rata-rata persentase kerentanan terhadap penyakit tanaman merbau

Perlakuan Rata-rata persentase penyakit (%)

A1B2 33.33a

A2B1 26.67ab

A2B2 13.33bc

A1B1 0c

Keterangan: huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada selang kepercayaan 95%

Pengaruh batang bawah (rootstock) terhadap persen penyakit pada perlakuan

rootstock diameter 4-6 mm dengan fase scion dorman (A1B1) mempunyai persentase terserang penyakit sebesar 0 %, perlakuan rootstock diameter 4-6 mm dengan fase scion aktif (A1B2) mempunyai persentase terserang penyakit sebesar 26.67 %, perlakuan rootstock diameter 6.1-8 mm dengan fase scion dorman (A2B1) mempunyai persentase terserang penyakit sebesar 33.33 % dan perlakuan


(36)

22

rootstock diameter 6.1-8 mm dengan fase scion aktif (A2B2) mempunyai persentase terserang penyakit sebesar 13.33 % (Tabel 2).

Adapun Gambar 2 merupakan tanaman hasil grafting yang terserang penyakit (jamur) yang menyerang bagian batang yang disambung dan mengakibatkan batang atasnya kering.

(a) (b)

Gambar 2 Tanaman hasil grafting terserang penyakit (jamur)

(a) Tanaman hasil grafting yang kering, (b) adanya hifa pada bagian yang disambung.

4.1.3 Kesegaran bahan sambungan

Pengamatan terhadap kesegaran bahan sambungan dilakukan setiap minggu selama 10 minggu pengamatan. Gambar 3 merupakan grafik kesegaran tanaman merbau selama 10 minggu pengamatan, dimana terlihat adanya penurunan yang signifikan terhadap perlakuan A1B2 dan A2B2 dengan persen kesegaran tanaman sebesar 20 % dan 13.33 %. Sedangkan untuk perlakuan A1B1 dan A2B1 mengalami penurunan yang sama dengan persen kesegaran tanaman sebesar 26.67 % seperti terlihat pada Gambar 3.

Adapun Gambar 4 merupakan hasil grafting tanaman merbau yang berhasil tumbuh selama 10 minggu pengamatan.


(37)

23

0 20 40 60 80 100 120

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

MINGGU

KE-INDE

KS

KE

S

E

GA

RA

N A1B1

A1B2 A2B1 A2B2

Gambar 3 Grafik kesegaran tanaman selama 10 minggu.

(a) (b) Gambar 4 Tanaman merbau hasil grafting

(a) tampak dari depan, (b) tampak dari atas. 4.2 Pembahasan

Berdasarkan analisis sidik ragam pada Tabel 1 diketahui bahwa perlakuan diameter batang bawah (rootstock) dan fase scion tidak berpengaruh nyata terhadap persentase keberhasilan sambungan maupun persentase kerentanan terhadap penyakit. Sedangkan untuk interaksi antara besar diameter dengan fase

scion berpengaruh nyata terhadap persentase kerentanan terhadap penyakit.

Persentase keberhasilan sambungan tidak berpengaruh nyata disebabkan oleh sedikitnya jumlah tanaman yang tumbuh (hasil grafting), dimana rata-rata persen hidup yang berhasil dari semua perlakuan adalah 21.67 %. Hal tersebut


(38)

24

diakibatkan adanya pengaruh bahan tanaman untuk dijadikan scion yang diambil dari pohon induk serta keahlian dalam melakukan penyambungan. Menurut Saptarini et al. (2002) batang atas untuk bahan sambungan diambil dari cabang atau ranting pohon induk yang telah terbukti memiliki sifat-sifat unggul, yaitu telah menghasilkan buah 2-3 musim berturut-turut. Batang atas yang akan digunakan sebagai bibit sambung dipilih dari cabang atau ranting berumur sedang (tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda), memiliki ukuran atau diameter yang sama dengan batang bawah (Wudiyanto 1994).

Menurut Hartman et al. (1997), penggabungan batang atas dan batang bawah dapat terbentuk dengan cara membuat batang atas sedemikian rupa sehingga terjadi hubungan pada lapisan kambium antara batang atas dan batang bawah sehingga menghasilkan sel parenkim yang disebut kalus. Sel-sel parenkim dari batang atas dan batang bawah jalin-menjalin akan tetapi masing-masing sel tidak melebur. Kemudin kalus berdiferensiasi membentuk kambium baru yang mengkait dengan kambium asli. Sel-sel parenkim baru membentuk jaringan vaskular baru yaitu xylem dan floem sekunder. Sel-sel parenkim (kalus) memeperbanyak diri dalam 1-7 hari, parenkim tersebut berasal dari sel pembuluh tapis dan xylem muda, lapisan kambium hanya berperan kecil dalam perkembangan awal dari kalus.

Faktor-faktor yang menentukan keberhasilan sambungan adalah inkompatibilitas spesies tanaman yang digunakan, teknik grafting yang dilakukan, kondisi lingkungan yaitu kelembaban dan suhu udara, aktifitas batang bawah, pelaksanaan sambungan, penyakit, zat pengatur tumbuh dan terbentuknya kalus pada penyambungan. Selain itu faktor yang menunjang keberhasilan sambungan adalah adanya keseimbangan tertentu antara karbohidrat, nitrogen, kofaktor yang dapat mempercepat proses penyembuhan luka, auksin, dan umur batang yang digunakan (Hartman et al. 1997).

Tanaman hasil grafting yang masih hidup atau berhasil dapat dilihat dengan ciri-ciri daun dari scion masih berwarna hijau dan segar, pada bagian batang tidak mengalami perubahan warna menjadi cokelat atau hitam. Berdasarkan hasil pengamatan (Gambar 1) diketahui bahwa rata-rata persentase keberhasilan sambungan sampai akhir pengamatan (10 minggu setelah melakukan sambungan)


(39)

25

sebesar 21.67 %. Pada perlakuan sambungan dengan ukuran diameter rootstock 4-6 mm dan fase scion dengan mata tunas dorman mempunyai persen keberhasilan sebesar (A1B1) 26.67 %, ukuran diameter batang bawah 4-6 mm dan fase scion

dengan mata tunas aktif (A1B2) sebesar 20 %, ukuran diameter batang bawah 6.1-8 mm dan dan fase scion dengan mata tunas dorman (A2B1) sebesar 26.67 %, ukuran diameter batang bawah 6.1-8 mm dan dan fase scion dengan mata tunas aktif (A2B2) sebesar 13.33 %.

Perbedaan persentase keberhasilan ini disebabkan oleh kemampuan tanaman untuk melakukan penyambungan yang berbeda-beda serta keahlian dalam melakukan penyambungan. Tanaman yang mempunyai kompatibilitas antara batang bawah dan scion yang tinggi akan lebih mudah melakukan penyambungan (Hartman et al 1997). Dalam hal ini berdasarkan rata-rata persen keberhasilan sambungan, untuk perlakuan batang bawah (rootstock) dan scion pada perlakuan A1B1 dan A2B1 lebih bersifat kompatibel dibandingkan dengan perlakuan A1B2 dan A2B2.

Hasil yang berbeda dari penelitian yang telah dilakukan, menurut Harimurti 2008 penelitian grafting pada tanaman damar (Agathis loranthifolia) memiliki rata-rata persentase keberhasilan sambungan sebesar 70.83 %, dimana faktor scion

berpengaruh nyata terhadap keberhasilan sambungan. Hal tersebut disebabkan oleh pengambilan bahan scion serta pemilihan fase scion dorman untuk tanaman damar lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan tanaman merbau. Dalam penelitiannya, jenis scion dalam fase dorman mempunyai persen keberhasilan lebih tinggi dibandingkan dengan scion pada fase aktif.

Kemudian uji lanjut duncan untuk rata-rata persentase kerentanan terhadap penyakit pada Tabel 2 diketahui bahwa antara perlakuan A1B2 dan A2B2, serta perlakuan A2B1 dan A1B1 menunjukkan pengaruh yang berberbeda nyata pada selang kepercayaan 95 %. Hal ini berarti keberhasilan sambungan pada penelitian ini sangat dipengaruhi oleh adanya kerentanan terhadap penyakit yang disebabkan oleh adanya interaksi antara kedua perlakuan tersebut (batang bawah dan fase

scion), dimana besarnya nilai peluang pada interaksi perlakuan batang bawah (rootstock) dengan fase scion tersebut berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95 % dan nilai peluangnya lebih kecil dari 0.05 yaitu 0.004.


(40)

26

Gejala yang timbul pada tanaman yang terserang penyakit yaitu tanaman yang digrafting menjadi kering akibat terkena jamur pada bagian batang yang disambung. Terlihat adanya bercak hitam dan hifa yang menempel pada sambungan plester paralonya dan bagian batang yang disambung berwarna kecokelatan atau hitam. Hal tersebut diakibatkan ketika dalam proses menyambung, terdapat celah diantara batang bawah dengan batang atas sehingga memungkinkan terserang penyakit dan bagian batang yang dilukai terkontaminasi alat grafting. Akibatnya tanaman yang disambung rentan terserang hama penyakit.

Tanaman-tanaman yang terserang penyakit ini dapat disebabkan oleh berbagai hal yaitu kesterilan alat bahan grafting, oleh karena itu kondisi alat dan bahan harus dijaga kesterilannya agar mendapatkan hasil yang maksimal. Hal yang dapat dilakukan untuk menjaga kesterilan alat dan bahan yaitu membersihkan alat dengan alkohol 70 % serta membersihkan bahan grafting

menggunakan air bersih.

Batang bawah atau rootstock merupakan bagian bawah dari tanaman hasil

grafting yang nantinya akan berkembang menjadi akar untuk tanaman baru. Batang bawah yang hendaknya memiliki sifat : 1) Mempunyai daya adaptasi yang luas terhadap sifat tanah yang jelek, tahan terhadap serangan hama dan penyakit. 2) Mempunyai batang yang kuat serta mempunyai kecepatan tumbuh yang sesuai dengan batang atas, agar dapat hidup bersama (Hartman dan Kester 1978). Batang bawah atau rootstock yang terserang penyakit ini memiliki ciri antara lain : mata tunas scion berjamur, mata tunas scion berwarna hitam, batang scion berjamur, sambungan berjamur dan batang scion berwarna kecokelatan dan kering (Gambar 2). Menurut Semangum (1994) dalam Harimurti (2008), hama dan penyakit yang sering menyerang tanaman grafting yaitu Trips (Thrips tabacci) dan kutu putih (Pseudococcuslapellegi). Trips dan kutu putih banyak menyerang pucuk tanaman dan flush yang baru muncul.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama 10 minggu, tanaman hasil sambungan yang berdiameter batang bawah antara 4-6 mm terserang penyakit sebanyak 4 tanaman, sedangkan tanaman hasil sambungan dengan ukuran diameter 6.1-8 mm terserang penyakit sebanyak 7 tanaman. Oleh karena itu, diketahui bahwa rata-rata persentase tanaman terserang penyakit pada batang


(41)

27

bawah atau rootstock berdiameter 4-6 mm sebesar 13.34 %, sedangkan tanaman yang berdiameter 6.1-8 mm rata-rata persentase tanaman terserang penyakit sebesar 23.33 %. Secara keseluruhan rata-rata persentase tanaman hasil sambungan yang terkena penyakit yaitu sebesar 18.34 %.

Persen keberhasilan dan pecahnya mata tunas pada perlakuan fase scion

diduga sangat dipengaruhi oleh kandungan cadangan makanan yang terkandung dalam tanaman (scion) serta kompatibilitas tanaman. Rifa’i (2003) menyatakan bahwa munculnya flush dan pecahnya mata tunas dapat terjadi karena cadangan karbohidrat yang cukup dalam batang atas atau scion. Selain itu juga, fase perkembangan dalam mata tunas itu sendiri. Mata tunas dalam fase aktif mempunyai kecenderungan untuk melakukan pembelahan sel yang lebih dibandingkan mata tunas dorman.

Menurut Rochiman dan Harjadi (1973), tanaman yang diambil untuk batang atas sebaiknya: 1) Diambil dari pohon yang kuat serta bebas dari keabnormalan tumbuh dan hama penyakit. 2) Diambil dari batang yang lurus serta berdiameter kurang lebih dari 1 cm bila untuk budding dan berupa batang yang lurus pula bila untuk grafting. 3) Berasal dari tanaman yang telah dewasa (menghasilkan buah atau berbunga) serta berkualitas tinggi dengan sifat-sifat yang diinginkan. Hartman dan Kester (1978) menyatakan bahwa, scion atau batang atas merupakan suatu bagian kecil dari tanaman lain yang terdiri beberapa titik tumbuh yang dorman dimana ketika disambungkan dengan rootstock akan menjadi bagian atas dari individu baru hasil sambungan yang akan tumbuh menjadi batang, cabang, dan daun.

Hartman dan Kester (1978) mengemukakan lima hal penting yang menentukan keberhasilan sambungan, yaitu:

a. Kompatibilitas (kesesuaian) antara batang bawah dan bahan sambungan dan kemampuannya menyatukan diri

b. Daerah kambium dari batang bawah dan bahan sambungan harus saling menempel sehingga memungkinkan terjadinya kontak langsung

c. Pelaksanaan sambungan harus dilaksanakan pada saat batang bawah dan bahan sambungan berada dalam kondisi fisiologis yang layak


(42)

28

d. Segera setelah pelaksanaan sambungan selesai semua permukaan luka/ potongan harus dilindungi dari kekeringan. Hal ini dapat dilakukan dengan memberi penutup kain, menutupnya dengan lilin atau meletakkan tanaman di tempat lembab

e. Diperlukan pemeliharaan selama periode waktu tertentu, guna mencegah kerusakan sambungan

Umumnya tanaman yang mempunyai hubungan secara botani yang dekat, akan memberikan kemungkinan berhasilnya sambungan. Tetapi hal ini tidak selamanya demikian karena klasifikasi botani didasarkan pada sifat-sifat reproduksinya, sedangkan penyambungan berhubungan dengan sifat-sifat vegetatif dari tanaman (Rochiman dan Harjadi, 1973). Secara keseluruhan hasil sambungan mempunyai persen keberhasilan kurang baik yaitu 21.67 %. Hal ini disebabkan oleh pengaruh pemilihan batang atas atau scion yang diambil dari pohon induknya serta kurang baiknya dalam melakukan teknik penyambungan. Teknik penyambungan ini berpengaruh terhadap keberhasilan sambungan, dimana akan mempengaruhi proses terjadinya pertautan antara batang atas dan batang bawah pada sambungan yang menentukan berhasil atau tidaknya suatu sambungan.

Menurut Hartman et al. (1997), Proses pertautan sambungan diawali dengan terbentuknya lapisan nekrotik, pada permukaan sambungan yang membantu menyatukan jaringan sambungan terutama didekat berkas vaskular. Pemulihan luka dilakukan oleh sel-sel meristematik yang terbentuk antara jaringan yang tidak terluka dengan lapisan nekrotik. Lapisan nekrotik ini kemudian menghilang dan digantikan oleh kalus yang dihasilkan oleh sel-sel parenkim. Sel-sel parenkim batang atas dan batang bawah masing-masing mengadakan kontak langsung, saling menyatu dan membaur. Sel parenkim tertentu mengadakan deferensiasi meembentuk kambium sebagai kelanjutan dari kambium batang atas dan batang bawah yang lama. Pada akhirnya terbentuk jaringan/pembuluh dari kambium yang baru sehingga proses translokasi hara dari batang bawah ke batang atas dan sebaliknya dapat berlangsung kembali (Ashari, 1995).

Menurut Rifa’i (2003), rata-rata pembentukan kalus tanaman grafting yaitu pada umur 4 minggu setelah melakukan sambungan dan kemudian pada umur 8


(43)

29

minggu setelah melakukan sambungan kalus-kalus tersebut telah berdiferensiasi membentuk kambium baru dan bersatu dengan kambium asli scion dan rootstock,

floem dan xylem sekunder muda telah terbentuk sehingga proses fisiologi tanaman dapat berlangsung dengan baik. Kambium merupakan jaringan tanaman yang terletak diantara kulit dan kayu. Sel-selnya bersifat meristematik, artinya mampu membelah diri dan membentuk sel baru. Apabila pertemuan kambium dari batang atas dan batang bawah dalam penyambungan semakin banyak, maka penyambungan yang dilakukan akan semakin berhasil (Hartman et al. 1997).

Kesegaran tanaman yang diamati selama 10 minggu cenderung mengalami penurunan. Tanaman hasil sambungan yang mempunyai tingkat kesegaran yang tinggi yaitu pada perlakuan jenis scion dalam fase dorman. Grafik kesegaran tanaman selama 10 minggu disajikan pada Gambar 3.

Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat bahwa perlakuan A1B1 dan A2B1 mengalami penurunan tingkat kesegaran hingga 26.67 %. Sedangkan perlakuan A1B2 dan A2B2 masing-masing mengalami penurunan tingkat kesegaran hingga 20 % dan 13.33 %. Perlakuan A1B1 dan A2B1 merupakan perlakuan tanaman yang menggunakan jenis scion dalam fase dorman. Hal ini menunjukkan bahwa jenis scion dalam fase dorman memberikan pengaruh positif terhadap kesegaran tanaman serta keberhasilan sambungan.

Pada Gambar 3 diketahui bahwa pada minggu kelima terjadi penurunan yang signifikan terhadap perlakuan A1B2 dan A2B2. Penurunan tingkat kesegaran ini disebabkan oleh kondisi cuaca, dimana penelitian ini dilakukan pada saat musim kemarau dan keseimbangan suhu mengalami penurunan dan peningkatan yang signifikan, sehingga tanaman hasil sambungan mengalami stres air meskipun dilakukan penyiraman sebanyak 3 kali dalam satu hari dan dilakukan pengaturan suhu dan kelembaban menggunakan higrometer, tetap saja tanaman ada yang mengalami kekeringan dan terkena jamur. Menurut Hartman dan Kester (1978), suhu optimal untuk perkembangan kalus suatu tanaman dalam melakukan sambungan yaitu 80-90ºF atau 26.5-32ºC. Oleh karena itu, perlu dilakukannya pengaturan suhu di tempat menyimpannya tanaman hasil sambungan, agar kelembaban terjaga.


(44)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pengamatan, hasil analisis dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Tanaman merbau (Intsia bijuga [Colebr.] O.K.) dapat dikembangbiakkan secara vegetatif dengan metode grafting, namun persen keberhasilan grafting

masih rendah (20 % sampai 30 %).

2. Besarnya ukuran diameter bahan rootstock (4-8 mm) tidak berpengaruh nyata terhadap persen keberhasilan grafting dan ketahanan penyakit tanaman merbau.

3. Kondisi scion pada fase dorman maupun aktif tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat keberhasilan grafting tanaman merbau.

5.2 Saran

1. Perlunya optimasi teknik grafting untuk meningkatkan keberhasilan dan menurunkan serangan penyakit.

2. Perlunya dibangun kebun benih klonal atau kebun pangkas untuk menjamin bahan scion yang berkualitas sehingga terjamin keberlangsungan grafting. 3. Penelitian anatomi bidang penyambungan pada hasil grafting perlu dilakukan


(45)

DAFTAR PUSTAKA

Ashari S. 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. Jakarta : UI Press.

Darmawan J, Baharsjah J. 1983. Dasar-dasar Fisiologi Tanaman. Semarang : PT. Suryandaru Utama.

Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. 2001. Informasi Singkat Benih. Bandung : Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan.

Harahap RMS. 1972. Percobaan Orientasi Vegetatif Beberapa Jenis Pohon. Laporan LPH No.155. Bogor : Lembaga Penelitian Hutan.

Harimurti D. 2008. Studi pembiakan vegetatif pada Agathis loranthifolia

Salisb.melalui grafting. [Skripsi]. Fakultas Kehutanan. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Hartman HT, Kester DE. 1978. Plant Propagation Principle and Practice. Second edition. New Jersey : Pentice Hall. Inc. Englewood.

Hartman HT, Kester DE. 1983. Plant Propagation Principle and Practice. Fourth edition. New Jersey : Pentice Hall. Inc. Englewood.

Hartman HT, Kester DE, Davies FT, Geneve RL. 1997. Plant Propagation Principle and Practice. Sixth edition. New Jersey : Pentice Hall. Inc. Englewood.

Husaeni EA. 1970. Pembiakan vegetatif dalam bidang kehutanan. [Skripsi]. Fakultas Kehutanan. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Kurniawan D. 2008. Perngaruh kualitas kayu gergajian, cara pemupukan, dan proses pengeringan terhadap mutu kayu merbau (instia bijuga O.Ktze.), matoa (Pometia pinnata Forst.), dan Bakata (Trichadenia philippinensis Merr.) (Studi kasus di PT Henrison Iriana Arar Sorong, Papua). [Skripsi]. Fakultas Kehutanan. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Mahlstede JP, Heber ES. 1957. Plant Propagation. New York : John wiley and Sons, Inc.

Malau A. 1995. Pengujian epikasi ekstrak kayu merbau (instia bijuga O.Ktze.) terhadap rayap kayu kering (Ryptotermes cynocephalus Light.). [Skripsi]. Fakultas Kehutanan. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Martawijaya A, Kartasujana I, Mandang YI, Prawira SA, Kadir K. 1989. Atlas Kayu Indonesia. Jilid II. Bogor : Lembaga Penelitian Hutan.


(46)

32

Rifa’i F. 2003. Pengaruh batang bawah dan jenis bibit serta studi anatomi bidang penyambungan pada bibit grafting Duku (Lansiumdomesticum corr.). [Skripsi]. Fakultas Pertanian. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Rinaldo. 2007. Studi pembiakan vegetatif pada Agathis loranthifolia Salisb. melalui stek pucuk. [Skripsi]. Fakultas Kehutanan. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Rochiman K, Harjadi SS. 1973. Pembiakan Vegetatif. Bogor : Departemen Agronomi Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Saptarini N, widayati E, Sari L, Sarwono B. 2002. Membuat Tanaman Cepat Berbuah. Jakarta : Penebar Swadaya.

Soerianegara I, Djamhuri E. 1979. Pemuliaan Pohon Hutan. Bogor : Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Supriyanto. 1997. Teknik Tanaman Stek Pucuk Aspek Fisiologis. Materi Pelatihan Stek Pucuk di Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Serang.

Sutisna U, Kalima T, Purnadjaja. 1998. Pedoman Pengenalan Pohon Hutan di Indonesia. N Wulijarni, Seotjipto, Soekotjo, editor. Bogor : Yayasan PROSEA Bogor dan Pusat Diklat Pegawai dan Sumber Daya Manusia Kehutanan.

Wudiyanto R. 1994. Membuat Stek, Cangkok, dan Okulasi. Jakarta : Penebar Swadaya.


(47)

(48)

34

Lampiran 1 Rekapitulasi hasil pengamatan tanaman grafting merbau Pengamatan

(Minggu)

Perlakuan

A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

1 MP 1 1 1 2

GD 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1

BJ 1

2 MP 1 1 1 1 1 2 1 1

BK 1 2

BJ 1 1 1

3 MP 1 2 1 1

BJ 1 2 1 1 3 1 2 1

BK 1 1 1 3

MTJ 1 1 2

4 BK 3 1 1 2

BJ 1 1 1

MP 1

5 BK 2 1

SB 1 1

MTJ 1

BJ 1 1

MP 1

6 BK 1 1 1

SB 1

7 BJ 1

BK 2 1 1 1

SB 1 1

MP 1

8 SB 1 1

BK 1

9 -

10 -

Ket : Perlakuan A1B1 : Diameter 4-6 mm dan Mata Tunas Scion Dorman Perlakuan A1B2 : Diameter 4-6 mm dan Mata Tunas Scion Aktif Perlakuan A2B1 : Diameter 6.1-8 mm dan Mata Tunas Scion Dorman Perlakuan A2B2 : Diameter 4-6 mm dan Mata Tunas Scion Aktif MP : Mata Tunas Pecah (bertunas)

GD : Gugur Daun

MTJ : Mata Tunas Berjamur BJ : Batang Scion Berjamur

BK : Batang Scion Kering SB : Sambungan Berjamur Tanaman grafting merbau hidup : 13 Tanaman grafting merbau mati : 3

Tanaman grafting merbau kering, berjamur dan merana : 44 NB : Pengamatan Dilakukan per Minggu


(49)

Lampiran 2 Pengamatan kesegaran tanaman Pengamatan

Per minggu (%)

Perlakuan

A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 1 2 3 Rata-

rata

1 2 3 Rata- rata

1 2 3 Rata- rata

1 2 3 Rata- rata 1 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 2 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 3 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 4 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 5 100 100 100 100 50 100 100 83.33 100 100 100 100 50 100 75 75 6 50 75 75 66.67 25 50 50 41.67 75 75 50 66.67 0 50 20 23.33 7 25 75 75 58.33 25 50 50 41.67 75 75 0 50 0 20 20 23.33 8 0 40 40 26.67 20 20 20 20 40 40 0 26.67 0 20 20 13.33 9 0 40 40 26.67 20 20 20 20 40 40 0 26.67 0 20 20 13.33 10 0 40 40 26.67 20 20 20 20 40 40 0 26.67 0 20 20 13.33

Lampiran 3 Pengaruh batang bawah terhadap ketahanan penyakit Tanda-tanda penyakit

Diameter batang bawah (rootstock) 4-6 mm 6.1-8 mm Mata Tunas Berjamur 0 2

Sambungan Berjamur 1 3


(50)

  36

Lampiran 4 Pengolahan data

Analisis sidik ragam pengaruh diameter dan jenis fase scion terhadap keberhasilan sambungan

Analisis Ragam Univariasi Antara Faktor Subjek

N Diameter 1 6 2 6 Scion 1 6 2 6

Statistik Deskripsi Peubah tak bebas: persenhidup

Diameter Scion Mean

Std.

Deviation N 1 1 26.6667 23.09401 3 2 20.0000 0.00000 3 Total 23.3333 15.05545 6 2 1 26.6667 23.09401 3 2 13.3333 11.54701 3 Total 20.0000 17.88854 6 Total 1 26.6667 20.65591 6 2 16.6667 8.16497 6 Total 21.6667 15.85923 12


(51)

  37

Uji Levene dari Persamaan Ragam error Peubah tak bebas: persenhidup

F df1 df2 Sig. 6.519 3 8 0.015 Uji hipotesis nol yang ragam error dari peubah tak bebas adalah sama dengan kelompok bertaut.

a. Persamaan: Intercept + Diameter + Scion + Diameter * Scion

Uji Antara Pengaruh Subjek

Peubah tak bebas: persenhidup

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 366.667a 3 122.222 0.407 0.752

Intercept 5633.333 1 5633.333 18.778 0.003 Diameter 33.333 1 33.333 0.111 0.747 Scion 300.000 1 300.000 1.000 0.347 Diameter * Scion 33.333 1 33.333 0.111 0.747

Error 2400.000 8 300.000 Total 8400.000 12

Corrected Total 2766.667 11 a. R Squared = ,133 (Adjusted R Squared = -,193)

Rataan Marginal yang Diharapkan Grand Mean Peubah tak bebas: persenhidup

Mean Std. Error

95% Confidence Interval Lower

Bound Upper Bound 21.667 5.000 10.137 33.197


(52)

  38

Analisis sidik ragam pengaruh diameter dan jenis fase scion terhadap ketahanan penyakit

Analisis Ragam Univariasi Antara Faktor Subjek

N Diameter 1 6 2 6 Scion 1 6 2 6

Statistik Deskripsi Peubah tak bebas: persenpenyakit

Diameter Scion Mean

Std.

Deviation N 1 1 0.0000 0.00000 3 2 1.3333 0.57735 3 Total 0.6667 0.81650 6 2 1 1.6667 0.57735 3 2 0.6667 0.57735 3 Total 1.1667 0.75277 6 Total 1 0.8333 0.98319 6 2 1.0000 0.63246 6 Total 0.9167 0.79296 12


(53)

  39

Uji Levene dari Persamaan Ragam error Peubah tak bebas: persenpenyakit

F df1 df2 Sig. 5.333 3 8 0.026 Uji hipotesis nol yang ragam error dari peubah tak bebas adalah sama dengan kelompok bertaut.

a. Persamaan: Intercept + Diameter + Scion + Diameter * Scion

Uji Antara Pengaruh Subjek Peubah tak bebas: persenpenyakit

Source

Type III Sum

of Squares df

Mean

Square F Sig. Corrected Model 4.917a 3 1.639 6.556 0.015

Intercept 10.083 1 10.083 40.333 0.000 Diameter 0.750 1 0.750 3.000 0.122 Scion 0.083 1 0.083 0.333 0.580 Diameter * Scion 4.083 1 4.083 16.333 0.004

Error 2.000 8 0.250 Total 17.000 12

Corrected Total 6.917 11

a. R Squared = ,711 (Adjusted R Squared = ,602)

Rataan Marginal yang Diharapkan Grand Mean Peubah tak bebas: persenpenyakit

Mean Std. Error

95% Confidence Interval Lower

Bound Upper Bound 0.917 0.144 0.584 1.250


(1)

34

Lampiran 1 Rekapitulasi hasil pengamatan tanaman grafting merbau Pengamatan

(Minggu)

Perlakuan

A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

1 MP 1 1 1 2

GD 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1

BJ 1

2 MP 1 1 1 1 1 2 1 1

BK 1 2

BJ 1 1 1

3 MP 1 2 1 1

BJ 1 2 1 1 3 1 2 1

BK 1 1 1 3

MTJ 1 1 2

4 BK 3 1 1 2

BJ 1 1 1

MP 1

5 BK 2 1

SB 1 1

MTJ 1

BJ 1 1

MP 1

6 BK 1 1 1

SB 1

7 BJ 1

BK 2 1 1 1

SB 1 1

MP 1

8 SB 1 1

BK 1

9 -

10 -

Ket : Perlakuan A1B1 : Diameter 4-6 mm dan Mata Tunas Scion Dorman Perlakuan A1B2 : Diameter 4-6 mm dan Mata Tunas Scion Aktif Perlakuan A2B1 : Diameter 6.1-8 mm dan Mata Tunas Scion Dorman Perlakuan A2B2 : Diameter 4-6 mm dan Mata Tunas Scion Aktif MP : Mata Tunas Pecah (bertunas)

GD : Gugur Daun

MTJ : Mata Tunas Berjamur

BJ : Batang Scion Berjamur

BK : Batang Scion Kering SB : Sambungan Berjamur Tanaman grafting merbau hidup : 13 Tanaman grafting merbau mati : 3

Tanaman grafting merbau kering, berjamur dan merana : 44 NB : Pengamatan Dilakukan per Minggu


(2)

(%) 1 2 3 Rata- rata

1 2 3 Rata-

rata

1 2 3 Rata-

rata

1 2 3 Rata-

rata 1 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 2 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 3 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 4 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 5 100 100 100 100 50 100 100 83.33 100 100 100 100 50 100 75 75 6 50 75 75 66.67 25 50 50 41.67 75 75 50 66.67 0 50 20 23.33 7 25 75 75 58.33 25 50 50 41.67 75 75 0 50 0 20 20 23.33 8 0 40 40 26.67 20 20 20 20 40 40 0 26.67 0 20 20 13.33 9 0 40 40 26.67 20 20 20 20 40 40 0 26.67 0 20 20 13.33 10 0 40 40 26.67 20 20 20 20 40 40 0 26.67 0 20 20 13.33

Lampiran 3 Pengaruh batang bawah terhadap ketahanan penyakit Tanda-tanda penyakit

Diameter batang bawah (rootstock)

4-6 mm 6.1-8 mm

Mata Tunas Berjamur 0 2

Sambungan Berjamur 1 3


(3)

  36

Lampiran 4 Pengolahan data

Analisis sidik ragam pengaruh diameter dan jenis fase scion terhadap keberhasilan sambungan

Analisis Ragam Univariasi Antara Faktor Subjek

N Diameter 1 6

2 6

Scion 1 6

2 6

Statistik Deskripsi Peubah tak bebas: persenhidup

Diameter Scion Mean

Std.

Deviation N 1 1 26.6667 23.09401 3 2 20.0000 0.00000 3 Total 23.3333 15.05545 6 2 1 26.6667 23.09401 3 2 13.3333 11.54701 3 Total 20.0000 17.88854 6 Total 1 26.6667 20.65591 6 2 16.6667 8.16497 6 Total 21.6667 15.85923 12


(4)

Uji Levene dari Persamaan Ragam error Peubah tak bebas: persenhidup

F df1 df2 Sig.

6.519 3 8 0.015

Uji hipotesis nol yang ragam error dari peubah tak bebas adalah sama dengan kelompok bertaut.

a. Persamaan: Intercept + Diameter + Scion + Diameter * Scion

Uji Antara Pengaruh Subjek Peubah tak bebas: persenhidup

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 366.667a 3 122.222 0.407 0.752

Intercept 5633.333 1 5633.333 18.778 0.003 Diameter 33.333 1 33.333 0.111 0.747 Scion 300.000 1 300.000 1.000 0.347 Diameter * Scion 33.333 1 33.333 0.111 0.747

Error 2400.000 8 300.000 Total 8400.000 12

Corrected Total 2766.667 11 a. R Squared = ,133 (Adjusted R Squared = -,193)

Rataan Marginal yang Diharapkan Grand Mean Peubah tak bebas: persenhidup

Mean Std. Error

95% Confidence Interval Lower

Bound Upper Bound 21.667 5.000 10.137 33.197


(5)

  38

Analisis sidik ragam pengaruh diameter dan jenis fase scion terhadap ketahanan penyakit

Analisis Ragam Univariasi Antara Faktor Subjek

N Diameter 1 6

2 6

Scion 1 6

2 6

Statistik Deskripsi Peubah tak bebas: persenpenyakit

Diameter Scion Mean

Std.

Deviation N 1 1 0.0000 0.00000 3 2 1.3333 0.57735 3 Total 0.6667 0.81650 6 2 1 1.6667 0.57735 3 2 0.6667 0.57735 3 Total 1.1667 0.75277 6 Total 1 0.8333 0.98319 6 2 1.0000 0.63246 6 Total 0.9167 0.79296 12


(6)

Uji Levene dari Persamaan Ragam error Peubah tak bebas: persenpenyakit

F df1 df2 Sig.

5.333 3 8 0.026

Uji hipotesis nol yang ragam error dari peubah tak bebas adalah sama dengan kelompok bertaut.

a. Persamaan: Intercept + Diameter + Scion + Diameter * Scion

Uji Antara Pengaruh Subjek Peubah tak bebas: persenpenyakit

Source

Type III Sum

of Squares df

Mean

Square F Sig. Corrected Model 4.917a 3 1.639 6.556 0.015

Intercept 10.083 1 10.083 40.333 0.000 Diameter 0.750 1 0.750 3.000 0.122

Scion 0.083 1 0.083 0.333 0.580

Diameter * Scion 4.083 1 4.083 16.333 0.004

Error 2.000 8 0.250

Total 17.000 12 Corrected Total 6.917 11

a. R Squared = ,711 (Adjusted R Squared = ,602)

Rataan Marginal yang Diharapkan Grand Mean Peubah tak bebas: persenpenyakit

Mean Std. Error

95% Confidence Interval Lower

Bound Upper Bound 0.917 0.144 0.584 1.250