ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PENJUALAN VIDEO PORNO (Studi Putusan No. 63/Pid/B/2009/PN.TK)

(1)

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PENJUALAN VIDEO PORNO

(Studi Putusan No. 63/Pid/B/2009/PN.TK) Oleh

NATA PARENSA

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendorong perkembangan masyarakat ke arah kehidupan yang lebih modern, karena penggunaan teknologi selalu mempengaruhi pola pikir dan gaya hidup masyarakat. Suatu teknologi pada dasarnya diciptakan untuk peningkatan kualitas hidup dan mempermudah aktivitas manusia menjadi lebih efektif dan efisien. Teknologi informasi telah banyak dimanfaatkan oleh para konsumen sebagai sarana untuk memperlancar penyampaian informasi, bisnis, dan tidak jarang teknologi tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan yang melanggar hukum yang ada, terutama yang berkaitan dengan pornoaksi dan pornografi. Pelanggaran hukum di bidang pornografi dan pornoaksi diantaranya ditandai dengan kian maraknya peredaran video porno yang penyebarannya tak hanya melalui keping-keping VCD(video compast disc), tetapi kini telah mengalami perkembangan yang semakin canggih, hanya dengan Bluetooth atau download langsung dari internet, sudah bisa mendapatkan video yang di inginkan. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk menulis skripsi dan mengadakan penelitian mengenai “Analisis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Penjualan Video Porno”. Permasalahan yang diajukan dalam skripsi ini adalah Bagaimanakah Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Tindak Penjualan Video Porno dan Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Penjualan Video Porno.

Pendekatan masalah dilakukan berdasarkan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data diperoleh dari studi kepustakaan dan studi lapangan, jenis data berupa data primer data sekunder. Analisis data dilakukan secara kualitatif, yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat khusus, untuk kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum.


(2)

diperoleh kesimpulan sebagai berikut: pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana penjualan video porno yaitu Jamal Saputra bin Muslih mengakui perbuatan yang dilakukannya, menjual video porno karena desakan ekonomi dan ingin memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Dalam hal ini, terdakwa melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Pasal 282 ayat (3) KUHP telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana menyiarkan, mempertunjukan atau menempelkan dimuka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya dan melanggar kesusilaan dengan pidana selama 5 bulan penjara serta, dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana pada pelaku tindak pidana penjualan video porno dalam perkara Nomor 63/Pid/B/2009/PN.TK adalah, terdakwa mengakui terus terang dan menyesali atas perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi, terdakwa masih muda dan belum pernah dihukum, terdakwa sopan dipersidangan, sedangkan keadaan yang memberatkan terdakwa yaitu, perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat serta dapat merusak moral generasi muda. Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana cenderung memperhatikan pada faktor pertimbangan yang bersifat dogmatis, sedangkan pada faktor yang berupa non yuridis kurang diperhatikan dalam pertimbangan hukum sehingga hakim dalam memutus perkara hanya bersifat dogmatis dan hanya memenuhi kepastian hukum, yaitu hanya menerapkan aturan hukum terhadap suatu peristiwa.

Saran dalam penelitian ini adalah bagi hakim, hendaknya dalam menjatuhkan putusan khususnya dalam kasus penjualan video porno selain mempertimbangkan pertimbangan yuridis yang terungkap di persidangan dengan memperhatikan unsur-unsur dalam surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut umum juga harus mempertimbangkan pertimbangan non yuridis yang dilakukan oleh pelaku penjualan video porno terhadap masyarakat sekitar, selain itu juga dalam membuat pertimbangan, hakim seharusnya memperhatikan tuntutan atas dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum agar tidak terjadi kesalahan penerapan hukum.


(3)

(SKRIPSI)

Oleh

Nata Parensa

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(4)

Oleh Nata Parensa

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(5)

No. 63/Pid/B/2009/PN.TK) Nama Mahasiswa : Nata Parensa

No. Pokok Mahasiswa : 0852011158

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Eko Raharjo, S.H., M.H Tri Andrisman, S.H., M.H

NIP 196104061989031003 NIP 196112311989031023

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati M, S.H., M.H NIP 196208171987032003


(6)

1. Tim Penguji

Ketua : Eko Raharjo, S.H., M.H ….…………

Sekertaris/ Anggota : Tri Andrisman, S.H., M.H .………

Penguji Utama : Firganefi, S.H., M.H .………

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP 19621109 198703 1 003


(7)

Penulis dilahirkan di Gisting pada tanggal 18 Maret 1990, putra pasangan dari Hi. Agus Iskandar Pradana Putra, S.H.,M.H dengan Hj. Maryani,S.Pd,M.Pd.

Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

Pendidikan yang ditempuh :

1. TK PTP VII Bandar Lampung;

2. Sekolah Dasar Negeri 2 Labuhan Ratu Bandar Lampung; 3. SMP Al–Kautsar Bandar Lampung;

4. SMA YP UNILA Bandar Lampung.

Pada tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung. Selama perkuliahan penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kecamatan Tulang Bawang Tengah, Desa Menggala Emas, Kabupaten Tulang Bawang Barat.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Lampung, penulis melakukan penelitian dengan judul

“ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP

PELAKU PENJUALAN VIDEO PORNO (Studi Putusan No. 63/Pid/B/2009/PN.TK).”


(8)

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada

kemudahan..

(Q,S Al Insyirah 94 : 5)

Pengetahuan atau Cahaya, memperkaya hangatnya

Kehidupan, Semua dapat mengambil bagian Mereka yang

mencarinya

(Kahlil Gibran)


(9)

Diiringi ucapan terima kasih dan rasa syukur kehadirat Allah SWT yang selalu ada dalam gerak dan langkahku, serta memberikan petunjuk dan kemudahan dalam hidupku.

Ayah Hi. Agus Iskandar Pradana Putra, S.H.,M.H dan Ibu Hj. Maryani,S.Pd,M.Pd. tercinta yang dengan ikhlas merawat, mendidik, dan membesarkanku dengan penuh

kesabaran, serta selalu berdo a untuk keberhasilanku Kedua Adikku Nafiri Firmansyah dan M. Abror Valensi yang selalu mendukungku serta seluruh keluarga besarku

tersayang terima kasih atas do a dan dukungannya

Sahabat-sahabatku tercinta yang selama ini selalu menemani, memberikan dukungan dan do a untuk

keberhasilanku Serta


(10)

Assalamualaikum Wr.Wb.

Puji syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah Swt, karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, kasih sayang, kesehatan jasmani dan rohani, dan rizki halal dari-Nya penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan tepat waktu dan sebaik mungkin.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.Hum., selaku ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung

3. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H., selaku Pembimbing I Skripsi yang telah memberi arahan, dan saran serta motivasi kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini..

4. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., selaku Pembimbing II Skripsi yang telah memberi arahan, saran, dan bimbingan kepada penulis.

5. Ibu Firganefi, S.H, M.H. dan Bapak Ahmad Irzal F, S.H., M.H., selaku Pembahas I dan Pembahas II yang telah memberikan masukan, serta kritik membangun terhadap skripsi ini.

6. Ibu Firganefi, S.H, M.H. selaku Sekertaris bagian hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(11)

berguna selama penulis menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

8. Bapak dan Ibu Karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah banyak membantu kelancaran penulis selama di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

9. Bapak dan Ibu Hakim, Jaksa, Pengacara dan dosen yang telah banyak membantu penulis dalam mengadakan penelitian di wilayah hukum kota Bandar Lampung.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan. Oleh sebab itu, penulis terus mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan skripsi di masa mendatang. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan membawa kebaikan bagi semua pihak.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Bandar Lampung, Mei 2012 Penulis,


(12)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendorong perkembangan masyarakat ke arah kehidupan yang lebih modern, karena penggunaan teknologi selalu mempengaruhi pola pikir dan gaya hidup masyarakat. Suatu teknologi pada dasarnya diciptakan untuk peningkatan kualitas hidup dan mempermudah aktivitas manusia menjadi lebih efektif dan efisien. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa selain memiliki sisi positif, teknologi juga memiliki sisi negatif. Bahkan dalam berbagai kajian penelitian, kemajuan teknologi menunjukkan korelasi yang positif terhadap meningkatnya angka kriminalitas, misalnya dalam penggunaan komputer. Sikap ketergantungan, keteledoran, kekurangpahaman atau kesengajaan dalam menggunakan komputer akan menimbulkan dampak negatif, bilamana tidak diimbangi dengan sikap mental dan sikap tindak positif.

Salah satu hasil kemajuan teknologi informasi yang diciptakan pada akhir abad ke-20 adalah Internet. Teknologi internet membawa manusia pada peradaban baru, dimana terjadi perpindahan realitas kehidupan dari aktivitas nyata ke aktivitas maya (virtual) yang disebut dengan istilah cyberspace. Perkembangan teknologi informasi tidak saja mampu menciptakan dunia global, namun juga telah mengembangkan ruang gerak kehidupan baru bagi masyarakat, yaitu


(13)

kehidupan masyarakat maya (cybercommunity). Cybercommunity adalah sebuah kehidupan masyarakat manusia yang tidak dapat secara langsung diindera melalui penginderaan manusia, namun dapat dirasakan dan disaksikan sebagai sebuah realitas4. Dalam masyarakat maya, metode kehidupannya tidaklah jauh berbeda dengan kehidupan nyata, ada proses sosial, interaksi sosial, kontrol sosial, komunikasi, membangun kebudayaan, bahkan pengembangan sistem kejahatan dan lain-lain.

Teknologi informasi sebagai mana disebutkan di atas telah banyak dimanfaatkan oleh para konsumen sebagai sarana untuk memperlancar penyampaian informasi, bisnis, dan tidak jarang teknologi tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan yang melanggar hukum yang ada, terutama yang berkaitan dengan pornoaksi dan pornografi.

Pelanggaran hukum di bidang pornografi dan pornoaksi diantaranya ditandai dengan kian maraknya peredaran video porno yang penyebarannya tak hanya melalui keping-keping VCD (video compast disc), tetapi kini telah mengalami perkembangan yang semakin canggih, hanya dengan Bluetooth atau download langsung dari internet, sudah bisa mendapatkan video yang di inginkan.

Peredaran video porno di wilayah Bandar Lampung dilakukan dengan cara face to face melalui penawaran secara langsung kepada konsumen yang sebelumnya diobservasi terlebih dahulu apakah calon pembeli mencari video porno atau tidak. (http//:www.detikcom.com22102012).


(14)

Kegiatan yang dilakukan oleh pelaku benar-benar terselubung dan berbagai cara dilakukan untuk mengelabui aparat penegak hukum, dan untuk menyamarkan kegiatan yang dilakukan, maka para penjual selalu mengubah-ubah cara penjualan kepada konsumen, termasuk lokasi penjualannya yang kini lebih terselubung yaitu dilakukan di tempat penjualan telepon genggam. Jika sudah menjadi pelanggan, penjualan dilakukan melalui komunikasi handphone, dan lain-lain. Selain mudah untuk dipasarkan, penjualan video ini cenderung diminati terutama oleh kalangan remaja dan tidak jarang dibeli oleh pasangan keluarga. Jaringan penjualan VCD porno sangat rapi, bahkan ada yang sudah menjadi pelanggan tetap. Konsumen seperti ini biasanya sudah mencapai tahap gandrung dan sudah menjadi kebiasaan buruk bila ditinjau dari aspekpsychologis.

Bila dikaji dari aspek yuridis, fenomena tersebut di atas merupakan perilaku menyimpang yang melanggar hukum negara. Berdasarkan Pasal 282 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dinyatakan :

“Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam ayat 1 sebagai pencarian atau kebiasaan, dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak tujuh puluh ribu rupiah”.

Pasal 282 ayat (1) KUHPidana :

“Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, ataupun barang siapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin, memasukkan ke dalam negeri, meneruskan mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barang siapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkan, atau menunjuk sebagai bisa diperoleh, diancam, jika ada alasan kuat baginya untuk menduga


(15)

bahwa tulisan, gambaran atau benda itu melanggar kesusilaan, dengan pidana paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

Uraian pasal tersebut telah memberikan gambaran bahwa penjualan video porno sebagaimana diuraikan di atas sungguh telah melanggar hukum dan merupakan perbuatan kriminal.

Permasalahan pornografi dan pornoaksi telah dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) yang telah disahkan oleh DPR-RI pada tanggal 30 Oktober 2008. Telah diundangkan ke dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan Pornoaksi. Disamping itu dengan disahkannya RUU tersebut oleh DPR-RI telah mengundang pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia. Pengesahan RUU menjadi UU tersebut dianggap oleh sebagian masyarakat yang kontra sebagai kebijakan yang melanggar hak azasi manusia dan merampas kemerdekaan dalam berekspresi.

Sebenarnya UU Pornografi itu niatnya baik, untuk memerangi pornografi yang memang marak di masyarakat, banyak sudah pemuda berbuat mesum setelah menonton video porno yang dijual bebas, kasus hamil di luar nikah dan aborsi yang akhir-akhir ini dilakukan oleh remaja putri. Lebih mengenaskan lagi, justru perbuatan yang tak pantas dikonsumsi publik itu beredar bebas di masyarakat. Maka dalam hal inilah penulis ingin mengungkap lebih dalam, bagaimana fungsi penegak hukum kita dalam menangani/menghukum pelaku penyebaran video porno seperti dalam Kasus Penjualan Video Porno dengan Studi Putusan No. 63/Pid/B/2009/PN.TK yang dilakukan oleh JAMAL SAPUTRA beralamat di Jalan Tengku Umar Gg. Singa Kedaton telah ditahan sejak tanggal 11 November


(16)

2008 karena terbukti menyiarkan, mempertunjukan, menjual dan melanggar kesusilaan dituntut dengan tuntutan Jaksa selama 8 bulan penjara, potong masa tahanan dan dijatuhkan pidana penjara selama 5 bulan oleh Pengadilan Kelas I.A Tanjung Karang. Semakin sempitnya lapangan pekerjaan, besarnya tingkat pengangguran, dan kebutuhan ekonomi yang terus menjepit, memaksa para penjual video porno ini menghalalkan segala cara untuk mendapatkan rupiah dengan mudah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan alasan-alasan itulah, terkadang para pelaku tindak pidana tersebut menutup mata dan telinga ketika moral anak bangsa perlahan rusak dan menjadi tak beradab, yang lambat laun akan merusak moral bangsa.

Padahal perbuatan pelaku ini dikategorikan kejahatan besar karena sudah merusak moral generasi muda dan tentunya merugikan bagi pihak-pihak orang tua yang anaknya menjadi korban tayangan video yang patutnya bukan untuk konsumsi yang wajar, yang secara moral dan agama dilarang. Untuk itu kiranya Hakim dan Jaksa Penuntut Umum mempunyai pertimbangannya sendiri yang kiranya sesuai dan dapat memberikan efek jera bagi si pelaku.

Berdasarkan hubungan korelatif di atas, penulis menganggap penting untuk mengangkat Permasalahan ini ke dalam sebuah skripsi yang berjudul “Analisis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Penjualan Video Porno”.


(17)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Penjualan Video Porno?

b. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Penjualan Video Porno?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dalam penelitian ini dibatasi pada kajian ilmu hukum pidana dan hukum acara pidana, terutama pada pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penjualan video porno dengan lokasi penelitian di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

a) Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana penjualan video porno

b) Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pada pelaku penjualan video porno.

2. Kegunaan Penelitian


(18)

a) Secara teoritis kegunaan dari penulisan ini adalah untuk memberikan wawasan dan pengetahuan kepada masyarakat, khususnya bagi generasi muda tentang bahaya peredaran video porno yang semakin merajalela karena semakin mudahnya akses untuk mendapatkan/mengupload video dan gambar porno. Video porno yang beredar luas pada saat ini sangat menghawatirkan, apalagi adegan-adegan tersebut diperankan oleh anak-anak muda yang umurnya masih menginjak 17 sampai 25 tahunan.

b) Secara praktis, dengan adanya penelitian ini, setidaknya dapat menjadi bahan pengetahuan kepada masyarakat terutama kepada orang tua untuk selalu mengawasi tingkah laku dan pergaulan anak di luar rumah, serta kegiatan yang dilakukan oleh anak mengingat makin mudahnya memperoleh informasi melalui internet atau pun akses-akses lainnya yang kini makin mudah didapat.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka Teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstrak dari hasil-hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi sosial yang relevan oleh peneliti ( Soerjono Soekanto, 1986: 125 )

1. Kemampuan BertanggungJawab (KBJ)

Unsur pertama dari kesalahan adalah adanya kemampuan bertanggungjawab. Tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggung jawabkan dalam hukum


(19)

pidana apabila ia tidak mampu bertanggungjawab. Apa yang dimaksud dengan mampu bertanggungjawab? KUHP tidak memberikan rumusnya. Untuk itu perlu dicari pendapat-pendapat para pakar hukum berikut :

Simons:

Kemampuan bertanggungjawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psychish sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun orangnya. Lebih lanjut dikatakan Simons, seseorang mampu bertanggungjawab, jika jiwanya sehat, yakni :

a. Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum.

b. Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut. Van Hamel:

Kemampuan bertanggungjawab adalah suatu keadaan normalitas psychis dan kematangan (kecerdasan) yang membawa 3 (tiga) kemapuan :

a. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbutannya sendiri.

b. Mampu untuk menyadari bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak dibolehkan.

c. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatanya itu. ( Tri Andrisman, 2011 : 97)


(20)

Sehubungan dalam persoalan kemampuan bertanggungjawab ini, pada dasarnya seoarang terdakwa dianggap mampu bertanggungjawab, kecuali dinyatakan sebaliknya. KUHP tidak memuat pengertian kemampuan bertanggung jawab, namun dalam pasal 44-nya, dimuat ketentuan tentang syarat-syarat kemampuan bertanggung jawab secara negatif. Maksudnya:

“ Pasal 44 KUHP tidak memuat apa yang dimaksud dengan “tidak mampu bertanggungjawab”. Tetapi disitu dimuat alasan yang terdapat pada diri pembuat, yang menjadi alasan sehingga perbuatan yang dilakukan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya”.

Alasan berupa keadaan pribadi si pembuat yang bersifat biologis/psychis, yaitu: jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit.

(Tri Andrisman, 2011: 97)

Berikut ini isi ketentuan Pasal 44 ayat (1) KUHP:

“Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak dapat dipidana”.

Bandingkan dengan ketentuan Kemampuan Bertanggungjawab yang diatur dalam Pasal 38 Konsep KUHP 2004 sebagai berikut:

Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa atau retardasi mental, tidak dapat dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenakan tindakan. Ketentuan Pasal 38 Konsep KUHP ini memberikan jalan keluar bagi orang yang melaukan tindak pidana, namun menderita gangguan


(21)

jiwa, penyakit jiwa, atau retardasi mental tidak dapat dipidana, namun dapat diberikan Tindakan , misalnya dirawat di Rumah Sakit Jiwa, atau mengikuti bimbingan psikiatri oleh seorang pskiater.

Kembali pada ketentuan Pasal 44 ayat (1), dapat diketahui pasal ini mengatur 2 (dua) hal yang berkaitan dengan penentuan seseorang itu dianggap tidak mampu dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, yaitu adanya:

a. Penetuan bagaimana keadaan jiwa si pembuat;

b. Penentuan hubungan kausal antara keadaan jiwa si pembuat dengan perbuatannya.

Ad. a. Persaksian (konstatasi) keadaan si pembuat yang berupa keadaan akal atau jiwa yang cacat pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit, dilakukan oleh dokter penyakit jiwa (psikiater). Psikiater ini menyelidiki bagaimana keadaan jiwa si pembuat pada perbuatan dilakukan.

Ad.b. Adapun yang menetapkan adanya hubungan kausal antara keadaan jiwa yang demikian itu dengan perbuatan terdakwa adalah hakim. Hakimlah yang menilai apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa sistem yang dianut KUHP dalam menentukan tidak dapat dipertanggungjawabkannya si pembuat itu adalah deskriptif-normatif. “Deskriptif” karena keadaan si pembuat itu digambarkan menurut apa adanya oleh psikiater; dan “Normatif”karena hakimlah yang menilai, berdasarkan hasil pemeriksaan tadi, sehingga dapat menyimpulkan mampu atau tidaknya terdakwa untuk bertanggungjawab atas perbuatannya.


(22)

Contoh Tidak Mampu Bertanggung Jawab:

a. “Keadaan jiwa yang cacat pertumbuhannya”, misalnya: gila (idiot), imbisil. Jadi merupakan cacat biologis. Dalam hal ini termasuk juga orang gagu, tuli, dan buta, apabila hal itu mempengaruhi keadaan jiwanya.

b. “Keadaan jiwa yang terganggu karena penyakit” ada pada mereka yang disebut“psychose”, yaitu orrang yang normal yang mempunyai penyakit jiwa yang sewaktu-waktu bisa timbul, hingga membuat dia tidak menyadari apa yang dilakukannya.

2. Kekurangan Kemampuan Bertanggung Jawab

Terdakwa yang dianggap kurang mampu bertanggungjawab tetap dianggap mampu bertanggungjawab tetap dianggap mampu bertanggungjawab dan dapat dipidana. Akan tetapi faktor itu dipakai sebagai faktor untuk memberikan keringanan dalam pemidanaan. Cara penetuan kekurangan kemampuan untuk bertanggungjawab ini dinyatakan oleh psikiater, berdasarkan pemeriksaan yang dilakukannya.

Tindak pidana atau tindak kejahatan dapat terjadi disetiap tempat dan diberbagai bidang kehidupan manusia, termasuk di dalam dunia perdagangan, yang salah satunya adalah tindak pidana penjualan video porno. Mengenai tindak pidana penjualan video porno diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan Pornoaksi. Setiap tindak pidana yang terjadi akan selalu mendapatkan sanksi hukum yang tegas, baik tindak pidana yang berupa kejahatan maupun pelanggaran. Bedanya pada kejahatan akan


(23)

mendapatkan sanksi yang lebih berat bila dibandingkan pada pelanggaran. Hal ini disebabkan karena efek atau sebab yang ditimbulkan berbeda.

Orang yang melakukan tindak pidana belum tentu bisa dipidana karena sesuai asas tiada pidana tanpa kesalahan “Nulla Poena Sinea Culpa (Geen Straf Zonder Schuld)”, yang artinya adalah untuk pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi disamping itu harus ada kesalahan atau sikap batin yang dapat dicela.

Seperti telah kita ketahui bahwa KUHP sekarang belum diberikan rincian secara jelas mengenai pedoman hakim dalam menjatuhkan pidana, melainkan hanya merupakan aturan pemberian pidana yang dapat dijadikan pedoman bagi hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana. Kedudukan hakim sebagai pelaksana keadilan ditunjang dari pengetahuan yang cukup tentang pemidanaan terutama untuk mencapai pertimbangan-pertimbangan yang matang sebelum hakim menjatuhkan hukuman pada pelaku tindak pidana berkenaan dengan penjatuhan pidana.

Adapun pedoman penjatuhan sanksi pidana oleh hakim dicantumkan dalam konsep RKUHP 2008 Pasal 55 Ayat (1) yaitu sebagai berikut :

Pemidanaan wajib dipertimbangkan : a. Kesalahan pembuat tindak pidana;

b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana; c. Sikap batin pembuat tindak pidana;

d. Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana; e. Cara melakukan tindak pidana;


(24)

g. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana; h. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana; i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; j. Pemaafan dari korban dan atau keluarganya.

Peranan hakim ditinjau dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dalam proses peradilan pidana sebagai pihak yang memberikan pemidanaan dengan tidak mangabaikan hukum atau norma serta peraturan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 : (1) Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan

di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.

Kebebasan hakim mutlak dibutuhkan terutama untuk menjamin keobjektifan hakim dalam mengambil keputusan. Hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut :

1. Keputusan mengenai peristiwanya, ialah apakah terdakwa melakukan perbuatan yang telah dituduhkan kepadanya dan kemudian,

2. Keputusan mengenai hukumnya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana dan akhirnya,


(25)

3. Keputusan mengenai pidananya, apakah terdakwa memang dapat dipidana (Soedarto, 2000: 74)

Hakim mempunyai kebebasan untuk memiliki berat ringannya hukuman yang dijatuhkan berdasarkan adanya pedoman penjatuhan pidana tersebut, sebab di dalam undang-undang hanya menetapkan hukuman mínimum dan maksimum saja. Namun kebebasan hakim tersebut bukanlah merupakan kebebasan tanpa batas, melainkan kebebasan yang sesuai dengan rasa keadilan dalam masyarakat. 2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep kasus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti. Pengertian pokok yang dijadikan konsep dalam penulisan mempunyai batasan yang jelas dan tepat untuk menghindari kesalhpahaman dalam melakukan penulisan.

1. Analisis

Suatu kerangka hasil pemikiran melalui observasi secara mendalam terhadap suatu objek yang diteliti kemudian dituangkan kedalam hasil penemuan ( Kamus Besar Bahasa Inbdonesia, 2008: 24 )

2. Pertanggungjawaban Pidana

Pengertian Pertanggungjawaban Pidana adalah suatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap sesorang yang melakukan perbuatan pidana atau tindak pidana (Roeslan Saleh, 1983: 75)


(26)

3. Pidana

Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat tertentu itu, pidana merupakan pembalasan (pengimbalan) terhadap si pembuat, sedangkan tindakan yang dilakukan untuk masyarakat dan untuk pembinaan si pembuat (Sudarto, 1983: 7)

4. Pelaku

Pelaku adalah orang yang telah melakukan pelanggaran terhadap larangan yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang (P.AF. Lamintang, 1984: 79) 5. Tindak Pidana

Pengertian tindak pidana adalah setiap perbuatan yang diancam hukuman sebagai kejahatan atau pelanggaran baik yang disebut dalam KUHP maupun perundang-undangan lainnya. (Roeslan Saleh, 1983: 8)

6. Penjualan

Penjualan adalah penyerahan suatu barang kepada pihak lain dengan pembayaran suatu harga oleh pihak lain itu kepada pemilik (Pasal 1519 BW) 7. Video

Video adalah teknologi pemrosesan sinyal elektronik mewakilkan gambar bergerak. Aplikasi umum dari teknologi video adalah televisi, tetapi dapat juga digunakan dalam aplikasi teknik, saintifik, produksi dan keamanan atau Suatu perangkat yang berfungsi sebagai penerima (Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008: 17)


(27)

8. Pornografi

Kata pornografi, berasal dari du kata Yunani, porneia yang berarti seksualitas yang tak bermoral atau tak beretika (sexual immorality) dan kata grafeyang berarti kitab atau tulisan (Sudarto, 1983: 7)

E. Sistematika Penulisan

Agar tidak terjadi kesimpangsiuran dan memudahkan dalam pemahaman, maka penelitian ini disusun dengan sistematika Penulisan yang terdiri dari 5 (lima) bab, yaitu:

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang menguraikan latar belakang permasalahan, tindak pidana penjualan video porno.dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka konseptual dan yang terakhir adalah menguraikan sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pengantar dalam memahami pengertian tentang pertanggungjawaban pidana, pengertian video porno, pemidanaan dan sanksi pidana dalam penjualan video porno serta pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan penyelesaian kasus penjualan video porno.


(28)

III. METODE PENELITIAN

Bab ini membahas tentang proses pendekatan masalah, sumber dan jenis-jenis data, Penentuan populasi dan sample, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta analisa dari data yang telah diperoleh, ditelaah dan disusun.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan hasil penelitian dan pembahasan yang berisikan uraian tentang pertanggungjawaban pidana bagi pelaku penjualan video porno dan pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan penyelesaian kasus penjualan video porno.

V. PENUTUP

Bab ini merupakan hasil akhir yang berisikan kesimpulan dari penulisan berdasarkan penelitian yang telah dilakukandan saran yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang ada dalam penulisan skripsi ini.


(29)

(30)

A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Menurut Roeslan Saleh (1983:75) pengertian pertanggungjawaban pidana adalah suatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pidana atau tindak pidana.

Pengertian pertanggungjawaban pidana dalam hukun pidana yang dinamakan juga criminal liability atau responsibility yaitu merupakan kelanjutan dari pengertian perbuatan pidana. Jika seseorang telah melakukan perbuatan pidana belum tentu bisa dipidana atas perbuatannya, hingga orang tersebut dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Dasar adanya perbuatan pidana itu adalah asas legalitas yaitu asas yang menentukan bahwa suatu masalah perbuatan itu adalah terlarang dan diancam dengan pidana sedangkan dasar dari dipidananya pembuat adalah asasgeen straf zonder schuld, yaitu asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Kemampuan bertanggungjawab ditentukan oleh dua faktor, yang pertama faktor akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan. Faktor kedua adalah kehendak, yaitu sesuai dengan tingkah lakunya dan keinsyafannya atas mana yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab, bila memenuhi tiga syarat yaitu:

1. Dapat menginsyafi makna daripada perbuatannya ;

2. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat ;


(31)

Kemampuan bertanggungjawab harus ada:

a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum.

b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi (Moeljatno, 1983: 165)

B. Tujuan Pemidanaan

Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan pemidanaan yang ingin dicapai dalam setiap penjatuhan pidana (Lamintang, 1984: 23) yaitu:

1. untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri 2. untuk membuat orang jera untuk melakukan kejahatan

3. untuk membuat penjahat tertentu tidak mampu melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yaitu penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.

Pembicaraan mengenai tujuan pemidanaan tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai teori-teori pemidanaan, karena melalui teori-teori tersebut akan diketahui dasar-dasar pembenaran dalam penjatuhan pidana.

Adapun teori-teori tentang tujuan pemidanaan yang dapat dibagi menjadi tiga kelompok teori yaitu :


(32)

atau tindak pidana. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan atau tindak pidana. Dasar dari pembenaran teori ini terletak pada ada atau tidaknya kejahatan itu sendiri. Dengan kata lain di dalam kejahatan itu sendiri terletak pembenaran dari pembenaran dari pemidanaan terlepas dari manfaat yang hendak dicapai.

Ada pemidanaan karena ada pelanggaran hukum, ini merupakan tuntutan keadilan. Sebagaimana dikemukakan Immanuel Kant (dalam Muladi, 1998: 11) di bawah ini :

" Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan kebaikan lain, baik si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakat) pembunuh terakhir yang masih berada di dalam penjara harus dipidana mati sebelum resolusi/keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat, karena apabila tidak demikian mereka semua dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum".

Pidana menurut Immanuel Kant adalah suatu tuntutan kesusilaan. Disamping Kant perlu disebut Hegel yang memandang pidana sebagai suatu pengingkaran terhadap ketertiban hukum dari negara yang merupakan perwujudan dari cita susila. Namun sekarang pembalasan bukan menjadi tujuan akhir dari pemidanaan, melainkan sebagai penyeimbang antara perbuatan dan pidana. Hakim hanya menetapkan batas dari pidana, pidana tidak boleh melampaui batas kesalahan si pembuat.


(33)

kepentingan masyarakat. Pidana itu tidak dikenakan demi pidana itu sendiri melainkan agar orang jangan melakukan kejahatan.

Beda ciri-ciri pokok karakteristik antara teori absolut (retributive) dan teori relative (utulitarian) dikemukakan secara rinci oleh Karl C. Cristiansen (Muladi, 1998: 17) sebagai berikut:

1. Pada teori absolut :

a. tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan

b. pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain

c. kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana d. pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar.

e. Pidana melihat kebelakang, ia merupakan pencelaan murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik dan memasyarakatkan kembali si pelanggar.

2. Pada teori relatif :

a. tujuan pidana adalah pencegahan (preventiott)

b. pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat

c. hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku (misalnya karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana

d. pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat bukti untuk pencegahan kejahatan e. pidana melihat ke muka pidana, pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur

pencelaan maupun unsur petnbalasan tidak dapat diterima apabila membaltu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat

Mengenai tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan, biasa dibedakan antara istilah prevensi umum dan prevensi khusus. Prevensi umum dimaksudkan pengaruh pidana terhadap masyarakat, artinya pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana. Sedangkan prevensi


(34)

pidana lagi. Ini berarti pidana bertujuan agar si terpidana berubah menjadi orang yang lebih berguna bagi masyarakat.

3. Teori Gabungan (integrative theory). Teori ini,tujuan pemidanaan bersifat plural karena merupakan penggabungan antara teori absolute danr elatif. Artinya menghubungkan prinsip-prinsip pembalasan dalam suatu kesatuan.

Pada umumnya pidana adalah suatu perlindungan terhadap masyarakat pembalasan atas perbuatan tindak hukum, pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan, membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat.

Mengenai pedoman pemidanaan juga berkaitan dengan aliran-aliran dalam hukum

pidana. Secara garis besar aliran-aliran dalam hukum pidana dibagi dalam dua aliran Yaitu : 1. Aliran Klasik

Pidana dan pemidanaan aliran ini pada awal timbulnya sangat membatasi kebebasan hakim, untuk menetapkan jenis pidana dan ukuran pemidanaan peranan hakim dalam menentukan kesalahan seseorang sangat dikurangi.

Aliran ini berpijak pada 3 (tiga) asas yaitu :

a. Asas legalitas, bahwa tiada pidana tanpa undang, tiada tindak pidana tanpa undang-undang dan tiada penuntutan tanpa undang-undang- undang-undang.

b. Asas kesalahan, bahwa orang hanya dapat dipidana untuk tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan.


(35)

perbuatan yang dilakukan. (Muladi dan Barda Nawawi, 1998: 26-27) 2. Aliran Moderen

Aliran ini sering disebut juga aliran positif karena dalam mencari sebab kejahatan menggunakan metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati dan mempengaruhi penjahat secara positif sejauh masih dapat drperbaiki (Muladi dan Barda Nawawi, 1984: 32).

Aliran ini bertitik tolak pada pandangan determinisme, karena manusia dipandang tidak mempunyai kebebasan kehendak tapi dipengaruhi oleh watak dan lingkungannya, maka ia tidak dapat dipersalahkan atau dipertanggungiawabkan dan dipidana. Pertanggungjawaban seseorang berdasar kesalahan harus diganti dengan sifat berbahayanya si pembuat. Bentuk pertanggungjawaban si pembuat lebih bersifat tindakan untuk melindungi masyarakat.

Ketentuan pemidanaan tercantum dalam Pasal 10 KUHP, dimana dibedakan pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri atas :

a. Pidana mati b. Pidana Penjara c. Pidana kurungan d. Pidana denda

e. Pidana tutupan (yang ditambahkan dengan UU No. 20 Tahun 1946) Sedangkan Pidana tambahan antara lain :

a. Pencabutan hak-hak tertentu b. Perampasan barang-barang tertentu


(36)

C. Pengertian Pornografi.

Kata pornografi, berasal dari dua kata Yunani, porneia yang berarti seksualitas yang tak bermoral atau tak beretika (sexual immorality) atau yang popular disebut sebagai zinah; dan kata grafe yang berarti kitab atau tulisan (Azimah. 2007). Kata kerja porneuw (porneo) berarti melakukan tindakan seksual tak bermoral (berzinah“commit sexual immorality”) dan kata benda pornh (porne) berarti perzinahan atau juga prostitusi. Rupanya dalam dunia Yunani kuno, kaum laki-laki yang melakukan perzinahan, maka muncul istilah porno yang artinya laki-laki yang melakukan praktik seksual yang tak bermoral. Tidak ada bentuk kata feminin untuk porno. Kata grafh (grafe)pada mulanya diartikan sebagai kitab suci, tetapi kemudian hanya berarti kitab atau tulisan. Ketika kata itu dirangkai dengan kata porno menjadi pornografi, maka yang dimaksudkannya adalah tulisan atau penggambaran tentang seksualitas yang tak bermoral, baik secara tertulis maupun secara lisan. Maka sering anak-anak muda yang mengucapkan kata-kata berbau seks disebut sebagai porno. Dengan sendirinya tulisan yang memakai kata-kata yang bersangkut dengan seksualitas dan memakai gambar-gambar yang memunculkan alat kelamin atau hubungan kelamin adalah pornografi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pornografi didefinisikan sebagai berikut :

1. penggambaran tingkahlaku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi;

2. bahan bacaan yang dengan sengaja semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu birahi atau seks.


(37)

menggarisbawahi pandangan Oemar Senoadji tentang delik kesusilaan, bahwa dalam menentukan isinya (materi/substansi) harus bersumber dan mendapat sandaran kuat dari moral agama. Pandangan ini memberikan pedoman dalam menentukan jenis-jenis perbuatan dan substansi dari setiap delik kesusilaan. Artinya, pengertian pornografi haruslah mengarah pada ketentuan moral agama. Dalam sejarah peradaban manusia, tidak diketahui pasti kapan pornografi mulai muncul. Apabila melihat substansi pornografi dari beberapa pengertian di atas, maka sudah sejak lama pornografi ada. Berikut ini beberapa bukti sejarah yang menunjukkan tentang jejak pornografi di masa lalu, yaitu :

1. Pada masa Paleolitikum telah ada manusia telanjang dan aktivitasaktivitas seksual, seperti patung Venus. Namun belum jelas apakah patung ini sebagai karya seni, bernilai spiritual atau memang bertujuan untuk membangkitkan nafsu seksual;

2. Pada reruntuhan bangunan Romawi di Pompei, ditemukan lukisanlukisan porno. Selain itu di sisi-sisi jalan di Pompei juga dapat dijumpai gambar-gambar alat kelamin pria yang dahulunya digunakan sebagai penunjuk jalan menuju ke tempat pelacuran dan hiburan. Pasal 1 Bab I UU Pornografi, Pornografi diartikan sebagai :

1. Tulisan, gambar/rekaman tentang seksualitas yang tidak bermoral,

2. Bahan/materi yang menonjolkan seksualitas secara eksplisit terang-terangan dengan maksud utama membangkitkan gairah seksual,

3. Tulisan atau gambar yang dimaksudkan untuk membangkitkan nafsu birahi orang yang melihat atau membaca,


(38)

mengeksploitasi seksualitas. Kriteria Pornografi:

Berdasarkan definisi tersebut, maka kriteria porno dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Sengaja membangkitkan nafsu birahi orang lain,

2. Bertujuan merangsang birahi orang lain/khalayak, 3. Tidak mengandung nilai (estetika, ilmiah, pendidikan),

4. Tidak pantas menurut tata krama dan norma etis masyarakat setempat, dan

5. Bersifat mengeksploitasi untuk kepentingan ekonomi, kesenangan pribadi, dan kelompok. Pengertian dan kriteria di atas, dapatlah disebutkan jenis-jenis pornografi yang menonjol akhir-akhir ini yaitu:

1. Tulisan berupa majalah, buku, koran dan bentuk tulisan lain-liannya, 2. Produk elektronik misalnya kaset video,VCD, DVD, laser disc, 3. Gambar-gambar bergerak,

4. Program TV danTV cable, 5. Cyber-porno melalui internet,

6. Audio-porno misalnya berporno melalui telepon yang juga sedang marak diiklankan di koran-koran maupun tabloid akhir-akhir ini. Ternyata bahwa semua jenis ini sangat kental terkait dengan bisnis. Maka dapat dikatakan bahwa pornografi akhir-akhir ini lebih cocok disebut sebagai porno-bisnis atau dagang porno dan bukan sekadar sebagai pornografi.


(39)

negara berupa penderitaan (hukuman) dan kejahatan merupakan sebagian dari perbuatan immoral. Sementara Kartini Kartono menyatakan, bahwa secara sosiologis kejahatan adalah semua bentuk ucapan, perbuatan dan tingkah laku yang secara ekonomis, politis dan sosial-psikologis sangat merugikan masyarakat, melanggar norma-norma susila, dan menyerang keselamatan warga masyarakat (baik yang telah tercakup dalam undang-undang, maupun yang belum tercakup dalam undang-undang).

Masyarakat secara umum menilai pornografi sebagai bentuk penyimpangan/kejahatan, karena bertentangan dengan hukum dan normanorma yang hidup dimasyarakat. Perkataan, tulisan, gambar dan perilaku serta produk atau media-media yang bermuatan pornografi dipandang bertentangan dengan nilai moral dan rasa kesusilaan masyarakat. Sifat pornografi yang hanya menampilkan sensualitas, seks dan eksploitasi tubuh manusia ini dinilai masih sangat tabu oleh masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai moral.

2. Pengertian dan Dampak Negatifnya Pornografi

Industri pornografi terus berkembang seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Artinya, media pornografi baru akan selalu muncul bersamaan dengan terciptanya teknologi baru. Industri pornografi selalu memanfaatkan setiap perkembangan media, karena media merupakan sarana komunikasi dimasyarakat. Everett M. Rogers menyatakan, bahwa dalam hubungan komunikasi di masyarakat, dikenal 4 (empat) era komunikasi, yaitu era tulis, era media cetak, era media telekomunikasi dan era media komunikasi interaktif.


(40)

untuk penyebaran pornografi, yang dikenal dengan istilah cyberporn dan internet pornography. Dalam situs www.computeruser.com, cyberporn didefinisikan sebagai “materi pornografi yang tersedia online” Definisi ini menunjukkan bahwa cyberporn merupakan penyebaran bahan-bahan atau materi-materi pornografi melalui internet, baik itu tulisan, gambar, foto, suara maupun film/video. Materi-materi pornografi di internet dapat dijumpai pada situs-situs porno, situs-situs media informasi seperti situs majalah dan Koran. Misalnya situs playboy.com atau situs-situs hiburan dan lain-lainnya.

Maraknya pornografi di internet, telah memunculkan istilah-istilah lain selaincyberporn, seperti pornography in cyberspace, cyber child pornography, on-line pornography, cyber sex, cyber sexer, cyber lover, cyber romance, cyber affair, on-line romance, sex on-line, cybersex addicts, cyber sex offender. Di dunia maya tersedia ratusan bahkan ribuan situs porno yang dapat dijumpai dan dibuka setiap saat. Menurut perkiraan, 40 % dari berbagai situs di www menyediakan bahan-bahan seperti itu166. American Demographics Magazine dalam laporannya menyatakan bahwa jumlah situs pornografi meningkat dari 22.100 pada tahun 1997 menjadi 280.300 pada tahun 2000 atau melonjak 10 kali lebih dalam kurun waktu tiga tahun167. Situs-situs porno ini tidak hanya Situs-situs porno asing, tetapi juga ada Situs-situs porno lokal. Menurut William B Kurniawan, Direktur Manajer Aneka CL-Jejak Kaki Internet Protection, hingga saat ini lebih dari 1.100 situs lokal terlarang ditemukan di dunia maya168. Selain melalui situs, berbagai mailing-list juga menjadi sarang pornografi dengan penggemar atau jumlah anggota yang cukup banyak. Meningkatnya situs-situs porno di internet, selain disebabkan oleh besarnya keuntungan


(41)

Topik-topik yang berhubungan dengan masalah seks dan pornografi merupakan topik yang selalu menarik untuk dicari, dilihat bahkan dinikmati. Menurut Peter David Goldberg dalam tesisnya yang berjudul “The Use Of The Internet For Sexual Purposes”, yang bersumber dari Nua Internet Surveys 2001 menyatakan, bahwa sex merupakan topik yang paling populer di internet (the most popular topic on the internet). Ada yang menjadikan pornografi sebagai kebutuhan sehari-hari, tetapi ada pula yang hanya sekedarnya atau pada saat momen-momen tertentu saja, misalnya ketika beredar isu bahwa ada foto atau video artis atau pejabat, maka pada saat yang bersamaan warung-warung internet akan lebih banyak dikunjungi.

Cyberporn merupakan bentuk media pornografi yang sangat strategis bagi industri pornografi. Penyebaran pornografi melalui internet akan lebih mudah, lebih murah, sangat cepat dan yang paling penting adalah aman dari razia aparat. Pada proses distribusi pengelola situs porno cukup dengan memasukkan materi pornografi ke dalam situs yang dimilikinya. Jadi tidak perlu biaya dan waktu yang lama untuk mendistribusikannya ke agen-agen secara sembunyi-sembunyi. Keuntungan lainnya adalah cyberporn tidak perlu mencari-cari konsumen, tetapi konsumenlah yang dengan sendirinya akan mencari dan membuka situs-situs porno untuk sekedar melihat, mendownload atau sampai dengan membeli dan memesan produk pornografi yang ditawarkan. Dunia maya dinilai sebagai suatu wilayah yang bebas nilai, karena belum jelas bagaimana hukum yang berlaku di dalamnya. Media tanpa hukum ini sangat menguntungkan industri cyberporn. Ketika buku, majalah, komik, CD atau DVD bisa dirazia oleh aparat, namun situs-situs porno bisa online 24 jam tanpa razia. Cyberporn saat ini telah berkembang menjadi lahan bisnis komersil dan dilakukan secara profesional.


(42)

yang cepat dan mudah didapat untuk mengupload video porno, dengan situs yang dituju. Kemudian para pelaku mengedarkan melalui komputer yang terdapat berbagai konten-konten file yang berisi gambar, dan video porno. Dengan cara inilah para pelaku memperdagangkan video porno tersebut dengan harga yang murah sehingga anak-anak maupun orang dewasa tidak perlu repot-repot mengeluarkan uang yang banyak untuk mendapatkan video tersebut. Untuk itulah kiranya menjadi keprihatinan bagi semua orangtua yang orang terdekatnya menjadi korban perusakan moral bagi orang-orang yang tidak bertanggungjawab.

D. Dasar Hukum Tindak Pidana Pornografi Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008

Ketentuan mengenai tindak pidana penjualan video porno telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008. Menurut Ketentuan Undang-Undang tersebut pelaku tindak pidana penjualan video porno dituntut dan diancam dengan pidana sebagai berikut :

Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 :

“Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah)”.

Pasal 30 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 :

“Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.


(43)

Pasal 32 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 :

“Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”.

E. Pertimbangan hakim dalam Memutus dan Menjatuhkan pidana

Seorang hakim mempunyai tugas utama mengadili, yaitu serangkaian tindakan untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana, menentukan mana yang benar dan mana yang salah berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak disidang pengadilan dalam hal menurut acara yang diatur dalam undang-undang.

Menurut Sudarto (1983:74), hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut: 1. keputusan mengenai peristiwanya, yaitu apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang

dituduhkan kepadanya, dan kemudian

2. keputusan mengenai hukumnya, yaitu apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana, dan akhirnya

3. keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat dipidana.

Peranan hakim ditinjau dari Undang-Undang No.48 Tahun 2009 dalam proses peradilan pidana sebagai pihak yang memberikan pemidanaan dengan tidak mengabaikan hukum atau norma serta peraturan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 :

(1) Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.


(44)

berat ringannya pidana, dan cara pelaksanaan pidana, juga mempunyai kebebasan untuk menemukan hukum terhadap peristiwa yang tidak diatur dalam undang-undang atau dengan kata lain hakim tidak hanya menetapkan tentang hukumnya, tetapi hakim juga dapat menemukan hukum dan akhirnya menetapkannya sebagai keputusan.


(45)

A. Pendekatan Masalah

Penulisan skripsi ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan mempelajari dan menelaah teori-teori, konsep-konsep serta peraturan yang berkaitan dengan pokok bahasan, yaitu pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penjualan video porno. Pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan berdasarkan pada fakta objektif yang didapatkan dalam penelitian lapangan baik berupa hasil wawancara dengan responden, hasil kuisioner atau alat bukti lain yang diperoleh dari narasumber.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data-data kepustakaan, yaitu :

1. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari penelitian di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang.

2. Data sekunder, yaitu data yang dipeloleh dari penelitian kepustakaan. Data sekunder diperoleh dengan mempelajari dan mengkaji literatur-literatur, dan peraturan perundang-undangan. Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari:

a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab undang-Undang


(46)

Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer, seperti Peraturan Pemerintah, Rancangan Undang-Undang KUHP, Keputusan Presiden, Putusan Hakim Nomor 63/Pid/B/2009/PN.TK dan petunjuk pelaksana maupun teknis yang berkaitan dengan tindak pidana penjualan video porno.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang, yang mencakup bahan-bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti hasil penelitian, bibliografi, ensiklopedia, artikel-artikel dan kamus.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah Hakim dan Jaksa. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling, yaitu penarikan sampel yang dilakukan dengan cara mengambil subjek yang didasarkan pada tujuan tertentu dan dianggap telah mewakili populasi terhadap masalah yang hendak dicapai. Berdasarkan metode pengambilan sampel tersebut, maka yang menjadi sampel responden dalam penelitian ini adalah :

1. Jaksa Penuntut Umum : 2 Orang

2. Hakim pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang : 2 Orang +

Jumlah : 4 Orang


(47)

1. Prosedur PengumpulanData

Pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut : a. Studi Kepustakaan

Dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan melakukan kegiatan membaca, mencatat, mengutip, dan menelaah hal-hal yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

b. Studi Lapangan

Dilakukan untuk memperoleh data primer yang dilakukan dengan metode wawancara.

2. Prosedur Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari penelitian, kemudian diolah dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Pemeriksaan data(editing)

Yaitu mengoreksi apakah data yang terkumpul sudah cukup lengkap, sudah cukup benar dan sudah sesuai atau relevan dengan masalah.

b. Rekonstruksi data(reconstructing)

Yaitu menyusun ulang data secara teratur berurutan, logis, sehingga mudah dipahami dan diinterpretasikan.

c. Sistematisasi data(sistematizing)

Yaitu menempatkan data menurut kerangka sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah.


(48)

Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif yaitu deskripsi dalam bentuk kalimat. Setelah data dianalisis maka dapat ditarik kesimpulan secara induktif, yaitu suatu cara berfikir dalam mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus dan selanjutnya dari kesimpulan tersebut dapat diajukan saran.


(49)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakterisitk Responden

Sebelum menguraikan data yang diperoleh dari para responden, terlebih dahulu akan dikemukakan identitas responden guna memperoleh gambaran validitas data: 1. Nama : Itong Isnaeni Hidayat, S.H.M.H.

Nip : 040064563 Umur : 48 Tahun

Jabatan : Hakim Pengadilan Negeri 1 A Tanjung Karang Agama : Islam

2. Nama : Nursiah Sianipar, S.H. Nip : 196012191985122001 Umur : 51 Tahun

Jabatan : Hakim Pengadilan Negeri 1 A Tanjung Karang Agama : Islam

3. Nama : Nurhalima, S.H. Nip : 197107141997032002 Umur : 41 Tahun

Jabatan : Jaksa Muda Kejaksaan Negeri Bandar Lampung Agama : Islam


(50)

4. Nama : Yuni kusumardiati Ningsih, S.H. Nip : 197906091990132003

Umur : 32 Tahun

Jabatan : Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Bandar Lampung Agama : Islam

B. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penjualan Video Porno

Gambaran umum Perkara Nomor 63/Pid/B/2009/PN.TK Tentang Tindak Pidana Penjualan Video Porno

Identitas Terdakwa :

Nama Lengkap : JAMAL SAPUTRA Bin MUSLIH Tempat Lahir : Bandar Lampung

Umur/Tanggal Lahir : 21 Tahun/ 02 November 1987 Jenis Kelamin : Laki-laki

Kebangsaan : Indonesia

Alamat : Jl. Teuku Umar Gg. Singa Kec. Kedaton Bandar Lampung

Agama : Islam

Pekerjaan : Wiraswasta

Pendidikan : SMA

Dakwaan : 1. Pasal 45 (1) ke- Pasal 27 (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 2. Pasal 282 (3) KUHP

Tuntutan dan Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

a. Terdakwa didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai berikut : Pertama :


(51)

Bahwa JAMAL SAPUTRA Bin MUSLIH memenuhi unsur dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Kedua :

Bahwa JAMAL SAPUTRA Bin MUSLIH memenuhi unsur dengan sengaja melakukan kejahatan telah menyiarkan, mempertunjukan atau menempelkan dimuka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya dan melanggar kesusilaan sebagai pencarian atau kebiasaan, dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak tujuh puluh lima ribu rupiah.

Guna membuktikan dakwaannya penuntut umum telah mengajukan saksi-saksi di bawah sumpah, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut :

1. Saksi YUDI ROBIANSEN BIN DARSONO S.Ag, setelah disumpah menurut ajaran agamanya akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya antara lain sebagai berikut

a. Bahwa pada hari Selasa tanggal 11 November 2008 sekitar pukul 16.00 WIB, bertempat di Counter Jamus jalan Ki. Maja No. 77 kec. Kedaton Bandar Lampung, saksi telah melakukan penangkapan terhadap terdakwa JAMAL SAPUTRA BIN MUSLIH;


(52)

b. Bahwa terdakwa ditangkap karena telah melakukan tindak pidana telah menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan atau benda yang telah diketahui isinya dan melanggar kesusilaan;

c. Bahwa tindak pidana tersebut terjadi ketika saksi YUDI ROBIANSEN mendapat informasi dari masyarakat bahwa di counter Jamus jalan Ki. Maja No. 77 Kec. Kedaton Bandar Lampung menjual Video Porno, lalu saksi bersama saksi JONO SRIYANTO langsung menuju ketempat tersebut dan ternyata benar terdakwa telah menjual video porno berupa gambar dan film melalui computer milik terdakwa kepada pembeli yang langsung memesan video porno tersebut dengan harga Rp. 20.000,- untuk 40 lebih film ;

d. Bahwa kemudian saksi YUDI dan saksi JOKO langsung membawa terdakwa berikut barang bukti berupa 1 (satu) CPU computer merk Simba, 1 (satu) buah Monitor, 1 (satu) buah Mouse, 1(satu) buah Keeyboard,1 (satu) buah card reader,1 (satu) buah buku pembukuan,dikembalikan kepada pemilik YULDI KURNIANSYAH BIN OEDJIK MADJID, uang tunai Rp. 20.000,- (dua puluh ribu rupiah),kepoltabes Bandar Lampung untuk penyelidikan lebih lanjut;

e. Bahwa saksi korban masih mengenali terdakwa yang dihadapkan kepadanya dalam persidangan :

2. Saksi JOKO SRIYONO BIN HADI SUMARNO, setelah disumpah menurut ajaran agamanya akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya antara lain sebagai berikut:

a. Bahwa pada hari Selasa tanggal 11 November 2008 sekitar pukul 16.00 WIB, bertempat di Counter Jamus jalan Ki. Maja No. 77 kec. Kedaton


(53)

Bandar Lampung, saksi telah melakukan penangkapan terhadap terdakwa JAMAL SAPUTRA BIN MUSLIH;

b. Bahwa terdakwa ditangkap karena telah melakukan tindak pidana telah menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan atau benda yang telah diketahui isinya dan melanggar kesusilaan ;

c. Bahwa tindak pidana tersebut terjadi ketika saksi YUDI ROBIANSEN mendapat informasi dari masyarakat bahwa di counter Jamus jalan Ki. Maja No. 77 Kec. Kedaton Bandar Lampung menjual Video Porno, lalu saksi bersama saksi JONO SRIYANTO langsung menuju ketempat tersebut dan ternyata benar terdakwa telah menjual video porno berupa gambar dan film melalui computer milik terdakwa kepada pembeli yang langsung memesan video porno tersebut dengan harga Rp. 20.000,- untuk 40 lebih film ;

d. Bahwa kemudian saksi YUDI dan saksi JOKO langsung membawa terdakwa berikut barang bukti berupa 1 (satu) CPU computer merk Simba, 1 (satu) buah Monitor, 1 (satu) buah Mouse, 1(satu) buah Keeyboard,1 (satu) buah card reader,1 (satu) buah buku pembukuan,dikembalikan kepada pemilik YULDI KURNIANSYAH BIN OEDJIK MADJID, uang tunai Rp. 20.000,- (dua puluh ribu rupiah),kepoltabes Bandar Lampung untuk penyelidikan lebih lanjut;

e. Bahwa saksi korban masih mengenali terdakwa yang dihadapkan kepadanya dalam persidangan :

3. Saksi IRVAN BIN BAHRUN, setelah disumpah menurut ajaran agamanya akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya antara lain sebagai berikut


(54)

a. Bahwa pada hari Selasa tanggal 11 November 2008 sekitar pukul 16.00 WIB, bertempat di Counter Jamus jalan Ki. Maja No. 77 kec. Kedaton Bandar Lampung, saksi telah melakukan penangkapan terhadap terdakwa JAMAL SAPUTRA BIN MUSLIH;

b. Bahwa terdakwa ditangkap karena telah melakukan tindak pidana telah menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan atau benda yang telah diketahui isinya dan melanggar kesusilaan ;

c. Bahwa tindak pidana tersebut terjadi ketika saksi YUDI ROBIANSEN mendapat informasi dari masyarakat bahwa di counter Jamus jalan Ki. Maja No. 77 Kec. Kedaton Bandar Lampung menjual Video Porno, lalu saksi bersama saksi JONO SRIYANTO langsung menuju ketempat tersebut dan ternyata benar terdakwa telah menjual video porno berupa gambar dan film melalui computer milik terdakwa kepada pembeli yang langsung memesan video porno tersebut dengan harga Rp. 20.000,- untuk 40 lebih film ;

d. Bahwa kemudian saksi YUDI dan saksi JOKO langsung membawa terdakwa berikut barang bukti berupa 1 (satu) CPU computer merk Simba, 1 (satu) buah Monitor, 1 (satu) buah Mouse, 1(satu) buah Keeyboard,1 (satu) buah card reader,1 (satu) buah buku pembukuan,dikembalikan kepada pemilik YULDI KURNIANSYAH BIN OEDJIK MADJID, uang tunai Rp. 20.000,- (dua puluh ribu rupiah),kepoltabes Bandar Lampung untuk penyelidikan lebih lanjut;

Berdasarkan kronologis di atas dan setelah mendengar tuntutan Jaksa Penuntut Umum dan keterangan saksi, Maka Majelis Hakim memutuskan :

1. Menyatakan terdakwa JAMAL SAPUTRA BIN MUSLIH, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “telah menyiarkan,


(55)

mempertunjukan atau menempelkan dimuka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya dan melanggar kesusilaan”.

2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan.

3. Menetapkan bahwa lamanya terdakwa ditahan sebelum putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap dikurangi seluruhnya dari pidana penjara yang dijatuhkan :

4. Memerintahkan agar terdakwa tetap ditahanan :

5. Membebankan kkepada terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,-(seribu rupiah) :

6. Memerintahkan barang bukti berupa : 1 (satu) CPU computer merk Simba, 1 (satu) buah Monitor, 1 (satu) buah Mouse, 1(satu) buah Keeyboard,1 (satu) buah card reader,1 (satu) buah buku pembukuan,dikembalikan kepada pemilik YULDI KURNIANSYAH BIN OEDJIK MADJID, uang tunai Rp. 20.000,-(dua puluh ribu rupiah),dirampas untuk Negara :

Setiap tindak pidana akan melahirkan pertanggungjawaban pidana, tindak pidana (strafbaar feit) merupakan suatu perbuatan yang mengandung unsur perbuatan atau tindakan yang mengandung unsur perbuatan atau tindakan yang dapat dipidanakan dan unsur pertanggungjawaban pidana kepada pelakunya. Sehingga dalam syarat hukuman pidana terhadap seseorang secara ringkas dapat dikatakan bahwa tidak aka nada hukuman pidana terhadap seseorang tanpa adanya hal-hal yang secara jelas dapat dianggap memenuhi syarat atas kedua unsur itu.


(56)

Pertanggungjawaban menurut ilmu hukum adalah kemampuan bertanggungjawab seseorang terhadap kesalahannya telah melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan tidak dibenarkan masyarakat atau tidak patut menurut pandangan masyarakat. Melawan hukum dan kesalahan adalah unsur-unsur peristiwa pidana atau perbuatan pidana (delik) dan antara keduanya terdapat hubungan yang erat dan saling terkait.

Unsur sebagai dasar pertanggungjawaban adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungan dengan kelakuannya yang dapat dipidana serta berdasarkan kejiwaannya itu pelaku dapat dicela karena kelakuannya itu. Dengan kata lain, hanya dengan batin inilah maka perbuatan yang dilarang itu dapat dipertanggungjawabkan pada si pelaku, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 (1) KUHP “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”.

Kemampuan bertanggungjawab ditentukan oleh dua faktor, yang pertama faktor akal, yaitu dapat mebedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan. Faktor kedua adalah kehendak, yaitu sesuai dengan itngkah lakunya dan keinsyafan atas nama yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab bila memenuhi tiga syarat, yaitu ;

1. Dapat menginsyafi makna dari perbuatannya ;

2. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat ;


(57)

3. Mampu untuk menentukan niat tau kehendak dalam melakukan perbuatan. (Roeslan Saleh, 1983: 80)

Menurut penulis, terdakwa menyadari bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum. Perbuatan tersebut dilakukan dalam keadaan sadar dan sehat jiwanya. Terdakwa juga mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukannya dapat merugikan masyarakat terutama remaja dan anak-anak. Perbuatan yang dilakukan terdakwa bermula dengan adanya niat untuk memperoleh keuntungan ekonomi yang lebih besar guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Perbuatan yang dilakukan terdakwa merupakan suatu tindak pidana, terdakwa dinyatakan bersalah dan bersifat melawan hukum sehingga dapat dipidana. Oleh sebab itu terdakwa harus dapat mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukannya. Pertanggungjawaban yang diberikan hakim pada kasus ini kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan.

Menurut Roeslan Saleh (1980: 82) dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk pada dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang melakukan perbuatan itu kemudian dapat dipidana, tergantung soal apakah ia dalam melakukan perbuatan tersebut mempunyai kesalahan atau tidak. Apakah orang yang melakukan perbuatan itu memang melakukan kesalahan maka ia akan dipidana.

Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana selama ini di Indonesia menganut asas kesalahan, artinya dapat memidana pelaku delik selain diperhatikan unsur


(58)

perbuatan pidana juga pelaku harus ada unsur kesalahan. Ini adalah suatu hal wajar karena tidak adil apabila menjatuhkan pidana terhadap orang yang tidak mempunyai kesalahan. Sesuai dengan asas pertanggungjwaban pidana yang berbunyi tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld : Actus non facitreum nisi mens sit rea). Menurut Sudarto (1990: 91) bahwa untuk kesalahan seseorang sehingga dapat tidaknya ia dipidana harus memenuhi beberapa unsur sebagai berikut :

1. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum) adalah melakukan perbuatan yang bertentangan hukum yaitu bukan saja terhadap undang-undang tapi juga perbuatan yang dipandang dari pergaulan masyarakat tidak patut. 2. Mampu bertanggungjawab adalah mampu untuk membedakan anatar

perbuatan baik dan yang buruk sesuai hukum dan yang melawan hukum serta mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tantang baik buruknya suatu perbuatan, hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 44 KUHP.

3. Mempunyai kesalahan berupa kesengajaan (dolus) / kelapaan (culpa) berkaitan dengan sikap batin seseorang pada saat melakukan suatu perbuatan pidana.

4. Tidak adanya lasan pemaaf. Suatu keadaan yang mengahpuskan pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan pidana yang dilakukan.

Pertanggungjawaban itu selalu ada, meskipun belum pasti dituntut oleh pihak yang berkepentingan jika pelaksanaan peranan yang telah berjalan itu ternyata tidak mencapai tujuan atau persyaratan yang diinginkan.


(59)

Berdasarkan penelitian pada Pengadilan Tinggi kelas IA Tanjung Karang menurut Itong Isnaeni, menyatakan bahwa akibat dari asas legalitas itu pelaku tindak pidana dapat dihukum hanya apabila suatu perbuatan telah disebut tegas suatu sebagai suatu kejahatan dalam suatu pertauran perundang-undangan.

Kasus penjualan video porno ini diatur dalam Pasal 282 ayat (3) dengan ancaman pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak tujuh puluh lima ribu rupiah dan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan Pornoaksi dengan ancaman dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah)”.

Pertanggungjawaban pidana yang harus dijalankan oleh JAMAL SAPUTRA BIN MUSLIH pidana penjara 5 (lima) bulan, karena terdakwa dengan sengaja telah menyiarkan, mempertunjukan atau menempelkan dimuka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya dan melanggar kesusilaan. Unsur-unsur Pasal 282 ayat 3 KUHP yang dikenakan terdakwa dalam surat tuntutan sebagai berikut :

a. Unsur Barang Siapa

Pengertian barang siapa menunjukan lingkungan kuasa berlakunya peraturan Hukum Pidana bagisiapa saja yang berada di wilayah Republik Indonesia.

Artinya, tersangka Jamal Saputra telah terpenuhi berdasarkan keterangan tersangka Jamal dan para saksi serta dikuatkan dengan barang bukti berupa satu unit komputer yang terdapat beberapa film porno di dalamnya.


(60)

b. Unsur Dengan Sengaja

Dengan sengaja menjual video yang mengandung kesusilaan.

Artinya, telah terpenuhi tersangka Jamal dengan sengaja telah menyiarkan, mempertunjukkan dan memperjual belikan video porno yang bertolak belakang dengan norma kesopanan dan dapat merusak moral masyarakat.

Berdasarkan wawancara penulis dengan Nursiah Sianipar, selaku hakim pada Pengadilan Tinggi Kelas 1A Tanjung Karang bahwa pertanggungjawaban pelaku tindak pidana penjual video porno adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana tersebut. Pertanggungjawaban pidana yang dijatuhkan hakim kepada Jamal yaitu dengan hukuman 5 bulan penjara karena terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah dengan sengaja telah menyiarkan, mempertunjukkan dan memperjual belikan video porno.

Masalah pornografi dan pornoaksi telah dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) yang telah disahkan oleh DPR-RI pada tanggal 30 Oktober 2008. Yang telah diundangkan ke dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan Pornoaksi. Menurut penulis hukuman yang dijatuhkan hakim belum sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 lebih tepat penerapannya dalam kasus ini yaitu dengan ancaman pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 12 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Kasus penjualan video porno yang dilakukan Jamal, telah ditangani aparat penegak


(61)

hukum sejak tanggal 11 November 2008 yang seharusnya sudah dapat diterapkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Nurhalima (Jaksa Penuntut Umum) dalam kasus penjualan video porno undang-undang tidak serta merta diterapkan dan dalam penerapannya undang-undang itu memerlukan waktu transisi pemberlakuannya. Perubahan undang-undang lama ke undang-undang yang baru biasanya ada tenggang waktu satu sampai dengan tiga bulan tergantung kesiapan sosilasasi setiap daerah.

Menurut penulis, seharusnya penyidik dalam kasus ini terutama Jaksa perlu memperluas wawasan, cepat dan tepat dalam menerapkan Undang-undang yang berlaku, sehingga tidak terjadi kesalahan penerapan peraturan dalam hal penjatuhan hukuman.

C. Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penjualan Video Porno

Sistem peradilan di suatu negara, masing-masing dipengaruhi oleh sistem hukum yang dianut oleh negara tersebut. Sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat bangsa-bangsa memiliki keragaman akar dan sistem hukum satu sama lain.

Sistem hukum nasional Indonesia terbentuk atau dipengaruhi oleh 3 (tiga) sub sistem hukum, yaitu :

1. Sistem Hukum Barat, yang merupakan warisan penjajahan kolonial Belanda yang mempunyai sifat individualistik.


(62)

2. Sistem Hukum Adat, yang bersifat komunal. Adat merupakan cermin kepribadian suatu bangsa dan penjelasan jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad.

3. Sistem Hukum Islam, sifatnya religious. (Tri Andrisman, 2004: 58-59).

Berdasarkan sistem hukum Indonesia yang secara formal menganut civil law sistem, hakim bukanlah aparat pencipta hukum, melainkan sebagai penerap hukum karena yang bertindak sebagai pencipta hukum adalah DPR bersama Presiden di tingkat pusat dan Gubemur/Bupati/Walikota bersama DPRD di tingkat daerah. Konsekuensinya, hakim tidak boleh menyimpang dari perundang-undangan yang telah ada, termasuk tidak boleh membentuk peraturan sendiri. Namun, sistem hukum tersebut tidak diterapkan secara utuh, tetapi telah dimodifikasi agar sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Dalam arti system hukum di Indonesia memberikan peluang kepada hakim agar dapat bertindak sebagai pencipta hukum, dimana sistem peradilan di Indonesia menganut sistem ius curiu novit. Asas tersebut menekankan bahwa hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan hukumnya tidak ada ataukah karena perundang-undangan kurang jelas atau kurang lengkap tetapi wajib memeriksa dan mengadilinya.

Secara asumtif, kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusan dalam proses peradilan pidana terdapat dalam Pasal 3 Ayat (1), (2), Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan :


(63)

Ayat (1) “Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan”

Ayat (1) “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar ekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Isi pasal tersebut dipertegas lagi dalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan :

Ayat (1) " Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

Berdasarkan ketentuan pasal di atas, hakim harus menemukan hukum. Hakim harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengetahui dan memahami hukum yang hidup di kalangan masyarakat yang dapat dijadikan sandaran dalam putusannya karena dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, hakim harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.

Bertitik tolak ketentuan tersebut, maka dalam keadaan tertentu hakim-hakim di Indonesia diberikan kewenangan oleh Undang-Undang untuk mengadakan


(64)

penciptaan hukum (rechtsvindizg) melalui putusan-putusannya, artinya apabila terjadi kekosongan atau undang-undang yang ada tidak jelas atau kurang lengkap ataukah tidak relevan dengan kenyataan sosial, hakim adalah pencipta hukumnya dengan merujuk pada hukum yang tidak tertulis sehingga untuk mewujudkan peran tersebut, maka hakim dapat melakukan interpretasi terhadap peraturan perundang-undangan yang ada untuk diterapkan pada kasus-kasus konkret. Namun, apabila metode interpretasi tersebut tidak dapat diterapkan pada suatu kasus, hakim dapat mengadakan konstruksi hukum, yaitu suatu upaya untuk menggunakan penalaran logis untuk mengembangkan lebih lanjut suatu ketentuan undang-undang dimana tidak berpegang lagi kepada bunyi peraturannya, tetapi dengan syarat tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem (Andi Hamzah, 1986: 66-67).

Penjatuhan putusan oleh hakim adalah berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum yang ada dengan melihat dari sudut pandang hakim dalam menilai, menyikapi, serta memberi pandangan terhadap kasus yang sedang ditangani oleh hakim itu sendiri. Lazimnya dalam praktik peradilan pada putusan hakim sebelum pertimbangan-pertimbangan hukum dibuktikan dan dipertimbangkan maka hakim terlebih dahulu akan menarik fakta-fakta dalam persidangan yang timbul dan merupakan konklusi kumulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa dan barang bukti yang diajukan dan diperiksa di persidiangan.

Fakta-fakta yang terungkap ditingkat penyidikan hanyalah berlaku sebagai hasil pemeriksaan sementara (voor onderzoek), sedangkan fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan sidang (gerechtelijk onderzoek) yang menjadi dasar-dasar


(1)

69

pertimbangan yang bersifat dogmatis, sedangkan pada faktor yang berupa non yuridis kurang diperhatikan dalam pertimbangan hukum sehingga hakim dalam memutus perkara hanya bersifat dogmatis dan hanya memenuhi kepastian hukum, yaitu hanya menerapkan aturan hukum terhadap suatu peristiwa.

B. Saran

1. Bagi hakim, hendaknya dalam menjatuhkan putusan khususnya dalam kasus penjualan video porno selain mempertimbangkan pertimbangan yuridis yang terungkap di persidangan dengan memperhatikan unsur-unsur dalam surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut umum juga harus mempertimbangkan pertimbangan non yuridis yang dilakukan oleh pelaku penjualan video porno terhadap masyarakat sekitar, selain itu juga dalam membuat pertimbangan, hakim seharusnya memperhatikan tuntutan atas dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum agar tidak terjadi kesalahan penerapan hukum.

2. Bagi pembuat undang, disarankan dalam membuat rumusan undang-undang hendaknya mencantumkan minimum pemberian pidana, serta memperhatikan perkembangan dan kenyataan yang ada dalam masyarakat agar undang-undang yang dibuat dapat memberikan keadilan yang seadil-adilnya.


(2)

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PENJUALAN VIDEO PORNO

(Studi Putusan No. 63/Pid/B/2009/PN.TK)

( Skripsi )

Oleh

Nata Parensa

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(3)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 16

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ... 18

B. Tujuan Pemidanaan ... 19

C. Pengertian Pornografi ... 24

1. Pornografi Sebagai Delik Kesusilaan... 27

2. Pengertian dan Dampak Negatifnya Pornografi ... 28

D. Sanksi Pidana dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan Pornoaksi ... 31

E. Pertimbangan Hakim dalam memutus dan menjatuhkan pidana... 32

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 34

B. Sumber dan Jenis data ... 34

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 35

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data... 36


(4)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden ... 38 B. Pertanggungjawaban Pelaku Penjualan VCD Porno ... 39 C. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana ... 50

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 67 B. Saran ... 69 DAFTAR PUSTAKA


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Andrisman, Tri. 2004. Buku Ajar Sistem Peradilan Indonesia. Universitas Lampung. Lampung

Arief, Barda Nawawi, 2001 . Masalah Penegakkan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Hamzah, Andi. 1986. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi. Pradnya Pramita. Jakarta

Husein, M. Husein. 2005. Dasar-Dasar Putusan Pengadilan Pidana. Alumni. Bandung

Lamintang, P.A.F. 1984.Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia. Sinar Baru. Bandung.

Moeljatno. 1983.Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Bandung.

Muladi dan Barda Nawawi Arif. 1998.Teori-teari dan Kebijakan Pidana. Cet 8. Alumni. Bandung

Poedjosewojo, Kusumadi. 2004. Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta

Saleh, Roeslan. 1980. Perbuatan Pidana dan Pertattggungiawaban Pidana. Aksara Baru. Jakarta

Soekanto, Soejono. 1983.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta.

---1983. Beberapa Asas Hukum Pidana Dalam Perspektif. Bina Aksara, Jakarta

Sudarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. Alumni. Bandung ---1990. Perbandingan Hukum Pidana. Alumni. Bandung

Undang-Undang Republik Indonesia No.44 Tahun 2008 tentangPornografi dan Pornoaksi.Asa Mandiri. Jakarta


(6)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 tahun 2009 tentangKekuasaan Kehakiman,Sinar Grafika, Jakarta.

Universitas Lampung,. 2010.Pedoman Penulisan Karya llmiah (Universitas Lampung. Unila Press. Bandar Lampung

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta