48 Setelah perjanjian Dwi Kewarganegaraan RI-RRC yang berlaku mulai 15
Desember 1960, orang-orang Etnik Tionghoa yang semula berstatus warga negara asing WNA, ada yang memilih menjadi WNI, tetapi ada pula yang menolak atau
ditolak sebagai WNI. Status hukum WNI berdasarkan perjanjian Dwi Kewarganegaraan RI-RRC itu dinyatakan tidak berlaku setelah keluar Inpres
Nomor 2 Tahun 1980 dan Kepres Nomor 13 Tahun 1980. Orang-orang Etnik Tionghoa WNI kemudian menerima SBKRI dari Camat setempat atas nama Ketua
Pengadilan Negeri.
3.2. Sejarah Masuknya Agama Tao di Kota Semarang
Agama Tao berasal dari negeri Tiongkok China sejak 7000 tahun yang lalu, umumnya agama Tao diyakini berasal dari Kaisar Kuning Huang Di karena
beliau yang pertama kali memperkenalkan nilai-nilai Tao dalam menjalankan pemerintahannya. Dikembangkan oleh Lao Tzu dengan Kitab Suci Tao De Jing
yang ditulisnya, kemudian oleh Zhang Tao Ling mengkodifikasikan ritus-ritus keagamaan Tao seperti tentang bagaimana cara memuja sembahyang pada Dewa
dengan baik dsb, sehingga ajaran-ajaran Tao menjadi sebuah institusi keagamaan yang well organized.
Diyakini bahwa agama Tao masuk dan berkembang di Indonesia sejak abad 6 SM seiring dengan masuknya etnik Tionghoa pada wilayah Nusantara
yang dapat dibuktikan dengan kronik bangsa Han yang saat itu berada dibawah kepemimpinan Kaisar Wang Ming, para pendatang dari daratan China ini masuk
membawa agama-agama yang berkembang di negeri Tiongkok sambil melakukan
49 kegiatan perdagangan. Agama-agama yang berkembang di Tiongkok selain agama
Tao, adalah Khonghucu dan Buddha, para pendatang ini mengaplikasikan nilai- nilai kegamaan dalam ajaran Tao dengan membangun sejumlah kelenteng sebagai
tempat ibadah. Dan pada masa-masa pelayaran Laksamana Cheng Hoo antara tahun
1405-1433 telah menemukan akulturasi budaya antara Tiongkok-Nusantara dengan adanya sejumlah kelenteng yang tersebar di seluruh wilayahnya, dan
diantara sejumlah kelenteng itu adalah Jin De Yuan yang dilukiskan oleh seniman Belanda F.Velentjin pada tahun 1726 tapi sayangnya kelenteng ini kemudian
terbakar habis saat terjadi peristiwa berdarah bagi etnik Tionghoa di Batavia tahun 1740
14
. Kedatangan agama Tao di Kota Semarang tidak dapat diketahui dengan
pasti, akan tetapi banyak tokoh-tokoh masyarakat atau tokoh-tokoh agama di daerah ini yang mengaitkan dengan datangnya etnik Cina di Kota Semarang
khususnya, dan di Jawa pada umumnya. Hal ini ditandai dengan jatuhnya dinasti Ming pada tahun 1683 yang mengakibatkan timbulnya gelombang imigran besar-
besaran bangsa Cina ke berbagai bangsa di Asia tenggara, salah satunya Indonesia. Orang Cina yang datang ke Indonesia sebagian besar berasal dari dua
propinsi, yakni Propinsi Fujien Fukien dan Guangdong Kwan Fu
15
. Adanya gelombang imigran tersebut berkaitan dengan iklim politik yang
kurang menguntungkan di negeri Tiongkok, karenna pada dinasti Qing tidak
14
Setiono. Op.cit. Hlm.26.
15
Dewi. Shinta, ISR., 2005, Boen Bio, Benteng Terakhir Umat Khonghucu, Surabaya : Penerbit JB. Books. Hlm. 2.
50 memberi keleluasaan atau kebebasan kepada orang Cina. Selain itu, keadaan alam
yang kurang subur juga turut mendoorong terjadinya migrasi tersebut. Oleh karena itu, orang-orang Cina tersebar kemana-mana, terutama suku Hokkian dan
suku Kwong Fu Kanton. Orang-orang Hokkian lebih banyak berdiam di Jawa dan menjalankan profesinya sebagai pedagang, sedangkan orang Kwan Fu lebih
banyak berdiam di Sumattera dan kalimantan Barat, serta menjalankan profesinya sebagai pekerja di perkebunan dan pertambangan.
Kedatangan orang-orang Cina tersebut telah membawa tradisi-tradisi leluhurnya dan atau budaya-budaya leluhurnya yang sudah lama berkembang di
daerah asalnya, seperti: agama dan kepercayaan tradisonal. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Tan I Ming Wawancara, 21 Mei 2014, bahwa banyak,
kalau bukan sebagian besar masyarakat dari daratan Cina yang mengenal dan memeluk agama, seperti Kong Hu Cu dan Tao. Bahkan, pada abad ke 17 sudah
ada bangunan-bangunan tua di Kota Semarang yang bernama klenteng, seperti Klenteng Siu Hok Bio di Wotgandul Timur. Konon, klenteng ini didirikan pada
tahun 1753 oleh komunitas etnik Tionghoa yang dikenal sebagai klenteng tertua di Kota Semarang. Di klenteng ini, dewa utama adalah Hok Teng Tjeng, yang
merupakan dewa utama dalam ajaran Taoisme. Selain itu, di Kota Semarang juga terdapat bangunan klenteng tua yang
disebut “Klenteng Tay Kak Sie”. Klenteng ini dibangun sekitar tahun 1746, sebagaimana tertulis pada pintu masuk klenteng Tay Kak Sie itu. Pada awalnya,
Klenteng Tay Kak Sie ini digunakan untuk memuja Yang Mulia Dewi Welas Asih Koan Sie Im Po Sat. Dalam perkembangannya, klenteng tersebut digunakan
51 sebagai tempat pemujaan berbagai Dewa Dewi dari aliran Tao maupun
Konfusianisme. Hal ini ditandai dengan adanya ornamen-ornamen dan atau simbol-simbol yang berhubungan dengan kepercayaan Tao, dan Konfusianisme,
seperti: atap klenteng yang berhiaskan sepasang naga sedang memperebutkan matahari. Naga dalam mitologi Cina merupakan binatang yang melambangkan
keadilan, kekuatan, dan penjaga barang-barang suci. Naga atau Liong mempunyai makna sebagai lambang kejayaaan atau kemakmuran karena persatuan dari
berbagai unsur yang ada. Selain itu, di atas klenteng terdapat simbol singa atau qillin sebagai lambang panjang umur, kemegahan, kebahagiaan, kebajikan, dan
kebijaksanaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa agama Tao sudah masuk di tanah Jawa,
khususnya Kota Semarang. Bahkan, jauh sebelum itu agama Tao telah masuk di tanah Jawa sekitar abad ke 15. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh
Hariyono
16
bahwa pada abad ke 15 telah ada orang Cina di Jawa yang beragama Tao. Hal ini dapat dilihat ketika Raden Patah ingin menegakan Islam di tanah
Jawa, dimana seluruh pantai utara dikuasainya. Namun, ketika sampai di Semarang di sekitar Sam Po Kong, pasukan tidak menaklukkan orang yang tidak
beragama Islam, karena penduduk disitu memiliki kemahiran membuat kapal yang akan berguna untuk melebarkan kekuasaan Demak. Bahkan, Pengrajin kapal
ini ikut membantu menyelesaikan masjid Demak.
16
Rahmadani, Arnis, 2007, Religi Etnis Cina di Jawa, Semarang: Balai Litbang Agama Semarang. Hlm. 62.
52 Bagi umat Tao, ritual keagamaan berada di tempat-tempat peribadatan
Tridharma TITD yang dikenal dengan sebutan klenteng, sedangkan klenteng pada hakikatnya merupakan tempat ibadat bersama bagi umat Tridharma. Sebagai
ciri umat Tridharma adalah terbiasa untuk menghargai dan merasa ikut memiliki kedua ajaran yang lain, meskipun biasanya setiap orang condong pada satu ajaran
saja
17
. Di Tiongkok, konsep semacam ini dikenal dengan “Sam Kauw” dalam
dialek Hokkian berarti tiga sam agamaajaran kauw, yang dimaksud adalah tiga ajaran yang meliputi Taoisme, Budhisme, dan Konfusianisme. Di Indonesia,
konsep “sam kauw” dikenal dengan istilah “Tridharma” yang didirikan oleh Kwee Tek Hoay pada tahun 1934.
Etnik Tionghoa sangat menghargai nilai-nilai kemuliaan keluarga berdasarkan ajaran-ajaran baik dari agama Tao, Khonghucu dan juga agama
Buddha, ketiga agama ini telah tersinkretasi menjadi suatu pranata nilai yang ajeg dalam budaya Thionghoa. Medio tahun 1930-an para tokoh dari kalangan etnik
Thionghoa merasa bahwa semakin banyak anggotanya yang melupakan nilai-nilai luhur tersebut, dimulai dengan adanya Thiong Hwa Hwee Kwan THHK yang
merupakan organisasi yang berdasarkan prinsip-prinsip ajaran Khonghucu hadir untuk mengembalikan masyarakat Thionghoa untuk kembali menegakkan prinsip-
prinsip luhur budaya timur yang telah terkikis oleh kapitalisme barat. Kehadiran THHK membawa semangat baru bagi Kwee Tek Hoay untuk mendirikan Sam
Kauw Hwee San Jiao Hui, yakni Masyarakat Tiga Agama, tujuan organisasi ini
17
Herman Jaya, David. 2013, Bahan Penataran Dharmaduta Tridharma Jawa Tengah, Semarang : PTITD se-Indonesia. Hlm. 7.
53 adalah mempersatukan, menyebarluaskan ajaran tiga agama Tao, Khonghucu,
dan Buddha. Tapi pada dasarnya organisasi ini lebih bersifat kekeluargaan bagi intern
etnik Tionghoa, dan tidak bermaksud untuk memfusikan ketiga agama menajdi satu agama tunggal sebagaimana yang diungkapkan oleh D.E.Willmott, sebagai
berikut: “Ajaran tumimbal lahir tidak diselaraskan dengan ajaran leluhur, dan cara-
cara hidupyang agak berbeda yang disiratkan dalam Kesalehan Khonghucuisme, Peninggalan Keduniawian Budhisme, dan Kepasifan
Taoisme, dianjurkan secara terpisah atau bersama. Banyak anggota dan penceramah terutama merupakan penganut dari salah satu dari ketiga
agama itu, sementara meminjam gagasan-gagasan yang sesuai dari dua yang lain
” Suryadinata, 2002:180.
Organisasi Sam Kauw Hwee inilah yang kemudian beralih nama menjadi Tri Dharma pada masa-masa setelah G 30S PKI yang menstigmaisasi Tionghoa
baik secara kultural, politik, dan ini berdampak dengan enggannya pemerintah mengakui kedua agama Tiongkok Tao dan Khonghucu sebagai sebuah agama,
lain halnya dengan agama Budha yang lebih dikenal di Indonesia karena agama Budha sebelumnya telah menjadi suatu agama mayoritas saat era nusantara.
Di tempat ibadat Tridharma ini, kegiatan yang dilakukan hanya sebatas sembahyang bersama pemujaan dewadewi atau altar sam kauw sehingga
terpelihara ikatan kebersamaan antar sesama orang Tionghoa. Namun, secara keyakinan umat Tridharma percaya kepada “Trinabi” sam kauw Seng JinSan
Jiao Seng Ren secara seimbang, yakni nabi Kong Cu, nabi Lao Tse, dan Budha. Pendirian tempat ibadat Tridharma ini dimaksudkan untuk membendung arus
54 kristenisasi yang dilakukan oleh para penginjil barat pada orang-orang Cina.
Dengan kesatuan umat “tiga agama”, maka dianggap cukup kuat dalam membendung kritenisasi itu. Setelah Indonesia merdeka 1945, maka Tridharma
sudah bernaung di bawah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Bali yang kemudian berubah menjadi Dirjen Bimas Hindu dan Buddha. Kini,
Tridharma bernaung di bawah Dirjen Bimas Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia.
3.3. Perkembangan Agama Tao di Kota Semarang