36
BAB III KEBERADAAN DAN KEGIATAN TAO SEBAGAI AGAMA
BAGI MASYARAKAT ETNIK TIONGHOA DI KOTA SEMARANG
3.1. Sejarah Kedatangan Etnik Tionghoa di Kota Semarang
Menurut J.R. van Berkum dan Muhammad Husayn, bahwa jauh sebelum rombongan Cheng Ho datang ke Semarang telah ada pemukiman orang-orang
Tionghoa di sekitar pelabuhan Gedung Batu Simongan cukup beralasan karena berdasarkan barang-barang kuno yang berhasil ditemukan misalnya: tembikar,
guci, dan sejenisnya di beberapa daerah di Indonesia, seperti Jawa Barat, Lampung, Batanghari Riau, dan Kalimantan Barat. Benda lain yang ikut
memberikan kemungkinan tersebut, ditemukannya sejumlah genderang perunggu berukuran besar di Sumatera Selatan. yang mempunyai kesamaan dengan
gcnderang perunggu Tiongkok pada masa Dinasti Han. Termasuk dalam budaya Dongson atau Heger Type I yang diproduksi di desa Dongson, sebuah desa kecil
di propinsi Thanh Hoa, Teluk Tonkin sebelah utara Vietnam pada tahun 600 SM sampai abad 3 M
1
Setiono, 2002:17. Bermula dari dugaan-dugaan tersebut dapat ditarik kesimpulan, hubungan
lalu lintas antara orang-orang Cina dari daratan Cina dengan Nusantara telah berlangsung lama. Berdasarkan kronik catatan berbagai peristiwa yang disusun
berdasarkan urutan waktu dan cerita dalam Dinasti Han maka pada masa
1
Setiono, Benny G. 2002. Cina Dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa. Hlm. 17.
37 pemerintahan Kaisar Wang Ming atau Wang Mang 1-6 SM, ternyata Tiongkok
telah mengenal Nusantara yang disebut Huang-Tse. Perjalanan pulang pergi dari Tiongkok ke Nusantara memerlukan waktu
satu tahun karena pengaruh musim, sehingga banyak pengembara pedagang dari daratan Cina yang harus tinggal selama enam bulan dan akhirnya jatuh cinta
dengan negeri yang kaya ini. Apalagi kalau dibandingkan dengan negeri tempat mereka berasal, yang tandus dan banyak terjadi bencana alam dan peperangan
yang berkepanjangan. Pada masa kerajaan Airlangga terdapat koloni-koloni Cina yang menetap
antara lain di Tuban, Gresik, Jepara, Lasem, dan Banten. Satu hal yang penting adalah orang-orang Cina mau dan dapat memepertahankan kependudukannya.
Karena mereka diterima oleh penduduk pribumi setempat untuk membaur dan hidup berdampingan dengan damai
2
. Menurut catatan yang ada, orang-orang Cina mulai berdatangan ke
Indonesia pada abad IX yaitu pada masa pemerintahan Dinasti Tang untuk berdagang dan mencari kehidupan baru. Ketika Laksamana Cheng Ho
mcngunjungi Jawa, Cheng Ho menjumpai berbagai pemukiman yang luas dari para pedagang Cina yang tiba pada akhir abad XIV. Sekalipun pada masa itu,
kaisar Zhu Yuanzhang dengan tegas melarang orang Cina melakukan perdagangan dan perjalanan ke luar negeri sendiri-sendiri. Dalam sejarah
diketahui pada zaman Mataram kuno kira - kira abad VII, Semarang sudah merupakan pelabuhan penting. Sekarang letaknya disekitar Pasar Bulu di kaki
2
Toer, Pramoedya Ananta. 1998. Hoakkiau di Indonesia. Jakarta: Garba Budaya. Hlm. 206-211.
38 bukit Bergota yang terdiri dari beberapa bukit kecil, seperti Bukit Brintik kini
masih bisa dilihat di perbukitan belakang Gereja Kathedral dan Bukit Mugas sekarang terdapat gedung PTP dan Universitas Stikubank di belakang pom
bensin hingga daerah Tlogo Bayem. Di sebelah selatan dan barat Bukit Bergota terdapat antara lain bukit Candi dan Bukit Simongan yaitu daerah sekitar Gedung
Batu sekarang. Waktu itu pendatang-pendatang dari daratan Tiongkok sudah banyak yang bermukim di sana.
Tidak diketahui secara pasti, siapakah orang Cina yang pertama kali bermukim di sekitar pelabuhan Gedung Batu. Meski dalam arsip Kongkoan atau
Chineese Road yaitu institusi resmi orang Cina yang terdiri dari Mayor, Kapten, dan Letnan yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda untuk mengurusi masalah-
masalah ringan dalam kelompok mereka seperti pencatatan perkawinan yang terdapat di setiap kota besar di Indonesia, disebutkan bahwa Sam Poo Tay Djien
atau Cheng Ho adalah yang pertama kali menginjakkan kakinya di tanah Semarang. Cheng Ho, Zheng He, The Hoo, Sam Poo adalah satu nama yang
dibelakang hari menjadi semacam “tokoh mitologi” yang sangat dikeramatkan dikalangan etnik Tionghoa bahkan sampai sebagai dewa diberbagai kelenteng
dengan se butan “Sam Po Kong” oleh para penganut Konfusianis. Sebuah
anakhronisme, Maestro Cheng Ho pun di kemudian hari dikenal dengan banyak sebutan, diantaranya adalah Sam Po Tay Djien, Sam Poo Tay Kam, Sam Poo Toa
Lang
3
. Cheng Ho adalah utusan dari Kaisar Yung Lo dari dinasti Ming untuk
3
Hidayatullah, A.F. 2005. Kelenteng Sam Po Kong Ekspresi Kebudayaan Cina Jawa Islam di Kota Semarang. Semarang. Skripsi Fakultas Ushuludin IAIN Walisongo.
Hlm. 35.
39 mengadakan pelayaran ke daerah-daerah di Lautan Selatan dari tahun 1405
sampai tahun 1433 dan mungkin telah mengunjungi Semarang pada tahun 1406
4
Kasmadi dan Wiyono, 1985:77. Yang jelas, mereka menganggap leluhurnya untuk pertama kali datang di Indonesia adalah mendarat di Bantam Banten.
Kemudian berpencar ke daerah lain seperti Jepara, Lasem, Rembang, Demak, Tanjung, Buyaran, dan akhirnya sampai ke Semarang.
Wang Jinghong Ong King Hong, sang jurumudi dan sepuluh awak kapal lainnya yang ditinggal di Semarang oleh rombongan besar Laksamana Cheng Ho
ketika hendak meneruskan perjalanannya ke Tuban, karena Wang Jinghong sakit keras dan setelah sembuh dengan dibantu oleh awak kapal yang ikut ditinggal,
mereka membuka pemukiman baru di sekitar pelabuhan Gedung Batu Simongan. Tidak jauh dari tempat mereka tinggal memang telah ada pemukiman
penduduk yang dihuni oleh penduduk asli dan warga etnik Cina yang lebih dahulu datang ke Semarang.
Belakangan orang-orang etnik Cina yang merantau ke Semarang memilih bertempat tinggal di sekitar Kelenteng Sam Po Kong karena Gedung Batu
memiliki Hong-sui Geomancy yang bagus dibandingkan dengan daerah lain di Semarang yang waktu itu masih berupa tegalan dengan beberapa rumah penduduk
yang letaknya berdampingan dengan rawa-rawa ataupun comberan, disamping untuk ngalap berkah dari Sam Po Kong.
4
Kasmadi, Hartono. dan Wiyono. 1985. Sejarah Sosial Kota Semarang 1900-1950. Jakarta: Depdikbud Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi
dan Dokumentasi Sejarah Nasional. Hlm. 77.
40 Tidak jauh dari pemukiman Gedung Batu tinggallah seorang etnik
Tionghoa benama Souw Pan Djiang yang jago silat dan di rumahnya sering diadakan semacam diskusi dengan warga etnik Tionghoa yang lain tentang kiat-
kiat berdagang di Semarang. Sekarang daerah tersebut dikenal dengan nama Panjangan, dulu disebut sebagai desa Sepanjang, yang berasal dari kata Pan-
Djiang yang merupakan dua kata terakhir dari nama Souw Pan Djiang
5
Liem Thian Joe, 1933. Kebanyakan orang-orang Cina yang merantau ke Semarang
ataupun daerah lain mayoritas adalah pedagang berbagai jenis barang khas daratan Tiongkok seperti tembikar, porselen, kain sutera dan lain sebagainya. Kebiasaan
dari mereka pedagang Cina adalah membawa uang tangci sebagai alat pembayaran yang sah. Lantaran bentuknya yang persegi dan berlubang
ditengahnya, dan ketika mereka hendak bepergian selalu merenceng merangkai uang tersebut dan melilitkannya di pinggang. Saat itu, penduduk Semarang
menyebutnya uang Kentang, sedangkan penduduk di wilayah Kedu seperti Magelang, Temanggung, Kebumen, dan Purworejo menyebutnya dengan uang
Gobok. Sebelum kedatangan orang Belanda, penduduk etnik Tionghoa di
Semarang atau daerah lain di Indonesia hidup damai dengan penduduk setempat. Mereka hidup membaur dan berkulturasi dengan budaya masing-masing.
Disamping berdagang. orang etnik Tionghoa juga bermata pencaharian sebagai petani dan tukang. Umumnya mereka tidak membawa serta istri dari Tiongkok
5
Joe, Liem Thian. 1933. Riwayat Semarang: Dari Djamanja Sam Po Sampe Terhapoesnja Kongkoan. Tjitakan Pertama. Semarang-Batavia: Boekhandel-Ho
Kim Yoe.
41 dan menikah dengan perempuan local sehingga lahirlah keturunan campuran yang
biasa disebut peranakan dan telah merasa menjadi orang Indonesia. Meski demikian, orang Indonesia pada umumnya memandang orang etnik Tionghoa
terbagi kedalam dua golongan, yaitu Peranakan dan Totok. Penggolongan tersebut bukan hanya berdasarkan faktor kelahiran saja,
artinya orang Peranakan itu tidak hanya yang lahir di Indonesia, hasil perkawinan silang antara orang etnik Tionghoa dan orang Indonesia. Sedangkan orang Totok
bukan hanya orang etnik Tionghoa yang asli kelahiran Cina. Akan tetapi penggolongan tersebut juga menyangkut soal derajat penyesuaian dan akulturasi
dari para perantau etnik Tionghoaterhadap kebudayaan Indonesia yang ada di sekitarnya. Sedangkan derajat akulturasi itu tergantung kepada jumlah generasi
para perantau itu telah berada di Indonesia dan kepada intensitet perkawinan campuran yang telah terjadi di antara para perantau itu dengan orang Indonesia.
Penggolongan diatas jelas bermuatan politis, sebagaimana sentimen anti-Cina yang dihembuskan oleh pemerintah Belanda ketika menjajah Indonesia, kemudian
diperburuk lagi oleh pemerintahan pada masa Presiden Soeharto
6
. Orang-orang Cina seperti yang tinggal di kota-kota lain, dibedakan antara peranakan dan totok.
Peranakan adalah yang sudah lama tinggal di Indonesia, sudah berbaur dengan masyarakat pribumi, berbahasa Indonesia dan bahasa daerah setempat, dan
6
Vasanty, Puspa. 2002. Kebudayaan Orang-Orang Cina di Indonesia. dalam Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Cetakan ke-19. Jakarta:
Djambatan. Hlm. 353-357.
42 berperilaku seperti pribumi. Adapun totok, adalah orang-orang Cina pendatang
baru, yang datang baru sekitar satu0dua generasi, dan berbahasa Cina
7
Major William Thorn dalam buku laporannya selaku Deputy Quarter- Master General to the Forces Serving in Java, menyatakan orang-orang Cina
tidak membawa istri dari Tiongkok karena memang ada larangan untuk membawa atau mengirim perempuan keluar dari Tiongkok. Mereka pada umumnya
mengawini perempuan Jawa atau Melayu, atau membeli budak untuk dijadikan gundik atau istri. Tidak kurang dari 5.000 orang etnik Tionghoa yang segera
datang ke Batavia kemudian menyebar ke seantero Jawa begitu mendengar kabar bahwa Inggris telah merebut Pulau Jawa
8
. Migrasi wanita etnik Cina ke Asia tenggara baru di mulai pada abad ke-l9
dan awal abad ke-20. Sebelumnya imigran etnik Tionghoa hanya terdiri laki-laki saja. Migrasi wanita etnik Tionghoa ini bertalian dengan fasilitas penggunaan
kapal api dan murahnya tarif angkutan. Sejak itu migrasi orang etnik Tionghoa baik laki-laki maupun perempuan meningkat tajam.
Menyinggung soal kemurnian penduduk Indonesia, Dr.Josef Glinko 2000, pakar antropolog Universitas Airlangga menyatakan, khusus untuk
masyarakat Cina sebagai mereka yang telah ratusan tahun meninggalkan tanah airnya, memang hanya pria. Dengan demikian, mau tk mau mereka lantas kawin
dengan para wanita disini, jadilah keturunannya anak beranak ikut menghuni Indonesia. “Lha, mana yang tetap non pribumi kalau begini? Hanya orang bodoh
yang mempersoalkanya ........”.
7
Rustopo. 2007. Menjadi Jawa.Yogyakarta: Penerbit Ombak. Hlm. 62-68
.
8
Setiono, Op.cit. 53-54.
43 Kota Semarang telah diciptakan sebagai sebuah kota oleh van Bamellen di
tahun 1659 merupakan pelabuhan penting di jalur pantai utara Jawa. Yang mana keadaannya sangat menarik perhatian berbagai pedagang yang datang dari Arab,
India, Persia, Cina, dan tak ketinggalan pula orang-orang Eropa. Orang Eropa yang pertama kali datang ke Semarang adalah orang Portugis, menetap di sekitar
“kota lama” Heerenstraat, yaitu sekitar Gereja Blenduk. Sedangkan Belanda masuk Semarang mulai awal abad ke-17.
Pada masa itu, Semarang merupakan sebuah Kadipaten dibawah kekuasaan Kerajaan Demak yang kemudian jatuh dalam kekuasaan Mataram
dibawah pimpinan Amangkurat I. Sewaktu terjadi peperangan antara Pangeran Trunojoyo melawan pihak Mataram dibawah pimpinan Raja Amangkurat II,
Souw Pan Djiang bersama warga etnik Tionghoa lainnya yang menguasai ilmu silat, berada di pihak Trunojoyo.
Pihak Mataram terdesak sampai di Kartasura. Penguasa Kartasura meminta bantuan kepada Mataram. Hingga Amangkurat II mengambil keputusan
untuk meminta bantuan kepada VOC Vereenidge Oost Indische Compagnie, yaitu kongsi dagang Belanda yang mempunyai tugas mengatur memonopoli
perniagaan di negeri jajahan Pemerintahan Belanda. Orang Jawa menyebutnya Kumpeni, dan orang etnik Cina menyebutnya Kong Pan Ge
9
. VOC tersebut bertugas menumpas para pemberontak Trunojoyo. VOC
atau Kompeni berhasil menumpas pemberontakan tersebut. Informasi tentang tahun terjadinya peristiwa pemberontakan tersebut berbeda-beda, misalnya dalam
9
Hidayatullah. Op.cit. 53.
44 Arsip Kongkoan disebutkan terjadi pada tahun 1628, padahal menurut A.J.
Eijkman dalam bukunya Geschiedenis van Nederland Oost-Indie disebutkan bahwa Kartasura baru didirikan oleh Amangkurat II pada tahun 1678, sedangkan
menurut Raffles dalam bukunya Raffles History of Java disebutkan bahwa pemberontakan tersebut terjadi pada tahun 1731
10
. Sebagai imbalannya, pihak Mataram menyerahkan daerah Semarang
kepada Kompeni. Semarang resmi dibawah kekuasaan Kompeni sejak tanggal 15 Januari 1678. Dalam Arsip Kongkoan karya dari Liem Thian Joe, peristiwa itu
terjadi pada 15 Januari 1724. Namun pada tahun 1799 VOC mengalami bangkrut sehingga Semarang diambil alih oleh pemerintah Belanda yang secara otomatis
diterapkan pemerintahan kolonial Belanda. Perpindahan pemukiman orang-orang etnik Tionghoa yang lazim disebut
pecinan, dari Gedung Batu ke tempat sekarang yang merupakan wilayah Kelurahan Kranggan, adalah bermula dari perlawanan orang-orang etnik
Tionghoa di Batavia Jakarta pada tahun 1740 yang mengakibatkan terbunuhnya 10.000 orang etnik Cina. Pada tahun 1743 pemberontakan tersebut dapat
ditumpas oleh Belanda. Untuk mengantisipasi peristiwa serupa, pemerintah Belanda di Semarang
memaksa pindah orang-orang etnik Tionghoa di Gedung Batu untuk bermukim di Semarang yaitu di daerah Kali Semarang agar mudah diawasi. Daerah-daerah itu
meliputi daerah sekitar Beteng, Wotgandul, Cap Kau King, Gang Pinggir, dan Kali Koping. Untuk pengawasan dibangunlah sebuah gedung sebagai tangsi
10
Ibid. Hlm.52
45 militer di ujung Bojong tepatnya di jalan Djurnatan. Gedung tersebut di namakan
“De Werttensbergse Kazerne”. Namun sekarang gedung itu telah dimusnahkan, menjadi kawasan pertokoan Semarang Plaza.
Alasan Belanda memindahkan orang-orang etnik Tionghoa yaitu agar mudah diawasi dan untuk menghambat kontak hubungan dengan warga etnik
Tionghoa di daerah lain. Oleh karena itu Belanda memperkenankan warga etnik Tionghoa untuk mendirikan tempat tinggalnya dimana saja asal masih dalam
wilayah yang ditetapkan oleh penguasa. Untuk sebelah utara, selatan dan timur yaitu berbatasan dengan kali
Semarang. Kali Semarang itu mengalir dan memutar diantara Cap Kauw King, Gang Pinggir, dan Pekojan yang pada waktu itu merupakan akses terpenting
sebagai jalur perdagangan dari pelabuhan menuju ke daerah-daerah pedalaman. Sedangkan sebelah barat berbatasan dengan sebuah tegalan yang dinamakan
Beteng
11
. Akibatnya orang-orang etnik Tionghoa lalu mendirikan bangunannya sekenanya saja, sampai sekarang masih bisa kita lihat bekas-bekasnya, misalnya,
jalan di Gang Baru sebelah selatan sedikit lebar, sedangkan yang disebelah utara sangat sempit.
Selanjutnya, kota Semarang semakin maju perdagangannya. Orang-orang etnik Tionghoa ramai mengembangkan kebiasaan dari negeri moyangnya yaitu
judi. Pusat perjudian terkonsentrasi di daerah Gang. Pinggir, tepatnya di ujung Gang Tjilik. Dampak dari ramainya perjudian di kawasan baru tersebut adalah
berdiri pula tempat-tempat pegadaian. Dimana para penjudi yang tidak hanya
11
Joe.Op.cit. Hlm. 6.
46 orang etnik Tionghoa, pendatang dari India, Arab, Persia, Belanda dan juga orang
Jawa sendiri pun ikut serta agar mudah mendapatkan uang. Pihak Belanda pun memungut pajak judi. Dan pada tahun 1724 pemerintah Belanda mengeluarkan
uang resmi. Meski di Semarang waktu itu telah beredar pula uang Gobok Tangci dan Real. Uang resmi yang dikeluarkan Belanda disebut dengan Hollandsche
Duitten. Sementara uang Gobok berlaku hingga tahun 1855, kemudian diganti dengan uang Cent
12
Tio,tth:21. Perlu untuk diketahui, saat itu kali Semarang masih jernih dan dalam,
sehingga kapal-kapal berukuran sedang bisa masuk dan bersandar di Kali Koping Gang Pinggir yang kemudian membawa kemajuan pesat bagi daerah Pecinan
sampai ke arah timur yang sekarang dikenal dengan nama Petudungan. Pembauran antara warga etnik Tionghoa dengan penduduk asli maupun dari suku-
suku lain yang mayoritas beragama Islam dengan ditunjang adanya sebuah Pesantren, membawa Petudungan berkembang pesat hingga hutan-hutan dibuka
untuk pemukiman baru dan jalan sebagai akses menuju Demak terutama melewati jalan Ambengan.
Setelah peristiwa pembantaian orang etnik Tionghoa pada bulan Oktober 1740 oleh Kompeni Belanda, terjadilah pengungsian besar-besaran dari Jakarta ke
daerah Jawa Tengah. Maka terbentuklah konsentrasi pemukiman etnik Tionghoa di Semarang, dan di sana berdirilah kelenteng-kelenteng seperti Kwee Lak Kwa
TITD Sinar Samudera, Tay Kak Sie, dan lain sebagainya. Kemudian pada tahun 1797, pihak Belanda membuka hutan-hutan di
12
Tio. Op.cit. Hlm.21.
47 daerah Pekojan yang pada saat itu dikenal sebagai tempat bermukimnya orang
Koja, yaitu warga keturunan India yang menikah dengan penduduk asli setempat. Pembukaan hutan tersebut untuk kenyamanan warga Belanda. Akibatnya
pekuburan etnik Tionghoa dipindahkan di kaki bukit Candi, yaitu disekitar jalan Sriwijaya, jalan Gergaji, dan jalan Diponegoro atau jalan Siranda. Untuk
keperluan acara pemindahan kuburan tersebut, warga etnik Tionghoa mengadakan upacara besar-besaran untuk menolak bala. Untuk mengenangnya dibuatlah
inskripsi yang bertuliskan Lam Boe 0 Mie Too Hoet Kian An, yang dipahatkan di ujung jalan Petolongan yang tembusannya sampai jalan Pekojan
13
. Dalam perkembangannya, daerah Pekojan masuk ke dalam wilayah
Pecinan. Seiring bertambahnya pendatang yang bermukim, menyebabkan pelebaran daerah Pekojan. Sampai-sampai bekas penjara di pojok perempatan
Djurnatan pun diubah menjadi pusat pertokoan. Untuk keamanan daerah Pecinan, warga etnik Tionghoa mengajukan izin
kepada pemerintah Belanda selaku penguasa agar diperbolehkan membangun pintu gerhang di empat penjuru daerah Pecinan. Pertama, di jalan Sebandaran
yang menikung ke arah jalan Jagalan. Kedua, di sudut jalan Cap Kau King berbatasan dengan jalan Benteng. Ketiga, di jalan Gang Warung. Dan keempat, di
seberang jembatan Pekojan. Akhirnya pada tahun 1811, Semarang jatuh ke tangan Inggris. Ketika itu Gubernur Jenderal Hindia-Belanda adalah Jenderal Jannssens.
Penyerahan kekuasaan dilakukan di Benteng Ungaran yang sekarang menjadi sebuah asrama.
13
Ibid. Hlm. 21
48 Setelah perjanjian Dwi Kewarganegaraan RI-RRC yang berlaku mulai 15
Desember 1960, orang-orang Etnik Tionghoa yang semula berstatus warga negara asing WNA, ada yang memilih menjadi WNI, tetapi ada pula yang menolak atau
ditolak sebagai WNI. Status hukum WNI berdasarkan perjanjian Dwi Kewarganegaraan RI-RRC itu dinyatakan tidak berlaku setelah keluar Inpres
Nomor 2 Tahun 1980 dan Kepres Nomor 13 Tahun 1980. Orang-orang Etnik Tionghoa WNI kemudian menerima SBKRI dari Camat setempat atas nama Ketua
Pengadilan Negeri.
3.2. Sejarah Masuknya Agama Tao di Kota Semarang