54 kristenisasi yang dilakukan oleh para penginjil barat pada orang-orang Cina.
Dengan kesatuan umat “tiga agama”, maka dianggap cukup kuat dalam membendung kritenisasi itu. Setelah Indonesia merdeka 1945, maka Tridharma
sudah bernaung di bawah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Bali yang kemudian berubah menjadi Dirjen Bimas Hindu dan Buddha. Kini,
Tridharma bernaung di bawah Dirjen Bimas Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia.
3.3. Perkembangan Agama Tao di Kota Semarang
Di Indonesia, ketika negara hadir dengan melabeli agama Tao hanya sebagai salah satu nilai filsafat kebudayaan yang berasal dari hasil pemikiran
masyarakat etnik Tionghoa yang berasal dari daratan Cina, pendapat negara menjadi begitu dangkal tanpa memikirkan lebih bijak bahwa agama erat kaitannya
dengan keyakinan dan kepercayaan terhadap kekuatan sang Pencipta bagi setiap penganutnya. Keyakinan para umat terhadap keberadaan Tuhan didasari dengan
dogma-dogma teologi kanonik. Agama Tao dianggap hanya sebagai suatu nilai filsafat karena adanya
prasangka-prasangka etnik terhadap etnik Tionghoa, dan sayangnya nilai-nilai dalam agama Tao berbeda jamaknya agama yang diakui oleh negara seperti Islam,
Katolik, Kristen Protestan, Hindhu dan Budha sehingga dengan mudahnya label itu melekat pada agama Tao. Nilai-nilai moral pada agama Tao bersumber pada
Kitab Suci Tao De Jing yang kurang dikenal masyarakat secara umum, imbasnya
55 prasangka-prasangka terhadap etnik Tionghoa menguat pada umat Tao yang
dianggap “tidak beragama” namun hanya “percaya pada Tuhan Yang Maha Esa”. Pengakuan Negara terhadap agama tertentu yang dianggap memiliki
jumlah penganut dihitung secara kuantitas patut menjadi kajian di masa mendatang karena persoalan utama adalah apakah kriteria utama untuk bisa
menentukan sebuah agama bisa diakui secara resmi di Negara Kesatuan Republik Indonesia ? Apakah agama dengan penganut yang sedikit tidak bisa mendapatkan
tempat di rumah sendiri di tanah air Indonesia ? Apakah yang menjadi konsep pengakuan agama oleh pemerintah adalah agama tersebut harus berasal dari
Timur Tengah sehingga agama asli yang lahir dan berkembang di tanah air hingga kini belum bisa memperoleh pengakuan secara legal dari pemerintah. Ini sangat
kontradiksi ketika agama Baha’i yang juga menjadi salah satu agama import sudah memperoleh pengakuan dan pelayanan oleh Negara. Tentu hal ini akan
menjadi kecemburuan bagi pemeluk agama lainnya yang masih belum diakui oleh negera. Meskipun penganut sedikit, agama-agama yang berkembang di Indonesia
sudah lama dipeluk oleh masyarakatsukuetnik yang mendiami bumi nusantara sehingga eksistensi mereka tidak bisa dipandang sebelah mata. Maka konsep
untuk melihat agama bisa diterima atau tidak oleh pemerintah tentunya juga harus dilihat secara sosiologis dan cultural. Peneliti memandang bahwa melalui
perumusan teori 4Cs yang dikembangkan oleh Swidler dan Mojzes tentang agama dapat dijadikan pedoman oleh pemerintah dalam mengakui sebuah agama yang
sudah lahir, berkembang, dan dipeluk secara turun temurun oleh rakyat Indonesia. Memang konsekuensinya, akan ada banyak agama di tanah air bila setiap agama
56 yang memenuhi kriteria 4 Cs di kemudian hari menjadi agama resmi di Indonesia.
Bila sudah diakui, tentu saja diperlukan aturan untuk mewujudkan kerukunan antarumat beragama. Kearifan lokal di setiap daerah memungkinkan pemeluk
agama tersebut bisa hidup berdampingan dan menjalin hubungan satu sama lainnya. Tentu saja kehadiran Negara masih diperlukan untuk melakukan
pembinaan kehidupan keagamaan sehingga toleransi antarumat beragama tetap terjaga di bumi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Konsepsi agama akan sangat berbeda bagi setiap agama dan umat dari agama itu sendiri, jika kita melihat konsepsi agama dalam Islam dan Katolik
tentunya sangat berbeda, begitu pula antara Hindhu dan Kristen Protestan pun akan terjadi hal yang sama. Lantas bagaimana dengan agama Tao?
Selama ini agama Tao dalam pandangan awam seringkali dikaitkan dengan agama Buddha karena beberapa kemiripan dalam ritus peribadatannya,
misalnya penilaian awam ini muncul karena masyarakat melihat bahwa umat Budha melakukan ritus keagamaan dengan menggunakan salah satu sarana seperti
hio dupa yang juga dapat ditemui dalam ritus keagamaan Tao. Jadi sebenarnya apa yang dapat dikatakan sebagai “agama”? Konsepsi tentang agama akan
menjadi sangat debatable dari perspektif setiap individu yang meyakininya. Oleh sebab itu agama dalam keanekaragamannya itu hanya memerlukan deskripsi
penggambaran untuk memahaminya, bukan definisi batasan. Di Semarang, banyak umat Tao yang mengunjungi Kelenteng Tay Kak Sie
untuk melaksanakan ritual keagamaan. Hal ini disebabkan oleh nuansa klenteng tua yang memiliki arsitektur bagus, baik dari segi ornamen maupun hiasan-
57 hiasannya. Bahkan, kebanyakan dewadewi dalam Kelenteng Tay Kak Sie ini
adalah dewadewi agama Tao. Sementara itu, kelenteng ini kurang memiliki fasilitas ritual keagamaan bagi umat Tao yang memadai, seperti: ruang atau
tempat pemujaaan dewadewi agama Tao. Karena itu, ada beberapa tokoh umat Tao yang tergabung dalam Paguyuban Umat Tao Indonesia PUTI untuk
memikirkan tentang pendirian kelenteng di tempat lain yang lebih representatif. Perlu diketahui bahwa PUTI adalah sebuah organisasi yang berbentuk
paguyuban dan bersifat kekeluargaan serta bebas dijadikan wadah bagi seluruh umat Tao di Indonesia. Organisasi ini bersifat sosial bukan politik dan tidak
mencampuri urusan para anggotanya dalam permasalahan ibadahnya. Karena itu, PUTI hanya berusaha menjadi sebuah wadah tempat bernaung dan bersatunya
umat Tao di Indonesia. Di Kota Semarang ini PUTI terbentuk pada tanggal 3 Januari 2001, yang diketuai oleh Edhy Prasetyo Hartono. Organisasi PUTI ini
memiliki kegiatan sosial, seperti: bakti sosial untuk musibah gempa dan gunung meletus, pemberian bantuan alat-alat tulis bagi anak-anak sekolah kurang mampu,
dan pemberian sembako bagi orang-orang miskin, donor darah, dan sebagainya. Paguyuban Umat Tao Indonesia PUTI ialah suatu organisasi yang
bergerak dibidang sosial yang memiliki kegiatan antara lain donor darah, kunjungan ke panti jompo dan yatim piatu, serta berpartisipasi dalam membantu
korban bencana alam. Paguyuban Umat Tao Indonesia PUTI memiliki visi dan misi sebagai berikut:
1 Visi Paguyuban Umat Tao Indonesia PUTI:
Menggalang persaudaraan antar umat Tao di seluruh Indonesia untuk
58 menciptakan
sinergi dengan
memperhatikan keselarasan
dan keharmonisan hubungan antar umat beragama di Indonesia, untuk
mengisi pembangunan bangsa dan negara Indonesia secara proaktif dan positif.
2 Misi Paguyuban Umat Tao Indonesia PUTI:
Mengkordinasi dan merangkum aspirasi umat Tao Indonesia demi tegaknya persatuan dan persaudaraan diantara penganut Tao dari
berbagai macam aliran dan persaudaran demi terciptanya komunikasi, saling pengertian dan keselarasan gerak dalam kegiatan keagamaan
maupun kegiatan sosial untuk turut mewujudkan pembangunan manusia Indonesia yang ber-Ketuhanan dan berkepribadian luhur seutuhnya.
Melalui paguyuban inilah, mereka umat Tao membahas pendirian tempat ibadah agama Tao dan akhirnya mereka dapat membangun rumah ibadah klenteng
yang dikenal dengan “Sinar Tao” di Jl. Madukoro Blok AABB Semarang. Lembaga keagamaan ini telah terdaftar di Dirjen Bimbingan Masyarakat Hindu
dan Budha Departemen Agama Republik Indonesia tertanggal 15 Desember 2003. Kemudian kelenteng ini diresmikan oleh Drs I Wayan Sanjaya, M. Si Dirjen
Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha pada tanggal 18 Januari 2004. Meskipun klenteng ini secara administratif dibawah naungan TITD yang terdata
di Kementerian Agama Wilayah Jawa Tengah, tetapi pembinaan agama Tao dilakukan melalui Majlis Tri Dharma Indonesia MTI yang berpusat di Lampung.
Hal ini dikarenakan hanya majelis inilah yang dianggap bisa memberikan pembinaan agama Tao kepada umat di K
elenteng “Sinar Tao” di Semarang.
59 Jadi, kelenteng bukan saja merupakan tempat ibadat yang mampu
memenuhi kebutuhan spiritual umatnya, namun ia juga sekaligus merupakan pusat kebudayaan Cina, serta pusat kegiatan dan interaksi sosial para warga etnik
Tionghoa, yang secara psikologis merasa berada di rumah sendiri. Bagi warga etnik Tionghoa, melestarikan kelenteng adalah ibarat mempertahankan rumahnya
sendiri
18
. Umat Tao di Semarang beribadah di Wan Fu Gong Dao Guan atau sering
disebut sebagai Tempat Ibadah Sinar Tao. Tempat Ibadah Sinar Tao didirikan pada tahun 2002 dan diresmikan oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat
Hindu Budha, Bapak Drs. I Wayan Suarjaya, M.Sc. pada tanggal 18 Januari 2004.
Wan Fu Gong merupakan kelenteng Tao di Semarang, meski demikian umatnya juga berasal dari kota-kota di Jawa Tengah. Dao Guan Dao Jia tempat
ibadah agama Tao didominasi warna merah dan kuning. Ditinjau dari bentuk dan bahan strukturnya cukup modern yakni menggunakan pipa besi sebagai konstruksi
atapnya, sehingga bisa dikatakan bahwa tempat ibadah ini mempertimbangkan “ramah lingkungan”
19
. Kategori untuk tempat ibadah ini ialah Dao Guan, yang bernama Wan Fu
Gong. Dimana sesuai dengan kategori Dao Guan, seperti halnya di negara yang lainnya, yaitu merupakan sebuah tempat beribadah dan penyelenggaraan upacara
18
Tjan K. 2007. Pengetahuan Umum Tentang Tri Dharma. Semarang: Benih
Bersemi. Hlm. 10-11.
19
Seputar Semarang, 2007, Sinar Tao: Peringatan Kebesaran Tai Shang Lao Jun, Semarang, Edisi 196 Tahun IV. Hlm. 11.
60 ritual agama Tao, disamping itu juga memberikan bimbingan kerohanian berupa
penjabaran ajaran agama Tao pada umatnya serta memberikan pelayanan- pelayanan lainnya pada umatnya seperti upacara pengangkatan anak Kwe-pang
anak, upacara bersyukur, upacara pemberkatan pernikahan, dan upacara kematian. Wan Fu Gong Dao Guan dapat dikatakan merupakan yang pertama dan
satu-satunya Dao Guan yang didirikan di Jawa Tengah, dimana sebagai tuan rumahnya adalah Maha Dewa Tai Shang Lao Jun.
Tempat Ibadah Sinar Tao merupakan sebuah tempat ibadah bagi umat Tao di Semarang dan sekitarnya dan memiliki ciri khas yaitu kesemua sosok Dewa
dan Dewi nya merupakan Dewa Dewi yang dipuja oleh umat Tao. Kegiatan dan pengelolaan dari tempat ibadah ini dilakukan oleh Yayasan Sinar Tao Semarang
dan juga didukung oleh Paguyuban Umat Tao Indonesia PUTI DPC Semarang dan mendapat bimbingan kerohanian dari Majelis Tri Dharma Indonesia yang
berpusat di Jakarta. Organisasi keagamaan bagi umat Tao awalnya memang menjadi satu
dengan MATRISIA Majelis Tri Dharma Indonesia bersama dengan agama Khonghucu dan Buddha. karena agama Tao dan Khonghucu tidak dianggap
sebagai agama maka pelaksanaan pembinaannya berada di bawah Perwalian Umat Budha Indonesia Walubi.
Walubi tediri dari berbagai macam organisasi Budha DharmaShangha- Shangha, diantaranya adalah MATRISIA, MAPANBUMI Majelis Pandita Budha
Dharma Indonesia, MAJABUMI Majelis Agama Budha Mahayana Indonesia,
61 Majelis Agama Budha Dharma Kasogatan Indonesia, Majelis Agama Budha
Maitreya Indonesia MABUMI. Diawali dengan Resolusi MPRS No. IIIResMPRS1966 tentang
Pembinaan Kesatuan Bangsa yang memberikan perhatian penuh terhadap suatu kondisi keagamaan yang ada di negara Indonesia, yang diungkap dalam Pasal 1
sebagai berikut: 1
Mengintensifkan pendidikan Agama sebagai unsur mutlak untuk nation dan character building di semua sekolah dan lembaga pendidikan,
dengan memberikan kesempatan yang seimbang; 2
Melarang usaha penambahan dan pengembangan doktrin-doktrin yang bertentangan dengan Pancasila, antara lain Marxisme-
Leninisme Komunisme.
Resolusi ini memberikan gambaran bahwa pendidikan keagamaan sangat penting dalam menjaga stabilitas pertahanan keamanan nasional Indonesia yang
sempat terganggu oleh insiden G 30 S PKI, PKI sebagai partai yang memiliki kecenderungan ideologi politik kiri komunis dianggap lekat dengan budaya
China karena komunisme saat itu berjaya di RRC Republik Rakyat China. Imbasnya segala hal yang berbau China menjadi seolah-olah adalah komunis,
inilah yang menjadikan agama Tao direduksi maknanya hanya menjadi sebuah aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Berlakunya Inpres No.14
Tahun 1967 tentang Adat Istidat tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina mengharuskan pelaksanaan kegiatan ibadat “agama Cina” terbatas dalam
62 lingkungan keluarga dan perseorangan, dengan adanya ketentuan ini maka umat
Tao dan Khonghucu dibatasi laku peribadatannya. Pemerintah yang saat itu menjustifikasi Negara Cina memiliki pengaruh
yang besar terhadap hadirnya komunisme di Indoensia, menginginkan stabilitas nasional sesuai dengan karakter budaya lokal dan disertai kondisi spiritual
keagamaan yang masif dalam setiap kegiatan pemerintahan demi terwujudnya cita-cita bangsa.
Melalui TAP MPR No.IIMPR1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, ditegaskan bahwa bangsa Indonesia menyatakan
kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha dan oleh karenanya manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai
dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab sesuai TAP MPR No.IIMPR1978 tentang Pedoman
Penghyatan dan Pengamalan Pancasila alinea 4. TAP MPR No.IIMPR1978 kemudian ditindak lanjuti oleh Menteri
Agama dengan memberikan interpretasi subyektif yang menyatakan bahwa aliran kepercayaan adalah bukan agama dengan Instruksi Menteri Agama No.4 Tahun
1978 tentang Kebijaksanaan Mengenai Aliran-aliran Kepercayaan, Instruksi Menag ini menjadi landasan pada Sidang Kabinet Terbatas Bidang Polkam yang
merasa perlu dikeluarkannya petunjuk pengisia n kolom “Agama” pada lampiran
formulir Keputusan Menteri Dalam Negeri No.221a Tahun 1975 Tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian Pada Kantor Catatan Sipil Sehubungan
63 Dengan
Berlakunya Undang-Undang
Perkawinan Serta
Peraturan Pelaksanaannya.
Hasil Sidang Kabinet Terbatas Bidang Polkam tanggal 27 September 1978 No.K-212Set.Neg101978 itu ditindak lanjuti oleh Menteri Dalam Negeri
dengan dikeluarkannya surat edaran pada semua Gubernur dan Bupati di seluruh wilayah Indonesia, disinilah masalah mulai timbul SE Mendagri No.47774054
tanggal 18 November 1978 Tentang Petunjuk Pengisian Kolom “Agama” pada Lampiran SK.Mendagri No.221a Tahun 1975, memberikan interpretasi yuridis
bahwa yang dimaksud dengan agama terbatas hanya pada lima agama saja yakni Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindhu, dan Budha. Surat edaran inilah yang
kemudian menjadi dasar pengakuan oleh negara terhadap lima agama, implikasinya diluar kelima-nya tersebut dapat dikatakan hanya sebagai sebuah
“aliran kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa” dan saat itu agama Khonghucu dan agama Tao adalah yang termasuk kedalam kategori ini
Oleh karena itu, Ke lenteng “Sinar Tao” ini tetap di bawah naungan TITD
sehingga menggnakan altar “Tri Nabi” yakni nabi Kong Cu, Nabi Lao Tse, dan Budha SakyamuniGautama. Hanya saja, pembinaan agama Tao nya dilakukan
melalui Majelis Tridharma Indonesia MTI yang berpusat di lampung, bukan Majelis Tao Indonesia MTI yang berpusat di Medan. Perlu diketahui bahwa
kelenteng di Jawa Tengah yang mendapat pembinaan MTI Pusat Lampung hanyalah ke
lenteng “Sinar Tao” di Jl Madukoro Semarang dan kelenteng “Sinar Kasih Tao” di Jl. Sriwijaya, Magelang. Di dalam kelenteng ini, patung-patung
atau arca-arca yang lebih dominan adalah patung atau arca dewadewi yang
64 disembah oleh umat
Agama Tao. Hal ini terlihat pada kelenteng “Sinar Tao” yang memiliki 13 patung, yakni: Maha Dewa Dai Sang Lauw Cin, Dewa Erl Lang
Shen, Dewa Jay Shen Ya, Dewa Fuk Tek Cen Shen, Dewa Shien Thien Sang Tie, Dewa Pau Shen Ta Tie, Dewa Zhen Huang Lauw Yek, Dewa Kwan Shen Tie Cin,
Dewa Kwang Tek Cuen Huang, Dewi Ciu Thien Sien Nie, Dewi Thien Sang Shen Muk, DewaDewi Hek Hek Erl Sien, dan Dewa Yek Shia Lau Ren.
Jika dilihat ornamennya, maka Kelenteng Sinar Tao dan Kelenteng Sinar Kasih Tao tersebut berbeda dengan kelenteng-kelenteng lainnya yang lebih mistis,
patung-patungnya kecil, dan suasana di dalamnya terkesan gelap dan angker. Berbeda dengan kelenteng “Sinar Tao” atau kelenteng “Sinar Kasih Tao” yang
memiliki arsitektur modern dan elegan, sehingga seluruh ruang terkesan terang, terbuka, dan bercahaya. Kemudian ornamen-oranamen yang mencolok hanya
pada pintu gerbang depan yang terdapat dua naga kanan dan kiri, dan depan pintu masuk yang terdapat patung singa atau killin, dan dua tiang besar di depan
pintu masuk terukir ornamen naga juga. Sedangkan di atas atap rumah hanya berbentuk genteng biasa, tidak seperti kelenteng-kelenteng lainnya yang terdapat
ornamen patung naga dan atau killin. Meski patung-patung didominasi oleh dewadewi agama Tao, tetapi tidak menutup kemungkinan agama lain Konghucu
dan Budha melakukan pemujaan sembahyang di kelenteng ini. Di dalam klenteng ini terdapat simbol ajaran Tao yang sangat dogmatis,
yakni simbol Tao Tai Ji, artinya keagungan yang tak terbatas yang berbentuk lingkaran di bagi menjadi dua bagian secara simetris, yakni satu bagian yang
terang dan bagia n lainnya yang gelap. Bagian yang gelap melambangkan “Yin” -
65 dan bagian yang terang melambangkan “Yang” +. Yin melambangkan malam,
gelap, bumi, air, dingin, batin, feminin, dan sebagainya. Sedangkan “Yang” melambangkan siang, terang, langit, panas, keras, fisik, maskulin, dan sebagainya.
Keberadaan “Yin” dan “Yang” adalah saling berlawanan tetapi juga saling membutuhkan, sehingga bersatunya “Yin” dan “Yang” dalam satu lingkaran
sebagai lambang harmoni, yang disebut kesempurnaan dalam Tao Tai Ting. Dalam pandangan Huston Smith
20
, asas Yinyang menunjukkan segala pertentangan yang mendasar dalam hidup ini, seperti: baik-jahat, aktif-pasif,
positif-negatif, terang-gelap, musim panas-musim dingin, pria-wanita, dan seterusnya. Akan tetapi, asas ini merupakan dualisme yang berlawanan tetapi
tidak bertentangan secara mutlak. Karena itu, asas Yinyang ini pada hakikatnya menolak segala dikhotomi yang tajam, sebab asas-asas ini mengandung makna
saling melengkapi dan saling mengimbangi satu dengan lainnya. Pada saat ini, umat Tao di Kota Semarang mengalami perkembangan yang
lebih banyak didominasi oleh orang-orang dari daratan Cina. Menurut Tan I Ming Wawancara, tanggal 20 Mei 2014, bahwa jumlah umat Tao di Kota Semarang
berkisar antara 500 orang sampai 600 orang. Hal ini terlihat pada saat perayaan hari kebesaran Kelenteng Sinar Tao, yang banyak dihadiri umat Tao dari berbagai
daerah, seperti: Yogjakarta, Magelang, Temanggung, Solo, Ambarawa, Salatiga, Temanggung, Kudus, dan Jepara. Akan tetapi, umat Tao yang aktif mengikuti
kegiatan dan sembahyang di kelenteng Sinar Tao ini hanya sekitar 100 sd 150 orang. Jumlah umat sebanyak ini dapat dilihat ketika terjadi upacara sembahyang
20
Smith, Huston. 1999. Agama-Agama Manusia Terj.. Saafroedin Bahar. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hlm. 247.
66 atau pemujaan dewadewi pada setiap tanggal 1 dan atau tanggal 15 bulan Imlek.
Namun, jika dilihat pada upacara sembahyang atau pemujaan dewadewi pada hari minggu maka umat Tao hanyab berkisar antara 40-50 orang
3.4. Ajaran Agama Tao