Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Seiring meningkatnya gaya hidup konsumtif, dewasa ini restoran cepat saji dengan berbagai menu makanan menjamur, demikian juga tempat-tempat makan cepat saji, dan banyaknya majalah serta program televisi tentang masak-memasak hingga jajanan kuliner. Pada saat yang sama, pengurangan berat badan menjadi keinginan besar pada remaja untuk bertubuh langsing dan menarik. Melihat minat yang sangat besar terhadap makanan dan makan itu sendiri, tidak mengherankan bahwa aspek perilaku manusia ini dapat mengalami gangguan. Gangguan fungsional pada perilaku yang berkaitan dengan makan ini dikenal dengan istilah gangguan makan. Awalnya gangguan makan terjadi di negara maju di barat seperti Amerika dan Eropa. Namun, pada saat ini gangguan makan juga ditemukan di negara berkembang. Abou Shaleh, et.al. dalam Davidson, et.al., 2004 menjelaskan bahwa perubahan sosial yang berkaitan dengan pengadopsian berbagai praktik budaya barat di beberapa negara berkembang telah mempelopori meningkatnya jumlah kasus gangguan makan. Davidson, et.al. 2004 meninjau kembali, melalui wawancara dengan seorang profesional kesehatan di Asia yang menggambarkan bahwa prevalensi gangguan 1 makan di negara di Asia, khususnya Jepang dan Hongkong mendekati perkiraan gangguan makan di Amerika, dan di negara barat lainnya. Gangguan makan merupakan gangguan fungsional pada beberapa perilaku yang berkaitan dengan makan DumasNielsen, 2003. Santrock 2006 mengatakan, Dua jenis gangguan makan yang sering muncul pada remaja adalah anoreksia dan bulimia nervosa. Selain itu, Santrock 2006 mengemukakan bahwa anoreksia khususnya muncul pada tahap perkembangan remaja awal hingga pertengahan, sedangkan bulimia dimulai pada akhir remaja akhir atau dewasa awal. Pendapat ini juga didukung dengan hasil penelitian National Institutes of Health di Amerika, bahwa lebih dari 90 persen penderita gangguan makan dialami wanita usia 12-25 tahun dalam Davidson et al, 2004. DumasNielsen menambahkan, “.......frekuensi gangguan makan banyak terjadi pada masa remaja dan dewasa awal”. Salah satu penelitian mengenai gangguan makan diantaranya adalah kecenderungan anoreksia, dilakukan oleh Prihanto dan Sukamto dari Fakultas Psikologi Universitas Surabaya. Penelitian ini mengungkapkan bahwa sebesar 48,33 sampel memiliki kecederungan anoreksia sedang, 10 sampel memiliki kecenderungan anoreksia nervosa sangat tinggi. Sedangkan 36,67 sampel memiliki kecederungan anoreksia yang rendah. Data tersebut didapat dari sejumlah 120 sampel siswi SMA Santo Paulus di Surabaya Pintarawan, 2009. Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa kecenderungan anoreksia pada siswi Santo Paulus Surabaya besar. Selain itu, hasil penelitian Herzog et.al mengemukakan bahwa gangguan makan anoreksia, sangat mengancam jiwa, yang mana angka 2 kematian penderita anoreksia berjumlah sepuluh kali lebih besar dibanding pada populasi umum. Jumlah tersebut dua kali lebih besar dibanding pada para pasien yang menderita berbagai gangguan psikologis lainnya. Berbeda dengan anoreksia, resiko kematian jauh lebih sedikit pada bulimia Herzog et.al dalam Davidson et.al, 2004. Seperti yang diuraikan di atas, bahwa faktanya resiko gangguan makan secara bertahap membahayakan kesehatan hingga resiko kematian. Namun penderita gangguan makan yang melakukan pemulihan dan pengobatan relatif masih sangat sedikit. Hal tersebut dilaporkan oleh Eating Disorder Association dalam Simbolon, 2010, bahwa sekitar 60.000 hingga 90.000 atau hanya sekitar 0,7 persen dari jumlah 1,15 juta penderita gangguan makan di Inggris pada tahun 2009, yang menjalani pemulihan dan pengobatan. Penelitian Royal College of Psychiatrists di Inggris mengemukakan bahwa, “Selama paradigma cantik identik dengan langsing tak memudar, maka penderita gangguan makan juga akan terus bertambah” dalam Simbolon, 2010. Idealnya seseorang yang memiliki kecenderungan gangguan makan yang tinggi, menyetujui paradigma thin-ideal ini. Hal ini lah yang melatarbelakangi penulis tinjau lebih dalam dari segi sikap. Istilah Thin-ideal merupakan bentuk idealisasi, yang mana memberikan pemahaman ide-ide bahwa bentuk tubuh kurus adalah ideal bagi perempuan. Baik, individu tersebut telah mendapat informasi atau tidak mengenai rumusan berat badan idealsehat yang dikenal dengan BMI Body Mass index. Thin-ideal mengemukakan 3 bahwa tubuh ideal bagi kaum perempuan adalah kurus. Sebaliknya bagi laki-laki adalah berotot, yaitu muscular-ideal. Walaupun thin-ideal memiliki definisi secara jelas, beberapa peneliti sering menggunakan thinnes, slender body, slim, ultra-slender body atau ultra-thin body untuk menjelaskan idealisasi kurus tersebut. Diantaranya Hesse-Biber, dalam bukunya “The cult of thinnes”, ia juga kerap menggunakan istilah ultra-slender ideal. Agar tidak membingungkan pembaca dalam penggunaan istilah yang berbeda untuk konsep yang sama, maka untuk seterusnya akan digunakan istilah thin-ideal. Sesungguhnya, terdapat berbagai paradigma yang berubah, mengenai bentuk tubuh ideal di masa lalu. Reina 2009 mengemukakan bahwa pada awal tahun sebelum masehi, bentuk tubuh yang ideal bagi perempuan adalah “perempuan rumahan, dengan bentuk tubuh perempuan yang berdaging, penuh lemak dengan lengan dan bahu yang berisi, gemuk, untuk mencerminkan tingkat kemakmuran dan citra kesuburan seseorang perempuan. Kemudian pada tahun 1940-an, paradigma bentuk tubuh perempuan ideal bergeser pada perempuan berbuah dada yang besar, perempuan yang memiliki tubuh padat dan berlekuk-lekuk bak gelas jam atau disebut tipe tubuh curvy, dengan rambut berombak, sebagaimana yang dimiliki Marylin Monroe dan Jacqueline Onasis Reina, 2009. Paradigma ini kembali bergeser mulai tahun 1960-an hingga sekarang ini, perempuan yang diidealkan adalah perempuan yang memiliki tubuh sangat kurus dan ceking atau lebih dikenal sebagai thinness Sukamto, 2006. Demam bentuk tubuh 4 Twiggy telah mendorong perempuan diseluruh dunia yang mengidolakannya sebagai patokan atau standar kecantikan, berusaha mati-matian melangsingkan tubuh mereka sendiri yang kemudian menjadi tren bagi perempuan untuk ingin telihat cantik dan menarik dengan bentuk tubuh sangat kurus. Selain itu, Kimberly dalam Kristen et.al, 2003 mengatakan bahwa, keinginan perempuan untuk kurus terkait dengan ciri positif seperti; popularitas, penampilan semakin menarik di sekolah dan lingkungan kerja, serta sebagai daya tarik bagi lawan jenis. Senada dengan hal tersebut, Kreipe 2006 menyatakan, ......Finally, you are surrounded by you can never be too’thin messages from a variety of sources. Hal ini menunjukkan bagaimana pengaruh thin-ideal dengan ide, bahwa untuk benar- benar kurus dan agar berpenampilan menarik itu tidak gampang. Sebagaimana penjelasan diatas bahwa keinginan perempuan bertubuh kurus sangatlah besar, hal ini digambarkan juga oleh hasil penelitian Sukamto 2006 sebagai berikut: Pada sebuah kesempatan, penulis mewancarai seorang apoteker yang bertugas di Apotek “X” di Surabaya mengenai proporsi konsumen yang membeli jamu maupun obat pelangsing. Menurut pengamatan apoteker tersebut, sekitar 95 konsumen yang membeli jamu atau obat pelangsing adalah perempuan dan hanya 5 konsumen laki-laki, yang kondisinya memang sudah mengalami obesitas. Sedangkan 95 konsumen tersebut, sekitar 70 memang tergolong overweight kelebihan berat badan, namun sisanya sekitar 30 sebenarnya sudah memiliki tubuh yang langsing. Pada kesempatan lain, penulis juga mewancarai seorang dokter yang bertugas di sebuah klinik kecantikan di Surabaya. Menurut dokter tersebut, dari keseluruhan klien perempuan yang mengikuti perawatan perlangsingan tubuh, ternyata yang benar-benar mengalami kelebihan berat badan atau obesitas kira- kira 50. Sedangkan sisanya, sekitar 50 sebenarnya telah memiliki bentuk 5 tubuh yang langsing, namun mereka ingin memiliki bentuk tubuh yang lebih kurus lagi. Sebagaimana penjelasan sebelumnya, penilaian yang didasari kesetujuan terhadap paradigma thin-ideal memiliki hubungan dengan kecenderungan tinggi rendahnya gangguan makan. Kecenderungan psikologis yang mengekspresikan penilaian berupa derajat suka setuju atau tidak suka tersebut didefinisikan Eagley chaiken sebagai sikap Penningthon et.al, 1999. Sikap bukan merupakan perilaku, melainkan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara tertentu terhadap obyek sikap Sarwono, 2009. Sedangkan obyek, ide, situasi, atau nilai merupakan bentuk obyek sikap Luthfi et.al, 2009. Dalam penelitian ini, obyek sikap yang akan diteliti adalah thin-ideal. Jadi, sikap terhadap thin-ideal merupakan kecenderungan psikologis yang mengekspresikan penilaian berupa derajat suka setuju atau tidak suka terhadap thin-ideal. Dengan adanya penilaian individu baik suka atau tidak suka terhadap thin-ideal, kita bisa memastikan kecenderungan perilaku individu, yaitu kecenderungan gangguan makan. Menurut Luthfi et.al 2009, beberapa ciri-ciri sikap adalah: berupa kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi obyek sikap, mempunyai daya pendorong atau motivasi, mengandung aspek penilaian, serta berasal dari pengalaman. Seperti dalam kehidupan saat ini, Peneliti berasumsi bahwa kebebasan berekspresi melalui penggunaan teknologi dalam upaya menyampaikan pesan terkait sikap untuk menggambarkan kecenderungan persepsi, 6 fikiran, dan tindakan seseorang pada status akunnya di jaringan sosial semakin meningkat. Menurut asumsi penulis, hal tersebut bisa terjadi karena dukungan teknologi komunikasi virtual yang memberi peluang dan memudahkan individu untuk mengemukakan prinsip, nilai-nilai, dan ide terhadap obyek sikap semakin besar. Secara instingtif pun, manusia selalu ingin mengungkapkan penilaiannya. Disini penulis berasumsi bahwa manusia secara naluriah, memiliki keinginan untuk mengemukakan sikap masing-masing, baik itu positif atau pro, dan negatif atau kontra serta bersikap netral. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa sikap berasal dari pengalaman, yang mana proses pembelajaran memperkaya pengalaman seseorang dan mempengaruhi bagaimana ia bersikap. Ada empat pembelajaran yang membentuk sikap seseorang menurut Sarwono 2009 yaitu: pembelajaran melalui pengondisian klasik, pengondisian instrumental, serta pembelajaran melalui pengamatan dan perbandingan sosial. Pembelajaran tersebut menyajikan informasi mengenai obyek sikap dan membentuk sikap seiring semakin seringnya terpaan informasi tersebut diterima. Sehingga, dapat ditinjau seberapa besar pembelajaran tersebut mempengaruhi komponen sikap seseorang, dilihat aspek kognitif yaitu bagaimana persepsi dan pemikirannya terhadap obyek sikap, aspek afektif mencakup emosi yang menyertai, serta aspek konatif yaitu kecenderungan berperilaku. 7 Fenomena sikap thin-ideal yang negatif, dapat dilihat dari pendapat yang dikemukakan Mazel dalam Ogden, 2010 yang dalam bukunya “Beverly Hills Diet” mengatakan bahwa jika seseorang berkomentar,”Kamu makin kurus yah,” kamu akan menjawab, “Terimakasih”. Ogden 2010 menambahkan bahwa bahkan majalah mempublikasikan cerita sukses wanita yang mengurangi berat badan dan digambarkan merasa semakin bahagia, dan bagaimana hidupnya berubah. Penulis tertarik meneliti hubungan sikap terhadap thin-ideal dan kecenderungan gangguan makan karena penulis ingin mengetahui keterkaitan lebih jauh, yakni seberapa besar sumbangsih sikap terhadap thin-ideal tersebut pada kecenderungan gangguan makan. 1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1 Pembatasan masalah