Rumusan Masalah Definisi Konseptual Definisi Operasional Variabel Penelitian

4 semakin ekspansif. Di pihak lain sebagian besar negara beraliansi dengan AS untuk mendapatkan perlindungannya. 9 Dalam penelitian ini, peneliti membahas respon Rusia terhadap rencana penempatan rudal pertahanan AS di Ceko dan Polandia yang kemudian mendorong Rusia untuk menyesuiakan diri dengan berbagai perubahan perilakunya. Perubahan perilaku ini akan digunakan untuk memahami pola interaksi antara Rusia dengan AS.

I.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan dalam latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Mengapa Rusia merespon rencana penempatan rudal pertahanan AS di Ceko dan Polandia dengan upaya memperkuat diri self defense?” 1.3. Telaah Pustaka 1.3.1. Penelitian Terdahulu Penelitian tentang Rusia dan politik luar negerinya pasca perang dingin memang menjadi hal yang unik bagi para akademisi maupun paraktisi hubungan internasional. Rusia pasca perang dingin tetap merupakan representasi kekuatan Uni Soviet era perang dingin, sejauh ini asumsi tersebut masih dapat 9 Asumsi Penulis, Mengingat berbagai fenomena yang terjadi yang mencerminkan adanya upaya pembendungan pengaruh yang dilakukakan kedua pihak yang berseberangan, Amerika Serikat Barat di satu sisi serta Rusia, Kuba, Venezuela, dan Korea Utara di sisi yang lain sebagai pihak-pihak yang saat ini sering terlibat masalah dengan Amerika Serikat. 5 diperdebatkan, namun kemunculan kembali Rusia dalam politik internasional akhir-akhir ini nampaknya akan memberikan angin segar bagi para pendukung asumsi tersebut. Simaboera, 10 berpendapat bahwa Rusia tengah melakukan manuver dan strategi dalam mempertahankan hegemoninya di kawasan Eropa. Menurut Simaboera, Strategi itu antara lain dengan memanfaatkan isu tentang keamanan energi Uni Eropa, dimana pasokan energi gas dan minyak utamanya berasal dari Rusia. Selain itu Rusia juga tengah gencar menjalin hubungan dengan negara- negara Eropa Tengah serta dunia Islam. Hal ini dilakukan Rusia untuk membendung perluasan NATO ke Timur. Indikasi ini menunjukkan bahwa Rusia tidak sejalan dengan semua kebijakan AS, khususnya tentang ekspansi NATO ke Timur. Senada dengan Simaboera, Akbar juga berpendapat bahwa Rusia juga merespon secara negatif gerakan separatisme Ossetia Selatan di Georgia. 11 Dalam penelitiannya, Akbar mencoba menganalisa klaim Rusia atas konsep kedaulatan penuhnya. Kedaulatan ini diterapkan pada perspektif realis dalam hubungan internasional dimana negara memiliki kedaulatan penuh untuk melakukan apa saja terhadap yang melanggar batas wilayahnya. Pelanggaran batas wilayah ini kemudian konsepnya dikembangkan oleh Negara modern dengan konsep citizenshipkewarganegaraan. 12 Rusia terpancing ketika Georgia mencoba masuk 10 Simaboera, Refrizon Reaksi dan Strategi Rusia Dalam Mempertahankan Hegemoninya di Kawasan Eropa, diakses dari http:astarizon.orgArtikelmanuver20Rusia.pdf, tanggal 26 Mei 2009 09.00 WIB. 11 Akbar, Rahadhian T. op cit 12 Ibid 6 menjadi anggota NATO. Keputusan untuk melakukan operasi militer di Ossetia selatan dimulai ketika ada serangan retaliasi Georgia. Sebaliknya, Georgia mengklaim bahwa Rusia terlebih dulu melakukan serangan pertama. Artinya, bahwa konfigurasi sejarah membuat hubungan kedua aktor ini semakin meruncing. NATO sebagai bagian dari “peradaban barat” masih ditolak oleh Rusia. Penelitian yang peneliti bahas dengan judul Respon Rusia terhadap rencana penempatan rudal pertahanan AS di Ceko dan Polandia berbeda dengan penelitian awal di atas tetapi memiliki kesamaan dengan penelitian tentang Reaksi Rusia atas gerakan separatisme Ossetia Selatan di Georgia, namun dalam penelitian ini peneliti lebih fokus kepada kajian keamanan strategis, yang menekankan bagaimana Rusia memberikan persepsi terhadap hal-hal yang dianggap mengancam keamanan nasionalnya serta dengan cara apa Rusia merespon hal tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti membahas respon Rusia terhadap rencana penempatan rudal pertahanan AS di Ceko dan Polandia yang kemudian mendorong Rusia untuk menyesuiakan diri dengan berbagai perubahan perilakunya. Perubahan perilaku ini akan digunakan untuk memahami pola interaksi antara Rusia dengan AS. 1.3.2. Landasan Teori 1.3.2.1. Teori Balance of Threat Pengembangan konsep yang paling menarik dari paradigma realis adalah munculnya perbedaan pemikiran antara kelompok “defensif” dan “ofensif”. Isu 7 keamanan tetap menjadi isu utama kedua kelompok tersebut, dimana keamanan dalam hubungan internasional merupakan salah satu aspek kepentingan nasional suatu negara. Konsep keamanan dalam hubungan internasional kontemporer masih terus menjadi definisi yang diperdebatkan. Menurut Walter Lippmann, ” A nation is secure to the extent to which it is not in danger of having sacrifice core values, if it wishes to avoid war and it is able, if challenged to maintain them by victory in such a war” 13 Dari definisi diatas, secara tradisional setiap negara akan berusaha mengeliminasi segala kemungkinan ancaman yang berasal baik secara internal maupun eksternal, terutama yang mengancam komponen nilai-nilai inti negara tersebut. Ancaman yang dapat menjadi sesuatu yang fatal bagi keberlangusungan seluruh komponen negara datang dari ancaman secara militer. Sehingga, sebuah negara didorong oleh rasa tidak aman kemudian membangun suatu kekuatan militer yang ditujukan sebagai perlindungan dari ancaman militer tersebut. Sehingga, Liddell Hart mengartikan studi keamanan strategis sebagai “ the art of distributing and applying military means to fulfill the ends of policy” 14 . Dalam hal ini, tujuan dari kebijakan suatu negara adalah mengeliminasi semua kemungkinan ancaman terhadap kepentingan nasional dan tercapainya keamanan nasional dengan penggunaan kekuatan militer strategis. 13 Walter Lippman, dalam Banyu Perwita, Anak Agung dan Mochamad Yani, Yanyan, 2005 ,“Pengantar Ilmu Hubungan Internasional”, PT.Remaja Rosda Karya, Bandung. hal 121. 14 John Baylis, et al., Strategy in the Contemporary World: An Introduction to Strategic Studies, New York: Oxford University Press, 2002, hal. 4. 8 Berbicara mengenai definisi dari keamanan, tidak akan terlepas dari persepsi atau sumber ancaman yang dimiliki oleh suatu negara. Menurut Arnold Wolfers, “ Security is any objective sense, measures the absence of threats to acquire values, in a subjective sense, the absence of fear that such values will be attacked.” 15 Dari pernyataan diatas, sebelum suatu negara melakukan tindakan balasan atau respon, sangatlah penting bagi suatu negara untuk terlebih dahulu menganalisis sumber-sumber dari ancaman tersebut. Stephen M. Walt, dalam teorinya Balance of Threat menyebutkan empat persepsi atau sumber-sumber ancaman terhadap suatu negara antara lain 16 : Aggregate Power dimana bahwa semakin besar sumber kemampuan total suatu negara dalam hal ini kemampuan militer, maka semakin besar pula potensi ancaman yang bisa mereka tunjukkan kepada negara lainnya. Geographic Proximity dimana kekuatan yang dekat dengan wilayah suatu negara menunjukkan ancaman yang lebih besar dari pada kekuatan yang jauh. Offensive Power dimana negara dengan kemampuan serangan yang besar lebih memungkinkan untuk menunjukkan ancaman yang lebih besar pula dari pada negara-negara yang menekankan kemampuan pertahanan. Aggresive Intentions dimana beberapa negara yang dirasakan berperilaku agresif mungkin bisa memancing negara lain untuk menyeimbangkan diri dengan mereka. 15 Arnold Wolfers, dalam Banyu Perwita, op cit 16 Walt, Stephen M. 1987. Origins of Alliances, Ithaca: Cornell University Press, diakses dari http:books.google.co.idbooks?id=EuwgRogAHwCdq=the+origin+of+alliancess+by+steph en+waltprintsec=frontcoversource=bnhl=idei=n6p7StbvE6aK6AOk09Vasa=Xoi= book_resultct=resultresnum=4v=onepageq=f=false, tanggal 25 Mei 2009. 9 Ancaman terhadap keamanan nasional suatu negara dapat dimaknakan baik secara objektif yakni menilai dari ancaman yang aktual, maupun secara subjektif yakni mengacu terhadap tingkat persepsi yang dimiliki suatu negara terhadap suatu hal. 17 Maka dari itu, pendefinisian suatu ancaman secara subjektif tergantung dari persepsi suatu negara yang dihadapkan kepada suatu fenomena tertentu. Persepsi inilah yang kemudian dijadikan acuan untuk mengidentifikasi suatu bentuk ancaman dan respon yang tepat untuk menanggulangi ancaman tersebut. Salah satu diantaranya adalah peningkatan kekuatan militer yang digunakan sebagai respon terhadap suatu ancaman. 18 Adapun sumber ancaman yang dipersepsikan dari perkembangan kapabilitas suatu negara, salah satunya berasal dari eskalasi pertahanan suatu negara. Menurut Wheller dan Booth, dilema terhadap keamanan terjadi apabila persiapan militer suatu negara menciptakan ketidakpastian dalam pemikiran negara lain mengenai tujuan dari persiapan militer negara tersebut, apakah persiapan tersebut dalam rangka mempertahankan dirinya semata atau sebagai tindakan ofensif yang dapat mengubah status quo berdasarkan kepentingan negara tersebut. 19 Maka dari itu negara yang membangun kekuatan sebagai upaya Self- Defense, tidak selalu dipersepsikan oleh negara lain sebagai tujuan damai. 17 Anak Agung Banyu Perwita, Redefinisi Konsep Keamanan : Pandangan Realisme dan Neo- Realisme dalam Hubungan Internasional Kontemporer dalam Yulius P. Hermawan “Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional : Aktor Isu dan Metodologi”, Yogyakarta; Graha Ilmu, 2007 hal.29 18 Ibid, hal 30. 19 Wheller and Booth, dalam Daniel.S.Papp, 2002, Contemporary International Relations : Framework for Understanding, sixth edition. New York: Addison Wesley Longman, Inc, hal. 228. 10 Perbedaan persepsi tersebut dapat mendorong negara lain untuk menempuh jalan yang sama¸ yakni turut mengembangkan kapabilitas defensifnya dengan cara yang sama. Berdasarkan Source of Threat Stephen M.Walt, maka dapat dibuat pola sebagai berikut : Gambar 1.1. Operasionalisasi Source of Threat Stephen M. Walt Ancaman militer dan upaya penangkalan melalui penggunaan kapabilitas militer masih menjadi prioritas dalam kerangka pemikiran kajian keamanan kontemporer. Source of Threat diatas juga menunjukkan bahwa kapabilitas militer merupakan suatu variabel yang vital yang berfungsi untuk melindungi keamanan negara. Bahkan menurut Kegley, pelaksanaan politik luar negeri suatu negara seringkali didasarkan pada kapabilitasnya untuk menghalau ancaman secara militer. 20 Hal ini didukung pernyataan Barry Buzan, bahwa karena sifatnya yang langsung dan destruktif, serangan militer terhadap suatu negara dapat diartikan sebagai suatu serangan terhadap segala aspek kenegaraan beserta institusinya, seperti aspek ekonomi¸ aspek politik, aspek sosial, dan aspek lainnya yang 20 Ibid, hal. 229 Source of Threat Aggregate Power Geographic Proximity Offensive Power Aggresive Intentions Indikator Penempatan Rudal AS di Ceko Polandia 11 menjadi titik vital bagi kelangsungan negara tersebut. 21 Buzan juga menambahkan bahwa kapabilitas militer merupakan hal yang familiar dengan Power dan security struggle, sehingga sektor militer memiliki dinamika yang independen tanpa terpengaruh oleh adanya gejolak politik yang ada. Kapabilitas militer pun menurutnya merupakan suatu hal yang defensif yang utamanya dijadikan respon untuk mempertahankan keamanan nasional oleh suatu negara. 22 1.3.3. Konsep 1.3.3.1. Konsep Structural Detterence Untuk meneliti lebih lanjut dari respon Rusia terhadap rencana penempatan rudal AS di Ceko dan Polandia, maka penulis juga menyertakan konsep Structural Detterence, konsep ini digunakan untuk mengukur sejauh mana penggunaan persenjataan militer sebagai suatu respon terhadap kebijakan yang dilakukan negara lain. Detterence merupakan suatu tindakan negara yang ditujukan untuk menekan pengaruhnya terhadap negara lain, sehingga negara tersebut berperilaku sesuai dengan kepentingan negara tersebut. Definisi tersebut, datang dari konsep Detterence klasik¸ yang lahir dari tradisi intelektual realis yang terafiliasi dengan Power Politics dan Realpolitics¸ dimana negara pada dasarnya memiliki sifat untuk memaksimalkan kekuatannya atau menggunakan lingkungan sekitarnya untuk memaksimalkan keamanannya. 23 21 Barry Buzan, People, State¸and Fear : An Agenda for International Security Studies in the Post- Cold War Era 2nd edition, London: Wheatsheaf Books, 1991, hal.312 22 ibid 23 Frank C. Zagare dan D. Marc Kilgour, “ Perfect Detterence”.Cambridge, Cambridge University Press,2000 hal.11 12 Konsep Detterence klasik terdiri dari dua konsep yang lahir pada era Perang dingin yakni Structural Detterence dan Decision-Theoric Detterence. Konsep Structural Detterence dipilih oleh penulis sebagai variabel kerangka pemikiran karena sifatnya yang relevan untuk menjelaskan Detterence persenjataan militer sebagai respon militer Rusia terhadap rencana penempatan rudal AS di Ceko dan Polandia. Konsep Structural Detterence merupakan salah satu gagasan yang berkembang ditengah-tengah kemelut persaingan antara AS dan Uni Soviet. Menurut konsep yang dikemukakan oleh Frank C. Zagare tersebut, secara tradisional Detterence dapat berkembang karena faktor-faktor sebagai berikut: • Perlombaan senjata baik secara kuantitatif dan kualitatif yang mampu mempengaruhi persepsi suatu negara terhadap kapabilitas negara lain. • Sistem pertahanan suatu negara yang komprehensif dan efektif, sehingga mampu untuk menimbulkan kecurigaan terhadap negara lain • Proliferasi senjata nuklir yang tidak selektif, sehingga mengundang kecurigaan negara lain terkait maksud proliferasi senjata nuklir tersebut. Dalam konsep tersebut, Zagare menambahkan bahwa Detterence ditentukan oleh jumlah dan karakteristik persenjataan yang dimiliki suatu negara dengan kebijakan strategis para pengambil keputusan di negara tersebut dalam penggunaan senjata tersebut, termasuk: 24 • Kebijakan atas pemilihan sasaran penggunaan senjata tersebut. Sasaran yang dituju pada umumnya sebagai Counterforce terhadap 24 Ibid hal 13 13 persenjataan dan kapabilitas negara lawan dan Countervalue terhadap infrastruktur negara lawan • Kebijakan atas intensitas pengggunaan senjata tersebut. Intensitas penggunaan atau Rates of Fire berada diantara titik nilai maksimum dimana suatu negara menggunakan seluruh persenjataannya seefektif mungkin dan titik nilai minimum dimana suatu negara menyimpan seluruh persenjataannya untuk digunakan kemudian hari. Maka dari itu, sangatlah penting untuk menyertakan elemen dari teknologi persenjataan sebagai salah satu instrumen dari kebijakan keamanan nasional suatu negara. Tujuannya adalah untuk Penggunaan kekuatan militer sebagai defensive means dari ancaman- ancaman eksternal secara tradisional. 25 Sehingga menurut Andre Beaufre dalam teori Preemptive Counterforce Capacity, penggunaan seluruh basis kekuatan dan teknologi militer mempengaruhi “ Second phase of strategy planning of possessing such a destruction capacity that a first strike would annihilate any enemy respond capacity “ 26 sehingga pada dasarnya respon militer suatu negara sebagai kebijakan pertahanan suatu negara sangat bergantung kepada perkembangan teknologi militer yang menjadi evaluasi dari kapabilitas destruktif suatu negara yang mampu mengeliminasi kemampuan negara lain untuk melakukan respon secara militer. Dalam hal ini, Zagare menambahkan bahwa teknologi nuklir merupakan sesuatu yang diperlukan dalam menunjang stabilitas internasional. Asumsi ini 25 Barry Buzan, Ole Waever, and Jaap de Wilde, Security : A New Framework for Analysis, Boulder: Lynne Rienner Publisher, hal 116 26 Andre Beaufre, Strategy for Tomorrow, New York: Crane, Russak Co.Inc., 1974, Hal 6. 14 datang dari pemikiran Stuctural deterrence yang umumnya dikenal pada masa Perang Dingin, dimana karena sifat senjata nuklir yang sangat destruktif, maka konsekuensi yang ditanggung oleh negara-negara yang memiliki kapabilitas nuklir menjadi sangat besar. Maka dari itu, banyak negara-negara yang meskipun memiliki pengembangan teknologi senjata nuklir yang mampu menjadi Detterence bagi negara lain namun tidak ingin menggunakannya secara ofensif dan frontal. Sehingga, pada tataran ini kendati menciptakan detterence¸ senjata nuklir seringkali dijadikan sebagai instrumen defensif yang digunakan sebagai salah satu instrumen respon militer suatu negara terhadap serangan dan deterrence negara lain. 27

1.3.3.2. Konsep Balancing

Teori balance of threat juga menjelaskan beberapa kondisi yang memungkinkan suatu negara berperilaku balancing, 28 Pertama, Power and Weakness 29 , Semakin kuat negara, maka dia akan cenderung untuk balancing. Negara-negara lemah akan melakukan balancing ketika terancam oleh negara- negara dengan kemampuan yang rata-rata sama. Kedua, Availability of Allies, Ketika terancam oleh kekuatan besar, negara akan mencari sekutu yang potensial dengan posisi dan kepentingan yang sama. Ketiga, Peace and War, negara cenderung untuk balancing dalam keadaan damai atau pada masa awal perang, karena mereka mencoba untuk melawan kekuatan yang mengancam mereka. 27 Frank C. Zagare op cit hal. 14-16 28 Walt,Stephen M.1987.Alliances: Balancing and Bandwagoning dalam Robert J.Art Robert Jervis, International politics; Enduring Conceps and Contemporary Issues,Eighth Edition, Pearson Education Inc, hal 99-101 29 Yang di maksud dengan kekuatan adalah kemampuan militer suatu negara 15 Alaziz, berpendapat bahwa untuk dapat mengidentifikasikan beberapa aspek yang berbeda, beberapa negarawan biasanya akan melakukan pertimbangan ketika memutuskan, dalam situasi tertentu, untuk memutuskan posisi balancing. Maka dibutuhkan beberapa indikator penunjang seperti di bawah ini. 30 Pertama, Structure of the world order, dimana distribusi kekuasaan pada aktor internasional yang berbeda mempengaruhi keputusan negara untuk balancing. Dalam dunia yang bipolar atau multipolar, beberapa negara lebih memungkinkan untuk balancing karena mereka mencoba untuk melakukan persaingan antar negara yang berpredikat super power. Kedua, The Vulnerability of state, Prilaku balancing adalah hal yang menantang dari sikap agresif yang memerlukan dukungan sosial rasional agar bisa ditopang dan ditinjau kembali. Demokrasi adalah satu-satunya jalan untuk mengamankan dukungan publik yang bisa diperbaiki. Dengan cara yang sama, balancing memerlukan semacam ketergantungan bersama antara negara yang mengancam dan yang terancam. Dalam hal ini, tampaknya Rusia memilih menjalankan posisi balancing yaitu dengan cara menghimpun dukungan dan merangkul negara- negara yang berposisi sama anti AS dan NATO seperti Iran, Korea Utara, Kuba, Venezuela dan bahkan Shanghai Six. 31 Hal ini dilakukan untuk mengimbagi AS dan NATO yang semakin ekspansif. 30 Alaziz.2003. Balance of Threat perception And the prospects of NATO Mediterranean Dialogue.University of Helsinki, diakses dari http:www.nato.intacadfellow01-03alaziz.pdf, tanggal 7 Agustus 2009. 31 Anggota Shanghai Six antara lain Rusia, China, Kazakhstan, Kyrgystan, Tajikistan, dan Uzbekistan, diakses dari http:www.antara.co.idarc20081129rusia-akan-gelar-rudal-baru- berkemampuan-nuklir-mulai-2009 16

1.4. Definisi Konseptual

Balancing adalah tindakan suatu negara untuk mencegah negara lain memperbesar power terlalu jauh. 32 Dari definisi ini, dapat kita simpulkan bahwa perilaku balancing merupakan reaksi atau respon dari aksi suatu negara. Keyakinan bahwa semua negara mempunyai kecenderungan alamiah untuk memperbesar kekuasannya menjadi alasan bagi suatu negara untuk berprilaku balancing. 33

1.5. Definisi Operasional

Karena balancing merupakan respon negara atas perilaku negara lain yang memperbesar powernya, maka variabel yang dapat digunakan adalah kapabilitas militer dan aliansi pertahanan. Untuk mengukur variabel tersebut maka diperlukan indikator-indikator sebagai berikut: - Modernisasi kemampuan militer - Kecenderungan membentuk aliansi dengan negara yang lebih kecil lemah.

1.6. Variabel Penelitian

Penelitian ini memiliki dua variabel yaitu independen dan dependen, variabel independen adalah variabel yang digunakan untuk menjelaskan tingkah laku dari variabel dependen, sedangkan variabel dependen adalah variabel yang tingkah lakunya akan dianalisa, diramalkan dan diprediksi oleh variabel 32 Mohtar, Mas’oed .1994, Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi, Jakarta, PT. Pustaka LP3ES Indonesia, hal. 133 33 Ibid hal. 135 17 independen. 34 Dalam penelitian ini variabel dependennya adalah respon Rusia terhadap rencana penempatan rudal pertahanan AS di Ceko dan Polandia sedangkan variabel independennya adalah rencana penempatan rudal pertahanan AS di Ceko dan Polandia Secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut : Menjelaskan Variabel Independen Variabel Dependen Rencana penempatan rudal Respon Rusia Pertahanan AS di Ceko dan Polandia Gambar 1.2. Variabel Independen dan dependen

1.7. Hipotesis