Respon Amerika Serikat terhadap pengembangan teknologi Iran 2005-2010

(1)

RESPON AMERIKA SERIKAT TERHADAP

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI NUKLIR IRAN

2005-2010

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar

Sarjana Ilmu Hubungan Internasional

Oleh:

RAGIL WIBISONO

NIM. 107083000094

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

ii

LEMBAR PENGESAHAN

RESPON AMERIKA SERIKAT TERHADAP PENGEMBANGAN TEKNOLOGI NUKLIR IRAN

2005-2010

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar

Sarjana Ilmu Hubungan Internasional

Oleh :

RAGIL WIBISONO NIM. 107083000094

Di Bawah Bimbingan:

Pembimbing Penasehat Akademik

Dina Afrianty, Ph.D. Dina Afrianty, Ph.D. NIP. 197304141999032002 NIP. 197304141999032002

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(4)

iii

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 19 September 2011


(5)

iv

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr, Wb

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah serta izin-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Respon Amerika Serikat Terhadap Pengembangan Teknologi Nuklir Iran 2005-2010”. Judul tersebut merupakan ketertarikan mendalam penulis terhadap Iran selaku negara Muslim yang terletak di kawasan Timur Tengah yang berani menentang ketidakadilan dan dominasi AS atas dunia Muslim dan negara berkembang. Penulis mengharapkan seluruh pihak yang membaca dapat mengetahui lebih mendalam mengenai respon AS terhadap pengembangan nuklir Iran dan memahami tujuan dari pengembangan teknologi nuklir Iran.

Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah mendorong dan membimbing penulis, baik tenaga, ide-ide, maupun pemikiran. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Mama Lilis dan Papa Muchdi selaku orang tua penulis yang telah memberikan dorongan, doa restu, dan bantuan baik moral maupun material selama penulis menuntut ilmu. Penulis akan selalu ingat akan jerih payah dan nasihat kalian. “Love you Mom, Dad

Berikutnya, terimakasih penulis ucapkan kepada Ibu Dina Afrianty, selaku Ketua Jurusan Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta, Dosen Pembimbing, dan Dosen Penasehat Akademik penulis yang telah memberikan ilmu, bimbingan, saran, dan motivasi yang begitu bermanfaat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Kemudian, Bapak Agus Nilmada Azmi selaku Sekretaris Jurusan Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta yang juga telah memberikan pelayanan yang baik kepada penulis dan semua mahasiswa HI UIN Jakarta.

Tidak lupa juga terimakasih kepada seluruh Bapak/Ibu Dosen Jurusan Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta yang telah mengajarkan berbagai ilmu dan telah membantu penulis dalam meyelesaikan tugasnya sebagai mahasiswa.


(6)

v

Kemudian, terimakasih untuk Mas Ferry, Mbak Dina, dan Mbak Anggy selaku kakak kandung penulis, terimakasih atas motivasi, semangat dan dukungan kalian yang dahulu juga pernah merasakan suka duka dalam penyusunan skripsi.

Tidak lupa juga terimakasih kepada Anne Normadiah yang telah memberikan motivasi dan semangat kepada penulis. “You are the best woman i ever had”.

Terimakasih juga untuk sahabat-sahabat terbaik penulis di HI UIN Jakarta; Faris, Rizkah, Majid, Mas Hudaf, Rara, Sekar, Enno, Zaka, Adjo, trio kwek-kwek (Chezar, Sandy, Nada), Dinda, Dery, dan geng-gong (Antik, Siska, Monic, Nia). Kalian semua telah memberikan dorongan semangat kepada penulis dalam pembuatan skripsi ini. ”See you on the top guys...!!!

Selanjutnya, terimakasih kepada adik-adik semester penulis, Imam Pele, Affan Abe, Uki Faruqi, Hary Ebbes, Fayat, Dian, Alul, Fahmi, Al, Azay, Kashfy, Apriliong dan Edo, yang telah memotivasi penulis dalam penyusunan skripsi ini, sekaligus menguji ketajaman ilmu penulis sebagai mahasiswa HI. Pesan penulis, kuliah yang rajin, semoga cepat lulus, amalkan ilmu yang kalian miliki.

Terimakasih kepada sahabat-sahabat penulis di HI UPN Yogyakarta Pinky Mytha, Hary Bolang, Adryn, Faisal, dan Adi Mulia Pradana HI UGM yang telah sama-sama berjuang dalam penyusunan skripsi dan sharing ilmu yang begitu bermanfaat. Ketahuilah bahwa “friendship is not limit by distance, See you guys...”

Terimakasih juga kepada seluruh sahabat-sahabat Mahasiswa/i Jurusan Hubungan Internasional kelas B angkatan 2007, kalian telah banyak memberikan warna dalam kehidupan penulis. Serta seluruh sahabat-sahabat Mahasiswa/i Jurusan Hubungan Internasional angkatan 2007.

Tidak lupa terimakasih kepada teman-teman BEM-J Hubungan Internasional dan KOMAHI UIN Jakarta 2007/2008, 2008/2009 yang telah banyak mengajarkan dan membantu penulis dalam berorganisasi.

Selanjutnya teman-teman angkatan 2006, 2008, 2009, dan 2010 Jurusan Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta. Pesan penulis berbanggalah menjadi mahasiswa HI UIN Jakarta, terus berjuang tinggikan nama HI UIN Jakarta.


(7)

vi

Kemudian yang terakhir, terimakasih kepada semua pihak yang telah turut membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini namun tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih.

Semoga dengan segala bantuan yang tidak ternilai harganya ini mendapat imbalan di sisi Allah SWT sebagai amal ibadah, Amin. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan-perbaikan ke depan.

Wassalamualaikum Wr, Wb

Jakarta, 19 September 2011


(8)

vii

LEMBAR PENGESAHAN...ii

LEMBAR PERNYATAAN...iii

KATA PENGANTAR...iv

DAFTAR ISI...vii

DAFTAR TABEL...ix

ABSTRAK...x

BAB I PENDAHULUAN Hlm. A. Latar Belakang Masalah………....1

B. Pertanyaan Penelitian………7

C. Kerangka Pemikiran………..7

D. Metode Penelitian………15 E. Sistematika Penulisan……….….16 BAB II POLITIK LUAR NEGERI AS (AMERIKA SERIKAT) TERHADAP IRAN A. Politik Global Amerika Serikat………...18

B. Pengaruh Kelompok Neo-konservatif AS terhadap Formulasi Kebijakan Luar Negeri AS………..…..27

C. Kepentingan AS Terhadap Iran...33

C.1. Sebelum Revolusi Islam Iran 1979………...…...………33 C.2. Pasca Revolusi Islam Iran 1979-2010……...……….….41 D. Embargo Ekonomi, Senjata Militer dan Pengisolasian Terhadap Iran…...….48


(9)

viii

BAB III KEBIJAKAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI NUKLIR IRAN A. Program Pengembangan Teknologi Nuklir Iran 2005-2010……….…..54 B. Diplomasi Iran Dalam Mempertahankan Pengembangan Teknologi

Nuklir...59 B.1. Diplomasi Iran Melawan Tekanan AS dan Sekutunya………59 B.2. Diplomasi Iran Terhadap IAEA (International Atomic Energy Agency)………63 C. Posisi Iran Dalam Keanggotaan NPT (Nuclear Non-Proliferation Treaty)....67 D. Kebijakan Peningkatan Militer Iran……….………70 BAB IV ANALISA RESPON AMERIKA SERIKAT TERHADAP

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI NUKLIR IRAN 2005-2010

A. Respon AS Terhadap Penyelesaian Sengketa Nuklir Iran...76 A.1. Kebijakan AS dan Sekutu Terhadap Pengembangan Nuklir

Iran………...76

A.2. Penyelesaian Jalur Diplomasi Kepada Iran...82 B. Masa Depan Hubungan Bilateral Iran-AS...88 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………..93 Daftar Pustaka………...xi Lampiran


(10)

ix

3.A. Tabel Negara-negara yang memiliki senjata nuklir beserta dengan jumlah hulu ledaknya………66 3.B. Tabel jenis-jenis rudal balistik produksi Iran………...73 3.C. Tabel peningkatan armada kapal perang Iran……….………..74 3.D. Tabel peningkatan armada pesawat tempur Iran……….…….74


(11)

x

ABSTRAK

Pengembangan teknologi nuklir merupakan suatu langkah alternatif mengatasi krisis sumber daya energi dan kebutuhan riset teknologi Iran. Iran selaku negara berdaulat mengembangkan teknologi nuklir untuk tujuan damai. Akan tetapi, pengembangan nuklir yang dilakukan Iran mendapat tekanan dari AS dan Sekutunya. Tekanan tersebut diawali oleh kekhawatiran AS bahwa pengembangan teknologi nuklir Iran dapat menuju pengembangan senjata nuklir dan berpengaruh kepada stabilitas keamanan Timur Tengah. Sebagai bukti bahwa pengembangan teknologi nuklirnya tidak menyimpang, maka Iran bersedia diawasi oleh IAEA (International Atomic Energy Agency) dan bersedia menandatangani perjanjian NPT (Nuclear Non-Proliferation Treaty).

Namun demikian, AS dan Sekutunya tetap berupaya untuk menghentikan program pengembangan nuklir Iran. Benturan kebijakan luar negeri antara Iran-AS dan adanya kepentingan AS di Timur Tengah merupakan sumber sengketa nuklir Iran. Selain itu, adanya perlindungan AS terhadap Israel juga merupakan alasan AS untuk merespon pengembangan nuklir Iran melalui berbagai tekanan. AS meyakini bahwa nuklir Iran berpotensi mengancam kedaulatan Israel di Timur Tengah.

Penulis membahas isu tersebut dengan berdasar kepada pemikiran teori Neo-realis beserta konsep turunannya yakni konsep kepentingan nasional, konsep kebijakan luar negeri, dan konsep keamanan internasional. Dengan menggunakan pencarian data kualitatif berupa sumber primer seperti wawancara dan sumber sekunder berupa kepustakaan, maka penulis menyimpulkan bahwa pengembangan teknologi nuklir Iran bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Selain daripada itu, nuklir Iran juga berfungsi sebagai alat bargaining power kepada Israel selaku negara yang memiliki senjata nuklir di Timur Tengah.

Adapun respon AS dalam pengembangan nuklir Iran adalah dengan melakukan tekanan melalui kekuatan politiknya, yang kemudian karena berbagai macam pertimbangan AS merubah responnya tersebut menjadi mengedepankan solusi diplomasi kepada Iran.


(12)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Republik Islam Iran merupakan negara yang tergolong muda dalam sejarah terbentuknya kebangkitan suatu bangsa, yaitu terhitung sejak 31 tahun setelah terjadinya Revolusi Iran pertama pada Januari 1979 yang digerakan oleh Imam Ayatullah Khomeini. Revolusi Islam Iran terjadi akibat kedekatan hubungan bilateral Iran-AS (Amerika Serikat) pada rezim Shah Reza Pahlevi. Pada masa Shah Reza, Iran seperti kehilangan jati diri sebagai negara Muslim di Timur Tengah akibat kediktatoran Pahlevi yang membiarkan AS untuk mengeksploitasi Iran, sekaligus menjadikan Iran tempat singgahan AS untuk mengontrol negara-negara di kawasan Timur Tengah.

Semenjak terjadinya Revolusi Islam Iran 1979 konstelasi politik dan pertahanan keamanan Iran berubah drastis. Jatuhnya Shah Reza Pahlevi membuat AS kehilangan langkah kemudahan untuk mengeksploitasi Iran. Terbukti Revolusi Islam Iran telah memutus peluang AS mendapatkan kontrak pembelian senjata seperti yang terjadi di era Shah Reza Pahlevi, sementara Inggris selaku sekutu AS tak punya lagi akses ke ladang-ladang minyak di Kuzhistan, Barat Daya Iran (Kazhim dan Hamzah 2007, h. 35).

Revolusi Islam Iran juga menyebabkan ketidakharmonisan hubungan bilateral Iran-AS. Pada mulanya ketika rezim Shah Reza Pahlevi, AS menyetujui pengayaan uranium nuklir Iran dengan tujuan pengembangan energi. Namun, ketika Revolusi


(13)

2

Islam Iran terjadi, AS menentang kebijakan Iran tersebut bahkan menghentikan pensuplaian bahan bakar uranium ke Iran dengan tujuan agar Iran menghentikan pengayaan program nuklirnya. Oleh sebab itu, program pengayaan nuklir Iran yang bertujuan damai tersebut terhenti. Dengan semangat perjuangan, Imam Khomeini beserta rakyat Iran terus menyerukan anti AS dan Barat dan melandaskan perjuangan yang suci dengan tujuan menegakkan keadilan dan menentang penindasan Timur dan Barat atas dunia Muslim (Kazhim dan Hamzah 2007, h. 41).

Nuklir Iran sempat dikembangkan kembali pada masa Presiden Rafsanjani dan Presiden Khatami. Akan tetapi, pengembangan nuklir Iran tersebut mengalami kevakuman. Pertama, Presiden Hashemi Rafsanjani yang menjadi presiden pada periode tahun 1989-1993 dan 1993-1997 memiliki kebijakan perbaikan hubungan rapprochement (kebijakan membuka hubungan kerjasama) dengan Barat. Menurut Heriyanto (2006, h. 72) Kebijakan ini didasari pada tiga pertimbangan, pertama, Iran tidak bisa mengubah peta politik kawasan. Kedua, Iran harus berusaha untuk menyelaraskan pada keseimbangan kekuatan yang baru di kawasan. Ketiga, untuk memulai hubungan dengan Arab Saudi karena negara ini merupakan negara utama di dewan Kerjasama Teluk. Sasaran utama kebijakan Presiden Rafsanjani adalah memulihkan kerugian besar yang terjadi selama 8 tahun perang Irak-Iran, dan untuk menegaskan kembali pengaruh Iran di kawasan. Presiden Rafsanjani sempat mengembangkan nuklir Iran pada 1996. Namun, pengembangan nuklir tersebut tidak bertahan lama akibat adanya bencana kebocoran di salah satu instalasi nuklir bagian Utara Iran (Rahman 2003, h. 164).


(14)

Berikutnya adalah pada masa Presiden Muhammad Khatami yang menjadi Presiden Iran periode tahun 1997-2001 dan 2001-2005. Kebijakan dan politik luar negeri Presiden Khatami melanjutkan yang telah diterapkan Presiden Rafsanjani. Hanya saja Presiden Khatami lebih melakukan pendekatan yang terbuka dan bersifat kerjasama kepada negara-negara di seluruh dunia terutama Barat dan bangsa Arab. Kepada pejabat-pejabat Kementerian Luar Negeri Iran, Khatami menegaskan Iran ingin mempunyai hubungan luar negeri dengan semua negara-negara, mencakup negara-negara industri atas dasar rasa hormat dan kepentingan timbal balik. Presiden Khatami juga pernah mengembangkan teknologi nuklir pada 2003 (Rahman 2003, h. 206). Namun, pengembangan nuklir yang dilakukan Presiden Khatami kembali mengalami kevakuman akibat adanya tekanan AS dan Israel.

Kazhim dan Hamzah (2007, h. 35) mengatakan bahwa berbeda dengan kepemimpinan dua presiden sebelumnya, Presiden Mahmoud Ahmadinejad teguh mengemban amanah Imam besar Iran Ayatullah Khomeini untuk melanjutkan agenda Revolusi Islam Iran. Presiden Ahmadinejad menyebut kepemimpinannya sebagai Revolusi Iran ketiga karena menentang hegemoni AS dan Israel. Beliau adalah tokoh konservatif Iran yang sangat loyal terhadap nilai-nilai Revolusi Islam Iran 1979. Pada awal kepemimpinannya sebagai Presiden Iran yaitu pada 5 Agustus 2005, Presiden Ahmadinejad langsung menyerukan program nuklir Iran sebagai tiket menuju kemerdekaan sejati dan kemandirian dari hegemoni asing (Kazhim dan Hamzah 2007, h. 159). Hal ini dikarenakan program nuklir Iran memiliki keuntungan bagi kepentingan nasional Iran. Pertama, pertarungan mendatang di tingkat regional dan global berporos pada masalah sumber daya energi, negara atau aliansi pemenang


(15)

4

bidang ini akan menjadi kekuatan besar di dunia yang mungkin tak tertandingi. Bila Iran mampu mengamankan sumber-sumber daya energinya maka kemandirian Iran sebagai negara visi peradaban tidak lagi akan terganggu. Kedua, program nuklir adalah konsensus seluruh rakyat Iran dari semua lapisan dan faksi (Kazhim dan Hamzah 2007, h. 159).

Program nuklir Iran kini meluas menjadi kasus internasional. Tekanan dan hambatan dari AS dan Sekutunya terus mengganggu laju perkembangan nuklir Iran. Bahkan, AS dan Sekutunya menggunakan segala cara untuk menghentikan program nuklir Iran. Di awal perjalanan pengembangan nuklir Iran, Presiden Ahmadinejad menyatakan bahwa program nuklir Iran bertujuan damai dan tidak untuk mengembangkan senjata pemusnah masal. Namun, AS tidak menghiraukan hal ini dengan tidak mempercayai pernyataan Presiden Ahmadinejad tersebut. Berbagai cara AS melakukan tekanan terhadap Iran, hingga membawa isu nuklir Iran ke DK-PBB (Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan menjatuhkan beberapa sanksi apabila Iran terus mengembangkan program nuklirnya (Desti 2007, h. 86). Tidak hanya itu, ancaman akan menyerang Iran melalui jalur militer baik darat, laut, maupun udara pun dikeluarkan AS. Ahmadinejad bukanlah Presiden yang mudah gentar, Iran tidak terganggu dengan tekanan-tekanan tersebut. Seiring berjalannya pengembangan nuklir, Presiden Ahmadinejad mensiasati perlunya peningkatan jalur militer untuk menepis ancaman dan tekanan dari AS.

Sejak pertengahan 2005 Presiden George W. Bush telah beberapa kali melakukan pembicaraan mengenai serangan militer ke Iran (Kazhim dan Hamzah


(16)

2007, h. 137). Misalnya, Presiden Bush bekerjasama dengan Israel dan NATO (North Atlantic Treaty Organization) dalam bidang militer untuk merencanakan perang nuklir terhadap Iran (Kazhim dan Hamzah 2007, h. 140). Bila rencana ini terjadi maka dampak yang terjadi akan semakin meluas hingga ke seluruh dunia.

Untuk melawan kemungkinan serangan militer AS dan Sekutunya, Iran memperkuat basis militernya dengan menambah produksi tank, angkutan perang, rudal kapal selam, dan pesawat tempur sejak tahun 1992 (Kazhim dan Hamzah 2007, h. 165). Iran juga mengembangkan misil fajr-3, hoot kowsar, rudal fateh-110, syahab-3 yang merupakan misil-misil balistik Iran yang dapat menjangkau pangkalan-pangkalan militer AS di Teluk Persia dan negara-negara Arab (Kazhim dan Hamzah 2007, h. 141). Misil-misil tersebut mampu mendeteksi wilayah sejauh radius 5.000 km. Tidak hanya didukung oleh alutsista (Alat Utama Sistem Persenjataan), kekuatan militer Iran juga didukung oleh struktur militer dan jenis angkatan bersenjatanya. Iran memiliki dua jenis angkatan bersenjata, yaitu angkatan bersenjata regular dan kesatuan Garda Revolusi Islam yang lebih dikenal dengan Sepah Pasdaran (Kazhim dan Hamzah 2007, h. 166). Tahun 2007 total keseluruhan jumlah pasukan kedua jenis angkatan bersenjata tersebut 545.000 personil (Kazhim dan Hamzah 2007, h. 166). Angkatan militer jenis Sepah Pasdaran ini memiliki milisi sukarelawan yang disebut dengan Basij. Basij memiliki 90.000 anggota aktif, 300.000 anggota cadangan dan 11.000.000 personil yang siap dimobilisasi setiap waktu (Kazhim dan Hamzah 2007, h. 166). Hal inilah yang menjadi dilema para petinggi gedung putih dan perwira pentagon untuk melakukan serangan terhadap Iran.


(17)

6

Kazhim dan Hamzah (2007, h. 171) menyatakan bahwa serangan militer AS terhadap Iran akan memukul banyak kepentingan AS sendiri. Selain itu, strategi balasan militer Iran kepada AS juga sangat tersusun dengan bagus, baik dari serangan gerilyawan darat, serangan udara dengan jet-jet tempur milik Iran, maupun melewati jalur laut dengan kapal-kapal perang Iran yang memiliki teknologi pendeteksi jarak jauh (Kazhim dan Hamzah 2007, h. 171). Sejauh ini Iran tidak akan lebih dulu menyerang AS. Namun, sebaliknya AS pun akan berfikir ulang untuk menyerang Iran mengingat ketangguhan militer Iran yang sangat meningkat.

Peningkatan militer Iran tersebut sebagai modal keberanian Iran untuk terus mengembangkan teknologi nuklir yang menjadi hak setiap bangsa untuk kepentingan damai. Kemudian, strategi AS untuk menjadikan Israel sebagai kekuatan utama di Timur Tengah belum berhasil, terbukti dengan kegagalan AS dan Israel dalam menggempur pasukan Hizbullah dalam perang 33 hari di Lebanon, yaitu dengan 3.000 pasukan Hizbullah berhasil melawan dan memukul mundur 50.000 pasukan Israel yang dibantu oleh pasukan militer AS (Kazhim dan Hamzah 2007, h. 31). Kemudian, dengan kegagalan AS dalam menggempur Iran di Teluk Persia ketika terjadinya perang antara Iran-Irak tahun 1980-1988 (Sihbudi 1999, h. 115). AS Memanfaatkan situasi dengan mengirimkan pasukan armada lautnya yang pernah dikerahkan pada Perang Dunia ke II, akan tetapi Iran berhasil menggempur balik pasukan AS dan Irak dengan menimbulkan beberapa kerusakan material dan fisik (Sihbudi 1999, h. 117). Oleh karena itu, atas dasar inilah penulis merasa tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai Respon Amerika Serikat Terhadap Pengembangan Teknologi Nuklir Iran 2005-2010.


(18)

B. Pertanyaan Penelitian

Penelitian ini berupaya untuk menjawab beberapa pertanyaan, yaitu:

1. Apa kepentingan nasional Iran terkait dengan pengembangan teknologi nuklir?

2. Bagaimana respon AS terhadap pengembangan teknologi nuklir Iran? 3. Mengapa AS terus menekan dan mengancam Iran walaupun telah terbukti

oleh IAEA bahwa pengembangan teknologi nuklir Iran untuk tujuan damai?

C. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan pertanyaan penelitian mengenai Respon Amerika Serikat Terhadap Pengembangan Teknologi Nuklir Iran 2005-2010, maka penulis mengacu pada pemahaman Neo-realis dengan tiga konsep turunannya yakni konsep kepentingan nasional, konsep kebijakan luar negeri, dan konsep keamanan internasional. Penulis akan merealisasikan pemahaman Neo-realis yang menganggap bahwa tatanan sistem internasional berada dalam kondisi anarkis, sehingga negara-negara dominan akan muncul untuk terlibat dalam suatu sengketa internasional untuk menunjukkan dan mendistribusikan kemampuan unit dalam sistem (Burchill dan Linklater 2009, h. 117). Kemudian, dari tatanan sistem internasional yang anarkis, muncul suatu dilema keamanan yang berdampak pada pencarian keamanan dengan menambah kekuatan militer, sehingga semua negara akan mengikuti struktur hirarki sistem internasional dengan mencari keamanan sebelum dapat menunjukkan fungsi negara yang lainnya (Burchill dan Linklater 2009, h. 118).


(19)

8

Selanjutnya, masuk pada konsep kepentingan nasional dan kebijakan luar negeri. Kedua konsep tersebut merupakan konsep turunan dari pemahaman Neo-realis. Dari konsep tersebut, penulis akan mendalami bagaimana suatu input dari kepentingan nasional dan politik luar negeri yang akan terproses lalu membentuk suatu output yang melahirkan kebijakan luar negeri. Hal ini dikarenakan setiap kebijakan-kebijakan luar negeri yang diambil oleh suatu negara mengacu kepada kepentingan nasional. Menurut Frankel (1988, h. 93) kebijakan luar negeri bertujuan untuk melindungi dan mempertahankan kepentingan nasional suatu negara. Oleh sebab itu, kedua konsep ini memiliki peranan yang sangat penting bagi suatu negara untuk mencapai suatu target dan tujuan yang diinginkan.

Berikutnya konsep keamanan internasional. Secara tidak langsung peningkatan kekuatan militer merupakan tata cara melindungi negara dari ancaman negara lain. Sebaliknya, peningkatan militer suatu negara juga dilakukan sebagai upaya ancaman terhadap negara lain. Konsep ini merupakan konsep lama yang mulai digunakan pada saat berlangsungnya Perang Dunia I dan II.

Isu nuklir Iran sangat berpengaruh bagi keamanan kawasan Timur Tengah. Pasalnya, dengan adanya pengembangan nuklir Iran, maka negara-negara di kawasan Timur Tengah berkeinginan untuk mengembangkan kekuatan militernya untuk menghadapi ancaman terburuk jika Iran mengembangkan senjata nuklir. Seperti contohnya Israel yang khawatir kedaulatan negaranya terancam akibat pengembangan nuklir Iran, sehingga Israel mendesak AS untuk menghentikan pengembangan nuklir Iran melalui jalur militer (Jamaan 2007, h. 31).


(20)

Keamanan internasional bersifat global dan dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara atau aktor-aktor internasional (Amstutz 1995, dikutip dalam Jemadu 2008, h. 138). Tentu kebijakan luar negeri yang disusun oleh pemerintah merupakan wujud dari kepentingan nasional dalam upaya menjaga keamanan nasional yang mengancam kedaulatan suatu negara. Frankel (1988, h. 93) mengatakan bahwa “kepentingan nasional merupakan kunci utama dari konsep kebijakan luar negeri yang menjadi pokok utama dari total keseluruhan nilai-nilai nasionalitas suatu bangsa”. Selebihnya, kepentingan nasional dapat mendeskripsikan suatu gambaran aspirasi dari rakyat yang dapat diwujudkan dalam suatu gerakan operasional yang menghasilkan suatu aplikasi kepada perwujudan kebijakan dan program yang dikeluarkan pemerintah (Frankel 1988, h. 93). Kemudian, menurut Holsti (1992, h. 3) “kebijakan luar negeri merupakan akar dari politik luar negeri dan politik luar negeri sendiri merupakan pola perilaku sebuah negara dan juga reaksi ataupun respon dari negara lain terhadap perilaku tersebut”.

Kebijakan luar negeri yang disusun oleh AS tidak terlepas dari pemikiran kelompok Neo-konservatif AS yang bekerjasama dengan kelompok Neo-liberalis AS (Brenner dan Theodore 2002, dikutip dalam Glassman 2004, h. 1527-1528). Kedua kelompok ini memiliki tujuan yang sama yakni menekan dan melakukan ekspansi dengan cara baru lebih bersifat soft power yang disebut dengan new-imperialism dari ekspansi AS sebelumnya pasca Perang Dunia II (Glassman 2004, h. 1527). Neo-konservatif dan Neo-liberalis memiliki perbedaan ideologi dan cara penekanan. Bila Neo-konservatif menekankan kebijakan yang bersifat hard power yaitu menggunakan jalur militer dalam pelaksanaan kebijakan luar negeri (Glassman 2004, h. 1528).


(21)

10

Sebaliknya Neo-liberal cenderung memilih jalur ekonomi dengan menerapkan ekonomi global, deregulasi mata uang (Harvey 2003, dikutip dalam Glassman 2004, h. 1528), dan penyebaran industri global seperti MNC/TNC Multi/Trans National Corporation di negara-negara maju dan berkembang (Brenner dan Theodore 2002, dikutip dalam Glassman 2004, h. 1528). Namun, keduanya memiliki tujuan yang sama yakni melanjutkan imperialisme AS dengan cara baru atau disebut dengan Neo-imperialisme. Hubungan antara kedua kelompok ini sangat erat dan sama-sama melihat kondisi melalui fenomena sosial yang terjadi (Glassman 2004, h. 1527).

Selama pola perencanaan kebijakan masih berada dalam lingkup domestik maka belum dapat dikategorikan sebagai kebijakan luar negeri. Namun, apabila kebijakan telah terolah dari input yang terkait kemudian dikembangkan, maka kebijakan tersebut akan terproses dengan melibatkan berbagai macam pihak yang terkait baik pemerintah maupun NGO Non-Governmental Organization. Sehingga pihak pemerintah akan menjadikan kebijakan tersebut sebagai kebijakan luar negeri untuk melawan ataupun bertahan dari unit politik internasional.

Hal ini sepadan dengan yang dikemukakan oleh Perwita dan Yani (2007, h. 49) yang menyatakan bahwa “kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional lainnya dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional”.

Selain keamanan internasional, keamanan energi juga dapat menjadi faktor pertimbangan dalam penentuan kebijakan luar negeri suatu negara (Jemadu, 2008, h. 145). Konflik sering kali timbul karena sumber energi yang terbatas dan karena


(22)

pemakaian yang eksploitatif oleh suatu negara baik di kawasan maupun secara global. Oleh sebab itu, tiap negara mulai merencanakan pengembangan energi yang efektif untuk mengantisipasi adanya krisis energi yang kemungkinan akan terjadi. Adanya pengalihan krisis energi melalui solusi pengembangan teknologi nuklir merupakan suatu fenomena yang krusial dan kontroversial. Belakangan ini pengembangan teknologi nuklir Iran membuat keamanan global menjadi isu penting yang mengundang perhatian banyak pihak. Namun, langkah tepat yang dilakukan Iran mengembangkan nuklir untuk mengantisipasi krisis energi yang akan melanda Timur Tengah justru menjadi ancaman bagi negara lain. Oleh karena itu, pengembangan ini dianggap akan menimbulkan isu keamanan internasional baru yang tidak hanya melibatkan negara di kawasan Timur Tengah, namun juga melibatkan negara di seluruh kawasan.

Sarkesian 1989 yang dikutip dalam Jemadu (2008, h. 139-140) mendefinisikan bahwa :

the confidence held by the great majority of the nation’s people that the

nation has the military capability and effective policy to prevent its adversaries from effectively using force in preventing the nation’s pursuit of its international interest. Keyakinan dimiliki oleh mayoritas masyarakat suatu negara dengan menggunakan kapabilitas militer dan kebijakan yang efektif dalam mencegah musuh untuk menggunakan kekuatan militer untuk mengacaukan kepentingan internasional. (Terjemahan Penulis).

Pada dasarnya keamanan internasional merupakan state of mind (Jemadu 2008, h. 140) yang terikat dalam suatu entitas politik yang bernama negara. State of mind tersebut tidak datang dengan sendirinya melainkan didasarkan pada basis material kapabilitas nasional yaitu kekuatan militer yang di dukung oleh unsur-unsur


(23)

12

kepentingan, dan kekuatan nasional lainnya (Jemadu 2008, h. 140). Dalam hal ini, Iran telah memiliki state of mind dengan didukung beberapa kepercayaan diri tidak hanya dalam kemampuan mengembangkan teknologi nuklir, namun juga dalam bidang militer baik strategi maupun sistem persenjataan, politik luar negeri, dan semangat nasionalis Revolusi Islam Iran yang dinamakan oleh Presiden Ahmadinejad merupakan revolusi ke-3 yaitu melawan hegemoni AS dan Israel.

Penggunaan kekuatan militer oleh negara tidak semata-mata hanya terbatas pada masa perang saja. Sekurang-kurangnya ada empat fungsi kekuatan militer dalam politik internasional (Jemadu 2008, h. 146-147). Pertama, kekuatan militer diproyeksikan sebagai prestige power di mana suatu negara menunjukkan keunggulan militernya melalui penguasaan teknologi baru dengan daya penghancur yang dapat menggentarkan musuh. Hal ini biasanya ditunjukkan ketika suatu negara baru menyelesaikan proyek alutsista (Alat Utama Sistem Persenjataan) baru, atau biasanya ditunjukkan ketika perayaan kemerdekaan, dan perayaan hari Angkatan Bersenjata untuk menunjukkan dan mengirim sinyal tanda kepada musuh tentang peningkatan kekuatan militer suatu negara. Kedua, kekuatan militer digunakan sebagai deterrence power atau kekuatan penangkal. Yakni lebih jelasnya suatu negara meyakinkan lawannya tentang konsekuensi yang akan dihadapi bila benar melakukan tindakan militer yang tidak dikehendaki, kredibilitas tersebut tentu mempengaruhi efektivitas dari ancaman militer lawan dan bahkan dapat memberikan tekanan balik kepada lawan. Ketiga, kekuatan militer dibangun sebagai kekuatan defensif untuk melindungi diri dari kekuataan musuh. Defensive power dapat berupa peningkatan anggaran belanja militer, dan uji coba alutsista baru yang bertujuan untuk melindungi


(24)

diri dari serangan musuh. Keempat, kekuatan militer juga dapat digunakan sebagai alat pemaksa atau coercive diplomacy guna menekan suatu negara agar mengikuti keinginan dari negara yang menekan atau minimal melakukan suatu tindakan tertentu, dalam konteks ini kekuatan militer berfungsi sebagai compellent power (Amstutz 1995, dikutip dalam Jemadu 2008, h. 147), misalnya seperti pelatihan gabungan militer AS dengan militer negara-negara Arab di Timur Tengah bertujuan agar Iran menghentikan pengayaan uranium nuklirnya. Namun, justru sebaliknya dengan ancaman dan tekanan AS dan Sekutu membuat Iran semakin percaya diri dan mandiri dalam mengembangkan militernya untuk melawan kemungkinan serangan-serangan militer AS dan sekutu ke instalasi nuklir, dan kota-kota besar Iran.

Penggunaan kekuatan militer tidak terlepas dari kebijakan suatu negara dalam menyikapi isu keamanan internasional yang mengancam negaranya. Tentunya negara yang mengambil kebijakan untuk meningkatkan kekuatan militernya telah siap untuk menghadapi lawan dengan segala resiko yang akan terjadi. Apabila suatu negara berhasil mengalahkan suatu lawan melewati jalur peperangan maka tingkat kepercayaan diri suatu negara tersebut semakin meningkat baik di kawasan maupun di dunia. Selain itu, negara-negara lain juga akan menganggap prestige dalam percaturan politik internasional. Peningkatan militer tersebut dapat ditinjau kepada tujuan awal suatu negara yang bertujuan untuk menjaga kepentingan nasional dari ancaman negara lain. Oleh sebab itu, dirumuskanlah kebijakan luar negeri untuk mewujudkan kepentingan nasional tersebut.

Seperti yang dikatakan oleh Mas‟oed (1990, h. 184) yaitu “kebijakan luar negeri yang dirumuskan oleh suatu negara memang bertujuan untuk mencapai


(25)

14

kepentingan masyarakat suatu negara meskipun kepentingan nasional suatu bangsa pada waktu itu ditentukan oleh siapa yang berkuasa pada waktu itu”. Dapat diketahui bahwa kepentingan nasional tidak memandang siapakah pemimpin negaranya dan pada waktu kapankah memimpin suatu negara. Kepentingan nasional adalah hal yang mutlak menjadi perhitungan setiap pemerintahan suatu negara. Selebihnya, kepentingan nasional sangat penting untuk menjelaskan analisa hubungan internasional, baik untuk mendeskripsikan, menjelaskan, meramalkan, ataupun menganjurkan perilaku internasional (Mas‟oed 1990, h. 162). Karena kepentingan nasional merupakan konsep abstrak yang meliputi berbagai kategori dan keinginan dari suatu negara yang berdaulat (Mas‟oed 1990, h. 162).

Dari kepentingan nasional beranjak kepada perumusan formulasi kebijakan luar negeri. Perumusan ini harus memperhatikan situasi yang mencangkup faktor eksternal, domestik, dan kondisi kontemporer historis yang dianggap pembuat kebijakan luar negeri relevan dengan setiap masalah politik tertentu (Holsti 1992, h. 469). Adapun formulasi kebijakan luar negeri harus meliputi kejadian-kejadian penting, kebutuhan-kebutuhan politik domestik dan luar negeri, nilai-nilai sosial dan imperatif ideologis, keadaan pendapat umum, adanya kapabilitas, tingkat ancaman, kesempatan yang dirasakan dalam suatu situasi, konsekuensi yang telah diduga, biaya untuk mempersiapkan tindakan, dan elemen-elemen waktu atau tuntutan situasi tertentu (Holsti 1992, h. 469).

Dengan demikian, ketiga konsep yang merupakan turunan dari pemahaman Neo-realis yakni konsep kebijakan luar negeri, konsep kepentingan nasional, dan konsep keamanan internasional yang saling berkesinambungan kiranya relevan untuk


(26)

membahas lebih lanjut mengenai Respon Amerika Serikat Terhadap Pengembangan Teknologi Nuklir Iran 2005-2010.

D. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penulis memperhatikan bahwa data kualiatif dapat dianalisis dalam berbagai format, termasuk di antaranya kajian peluang yang ditawarkan oleh format riset observasi (termasuk observasi partisian), wawancara, riset sumber dokumen, dan riset media (Harison 2007, h. 85). Dengan kajian format riset observasi tersebut maka penelitian kualitatif memberikan kesempatan ekspresi dan penjelasan yang lebih besar (Harison 2007, h. 86).

Metode kualitatif ini juga didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong 2002, h. 3). Selain itu, pengumpulan data dalam penelitian kualitatif ini meliputi tiga tipe, yaitu observasi, interview, dan dokumen yang masing-masing mempunyai fungsi dan keterbatasan (Creswell 1994, h. 149). Berdasarkan kepada tipe-tipe tersebut penulis lebih menggunakan data-data yang bersifat primer yakni data-data yang penulis dapatkan dari hasil wawancara dengan Riza Sihbudi selaku Ahli Peneliti Utama dan Pakar Politik Timur Tengah P2P LIPI (Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Jakarta. Kemudian data-data sekunder yang penulis dapatkan melalui sumber kepustakaan seperti buku, jurnal, laporan kerja, tesis dan berita online.

Dengan sumber data primer dan sekunder tersebut diharapkan membantu penulis untuk menggambarkan dan memaparkan lebih dalam mengenai Respon


(27)

16

Amerika Serikat Terhadap Pengembangan Teknologi Nuklir Iran 2005-2010. Selain itu juga diharapkan data-data kepustakaan dan tipe-tipe pengumpulan data kualitatif ini bisa mengidentifikasikan motif-motif dibalik tekanan AS terhadap pengembangan teknologi nuklir Iran.

E. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah B. Pertanyaan Penelitian C. Kerangka Pemikiran D. Metode Penelitian E. Sistematika Penulisan

BAB II Politik Luar Negeri AS Terhadap Iran A. Politik Global Amerika Serikat

B. Pengaruh Kelompok Neo-Konservatif AS Terhadap Formulasi Kebijakan Luar Negeri AS

C. Kepentingan AS Terhadap Iran

C.1. Sebelum Revolusi Islam Iran 1979 C.2. Pasca Revolusi Islam Iran 1979-2010

D. Embargo Ekonomi, Senjata Militer dan Pengisolasian Terhadap Iran BAB III Kebijakan Pengembangan Teknologi Nuklir Iran


(28)

B. Diplomasi Iran Dalam Mempertahankan Pengembangan Teknologi Nuklir

B.1. Diplomasi Iran Melawan Tekanan AS dan Sekutunya

B.2. Diplomasi Iran Terhadap IAEA (International Atomic Energy Agency)

C. Posisi Iran Dalam Keanggotaan NPT (Nuclear Non-Proliferation Treaty)

D. Kebijakan Peningkatan Kekuatan Militer Iran

BAB IV Analisa Respon Amerika Serikat Terhadap Pengembangan Teknologi Nuklir Iran Tahun 2005-2010

A. Respon AS Terhadap Penyelesaian Sengketa Nuklir Iran

A.1. Kebijakan AS dan Sekutu Terhadap Pengembangan Nuklir Iran

A.2. Solusi Diplomasi Kepada Iran B. Masa Depan Hubungan Bilateral Iran-AS

BAB V Penutup A. Kesimpulan


(29)

18

BAB II

POLITIK LUAR NEGERI AS TERHADAP IRAN

Dalam Bab II ini penulis mencoba memaparkan aspek-aspek mengenai pola pemikiran politik global AS yang digunakan sebagai bahan formulasi penyusunan kebijakan luar negeri AS. Penulis akan melihat peran kelompok Neo-konservatif AS dalam merumuskan dan menentukan arah kebijakan luar negeri AS. Selain itu, penulis mencoba mengeksplorasi berbagai macam kepentingan-kepentingan AS di Iran sebelum terjadinya Revolusi Islam Iran 1979 hingga pasca Revolusi Islam Iran 1979. Pembahasan mengenai kepentingan AS terhadap Iran akan juga memperhatikan struktur sistem internasional pada saat itu. Pada bagian akhir di Bab II ini, penulis membahas mengenai sikap AS dalam mendorong Sekutu-sekutunya termasuk IAEA International Atomic Energy Agency dan DK-PBB untuk menekan Iran terkait pengembangan teknologi nuklir Iran yang dituding AS menuju pengembangan senjata nuklir.

A. Politik Global Amerika Serikat

Pada awal kemerdekaan AS yang dideklarasikan pada tanggal 4 Juli 1776 politik luar negeri AS yang bersifat ekspansionis belum terlihat nyata. Hal ini dikarenakan masih banyak urusan dalam negeri AS yang harus dibenahi dan dikonsolidasikan. Misalnya, semua negara bagian AS masih memerlukan perlindungan dan pembenahan pasca memperoleh kemerdekaan dari Inggris Raya (Hendrajit et al. 2010, h. 99). Sejak merdeka, AS menerapkan pemerintahan federal


(30)

yang didasarkan pada konstitusi yang menyatakan bahwa dalam rangka awal kemerdekaan pemerintah federal ini harus dapat melindungi seluruh negara bagian AS dari ancaman dan serangan luar dan ancaman kekerasan dalam negeri (Alamudi 1989, h. 33-34). Misalnya, pemerintah federal AS harus dapat membendung serangan-serangan militer Inggris Raya pasca pelepasan wilayah jajahannya. Hal ini dikarenakan keadaan AS yang baru merdeka masih sangat rentan mengalami konflik internal karena keadaan infrastruktur AS yang belum tersusun dengan baik (Alamudi 1989, h. 33).

Presiden pertama AS yaitu George Washington yang menjadi Presiden AS pada 1776 memiliki kebijakan luar negeri yang bersikap netral dan melakukan kerjasama dengan negara-negara Eropa (Hendrajit et al. 2010, h. 100). Kerjasama ini dibangun atas dasar mutualisme yakni kerjasama yang saling menguntungkan antara pihak AS dengan negara-negara Eropa. Alamudi (1989, h. 33-34) mengatakan bahwa menurut Presiden George Washington, setelah memperoleh kemerdekaan dari Inggris Raya, AS membutuhkan kerjasama dengan negara-negara kaya Eropa untuk membangun sektor internal. Oleh sebab itu, AS meyakinkan keadaan dalam negeri yang aman kepada negara-negara Eropa seperti Inggris, Perancis, Jerman dan Spanyol dengan tujuan negara-negara tersebut mau mengadakan kerjasama ekonomi dengan AS (Alamudi 1989, h. 34).

Menurut Hendrajit et al. (2010, h. 100) politik luar negeri AS yang ekspansionis mulai terlihat ketika AS dipimpin oleh Presiden James Monroe yang menjadi Presiden AS pada tahun 1823. Walaupun Presiden Monroe masih menerapkan prinsip netral, namun keinginan untuk menjadi negara kuat, mapan dan


(31)

20

mandiri mulai terlihat. Presiden Monroe menginginkan agar AS dikatakan sebagai negara yang patut diperhitungkan oleh negara-negara lainnya. Oleh sebab itu, ekspansi pertama AS dilancarkan pada masa kepemimpinan Presiden Monroe dengan megincar wilayah Amerika Latin (Hendrajit et al. 2010, h. 100). Smith (1996 dikutip dalam Hendrajit et al. 2010, h. 100-101) memaparkan terdapat dua alasan yang menjadikan Amerika Latin sebagai target pertama ekspansi politik luar negeri AS, pertama, AS ingin menunjukkan ketangguhannya untuk menjaga dan mengatur dunia dimulai dari kawasan terdekatnya yakni Amerika Latin. Kedua, pelebaran sayap kapitalis AS untuk membuka akses pasar di Amerika Latin.

Pada era sebelum meletusnya Perang Dunia I yakni pada 1916, AS memperlunak politik luar negerinya yang bersifat ekspansionis. Bahkan ketika Perang Dunia I meletus AS menyatakan tidak ingin terlibat. Akan tetapi, secara perlahan ketika supremasi militer angkatan laut AS diganggu oleh Jerman, perilaku agresor militer AS mulai terlihat kembali. Setelah kapal-kapal dagang milik AS ditenggelamkan oleh Jerman pada 1917, AS menyatakan perang terbuka terhadap Jerman pada Perang Dunia I (Hendrajit et al. 2010, h. 106). Pasca Perang Dunia I, AS muncul sebagai negara pemenang dan mulai terlibat dalam upaya-upaya perdamaian dunia. Misalnya, AS dibawah Presiden Woodrow Wilson mempelopori terbentuknya LBB (Liga Bangsa-Bangsa) pada tanggal 10 Januari 1920 dengan tujuan terwujudnya perdamaian dunia dan rekonstruksi kesejahteraan global pasca Perang Dunia I (Hendrajit et al. 2010, h. 106). Akan tetapi, keberadaan LBB ini tidak bertahan lama, dikarenakan dasar politik luar negeri AS yang ekspansionis dan sistem internasional yang anarkis sehingga menyebabkan meletusnya kemelut Perang Dunia II pada 1939.


(32)

Memasuki Perang Dunia II, AS semakin menjadi negara yang diperhitungkan di dunia. Hendrajit et al. (2010, h. 106) menambahkan bahwa AS yang terlibat langsung dalam Perang Dunia II menganggap bahwa keterlibatannya adalah karena AS sebagai polisi dunia berhak untuk turut serta menjaga dan membantu Sekutu-sekutunya yakni Inggris, Polandia dan Perancis dari serangan-serangan militer Jerman dan Italia. Terlebih pelabuhan militer AS Pearl Harbor pun ikut diserang oleh pasukan Jepang. Keadaan ini semakin memperkeruh kondisi internasional pada waktu berlangsungnya Perang Dunia II. Kemudian, kelompok sekutu yang keluar sebagai pemenang Perang Dunia II yang dipimpin oleh AS semakin melebarkan sayapnya untuk melanjutkan kiprahnya di dunia. AS bersama negara-negara sekutu lainnya yakni Inggris, Perancis dan Polandia kembali membawa dunia ke tatanan perdamaian.

Pasca berakhirnya Perang Dunia II, AS melakukan pembangunan di wilayah Eropa Barat yang mengalami kehancuran akibat perang melalui kucuran dana yang disebut dengan Marshall Plan (Anwar 2003, h. 9). Dengan itulah secara mudah Eropa Barat menjadi sekutu AS dan berada diorbit genggaman AS. Selain itu, AS juga mulai memperlunak kebijakan luar negeri ekspansionisnya. Justru sebaliknya AS mulai membangun dunia lebih ke arah perdamaian dan kerjasama multilateral. Faktanya, AS merupakan negara pelopor atas terbentuknya PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) pada tanggal 24 Oktober 1945, yang sebelumnya AS juga merupakan pelopor terbentuknya LBB (Liga Bangsa-Bangsa) pada 10 Januari 1920, juga disusul dengan berdirinya IMF International Monetary Fund pada 27 Desember 1945, dan World Bank bersamaan dengan dibentuknya IMF (Anwar 2003, h. 10).


(33)

22

Berdirinya badan-badan internasional tersebut tidak terlepas dari dorongan AS yang menginginkan tatanan dunia yang damai dan kooperatif. Pada lembaga IMF dan World Bank, AS merupakan penyandang dana terbesar dengan tujuan membantu perekonomian negara-negara lain yang sedang berkembang (Anwar 2003, h. 10).

Terbentuknya PBB juga merupakan wujud dari keinginan AS untuk menjadikan tatanan dunia menuju arah perdamaian dan kesejahteraan. Akan tetapi idealisme tentang tatanan dunia baru yang damai yang sepenuhnya diatur oleh PBB dan hukum internasional tidak berlangsung lama. Munculnya perang dingin Cold War antara blok Barat kapitalis yang dipimpin oleh AS melawan blok Timur komunis yang dipimpin oleh Uni Soviet (Sekarang Rusia) mengikis supremasi kedaulatan PBB sebagai badan internasional tertinggi di dunia. Hal ini dikarenakan selama Perang Dingin terjadi, sistem internasional lebih dikontrol oleh perimbangan kekuatan Balance of Power antara kedua blok ketimbang diatur oleh PBB (Anwar 2003, h. 10). Selain itu, selama Perang Dingin berlangsung antara AS dan Uni Soviet tidak melakukan serangan-serangan langsung terbuka oleh kedua negara. AS dan Uni Soviet lebih mengincar pengaruh global dengan membentuk blok pertahanan masing-masing yang bertujuan menarik negara-negara netral untuk tidak berpihak pada blok lawan (Anwar 2003, h. 12).

Pada saat berlangsungnya Perang Dingin, AS menerapkan kebijakan mengenai proliferasi senjata nuklir. Salah satu bentuknya adalah dengan mempelopori terbentuknya perjanjian NPT pada 1968 (Nuclear-Non Proliferation Treaty) (Jamaan 2007, h. 38). Perjanjian NPT dimaksudkan untuk membatasi jumlah pemilik senjata nuklir hanya kepada negara anggota tetap DK-PBB yakni AS, Rusia,


(34)

Cina, Perancis, dan Inggris. Adanya persaingan antara AS dan Uni Soviet (Sekarang Rusia) menyebabkan kedua negara tersebut saling berlomba-lomba mengembangkan senjata nuklir sebagai upaya deterrence power (Karyono 2005, h. 30). Selain itu, Winingsih (2009, h. 28) menambahkan bahwa AS berupaya agar negara-negara yang tidak sejalan dengan kepentingannya tidak dapat mengembangkan senjata nuklir. Hal ini dikarenakan AS khawatir kepentingannya terganggu dengan adanya pengembangan nuklir negara-negara yang tidak sejalan dengan kepentingan AS.

Untuk megatasi hal tersebut, maka AS menerapkan kebijakan standar ganda mengenai nuklir. Standar ganda tersebut dengan membantu pengembangan senjata nuklir milik India, Pakistan, dan Israel yang pada dasarnya tidak terdaftar dalam perjanjian NPT dan badan IAEA (Winingsih 2009, h. 27-28). Hal ini dikarenakan negara-negara tersebut merupakan sekutu AS, terutama Israel yang begitu penting bagi AS untuk dapat melawan pengembangan nuklir Iran di kawasan Timur Tengah (Rahman 2003, h. 206). Hingga perang dingin berakhir pada 1991 yang dimenangkan oleh AS, kebijakan standar ganda nuklir yang diterapkan AS tersebut terus diberlakukan. Hal ini semakin menunjukkan sikap ketidakadilan AS terhadap negara-negara yang mengembangkan nuklir dan telah tunduk dibawah aturan NPT dan IAEA (Jamaan 2007, h. 45).

Kemudian, Anwar (2003, h. 16) mengatakan bahwa pasca Perang Dingin di bawah kepemimpinan Presiden Bill Clinton periode 1992-1996 dan 1996-2000, kebijakan luar negeri AS berubah dari unilateralis menjadi multilateralis. Presiden Clinton lebih mengedepankan multilateralisme (kerjasama dengan berbagai negara) ketimbang unilateralisme (sikap melakukan tindakan sepihak tanpa memperdulikan


(35)

24

kedaulatan negara lain) dengan mengedepankan kerjasama dan diplomasi dalam menyelesaikan sengketa internasional (Jafar 1996, h. 113). Hal ini sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai Partai Demokrat sebagai Partai Presiden Clinton. Anwar (2003, h. 16) menambahkan bahwa Partai Demokrat sangat mengedepankan pada proses multilateral dan kerjasama internasional. Selain itu, Partai Demokrat sering disebut dengan kelompok Dove karena lebih mengutamakan penggunaan diplomasi daripada jalur militer dalam menyelesaikan konflik. Para anggota Partai Demokrat lebih mengedepankan pelebaran pengaruh AS ke seluruh dunia dengan menempuh nilai-nilai soft power (Anwar 2003, h. 16). Kemudian, Nye (2002, h. 138) mengatakan bahwa bentuk soft power AS tersebut misalnya dengan mempromosikan nilai demokrasi, menjunjung Hak Asasi Manusia, menyebarkan konsep ekonomi liberal dan memberikan bantuan finansial bagi negara yang membutuhkan pinjaman ataupun pemberian dana akibat krisis yang melanda suatu negara. Tidak hanya itu, Nye juga menilai bahwa soft power sangat berperan dalam menumbuhkan pengaruh AS di dunia. Menurut Nye (2002, h. 140) hal tersebut salah satunya berakibat kepada semakin banyak para pelajar di seluruh dunia yang menginginkan untuk melanjutkan studinya di AS.

Di bawah kepemimpinan Presiden George W. Bush periode 2000-2004 dan 2004-2008, kebijakan luar negeri AS kembali menjadi unilateralis. Kebijakan luar negeri Presiden Bush yang demikian dipengaruhi oleh nilai-nilai Partai Republik yang merupakan Partai Presiden Bush. Anwar (2003, h. 16) mengatakan bahwa Partai Republik menganggap politik internasional didominasi oleh persaingan militer antar negara untuk menentukan negara mana yang paling dominan. Oleh sebab itu, Partai


(36)

Republik sering disebut sebagai kelompok Hawkish yang dikuasai oleh orang-orang Neo-konservatif AS (Yuliantoro 2005, h. 96), hal ini dikarenakan Partai Republik lebih mengedepankan cara hard power yakni lebih mengutamakan jalur ekspansif dan militeristik dalam penyusunan kebijakan dan strategi luar negerinya (Hendrajit et al. 2010, h. 116). Namun demikian, Nye (2002, h. 141) mengatakan bahwa antara hard power dan soft power sama-sama penting dan sangat dibutuhkan bagi kelangsungan kebijakan luar negeri AS.

Waltz (2000, dikutip dalam Anwar 2003, h. 13-14) mengatakan bahwa terdapat tiga faktor yang mendorong munculnya sikap arogansi dan unilateralisme AS. Pertama, runtuhnya Uni Soviet dan berakhirnya Perang Dingin sehingga AS merupakan satu-satunya negara adidaya yang tersisa. Dengan sendirinya tidak ada negara lain yang berani menghalangi keinginan AS untuk mengambil tindakan demi menjaga kepentingan nasionalnya. Kedua, kekuatan ekonomi AS yang sangat dominan melebihi Uni Eropa dan Jepang. Hal ini dapat dilihat dari ketergantungan AS pada perdagangan internasional relatif rendah mengingat 90 persen dari produksinya untuk konsumsi dalam negeri dan pasar AS merupakan tujuan ekspor utama bagi negara-negara lain. Ketiga, kenyataan bahwa kemampuan militer AS merupakan terbesar di dunia cenderung meningkat. Walaupun Perang Dingin telah berakhir, AS tetap meningkatkan anggaran belanja militernya untuk melindungi kepentingan nasionalnya dan meningkatkan kemampuan militer Sekutu-sekutunya yang tergabung dalam NATO (North Atlantic Treaty Organization) (Anwar 2003, h. 14).


(37)

26

Sikap unilateralisme AS semakin terlihat pasca tragedi 9/11. Tragedi ini sekaligus memalukan AS yang dalam sejarahnya tidak pernah terkena dampak buruk oleh serangan-serangan dari luar. Pasca tragedi ini, AS di bawah kepemimpinan Presiden Bush semakin menunjukkan kapabilitasnya sebagai negara adidaya. Jinsa Online (4 Juni 2002, dikutip dalam Anwar 2003, h. 21-22) melaporkan bahwa Presiden Bush mengeluarkan doktrinya yang dikenal dengan sebutan “Doktrin Bush” yang pertama kali dikeluarkan pada 1 Juni 2002 dihadapan wisudawan Akademi militer AS West Point. Isi doktrin tersebut adalah:

We cannot defend America and our friends by hoping for the best. We cannot put our faiths in the word of tyrants who solemnly sign non-proliferation treaties and then systematically break them. If we wait for threats to fully materialize we will have waited too long. Kita tidak dapat mempertahankan Amerika dan sekutu kita untuk berharap yang terbaik. Kita tidak dapat menaruh kepercayaan kepada negara pembangkang yang menandatangani perjanjian pelarangan penyebaran senjata nuklir yang kemudian mereka melanggarnya. Jika kita menunggu ancaman sampai terjadi maka kita akan menunggu terlalu lama. (Terjemahan Penulis)

Selain itu, Jinsa Online (4 Juni 2002, dikutip dalam Anwar 2003, h. 21-22) juga menambahkan Doktrin perkataan Bush selebihnya yaitu:

the war on terror will not be won on the defensive. We must take the battle to the enemy, disrupt his plans and confront the worst threats before they emerge. A military that must be ready to strike at a

moment’s notice in any dark corner of the world. Perang melawan terorisme tidak akan menang dengan cara bertahan. Kita harus mengambil langkah perang, mengganggu rencana mereka dan mengkonfrontasi hingga ancaman terburuk sebelum mereka mengancam. Militer harus siap untuk menyerang sekalipun di ujung dunia. (Terjemahan Penulis)

Pandangan inilah yang merupakan kelanjutan dari Doktrin Pre-emptive strike (melakukan penyerangan terhadap musuh sebelum musuh melakukan ancaman


(38)

dan mengambil tindakan lebih) (Hasibuan 2003, dikutip dalam Anwar 2003, h. 18). Doktrin Pre-emptive strike tersebut merupakan doktrin yang diusung oleh Presiden Bush beserta tokoh-tokoh Neo-konservatif AS yang berpandangan unilateralisme (Anwar 2003, h. 20). Tokoh-tokoh tersebut di antaranya Wakil Presiden Dick Cheney, Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, Richard Perle sebagai Kepala Dewan Kebijakan Pertahanan, dan Paul Wolfowitz sebagai Wakil Menteri Pertahanan (Kazhim dan Hamzah 2007, h. 126). Oleh sebab itu, bentuk formulasi kebijakan luar negeri AS tidak terlepas dari peran tokoh Neo-konservatif AS tersebut yang disebut dengan invisible government (Hendrajit 2010, h. 83). Sekalipun AS dipimpin oleh Presiden yang berhaluan multilateral, kelompok Neo-konservatif tetap menjadi penyusun utama kebijakan luar negeri dan keamanan nasional AS (Hendrajit 2010, h. 83). Untuk lebih jelas, pada bagian berikut penulis akan membahas bagaimana kelompok Neo-konservatif AS mempengaruhi kebijakan luar negeri AS.

B. Pengaruh Kelompok Neo-Konservatif AS Terhadap Formulasi Kebijakan Luar Negeri AS

Anwar (2003, h. 20) menjelaskan bahwa formulasi kebijakan luar negeri AS tidak terlepas dari peranan pemikiran kelompok Neo-konservatif AS. Kebijakan luar negeri yang unilateralis dengan mengutamakan dominasi militer merupakan ciri khas dari kelompok Neo-konservatif AS (Anwar 2003, h. 16-17).

Kelompok Neo-konservatif mulai berkembang pada 1917, dipelopori oleh para pemikir alumni Universitas Yale yang kini disebut dengan Skull and Bones


(39)

28

(Hendrajit et al. 2010, h. 82). Jaringan yang sudah tersusun sejak 1917 ini sulit untuk dikalahkan. Sejak awal perkembangannya, tercatat beberapa nama-nama tokoh Neo-konservatif AS yang sangat berpengaruh terhadap formulasi kebijakan luar negeri AS. Tokoh-tokoh tersebut misalnya Percy Rockefeller, Avrill Harriman, dan McGeorge. Ketiga tokoh tersebut sangat diperhitungkan keberadaannya. Hal ini dikarenakan tokoh-tokoh tersebut merupakan penguasa perusahaan-perusahaan besar AS seperti Standart Oil, Brown Brothers, Harriman Banking, Halliburton, dan Manhattan.

Yuliantoro (2005, h. 97) mengatakan bahwa tujuan dari kelompok Neo-konservatif AS adalah untuk mempertahankan dominasi AS diseluruh dunia dengan segala cara. Selain itu, Wolfowitz (2000, dikutip dalam Anwar 2003, h. 17) juga menambahkan bahwa visi utama kelompok Neo-konservatif AS pasca Perang Dingin adalah menjaga ketertiban dunia dengan mempertahankan hegemoni AS terutama keunggulan militernya serta mencegah negara lain untuk membangun kemampuan yang dapat menyaingi hegemoni AS, terutama di wilayah-wilayah strategis seperti Eropa Barat, Asia Timur, wilayah bekas Uni Soviet dan Asia Barat Daya. Hal ini yang menyebabkan para tokoh Neo-konservatif memilih untuk bertindak secara unilateralisme dalam mengeluarkan kebijakan luar negerinya.

Kelompok Neo-konservatif AS merupakan tokoh-tokoh kunci AS yang berpahaman realist (pemikiran bahwa politik internasional didominasi oleh persaingan militer antar negara) (Anwar 2003, h. 17). Pasca Perang Dingin peran kaum Neo-konservatif sangat terlihat. Runtuhnya Uni Soviet menjadikan para tokoh Neo-konservatif semakin percaya diri tampil mendunia. Dengan pemahaman


(40)

realisnya, tokoh-tokoh Neo-konservatif AS secara umum menilai bahwa AS merupakan negara yang tepat untuk menjadi hegemoni dunia. Ikenberry (1989, dikutip dalam Yuliantoro 2005, h. 94-95) mengatakan bahwa kelompok Neo-konservatif yakin bahwa AS dapat menjadi pemeran utama yang mengatur sistem politik dan ekonomi internasional dengan memberikan penekanan bahwa AS memiliki kemampuan materi seperti kekuatan militer dan ekonomi untuk mempertahankan hegemoni. Hal ini bertentangan dengan pemahaman para aliran materialis sejarah yang memandang bahwa kekuatan sosial, nilai, teori, norma, ideologi sama pentingnya dengan kekuatan militer dan ekonomi bagi sebuah negara untuk mendapatkan dan menjalankan hegemoni (Yuliantoro 2005, h. 95).

Pasca berlalunya Perang Dingin hingga terjadinya peristiwa 9/11 pada 2001, kelompok Neo-konservatif AS mencapai puncak kejayaannya sekaligus memperkuat pembenarannya sebagai negara hegemoni yang mendominasi geopolitik, ekonomi, dan militer dunia (Yuliantoro 2005, h. 96). Hal ini dikarenakan AS yang dikuasai oleh kelompok Neo-konservatif semakin yakin bahwa peran hegemoni AS sangat dioptimalkan untuk mencegah bangkitnya kekuatan utama tandingan dan mempertahankan dominasi AS dalam politik dan ekonomi internasional (Yuliantoro 2005, h. 96).

Hirsh (2002, dikutip dalam Yuliantoro 2005, h. 97) mengatakan bahwa kelompok Neo-konservatif semakin menunjukkan kekuatannya setelah mengeluarkan pernyataan politik luar negeri yang disebut go it alone (menentukan dan menjalankan politik dan kebijakan luar negeri tanpa mempertimbangkan kedaulatan negara lain). Pernyataan tersebut merupakan strategi yang dikembangkan oleh jaringan-jaringan


(41)

30

Neo-konservatif AS yang juga disebut sebagai Neo-imperialis (Hirsh 2002, dikutip dalam Yuliantoro 2005, h. 97). Kelompok Neo-konservatif tersebut mencoba mempertahankan hegemoni AS dalam regulasi sistem internasional. Bahkan, Foster (2003, dikutip dalam Yuliantoro 2005, h. 97) mengatakan Neo-konservatif memberanikan diri dengan menginginkan terbentuknya sebuah imperium AS dengan didukung oleh kekuatan militer yang tak tertandingi.

Peran kelompok Neo-konservatif semakin terbuka ketika AS dipimpin oleh Presiden George W. Bush. Dalam kepemimpinannya periode 2000-2004 dan 2004-2008, Presiden Bush menjadikan tokoh-tokoh Neo-konservatif masuk ke dalam penentu kebijakan luar negeri AS. Hal ini dikarenakan, seperti yang sudah penulis jelaskan di atas, Presiden Bush berasal dari Partai Republik yakni Partai yang dikuasai oleh kelompok Neo-konservatif AS. Oleh sebab itu, segala kebijakan yang akan dikeluarkan oleh Presiden Bush harus melalui perundingan antara Presiden Bush dengan tokoh-tokoh Neo-konservatif AS. Adapun tokoh Neo-konservatif di sekeliling Presiden Bush yang sangat berpengaruh adalah Max Boot yang merupakan mantan editor Wall Street Journal yang pada masa pemerintahan Presiden Bush bergabung dengan The Council on Foreign Relations (Boot 2001, dikutip dalam Yuliantoro 2005, h. 99). Hingga saat ini Boot merupakan salah satu tokoh Neo-konservatif yang sangat berpengaruh di Washington (Yuliantoro 2005, h. 99). Selain itu, beberapa tokoh Neo-konservatif AS lainnya seperti Paul Wolfowitz mantan Wakil Menteri Pertahanan AS yang sekarang menjadi Presiden Direktur Bank Dunia, ketua Dewan Kebijakan Pertahanan Richard Pelre, penerbit Weekly Standart yaitu William Kristol, Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, Wakil Presiden Dick Cheney, John Bolton


(42)

Asisten Menlu Bidang Kontrol Senjata, dan Lewis Libby Kepala Staf Kantor Wakil Presiden (Time 10 September 2001, h. 32-33). Semua tokoh-tokoh tersebut merupakan tokoh-tokoh pemikir Neo-konservatif di sekeliling Presiden Bush yang mengembangkan pemikiran imperialis menuju Imperium AS sejak bergabung dalam pemerintahan Presiden Bush Senior (Time 10 September 2001, h. 33).

Anwar (2003, h. 17) mengatakan bahwa dalam pandangan kelompok Neo-konservatif yang menggunakan pemahaman realis, prioritas garis keras yang diambil pada kebijakan luar negeri AS adalah melindungi kepentingan nasional AS, terutama keamanan nasional, tanpa perlu mempertimbangkan komitmen-komitmen internasional yang selama ini mengikat Washington. Sebagai negara adidaya, AS harus berani bertindak secara unilateral demi menjaga kepentingan nasionalnya. Selama Neo-konservatif berkuasa, AS tidak akan segan-segan untuk menggunakan kekuatan militernya demi menjaga keamanan nasionalnya, karena militer dianggap sebagai instrumen yang sah dalam politik internasional (Anwar 2003, h. 17). Bagi kelompok Neo-konservatif kritikan dan kecaman dari negara-negara lain tidak menjadi pertimbangan atas tindakan unilateralisme AS. Hal yang terpenting adalah menjaga kepentingan nasionalnya termasuk di antaranya melindungi warga negara AS baik yang berada di dalam AS maupun di luar AS, dan melindungi keamanan nasionalnya (Jafar 1996, h. 117).

Jafar (1996, h. 117) menjelaskan tujuh aspek kepentingan nasional AS yang di utarakan oleh Anthony Lake selaku Mantan National Security Advisor AS pada masa Presiden Bill Clinton yang kemudian diteruskan hingga kepemimpinan Presiden George W. Bush. Pertama, kepentingan nasional AS untuk mempertahankan AS,


(43)

32

warga negaranya yang berada di dalam maupun luar negeri, dan para sekutu AS dari berbagai bentuk serangan langsung. Kedua, untuk mencegah timbulnya agresi yang dapat mengganggu perdamaian internasional. Ketiga, untuk mempertahankan kepentingan ekonomi AS. Keempat, untuk mempertahankan dan menyebarluaskan nilai-nilai demokrasi. Kelima, untuk mencegah proliferasi senjata nuklir. Keenam, untuk menjaga rasa percaya dunia internasional terhadap AS, untuk itu AS harus selalu mempertahankan komitmen-komitmen internasionalnya. Ketujuh, memerangi kemiskinan, kelaparan serta pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.

Pada masa kepemimpinannya, Presiden Bush menunjuk seorang menteri luar negeri yang berhaluan multilateralis yaitu Jenderal Collin Power. Akan tetapi, hal ini tidak dapat merubah jalan kebijakan luar negeri AS yang unilateralis. Hal ini dikarenakan kuatnya pengaruh kelompok Neo-konservatif di sekeliling Presiden Bush. Seperti yang dituliskan majalah Time 10 September (2001, h. 31) yaitu “Powell is a multilateralist, other Bush advisers are unilateralist. He’s

internationalist, they are America first”. Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bagaimana sulitnya Powell untuk menerapkan kebijakan multilateralisme karena di sekeliling Bush adalah kelompok Neo-konservatif yang berhaluan unilateralisme. Sejak bergabung dengan pemerintahan Presiden Bush, Powell menjadi tokoh konservatif yang peduli terhadap pihak lain atau disebut dengan compassionate conservatism (Time 10 September 2001, h. 31). Sedangkan kelompok Neo-konservatif lainnya yang berada disekeliling Bush sama sekali tidak peduli terhadap hal-hal di luar kepentingan AS (Anwar 2003, h. 17).


(44)

Peran kelompok Neo-konservatif AS selalu diperhitungkan sekalipun AS dipimpin oleh Presiden Barack Obama yang menjadi Presiden AS pada periode 2008-2012 (Sidik, Antaranews, 6 Februari 2008). Kebijakan luar negeri Presiden Obama lebih kepada jalur perdamaian, kerjasama dan diplomasi (Sidik, Antaranews, 6 Februari 2008). Akan tetapi, kebijakan luar negeri Presiden Obama tidak menjadikan eksistensi kelompok konservatif AS menurun. Tercatat kelompok Neo-konservatif AS semakin mencetak generasi baru untuk meneruskan peran kelompok Neo-konservatif AS sewaktu masa Presiden George W. Bush. Tokoh tersebut seperti Samantha Power yang kini menjabat sebagai Penasihat Khusus Presiden Obama di Dewan Keamanan Nasional AS bidang Hak Asasi Manusia (Permatasari, Media Indonesia Online, 1 April 2011). Samantha Power juga merupakan tokoh Neo-konservatif AS yang berasal dari lulusan Universitas Yale (Permatasari, Media Indonesia Online, 1 April 2011).

C. Kepentingan Amerika Serikat Terhadap Iran C. 1. Sebelum Revolusi Islam Iran 1979

Sebelum Revolusi Islam terjadi di Iran, pada 1940 politik luar negeri AS di Timur Tengah belum begitu terlihat (Ansari 2008, h. 35). Berbeda dengan Inggris selaku sekutu AS lebih dulu melancarkan politik luar negerinya kepada Iran pada tahun 1941 (Puar 1989, h. 22). Masuknya Inggris ke Iran diiringi suasana dunia yang sedang bergejolak akibat Perang Dunia II. Ketika itu Iran masih dipimpin oleh Shah Reza Khan Pahlevi (1925-1941) yang merupakan Ayahanda dari Mohammad Shah Reza Pahlevi (1941-1979). Di bawah kepemimpinan Reza Khan, secara terbuka Iran


(45)

34

menyatakan dukungannya terhadap Jerman pada Perang Dunia II. Hal ini dikarenakan antara Iran-Jerman memiliki beberapa keuntungan mutualisme, yakni Iran memberikan supply minyak ke Jerman dan sebaliknya Jerman pun memberikan pengajaran kemajuan angkatan militer dan teknologi industri kepada Iran (Puar 1980, h. 22). Karena kedekatannya dengan Jerman, maka Inggris dan Uni Soviet (sekarang Rusia) memaksa mundur Reza Khan dari tahta kepemimpinan parlemen Iran. Dengan mudah Reza Khan turun dari kepemimpinannya dan digantikan oleh anaknya yang bernama Muhammad Shah Reza Pahlevi.

Semenjak Iran berada dipenguasaan Reza Pahlevi, akses Inggris dan Uni Soviet semakin mudah untuk melakukan ekspansi ke Iran. Inggris dan Uni Soviet semakin gencar mengirimkan angkatan-angkatan perangnya. Akan tetapi, angkatan perang tersebut tetap menjamin kemerdekaan Iran yang dikukuhkan dalam perjanjian Perdamaian Tiga Serangkai Tripattie Treaty antara Inggris, Uni Soviet dan Iran pada 1942 (Puar 1980, h. 22). Inti dari perjanjian tersebut adalah mencegah pengaruh Jerman di Iran dan segera mendirikan benteng pertahanan di wilayah Jerman Barat untuk membendung kekuatan militer Jerman. Kemudian, perjanjian tersebut dikukuhkan kembali dalam konferensi Yalta pada Februari 1945 antara ketiga negara tersebut.

Pasca berakhirnya Perang Dunia II, Uni Soviet menolak menarik pasukan militernya dari Iran. Uni Soviet justru menebarkan pengaruh komunisnya di Iran. Terbukti Uni Soviet berhasil membentuk pemerintahan komunis otonom di Azerbaijan, Provinsi otonom di Barat Laut Iran pada 1945-1946 (Puar 1980, h. 23). Hal ini menjadi krisis internasional dan segera dibawa ke PBB (Perserikatan


(46)

Bangsa-Bangsa). Hasilnya Uni Soviet akan menarik pasukan militernya setelah dibentuk suatu perusahaan bersama antara Uni Soviet dan Iran yang bernama Sovyet-Iran untuk melakukan penambangan minyak di propinsi-propinsi sebelah Utara (Puar 1980, h. 23).

Ketika Uni Soviet mundur dari Iran pada 1946, Inggris semakin menguatkan posisinya di Iran. Inggris melakukan eksploitasi terhadap ladang-ladang minyak Kuzhistan sebelah Barat Daya Iran (Kazhim dan Hamzah 2007, h. 35). Mundurnya Uni Soviet menjadikan Inggris satu-satunya negara asing yang memiliki kekuatan penuh di Iran. Akan tetapi, gerakan pengaruh komunisme Uni Soviet tidak hilang begitu saja. Uni Soviet terus melancarkan gerakan komunis bawah tanah terhadap Iran. Hingga terjadi percobaan pembunuhan terhadap Shah Reza Pahlevi yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa yang berhaluan kiri (Puar 1980, h. 24). Hal inilah yang menjadi salah satu alasan AS untuk segera mengambil tindakan politik terhadap Iran.

Melihat pengaruh Inggris yang begitu kuat di Iran, AS berusaha menghilangkan pengaruh Inggris tersebut. Ansari (2008, h. 51) mengatakan bahwa konsolidasi pertama AS di Iran dimulai pada tahun 1953. Kedatangan AS merupakan malapetaka bagi Inggris yang pada waktu itu merupakan kekuatan asing terbesar di Iran tanpa tandingan. Inggris menganggap bahwa AS merupakan ancaman yang harus diwaspadai karena dapat mengakibatkan putusnya monopoli Inggris atas minyak Iran (Ansari 2008, h. 55). Masuknya AS ke Iran tidak terlihat seperti Inggris dan Uni Soviet yang secara terbuka melakukan eksploitasi minyak Iran dan mengumbar pengaruh komunisme seperti yang dilakukan oleh Uni Soviet. Sebaliknya,


(47)

36

kedatangan AS ke Iran lebih mengusung arus kerjasama dan menganggap Iran sebagai rekan kerjasama yang baik. Kerjasama yang diusung AS adalah pengembangan angkatan bersenjata dengan tujuan mempertahankan dinasti kekuasaan Shah Reza Pahlevi, yang kemudian dijadikan teropong perlindungan kawasan Timur Tengah dari ancaman pengaruh komunisme (Puar 1980, h. 25).

Perlahan hubungan Iran-AS semakin menguat, terlebih setelah AS memberikan aliran dana dan penasehat militer ke Iran. Prioritas yang dikedepankan AS adalah memajukan angkatan bersenjata Iran guna menjadi pelindung terdepan dalam upaya melawan pengaruh komunisme di Iran dan Timur Tengah (Puar 1980, h. 25). Hal ini dimanfaatkan oleh kekuasaan Shah Reza Pahlevi yang menuntut AS untuk terus memberikan bantuan dana dan berinvestasi di Iran. Tercatat dalam laporan majalah times mengenai bantuan yang diberikan AS kepada Iran sejak 1952, bantuan tersebut mencapai US$ 1.135 juta (Times 1961, dikutip dalam Ansari 2008, h. 56). Dari jumlah tersebut sekitar US$ 631 juta digunakan untuk bantuan ekonomi dan US$ 504 juta untuk bantuan militer (Times 1961, dikutip dalam Ansari 2008, h. 56). Semua bantuan dana militer dan sebagian dari bantuan ekonomi merupakan hibah untuk Iran, sehingga yang merupakan hutang Iran hanya sekitar US$ 255 juta (Times 1961, dikutip dalam Ansari 2008, h. 56).

Dari data tersebut terlihat betapa tingginya bantuan dan investasi AS kepada Iran untuk mencegah pengaruh komunisme Uni Soviet di Iran dan Timur Tengah. Apalagi dengan adanya doktrin Eisenhower selaku Presiden AS pada 1957 yang menyatakan bahwa “dengan sungguh bahwa AS akan memberi bantuan terhadap negara-negara di setiap wilayah untuk mempertahankan integritas dan kemerdekaan


(48)

negaranya dari ancaman komunisme dan subversi dalam negeri” (Puar 1980, h. 25). Menurut Mutual Security Act (program bantuan keamanan yang diberikan oleh AS kepada negara-negara yang sejalan dengan kepentingannya) pada 1951 dan 1953 bantuan tersebut dapat berupa bantuan militer, ekonomi, dan teknik yang dapat diberikan kepada negara-negara sahabat AS (Puar 1980, h. 26).

Pasca pemberian bantuan dan investasi finansial ke Iran, AS menjadikan Iran sebagai sekutu dekat di Timur Tengah. AS juga terlihat melakukan campur tangan ke dalam urusan internal pemerintahan Shah Reza. Misalnya, keikutsertaan AS dalam penyusunan peraturan perundang-undangan mengenai sistem agraria (Ansari 2008, h. 62). Dalam ekspansinya, AS mendesak Shah Reza Pahlevi untuk segera melakukan reformasi agraria, dengan mengganti struktur feodal lama dengan sistem kepemilikan tanah yang bebas. Petani yang memiliki lahan tanah akan menggarap tanah mereka sendiri dan memetik manfaat dari hasil kerja keras mereka sendiri.

Kebijakan tersebut merubah drastis struktur ekonomi Iran yang di antaranya menumbuhkan deregenerasi ekonomi dan semangat nasionalisme. Namun, hal ini merupakan cara AS untuk memecah politik para tuan tanah di Iran yang sebelumnya dikuasai oleh orang-orang Inggris dan Ulama-Ulama senior Iran (Puar 1980, h. 38). Pada kenyataannya, rakyat yang menuai imbas buruknya. AS memanfaatkan tenaga rakyat untuk menggarap tanah-tanahnya yang keuntungannya lebih banyak diterima AS (Ansari 2008, h. 63). Hal ini dilakukan AS mengingat ketiadaan keahlian manajerial ekonomi pertanahan di pemerintahan Shah Reza Pahlevi (Ansari 2008, h. 63).


(49)

38

Perlakuan AS di Iran semakin merugikan rakyat. Ansari (2008, h. 56-64) mengatakan bahwa ada beberapa bukti tindakan AS yang merugikan Iran. Pertama, memfasilitasi kudeta atas mantan Perdana Menteri Iran Mohammad Mossadeq yang berjuang untuk menasionalisasikan perusahaan minyak Iran dari eksploitasi asing. Kedua, menerapkan reformasi agraria yang merugikan tanah-tanah rakyat dan tuan tanah yang banyak dimiliki oleh Ulama-Ulama besar Iran. Ketiga, putusan untuk meratifikasi UU (Undang-Undang) Kekebalan yang menjamin kekebalan hukum terhadap seluruh personil AS di Iran. Ketika UU Kekebalan terhadap seluruh personil AS berlaku di Iran, kedaulatan Iran semakin terkikis. Martabat warga negara Iran semakin rendah di mata warga negara AS yang berada di Iran. Pasalnya, ketika terdapat koki AS yang membunuh seorang Marja (Ulama yang fatwanya sangat diikuti) polisi Iran tidak berhak menangkapnya, pengadilan Iran pun tidak berhak mengadilinya, dan pelaku harus dikembalikan ke AS untuk diputuskan apa yang harus dilakukan terhadap si pelaku (Ansari 2008, h. 69). Sebaliknya, jika terdapat orang Iran yang menabrak atau membuhuh binatang peliharaan milik warga negara AS dia akan dibawa ke pengadilan dan mengikuti proses hukum (Ansari 2008, h. 69). Pada 1965-1975 merupakan masa keemasan kepemimpinan Shah Reza Pahlevi (Ansari 2008, h. 73). Karena pada periode tahun tersebut perekonomian Iran meningkat akibat tingginya hasil produksi penjualan minyak Iran. Keberhasilan pompa minyak Iran ini terus dibayang-bayangi oleh AS yang turut serta menikmati hasil produksi minyak Iran. Kedekatan hubungan bilateral Iran-AS sangat dimanfaatkan oleh kedua negara. Bagi AS, ini merupakan suatu keuntungan karena AS dapat menikmati keuntungan hasil penjualan minyak Iran. Sebaliknya, kondisi ini


(50)

dimanfaatkan oleh Shah Reza untuk mengembangkan teknologi nuklir. AS mendukung pengembangan teknologi nuklir Iran pada masa Shah Reza Pahlevi (Ansari 2008, h. 81). Pada 1974 tercatat telah terjadi kesepakatan bahwa untuk 10 tahun kedepan AS akan memberikan bantuan listrik dan uranium yang telah diperkaya untuk membantu pengembangan teknologi nuklir Iran (Ansari 2008, h. 81). Dibalik kesepakatan tersebut, AS menekan Iran agar memasok lebih banyak minyak Iran ke AS dengan tujuan untuk dijual ke luar negeri. Sebenarnya, Shah Reza menyadari bahwa menjadikan minyak sebagai senjata bukanlah hal yang tepat. Karena jika minyak Iran secara terus menerus di pompa kemungkinan yang terjadi Iran akan mengalami krisis energi. Namun apa daya, minyaklah yang berpotensi untuk dijadikan senjata Shah Reza untuk melanggengkan kekuasaannya di bawah kendali AS tanpa memikirkan nasib rakyat atas ketidakadilan yang diterapkan Shah dalam kepemimpinannya.

Tanpa disadari oleh Shah Reza, Rakyat beserta Ulama besar telah mengkonsolidasikan kekuatan untuk memprotes kepemimpinan Shah yang membuka jalan bagi AS untuk mengeksploitasi Iran. Sebagian besar proyek yang dilakukan Shah Reza dengan AS hanya menguntungkan segelintir kelompok di sekeliling pemerintahan saja. Semenjak 1978 Iran terus bergejolak. Rakyat, Mahasiswa yang digerakkan oleh Ulama-Ulama besar Iran turun ke jalan untuk memprotes segala ketidakadilan yang dilakukan Shah Reza terhadap rakyat Iran. Puar (1980, h. 47) mengatakan bahwa terdapat tiga alasan yang menimbulkan perlawanan Rakyat Iran terhadap Shah Reza Pahlevi. Pertama, cara pemerintahan Shah Reza Pahlevi yang secara sistematis menggunakan penindasan yang sangat kejam, termasuk


(51)

40

penganiayaan terhadap anak-anak dan keluarga. Kedua, tingkat korupsi yang dilakukan oleh keluarga dan orang-orang sekitar Shah Reza Pahlevi. Ini merupakan hal yang sangat miris bagi rakyat miskin Iran, negara memiliki eksport minyak yang besar akan tetapi rakyat tidak pernah merasakan keuntungannya. Ketiga, gaya pemerintahan dan penentuan prioritas yang terlalu westernisasi model Barat terutama pengaruh AS yang begitu besar.

Adanya pengaruh model kepemimpinan dan budaya Barat di Iran semakin mencemaskan masyarakat Iran. Pasalnya, Iran dan AS memiliki sejarah peradaban yang berbeda. Puar (1980, h. 27) mengatakan bahwa pada awal terbentuknya, Iran merupakan negara yang berbentuk monarki konstitusional yang sudah berusia ±25 abad hingga meletusnya Revolusi Islam Iran 1979. Pada 1118 Iran memperoleh kemerdekaan dari raja-raja Seljuk kesultanan Turki (Puar 1980, h. 32). Pada masa tersebut Iran dipimpin oleh raja-raja Islam yang sangat menunjukkan identitas keislaman selama kepemimpinannya (Puar 1980, h. 32). Identitas tersebut dapat dilihat dari Masjid, Mihrab, Madrasah, menara Masjid, Kubah, dan hiasan lukis Ayat Al-Qur‟an hingga tata cara kepemimpinan raja yang menerapkan nilai-nilai keislaman (Puar 1980, h. 32). Raja-raja tersebut juga menerapkan toleransi keagamaan dan kesukubangsaan. Bahkan, juga menghormati keberadaan para kelompok Ulama-Ulama (Mullah) Iran yang memiliki pengaruh cukup besar bagi kemajuan sosial dan politik di Iran (Cipto 2004, h. 9).

Akan tetapi, konsep Monarki Konstitusional yang telah lama menjadi model pemerintahan Iran ini dengan mudah dikikis oleh Shah Reza Pahlevi yang memimpin Iran pada 1941-1979. Hal ini dikarenakan budaya westernisasi yang diterapkan Shah


(52)

Reza Pahlevi yang tidak memikirkan pola-pola tradisi asli kehidupan masyarakat Iran (Puar 1980, h. 31). Misalnya, kebudayaan Islam yang sudah menjadi dasar sejak awal diterapkannya monarki tidak mendapat perhatian. Bahkan terjadinya penentangan terhadap agama dengan cara menyalahgunakan media radio, televisi dan surat kabar yang ditujukan kepada kelompok Mullah Iran (Kedutaan Besar RII 1989, h. 9). Selain itu, perubahan model westernisasi yang diusung AS tidak merata ke seluruh rakyat Iran (Ansari 2008, h. 60). Misalnya, Shah Reza bersama AS membangun pabrik pembotolan modern untuk Pepsi Cola dan Coke. Sementara rakyat di sudut-sudut kotor kota masih minum dari selokan aliran air terbuka yang berada di sisi jalan dan berisi segala macam sampah (Ansari 2008, h. 60). Tidak hanya itu, hotel Hilton mewah buatan AS pun dibangun. Sementara ratusan rakyat Iran tidak memiliki rumah dan tidur di jalanan (Ansari 2008, h. 60). Kemudian, kerajaan Shah Reza juga dikuasai oleh para penasihat dari AS, proyek-proyek pembangunan standar AS terus dibangun, merubah prosedur kantor pemerintahan dengan prosedur birokrasi AS (Ansari 2008, h. 60). Kesemuanya ini benar-benar mengikis tata cara kehidupan tradisional masyarakat Iran dan bertentangan dengan sejarah budaya Iran (Puar 1980, h. 31).

C. 2. Pasca Revolusi Islam Iran 1979

Akibat dari ketidakpuasan rakyat Iran dengan kepemimpinan Shah Reza, rakyat Iran bersatu bersama kelompok Mullah menggalang kekuatan untuk menjatuhkan Shah Reza dari puncak kekuasaannya. Tidak hanya itu, budaya westernisasi yang mengikis nilai-nilai tradisional budaya Iran dan penyiksaan serta


(1)

xvi WEBSITE

http://www.antaranews.com, akses tanggal 28 Mei 2011, 14 & 21 Juni 2011.

http://www.hileudnews.com, akses tanggal 28 Mei, 4 Juni 2011.

http://www.indonesian.irib.com, IRI Broadcasting (Islamic Republic of Iran Broadcasting) akses tanggal 28 Mei 2011, 14 & 19 Juni 2011.


(2)

(3)

Lampiran

DRAFT HASIL WAWANCARA

Narasumber : M. Riza Sihbudi

Ahli/Fokus Kajian : Ahli Peneliti Utama dan Pakar Politik Timur Tengah Instansi : LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Jakarta Tempat : Gedung P2P (Pusat Penelitian Politik) LIPI Jakarta Hari/Tanggal : Senin, 20 Juni 2011

Ruang : 11.03

HASIL TANYA JAWAB

1. Apa kepentingan Iran mengembangkan teknologi nuklir? Jawab:

Tentu kepentingan yang utama adalah untuk kebutuhan sipil dalam negerinya seperti pembangkit listrik, riset kedokteran, dsb. Namun, ada kepentingan Iran untuk memperkuat diri dari perlakuan tidak adil AS (Amerika Serikat) yang membiarkan Israel memiliki senjata nuklir. Sikap Iran tersebut sah-sah saja dilakukan, karena dalam kondisi tekanan atau ancaman setiap negara berhak untuk memperkuat diri.

2. Mengapa AS terus menekan dan mengancam walaupun telah terbukti oleh IAEA bahwa pengembangan teknologi nuklir Iran untuk tujuan damai?

Jawab:

AS khawatir akan posisi Israel yang terancam dengan adanya pengembangan nuklir Iran. Selain itu, desakan dan pengaruh lobi Israel yang begitu kuat ke AS untuk mendesak AS segera melakukan tekanan politik, ekonomi dan keamanan kepada Iran. Bahkan, pihak Israel mendesak AS untuk melakukan serangan


(4)

militer kepada Iran. Namun untuk serangan ke Iran, AS belum menghiraukannya karena berbagai macam pertimbangan.

3. Bagaimana pengaruh pengembangan teknologi nuklir Iran terhadap stabilitas keamanan Timur Tengah?

Jawab:

Secara teoritis memicu negara-negara di kawasan untuk berlomba-lomba mengembangkan nuklir. Namun negara-negara di Timur Tengah pada umumnya dapat menerima teknologi nuklir yang dikembangkan oleh Iran, karena diplomasi Iran yang sangat baik dengan negara-negara di kawasan. Hanya saja Israel dan Arab Saudi yang bersebrangan dengan Iran, karena kedua negara tersebut memiliki kepentingan tersendiri di kawasan.

4. Apa dampak pengembangan teknologi nuklir Iran bagi kepentingan AS di Timur Tengah?

Jawab:

AS memiliki dua kepentingan besar di Timur Tengah yakni minyak dan Israel. Pertama minyak, jika AS merespon nuklir Iran dengan suatu serangan militer maka akan berdampak negatif bagi kepentingan AS atas minyak di kawasan Timur Tengah. Negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah tentu akan terkena imbasnya, oleh sebab itu kemungkinan yang terjadi harga minyak akan melambung tinggi dan AS terancam tidak akan mendapatkan suplai minyak dari negara-negara penghasil minyak. Kedua Israel, teknologi nuklir Iran membuat AS khawatir akan posisi Israel di Timur Tengah. Adanya suatu desakan dari Israel kepada AS mengenai serangan ke Iran membuat AS akan kehilangan pengaruh di kawasan Timur Tengah jika menyetujuinya. Oleh sebab itu, hingga saat ini AS


(5)

masih mengesampingkan desakan Israel tersebut. Kemudian, Israel juga merupakan sekutu yang membantu AS memberi informasi negara-negara di kawasan Timur Tengah yang bersebrangan dengan kepentingan AS. Oleh sebab itu, keberadaan Israel sangat dilindungi oleh AS. Akan tetapi dalam kasus nuklir Iran, AS masih mempertimbangkan beberapa konsekuensi buruk apabila menyetujui desakan Israel untuk menyerang Iran.

5. Apa langkah-langkah yang dilakukan AS dan negara perwakilan Uni Eropa yakni Jerman, Perancis dan Inggris dalam upaya menyelesaikan sengketa nuklir Iran?

Jawab:

Tentunya melihat dampak yang sangat merugikan kepentingan AS dan Sekutunya di Timur Tengah, AS akan menyelesaikan sengketa ini dengan jalur perundingan damai. Ketiga negara perwakilan Eropa tersebut juga tidak ingin membuka front baru, karena masalah di Afganistan dan Irak hingga saat ini belum terselesaikan. 6. Bagaimana kelanjutan sikap Rusia dan Cina mengenai pengembangan

teknologi nuklir Iran? Jawab:

Rusia dan Cina negara yang bersahabat dengan Iran. Tentu mereka tidak ingin jika sengketa nuklir Iran diselesaikan melalui jalur militer. Kedua negara tersebut memiliki kepentingan dan kerjasama strategis dengan Iran, oleh sebab itu Rusia dan Cina terus mendukung penyelesaian sengketa nuklir Iran melalui jalur perundingan damai.


(6)

7. Bagaimana peran lembaga IAEA (International Atomic Energy Agency) dan NPT (Nuclear Non-Proliferation Treaty) dalam proses penyelesaian sengketa nuklir Iran?

Jawab:

IAEA berupaya untuk besikap netral walaupun mendapat tekanan dari AS untuk merubah fakta-fakta yang terjadi. Dalam penyelidikan, IAEA tidak menemukan fakta-fakta bahwa Iran sedang mengembangkan senjata nuklir. Sejauh ini Iran masih mematuhi peraturan yang berlaku di NPT, belum ada indikasi penyimpangan dari pihak Iran.

8. Bagaimana dampak sengketa nuklir Iran bagi masa depan hubungan bilateral Iran-AS?

Jawab:

Pertentangan AS terhadap nuklir Iran justru merugikan AS. Karena pada dasarnya Iran bukanlah negara yang berbahaya, melainkan Iran dapat dijadikan mitra kerjasama AS dalam bidang pertahanan, keamanan, ekonomi dan perlawanan terhadap jaringan teroris Al-Qaeda. Karena Al-Qaeda merupakan musuh bersama Iran dan AS. Semakin jauh Iran semakin mengalami perkembangan pesat, dan ini harus dimanfaatkan oleh AS sebagai mitra bukan sebagai musuh. Lain hal jika AS hanya mementingkan posisi Israel saja, tentu eskalasi konflik Iran-AS akan semakin panjang dan sulit untuk ditemukan jalan keluarnya.