14
datang dari pemikiran Stuctural deterrence yang umumnya dikenal pada masa
Perang Dingin, dimana karena sifat senjata nuklir yang sangat destruktif, maka konsekuensi yang ditanggung oleh negara-negara yang memiliki kapabilitas
nuklir menjadi sangat besar. Maka dari itu, banyak negara-negara yang meskipun memiliki pengembangan teknologi senjata nuklir yang mampu menjadi
Detterence bagi negara lain namun tidak ingin menggunakannya secara ofensif dan frontal. Sehingga, pada tataran ini kendati menciptakan
detterence¸ senjata nuklir seringkali dijadikan sebagai instrumen defensif yang digunakan sebagai
salah satu instrumen respon militer suatu negara terhadap serangan dan deterrence
negara lain.
27
1.3.3.2. Konsep Balancing
Teori balance of threat juga menjelaskan beberapa kondisi yang
memungkinkan suatu negara berperilaku balancing,
28
Pertama, Power and Weakness
29
, Semakin kuat negara, maka dia akan cenderung untuk balancing.
Negara-negara lemah akan melakukan balancing ketika terancam oleh negara-
negara dengan kemampuan yang rata-rata sama. Kedua, Availability of Allies,
Ketika terancam oleh kekuatan besar, negara akan mencari sekutu yang potensial
dengan posisi dan kepentingan yang sama. Ketiga, Peace and War, negara
cenderung untuk balancing dalam keadaan damai atau pada masa awal perang,
karena mereka mencoba untuk melawan kekuatan yang mengancam mereka.
27
Frank C. Zagare op cit hal. 14-16
28
Walt,Stephen M.1987.Alliances: Balancing and Bandwagoning dalam Robert J.Art Robert Jervis, International politics; Enduring Conceps and Contemporary Issues,Eighth Edition, Pearson
Education Inc, hal 99-101
29
Yang di maksud dengan kekuatan adalah kemampuan militer suatu negara
15
Alaziz, berpendapat bahwa untuk dapat mengidentifikasikan beberapa aspek yang berbeda, beberapa negarawan biasanya akan melakukan pertimbangan
ketika memutuskan, dalam situasi tertentu, untuk memutuskan posisi balancing.
Maka dibutuhkan beberapa indikator penunjang seperti di bawah ini.
30
Pertama, Structure of the world order, dimana distribusi kekuasaan pada
aktor internasional yang berbeda mempengaruhi keputusan negara untuk balancing. Dalam dunia yang bipolar atau multipolar, beberapa negara lebih
memungkinkan untuk balancing karena mereka mencoba untuk melakukan
persaingan antar negara yang berpredikat super power. Kedua, The Vulnerability of state, Prilaku
balancing adalah hal yang menantang dari sikap agresif yang memerlukan dukungan sosial rasional agar bisa ditopang dan ditinjau kembali.
Demokrasi adalah satu-satunya jalan untuk mengamankan dukungan publik yang bisa diperbaiki. Dengan cara yang sama,
balancing memerlukan semacam ketergantungan bersama antara negara yang mengancam dan yang terancam.
Dalam hal ini, tampaknya Rusia memilih menjalankan posisi balancing yaitu dengan cara menghimpun dukungan dan merangkul negara- negara yang
berposisi sama anti AS dan NATO seperti Iran, Korea Utara, Kuba, Venezuela dan bahkan Shanghai Six.
31
Hal ini dilakukan untuk mengimbagi AS dan NATO yang semakin ekspansif.
30
Alaziz.2003. Balance of Threat perception And the prospects of NATO Mediterranean
Dialogue.University of Helsinki, diakses dari http:www.nato.intacadfellow01-03alaziz.pdf, tanggal 7 Agustus 2009.
31
Anggota Shanghai Six antara lain Rusia, China, Kazakhstan, Kyrgystan, Tajikistan, dan Uzbekistan, diakses dari http:www.antara.co.idarc20081129rusia-akan-gelar-rudal-baru-
berkemampuan-nuklir-mulai-2009
16
1.4. Definisi Konseptual