Pengaruh Substitusi Minyak Sawit dan Suhu Pemanasan terhadap Mutu Selai Cokelat

(1)

PENGARUH SUBTITUSI MINYAK SAWIT DAN SUHU

PEMANASAN TERHADAP MUTU SELAI COKELAT

SKRIPSI

OLEH:

DANNI GINTING

050305048/THP

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2011


(2)

PENGARUH SUBTITUSI MINYAK SAWIT DAN SUHU

PEMANASAN TERHADAP MUTU SELAI COKELAT

SKRIPSI

OLEH:

DANNI GINTING

050305048/THP

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk dapat Memperoleh Gelar Sarjana Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2011


(3)

Judul Skripsi : Pengaruh Substitusi Minyak Sawit dan Suhu Pemanasan terhadap Mutu Selai Cokelat

Nama : Danni Ginting NIM : 050305048

Departemen : Teknologi Pertanian Program Studi : Teknologi Hasil Pertanian

Disetujui Oleh, Komisi Pembimbing :

Prof. Dr. Zulkifli Lubis, M.App.Sc Mimi Nurminah, STP. M.Si Ketua Anggota

Mengetahui,

Dr. Ir. Herla Rusmarilin, M.S Ketua Departemen


(4)

ABSTRAK

Danni Ginting : PENGARUH SUBTITUSI MINYAK SAWIT DAN SUHU PEMANASAN TERHADAP MUTU SELAI COKELAT

Dibimbing oleh : Prof. Dr. Ir. Zulkifli Lubis, MAppSc Mimi Nurminar, STP, M.Si

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh substitusi minyak sawit dan suhu pemanasan terhadap mutu selai cokelat. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode rancangan acak lengkap dengan dua faktor yaitu perbandingan tepung kakao dengan minyak sawit (K1 = 40 g : 22 g, K2 = 38 g : 24 g, K3 = 36 g : 26 g, K4 = 34 g : 28 g) dan suhu pemanasan (P1 = 50 oC, P2 = 55 oC, P3 = 60 oC, P4 = 65 o

C). Parameter yang diamati meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, daya oles dan nilai organoleptik warna, aroma dan rasa.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan tepung kakao dengan minyak sawit memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap semua parameter kecuali kadar air yang berbeda tidak nyata. Suhu pemanasan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap semua parameter kecuali kadar air dan nilai

organoleptik warna yang berbeda tidak nyata. Interaksi antara perbandingan tepung kakao dengan minyak sawit dan suhu pemanasan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata terhadap semua parameter. Perbandingan tepung kakao dengan minyak sawit 36 g : 26 g dengan suhu pemanasan 60 oC menghasilkan selai cokelat yang terbaik dan dapat diterima.

Kata kunci : selai cokelat, perbandingan tepung kakao dengan minyak sawit, suhu pemanasan.

ABSTRACT

Danni Ginting : THE EFFECT OF SUBTITUTION OF PALM OIL AND TEMPERATURE ON THE QUALITY OF CACAO JAM

Supervised by : Prof. Dr. Ir. Zulkifli Lubis, MAppSc Mimi Nurminar, STP, M.Si

The aim of this research was to find the effect of the ratio of cocoa powder with palm oil and temperature on the quality of cacao jam. This study was conducted using compeletly randomized design (CDR) with two factor i.e : the ratio of cocoa powder with palm oil (K1 = 40 g : 22 g, K2 = 38 g : 24 g, K3 = 36 g : 26 g, K4 = 34 g :

28 g) and temperature (P1 = 50 oC, P2 = 55 oC, P3 = 60 oC, P4 = 65 oC). Parameters

analyzed were water content, ash content, fat content, spreadness value and organoleptic values of colour, flavor and taste.

The result showed that the ratio of cocoa powder with palm oil had highly significant effect on all parameters except on water content. Temperature had highly significant effect on all parameters except on water content and organoleptic values of colour. The interaction of the ratio of cocoa powder with palm oil and temperature had no significant effect on all parameters. The ratio of cocoa powder with with palm oil of 36 g : 26 g at 60 oC produced the best and more acceptable quality of cocoa jam.


(5)

RIWAYAT HIDUP

DANNI GINTING dilahirkan di Pematang Siantar pada tanggal 20 Desember 1986. Anak kedua dari empat bersaudara dari Bapak Arihta Ginting

dan Ibu Christine br. Sinaga beragama Kristen Katolik.

Pada tahun 1999 lulus dari SD Negeri 122394 Pematang Siantar, pada tahun 2002 lulus dari SLTP Negeri 2 Pematang Siantar dan pada tahun 2005 lulus dari SMA Negeri 1 Pematang Siantar. Pada tahun 2005 diterima di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur SNMPTN di Departemen Teknologi Pertanian program studi Teknologi Hasil Pertanian.

Penulis telah mengikuti Praktek Kerja Lapangan (PKL) di PMKS PTPN 3 Tebing Tinggi, Kecamatan Kampung Rambutan, Tebing Tinggi, Sumatera Utara.

Selama mengikuti kuliah, penulis aktif menjadi anggota IMTHP (Ikatan Mahasiswa Teknologi Pertanian). Penulis juga aktif sebagai anggota IMKA (Ikatan Mahasiswa Karo).


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan augerah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.

Skripsi ini berjudul “Pengaruh Substitusi Minyak Sawit dan Suhu Pemanasan terhadap Mutu Selai Cokelat” disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada komisi pembimbing Bapak Prof. Dr. Ir. Zulkifli Lubis, MAppSc selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Mimi Nurminah, STP. M.Si selaku anggota komisi pembimbing, atas arahan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis selama dalam penyusunan skripsi ini.

Ucapan terima kasih penulis juga sampaikan kepada kedua orangtua penulis, Bapak Arihta Ginting dan Ibu Christine br. Sinaga, juga kepada saudara-saudara saya; abang Andi K J. Ginting, adik saya Ersada A Ginting dan Maria Marissa Ginting dan kepada seluruh kerabat yang telah memberikan doa, kasih sayang, nasehat dan semangat kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh staf pengajar terkhusus kepada ibu Dr. Ir. Herla Rusmarilin, MS atas semua nasehat dan bantuannya kepada penulis, kepada semua pegawai tata usaha di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, kepada teman-teman seperjuangan stambuk 2005 terutama kepada Veronika, Albert, Nehemia, Janner dan Alex atas bantuan dan motivasinya, kepada


(7)

teman-teman Priuk 37 klan, dan juga kepada Endaiyana Libertyta br. Purba atas keceriaan, semangat dan motivasinya.

Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan dan untuk kepentingan penelitian selanjutnya.

Medan, Juli 2011


(8)

DAFTAR ISI

Hal

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... i

RIWAYAT HIDUP ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Kegunaan Penelitian ... 3

Hipotesis Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Cokelat ... 4

Tepung Cokelat ... 7

Komponen dan Manfaat Minyak Sawit ... 9

Spesifikasi Minyak Sawit ... 10

Deskripsi Selai Cokelat ... 11

Bahan yang Ditambahkan dalam Pembuatan Selai Cokelat Gula pasir ... 12

Garam ... 13

Natrium benzoat ... 13

Lesitin ... 14

Susu bubuk ... 15

BAHAN DAN METODE PENELITIAN Bahan Penelitian ... 17

Waktu dan Tempat Penelitian ... 17

Reagensia ... 17

Alat Penelitian ... 17

Metode Penelitian ... 18

Model Rancangan ... 19

Pelaksanaan Penelitian ... 19

Pengamatan dan Pengukuran Data Penentuan kadar air ... 20


(9)

Penentuan kadar lemak ... 21 Uji organoleptik aroma, warna, dan rasa ... 21 Skema Pembuatan ... 24 HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Perbandingan Tepung Kakao dengan Minyak Sawit

terhadap Parameter yang Diamati ... 25 Pengaruh Suhu Pemanasan terhadap Parameter yang Diamati... 26 Kadar Air

Pengaruh perbandingan tepung kakao dengan minyak sawit

terhadap kadar air ... 28 Pengaruh suhu pemanasan terhadap kadar air ... 28 Pengaruh interaksi perbandingan tepung kakao dan

suhu pemanasan terhadap kadar air ... 28 Kadar Abu

Pengaruh perbandingan tepung kakao dengan minyak sawit

terhadap kadar abu ... 28 Pengaruh suhu pemanasan terhadap kadar abu ... 30 Pengaruh interaksi perbandingan tepung kakao dan

suhu pemanasan terhadap kadar abu ... 32 Kadar Lemak

Pengaruh perbandingan tepung kakao dengan minyak sawit

terhadap kadar lemak ... 32 Pengaruh suhu pemanasan terhadap kadar lemak ... 34 Pengaruh interaksi perbandingan tepung kakao dan

suhu pemanasan terhadap kadar lemak ... 36 Penentuan Daya Oles

Pengaruh perbandingan tepung kakao dengan minyak sawit

terhadap penentuan daya oles ... 36 Pengaruh suhu pemanasan terhadap

Penentuan daya oles ... 37 Pengaruh interaksi perbandingan tepung kakao dan

suhu pemanasan terhadap penentuan daya oles ... 39 Uji Organoleptik Rasa

Pengaruh perbandingan tepung kakao dengan minyak sawit

terhadap uji organoleptik rasa ... 40 Pengaruh suhu pemanasan terhadap

uji organoleptik rasa ... 42 Pengaruh interaksi perbandingan tepung kakao dan

suhu pemanasan terhadap uji organoleptik rasa ... 44 Uji Organoleptik Aroma

Pengaruh perbandingan tepung kakao dengan minyak sawit

terhadap uji organoleptik aroma... 44 Pengaruh suhu pemanasan terhadap

uji organoleptik aroma ... 46 Pengaruh interaksi perbandingan tepung kakao dan


(10)

Uji Organoleptik Warna

Pengaruh perbandingan tepung kakao dengan minyak sawit

terhadap uji organoleptik warna ... 48

pengaruh suhu pemanasan terhadap uji organoleptik warna ... 50

Pengaruh interaksi perbandingan tepung kakao dan suhu pemanasan terhadap uji organoleptik warna ... 50

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 51

Saran ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53


(11)

DAFTAR TABEL

No Judul Hal

1. Syarat mutu tepung cokelat ... 9

2. Spesifikasi minyak sawit ... 11

3. Skala uji hedonik daya oles selai cokelat ... 22

4. Skala uji hedonik aroma selai cokelat ... 22

5. Skala uji hedonik rasa selai cokelat ... 23

6. Skala uji hedonik warna selai cokelat ... 23

7. Pengaruh perbandingan tepung kakao dengan minyak sawit terhadap parameter yang diamati ... 25

8. Pengaruh suhu pemanasan terhadap parameter yang diamati ... 27

9. Uji LSR efek utama pengaruh perbandingan tepung kakao dengan minyak sawit terhadap kadar abu ... 29

10. Uji LSR efek utama pengaruh suhu pemanasan terhadap kadar abu ... 30

11. Uji LSR efek utama pengaruh perbandingan tepung kakao dengan minyak sawit terhadap kadar lemak ... 33

12. Uji LSR efek utama pengaruh suhu pemanasan terhadap kadar lemak ... 34

13. Uji LSR efek utama pengaruh perbandingan tepung kakao dengan minyak sawit terhadap penentuan daya oles ... 36

14. Uji LSR efek utama pengaruh suhu pemanasan terhadap penentuan daya oles ... 38

15. Uji LSR efek utama pengaruh perbandingan tepung kakao dengan minyak sawit terhadap uji organoleptik rasa ... 40

16. Uji LSR efek utama pengaruh suhu pemanasan terhadap uji organoleptik rasa ... 42


(12)

17. Uji LSR efek utama pengaruh perbandingan tepung kakao

dengan minyak sawit terhadap uji organoleptik aroma ... 44 18. Uji LSR efek utama pengaruh suhu pemanasan

uji organoleptik aroma ... 46 19. Uji LSR efek utama pengaruh perbandingan tepung kakao

dengan minyak sawit terhadap uji organoleptik warna ... 48


(13)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Hal

1. Skema pembuatan selai cokelat ... 24 2. Histogram pengaruh perbandingan tepung kakao dengan

minyak sawit terhadap kadar abu ... 29 3. Grafik pengaruh suhu pemanasan terhadap kadar abu ... 31 4. Histogram pengaruh perbandingan tepung kakao dengan

minyak sawit terhadap kadar lemak ... 33 5. Grafik pengaruh suhu pemanasan terhadap kadar lemak ... 35 6. Histogram pengaruh perbandingan tepung kakao dengan

minyak sawit terhadap penentuan daya oles ... 37 7. Grafik pengaruh suhu pemanasan terhadap

penentuan daya oles ... 39 8. Histogram pengaruh perbandingan tepung kakao dengan

minyak sawit terhadap uji organoleptik rasa ... 41 9. Grafik pengaruh suhu pemanasan terhadap

uji organoleptik rasa ... 43 10. Histogram pengaruh perbandingan tepung kakao dengan

minyak sawit terhadap uji organoleptik aroma ... 45 11. Grafik pengaruh suhu pemanasan terhadap

uji organoleptik aroma... 47 12. Histogram pengaruh perbandingan tepung kakao dengan

minyak sawit terhadap uji organoleptik warna... 49


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Hal

1. Data Pengamatan Analisa Persentase Kadar Air ... 56

2. Data Pengamatan Analisa Persentase Kadar Abu ... ... 57

3. Data Pengamatan Analisa Persentase Kadar Lemak ... 58

4. Data Pengamatan Analisa Penentuan Daya Oles... 59

5. Data Pengamatan Analisa Organoleptik Aroma ... 60

6. Data Pengamatan Analisa Organoleptik Rasa ... 61


(15)

ABSTRAK

Danni Ginting : PENGARUH SUBTITUSI MINYAK SAWIT DAN SUHU PEMANASAN TERHADAP MUTU SELAI COKELAT

Dibimbing oleh : Prof. Dr. Ir. Zulkifli Lubis, MAppSc Mimi Nurminar, STP, M.Si

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh substitusi minyak sawit dan suhu pemanasan terhadap mutu selai cokelat. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode rancangan acak lengkap dengan dua faktor yaitu perbandingan tepung kakao dengan minyak sawit (K1 = 40 g : 22 g, K2 = 38 g : 24 g, K3 = 36 g : 26 g, K4 = 34 g : 28 g) dan suhu pemanasan (P1 = 50 oC, P2 = 55 oC, P3 = 60 oC, P4 = 65 o

C). Parameter yang diamati meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, daya oles dan nilai organoleptik warna, aroma dan rasa.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan tepung kakao dengan minyak sawit memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap semua parameter kecuali kadar air yang berbeda tidak nyata. Suhu pemanasan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap semua parameter kecuali kadar air dan nilai

organoleptik warna yang berbeda tidak nyata. Interaksi antara perbandingan tepung kakao dengan minyak sawit dan suhu pemanasan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata terhadap semua parameter. Perbandingan tepung kakao dengan minyak sawit 36 g : 26 g dengan suhu pemanasan 60 oC menghasilkan selai cokelat yang terbaik dan dapat diterima.

Kata kunci : selai cokelat, perbandingan tepung kakao dengan minyak sawit, suhu pemanasan.

ABSTRACT

Danni Ginting : THE EFFECT OF SUBTITUTION OF PALM OIL AND TEMPERATURE ON THE QUALITY OF CACAO JAM

Supervised by : Prof. Dr. Ir. Zulkifli Lubis, MAppSc Mimi Nurminar, STP, M.Si

The aim of this research was to find the effect of the ratio of cocoa powder with palm oil and temperature on the quality of cacao jam. This study was conducted using compeletly randomized design (CDR) with two factor i.e : the ratio of cocoa powder with palm oil (K1 = 40 g : 22 g, K2 = 38 g : 24 g, K3 = 36 g : 26 g, K4 = 34 g :

28 g) and temperature (P1 = 50 oC, P2 = 55 oC, P3 = 60 oC, P4 = 65 oC). Parameters

analyzed were water content, ash content, fat content, spreadness value and organoleptic values of colour, flavor and taste.

The result showed that the ratio of cocoa powder with palm oil had highly significant effect on all parameters except on water content. Temperature had highly significant effect on all parameters except on water content and organoleptic values of colour. The interaction of the ratio of cocoa powder with palm oil and temperature had no significant effect on all parameters. The ratio of cocoa powder with with palm oil of 36 g : 26 g at 60 oC produced the best and more acceptable quality of cocoa jam.


(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pada abad modern hampir semua orang mengenal cokelat yang merupakan bahan makanan yang banyak digemari masyarakat, terutama bagi anak-anak dan remaja. Salah satu keunikan dan keunggulan makanan dari bahan cokelat adalah kandungan lemak cokelat yang dapat mencair dan meleleh pada suhu tubuh. Bahan makanan dari cokelat juga mengandung gizi yang tinggi karena di dalamnya terdapat protein dan lemak serta unsur-unsur penting lainnya. Faktor pembatas utama konsumsi cokelat sehari-hari oleh masyarakat adalah harganya relatif tinggi dibandingkan dengan bahan makanan lainnya. Cokelat dapat dibentuk menjadi berbagai jenis makanan seperti es krim (ice cream), toffee, cokelat batang, selai cokelat dan sebagainya.

Menteri Pertanian Suswono, mengatakan sampai tahun 2009 luas tanaman kakao di Indonesia mencapai 1,54 juta hektar dan menghasilkan 964 ribu ton biji kakao kering. Perkebunan rakyat mendominasi budi daya kakao nasional, di mana lebih dari 90 % dari taksiran total luasan pertanaman dan produksi biji kakao berasal dari kebun yang diusahakan oleh rakyat Sasaran pengembangan kakao Indonesia terutama diarahkan pada sektor perkebunan rakyat dengan menanam kakao lindak, sedangkan jenis kakao mulia diusahakan oleh perusahaan perkebunan.

Tepung cokelat (cocoa powder) juga dapat digunakan sebagai bahan pembuat kue dan pengoles roti (selai). Di samping itu, ada produk antara yaitu produk setengah jadi yang kurang dikenal masyarakat, misalnya lemak cokelat (cocoa butter) yang umumnya digunakan oleh industri farmasi dan kosmetika


(17)

(sebagai bahan dasar pembuat lipstik). Produk cokelat dihasilkan melalui tahapan dan proses yang relatif panjang.

Selai cokelat dibuat dengan mencampurkan minyak nabati, gula, tepung cokelat, whey powder, susu full cream, lesitin, dan antioksidan. Jenis minyak yang biasa digunakan dalam pembuatan selai cokelat adalah minyak sawit.

Minyak kelapa sawit dapat digunakan sebagai bahan pangan. Seluruh dunia nyaris menggantungkan kebutuhannya pada tanaman andalan Indonesia ini. Benua Eropa bahkan mengonsumsi sebanyak 30% dari total produksi sawit atau

Crude Palm Oil (CPO) Indonesia.

Dari sisi ekonomi, biaya yang dibutuhkan untuk produksi CPO juga jauh lebih murah daripada tanaman pesaing lainnya. Untuk menghasilkan satu ton CPO di lahan seluas satu hektar hanya memerlukan biaya sebesar 250 US Dolar. Sementara minyak kedelai memerlukan investasi senilai 380 US Dolar per ton per hektar, dan minyak lobak butuh 370 US Dolar. Karena itu tidak heran jika harga CPO adalah yang paling terjangkau bagi konsumen dunia.

Pada pembuatan produk makanan terutama selai cokelat, minyak sawit digunakan sebagai pengikat agar komponen diantara bahan makanan padat yang digunakan dapat menyatu dan juga sebagai pengental sehingga selai cokelat yang dihasilkan dapat dioleskan pada bahan makanan lainnya. Penggunaan minyak sawit juga bertujuan untuk mengurangi jumlah penggunaan tepung cokelat dimana pada penelitian ini jumlah tepung cokelat yang digunakan dikurangi dengan memanfaatkan minyak sawit sehingga dapat mengurangi biaya produksi.

Pada pembuatan selai cokelat, suhu yang digunakan untuk pemanasan biasanya berkisar antara 50 - 60o C, di mana pada suhu ini proses fat blooming


(18)

dapat dicegah karena pada suhu tersebut minyak sawit yang digunakan sudah mulai panas dan lemak yang terkandung mencair sehingga minyak tersebut dapat mengikat bahan-bahan padatan pada pembuatan selai cokelat.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka penulis tertarik untuk mencoba melakukan penelitian tentang Pengaruh Subtitusi Minyak Sawit dan Suhu Pemanasan Terhadap Mutu Selai Cokelat.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengaruh Subtitusi Minyak Sawit dan Suhu Terhadap Mutu Selai Cokelat.

Kegunaan Penelitian

Sebagai sumber informasi pada pembuatan selai cokelat yang baik dan sebagai sumber data dalam penyusunan skripsi di Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Departemen Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Hipotesa Penelitian

Diduga perbandingan konsentrasi tepung cokelat dengan minyak sawit memberi pengaruh terhadap mutu selai cokelat, diduga perbedaan suhu pemanasan memberi pengaruh terhadap mutu selai cokelat dan diduga interaksi antara perbandingan konsentrasi tepung cokelat dan minyak sawit dengan suhu pemanasan memberi pengaruh terhadap mutu selai cokelat.


(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Cokelat (Theobroma cacao L.)

Theobroma cacao adalah nama biologi yang diberikan pada pohon kakao

oleh Linnaeus pada tahun 1753. Tempat alamiah dari genus Theobroma adalah di bagian hutan tropis dengan banyak curah hujan, tingkat kelembaban tinggi, dan teduh. Dalam kondisi seperti ini Theobroma cacao jarang berbuah dan hanya sedikit menghasilkan biji (Spillane, 1995).

Berdasarkan daerah asalnya, tanaman kakao tumbuh di bawah naungan pohon-pohon yang tinggi. Habitat seperti itu masih dipertahankan dalam budi daya kakao dengan menanam pohon pelindung. Kakao mutlak membutuhkan naungan sejak tanam sampai umur 2 - 3 tahun. Tanaman muda yang kurang naungan pertumbuhannya akan terlambat. Tanaman ini juga tidak tahan angin kencang sehingga tanaman pelindung (penaung) dapat berfungsi sebagai penahan angin (Poedjiwidodo, 1996).

Tanaman kakao terdiri dari 2 (dua) tipe yang dibedakan berdasarkan atas warna bijinya, warna putih termasuk ke dalam grup Criollo, sedangkan biji ungu termasuk grup Forastero. Walaupun spesies tanaman yang ada cukup banyak, pada umumnya kakao dibagi 2 (dua) tipe antara lain:

a. Criello :

1. Criollo Amerika Tengah 2. Criollo Amerika Selatan b. Forastero :

1. Forastero Amazone


(20)

2. Trinitario (merupakan hibrid Criollo dan Forastero) (Nasution, 1976).

Sistematika tanaman kakao secara lengkap adalah sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta

Anak divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Malvales Famili : Sterculiaceae Genus : Theobroma

Spesies : Theobroma cacao, L. (Poedjiwidodo, 1996).

Kakao (Theobroma cacao, L.) merupakan satu-satunya spesies diantara 22 jenis dalam genus Theobroma yang diusahakan secara komersial. Tanaman ini diperkirakan berasal dari lembah Amazon di Benua Amerika yang mempunyai iklim tropis. Colombus dalam pengembaraan dan petualangannya di benua menemukan dan membawanya ke Spanyol (Poedjiwidodo, 1996).

Penaung kakao sangat diperlukan dalam mengatur intensitas penyinaran sinar matahari, tinggi suhu, kelembaban udara, menahan angin, menambah unsur hara dan organik, menekan tumbuhan gulma, dan memperbaiki struktur tanah. Intensitas sinar matahari untuk tanaman muda yang berumur 12 - 18 bulan sekitar 30 – 60 %. Sedangkan untuk tanaman yang sudah produktif, intensitas penyinaran adalah 50 – 75 % (Susanto, 1994).

Kakao dibawa oleh orang Spanyol ke Indonesia sekitar tahun 1560 melalui Filipina ke daerah Minahasa, Sulawesi Utara. Di daerah itu kakao ditanam sebagai


(21)

tanaman campuran di pekarangan, dan baru dikembangkan secara luas pada tahun 1820. Pada tahun 1845 tanaman ini terserang penggerek buah kakao (PBK) dan karena ditanam tanpa naungan maka umur tanaman hanya mencapai 12 tahun (Poedjiwidodo, 1996).

Varietas dari hasil persilangan secara alamiah Criollo dan Trinitario dijumpai di Jawa, Sumatera, Suriname, Costa Rica, Panama, Venezuela, Timur, dan Granada. Dari tipe Trinitario inilah maka dikembangkan sebagai klon, sehingga lahirlah klon-klon DR ( Djati Runggo). Dengan penemuan klon-klon DR ini, maka perkebunan di Jawa Tengah kini berkembang sampai ke Jawa Timur, Sumatera dan daerah lainnya ( Wood, 1987).

Jenis Criollo dan Trinitario serta persilangan keduanya dikenal sebagai penghasil kakao mulia (fine cacao). Pada biji kakao jenis ini tidak ditemukan pigmen ungu, setelah difermentasi dan dikeringkan, biji berwarna cokelat muda, dan bila disangrai memberi aroma yang kuat. Jenis Forastero dikenal sebagai penghasil biji kakao lindak (bulk cacao) atau kakao curah. Biji buah segar berwarna ungu, setelah mengalami proses fermentasi dan pengeringan biji berwarna cokelat tua dan bila disangrai aromanya kurang kuat bila dibandingkan dengan kakao mulia (Hudayah, 1985).

Biji kakao sangat diperlukan dalam berbagai macam industri karena sifatnya yang khas, yaitu : (1) biji kakao mengandung lemak yang cukup tinggi (55 %), di mana lemaknya mempunyai sifat yang unik yaitu membeku pada suhu kamar, akan tetapi mencair pada suhu tubuh, (2) bagian padatan biji kakao mengandung komponen flavor dan pewarna yang sangat dibutuhkan dalam industri makanan (Djatmiko dan Wahyudi, 1986).


(22)

Produk-produk industri cokelat dibuat berdasarkan pemanfaatan kedua sifat biji kakao tersebut, yang umumnya berupa bubuk cokelat (cocoa powder) atau lemak cokelat (cocoa butter). Kedua produk ini terutama lemak cokelat adalah bahan yang sangat diperlukan pada industri makanan, farmasi, dan kosmetika (Viskil, 1980).

Penggunaan biji kakao dalam industri makanan juga mempunyai keuntungan-keuntungan karena flavor khas kakao sangat digemari konsumen dan flavor kakao dapat dikombinasikan dengan flavor lain yang kurang enak (De Zaan, 1975).

Cokelat mempunyai alkoloid seperti theobromin dan phenethylamin yang memiliki efek fisiologi tubuh manusia yaitu aphrodisial (rasa senang). Selain itu juga mengandung Flavanoid apicatelin dan asam galat yang dapat mencegah penyakit jantung dan memiliki aktivitas anti oksidan sehingga dapat mencegah oksidasi LDL, sebagai anti karsinogen kandungan asam palmitat yang diserap sangat lambat, asam stearat dan asam oleat dibuktikan tidak dapat meninggikan level LDL kolesterol (De Zaan, 1975).

Tepung Cokelat

Berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 45/2009 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan tepung cokelat adalah produk dari tanaman cokelat berbentuk bubuk yang diperoleh dari kakao massa setelah dihilangkan sebagian lemaknya dengan atau tanpa perlakuan alkalisasi. Alkalisasi adalah proses penambahan suatu bahan alkalis yang sesuai dengan biji cokelat dengan tujuan untuk mengatur keasaman agar mencapai tingkat yang diinginkan.


(23)

Fermentasi dan penyangraian biji mengakibatkan sifat-sifat citarasa bubuk cokelat berbeda-beda misalnya intensitas cocoa flavor, rasa pahit, astringent dan keasaman. Acidifikasi biji cokelat oleh asam asetat selama fermentasi berlangsung sangat penting untuk pengembangan flavor/citarasa. Perubahan-perubahan ini termasuk peptida-peptida dan asam-asam amino. Fermentasi juga menyebabkan berkurangnya polifenol terlarut dan pada tahap ini juga terjadi pengurangan/ pengeluaran theobromin dan kafein serta komponen-komponen volatil (alkohol, ester dan aldehid). Penyangraian menyebabkan pengembangan aroma spesifik cokelat dengan adanya reaksi Maillard, karamelisasi gula, degradasi protein dan pembentukan komponen volatil seperti pyrazin yang merupakan salah satu komponen flavor yang diinginkan (Janner, 2010).

Biji kakao baik yang difermentasi maupun tidak difermentasi dan dikeringkan kemudian disangrai dan selanjutnya digiling untuk menghasilkan pasta cokelat dan pasta cokelat dipres untuk membuat lemak dan bungkil kakao. Kemudian bungkil kakao digiling dan diayak sehingga dihasilkan bubuk cokelat. Proses penyangraian biji cokelat yang difermentasi maupun yang tidak difermentasi diduga mempengaruhi mutu dan citarasa tepung cokelat (Janner, 2010).

Tepung cokelat dari biji yang difermentasi termasuk tepung natural yang memberikan warna cenderung lebih terang daripada tepung cokelat dari biji non fermentasi. Tepung cokelat natural cocok digunakan dalam industri roti dan pembuatan selai; sementara bubuk dengan pH di atas 6,0 biasanya digunakan untuk pembuatan minuman, puding, dan es krim (Janner, 2010).


(24)

Syarat mutu tepung cokelat (cocoa powder) sebagai berikut : Tabel 1. Syarat mutu tepung cokelat

Parameter Uji Satuan Syarat Mutu

Keadaan :

a. Bau - khas cokelat, bebas dari

bau asing

b. Rasa - khas cokelat, bebas dari

bau asing

c. Warna - cokelat atau warna lain

akibat alkalisasi

Kadar air (b/b) % maks 5,0

Kadar lemak (b/b) % min 10,0

Cemaran mikroba :

a. Angka Lempeng Total koloni/g maks 5 x 103 b. Bakteri bentuk coli APM/g < 3

c. Escheria coli per g Negatif

d. Salmonella per 25 g Negatif

d. Kapang koloni/g maks 50

e. Khamir koloni/g maks 50

Sumber : Standar Nasional Indonesia, 2000

Komponen dan Manfaat Minyak Sawit

Minyak sawit yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan minyak sawit bermerk Filma yang di proses dengan menggunakan teknologi tinggi sehingga tidak mengandung kolesterol. Filma mengandung asam lemak tak jenuh, Omega 9 dan Omega 6. Asam lemak tak jenuh dapat membantu menjaga kadar kolesterol sebagaimana adanya. Omega 6 adalah asam lemak esensial yang diperlukan tubuh. Filma berwarna kuning keemasan berasal dari kandungan Beta Karoten alami (Pro Vitamin A). Filma diproses dari buah sawit segar pilihan


(25)

dengan Sistem Pemurnian Terintegrasi Penuh sehingga menghasilkan minyak goreng berkualitas jernih bernutrisi (Janner, 2010).

Minyak kelapa sawit mempunyai prospek yang lebih baik dari minyak nabati lain pada masa mendatang karena beberapa faktor antara lain :

1. Produktivitas minyak sawit cukup tinggi dibandingkan dengan minyak nabati lainnya.

2. Sebagai tanaman tahunan, kelapa sawit lebih mudah beradaptasi dengan lingkungannya dibandingkan dengan tanaman semusim seperti kedelai dan bunga matahari.

3. Ditinjau dari kesehatan, minyak kelapa sawit mempunyai keunggulan jika dibandingkan dengan minyak nabati lainnya karena mengandung beta karoten sebagai pro-vitamin A dan vitamin E.

4. Produk oleokimia yang berbahan baku minyak sawit lebih aman, karena sifat dasarnya yang dapat dimakan dan ramah terhadap lingkungan dan mudah diuraikan (bio-degradable)

(Wikipedia, 2008).

Spesifikasi Minyak Sawit

Spesifikasi merupakan hal yang penting untuk menentukan minyak apakah minyak itu bermutu baik atau tidak, adapun spesifikasi pada minyak Sawit antara lain adalah sebagai berikut :


(26)

Tabel 2. Spesifikasi minyak sawit

%AKG Lemak Total 11g 20% Lemak Jenuh 5g 24%

Kolesterol 0mg 0%

Protein 0mg 0%

Karbohidrat 0g 0% Natrium 0g 0%

Vitamin E >50%

Sumber : Wikipedia, 2008

Deskripsi Selai Cokelat

Di Amerika Serikat selai didefenisikan sebagai suatu bahan pangan setengah padat yang dibuat kurang dari 45% dari bagian berat zat penyusun sari buah dan 55% dari bagian berat gula. Campuran ini dikentalkan sampai mencapai kadar zat padat terlarut tidak kurang dari 65%. Zat warna dan cita rasa dapat ditambahkan (Desrosier, 2008).

Selai atau jam adalah makanan setengah padat yang dibuat dari buah-buahan ataupun produk olahan lain seperti lemak kacang untuk selai kacang, mentega cokelat dan tepung cokelat untuk pembuatan selai cokelat, campuran ini yang akan ditambahkan dengan gula pasir, yang menghasilkan kandungan total padatan minimal 65%. Syarat selai yang baik adalah mudah dioleskan dan mempunyai aroma dan rasa buah asli (Margono, et al., 2007).

Selai cokelat dibuat dengan mencampurkan minyak nabati, gula, tepung cokelat, whey powder, susu full cream, lesitin, dan antioksidan. Jenis minyak yang


(27)

biasa digunakan dalam pembuatan selai cokelat adalah minyak sawit. Minyak sawit memiliki karakteristik asam lemak utama penyusunnya terdiri atas 35 - 40% asam palmitat, 38 - 40% oleat dan 6 - 10% asam linolenat serta kandungan mikronutriennya seperti karotenoid, tokoferol, tokotrienol dan fitosterol. Di samping itu keunggulan minyak sawit sebagai minyak makan adalah tidak perlu dilakukan parsial hidrogenasi untuk pembuatan margarin dan minyak goreng (deep frying fat), trans-fatty acid rendah, dan unit cost murah. Klaim produk minyak sawit sebagai produk sehat telah banyak dilakukan penelitian mendasar, sehingga klaim unggulannya mempunyai dasar yang kuat. Meskipun minyak sawit mengandung MUFA (Omega 9) cukup tinggi, kandungan asam lemak jenuhnya (palmitat) juga tinggi yaitu 40%. Namun, asam palmitat yang ada dalam minyak sawit mempunyai nilai positif karena dapat menurunkan kolesterol LDL (Muchtadi, 2000).

Bahan yang Ditambahkan dalam Pembuatan Selai Cokelat Gula pasir

Penambahan gula pada produk bukan saja untuk menghasilkan rasa manis meskipun sifat ini sangatlah penting. Jadi gula bersifat untuk menyempurnakan rasa asam, cita rasa juga memberikan kekentalan. Daya larut yang tinggi dari gula, memiliki kemampuan mengurangi kelembapan relatif (ERH) dan daya mengikat air adalah sifat-sifat yang menyebabkan gula dipakai dalam pengawetan pangan (Buckle, et al., 1987).

Gula adalah bentuk dari karbohidrat, jenis gula yang paling sering digunakan adalah krisal sukrosa padat. Gula digunakan untuk merubah rasa dan


(28)

(yang diproduksi dari sukrosa dengan enzim hidrolisis asam) menyimpan energi yang akan digunakan oleh sel. Dalam istilah kuliner, gula adalah tipe makanan yang diasosiasikan dengan salah satu rasa dasar, yaitu manis (Janner, 2010). Garam

Garam dapur terkandung unsur sodium dan clor dengan rumus kimia NaCl. Senyawa ini adalah garam yang paling mempengaruhi salinitas laut dan cairan ekstraseluler pada banyak organisme multiseluler. Sebagai komponen utama pada garam dapur, natrium klorida sering digunakan sebagai bumbu dan pengawet makanan. Unsur sodium ini penting untuk mengatur keseimbangan cairan di dalam tubuh (Widayanto, 2009).

Fungsi penambahan garam adalah untuk memperbaiki rasa yaitu untuk menetralkan rasa pahit dan rasa asam, membangkitkan selera dan mempertajam rasa manis, selain itu garam mempunyai tekanan osmotik yang tinggi, higroskopik dan dapat terurai menjadi Na+ dan Cl- yang meracuni sel mikroba dan mengurangi kelarutan oksigen (Purba dan Rusmarilin, 1985).

Penambahan garam pada produk tertentu dapat berfungsi untuk meningkatkan cita rasa dari produk itu sendiri. Kebutuhan garam sebagai pemantap cita rasa adalah sebanyak 2-5 % dari total bahan bakunya (Suprapti, 2000).

Natrium benzoat

Natrium benzoat merupakan butiran atau serbuk putih, tidak berbau dan bahan ini dapat ditambahkan langsung ke dalam bahan makanan atau dilarutkan di dalam air atau pelarut-pelarut lainnya (Winarno, 1997).


(29)

Turunan pH medium akan menaikkan proporsi asam yang tidak terdisosiasi. Karena asam yang tidak terdisosiasi penentu utama peranan pengawet. Asam benzoat sangat efektif dalam menghambat bahan makanan dengan pH rendah (Tranggono, et al., 1990).

Benzoat umumnya digunakan untuk mencegah pertumbuhan khamir dan bakteri dengan konsentrasi 0,05-0,10 %. Efektifitas atau daya menghambat natrium benzoat adalah dengan mengganggu cairan nutrisi sel atau sel mikroba dan mengganggu keaktifan enzim yang ada pada sel (Buckle, et al., 1987).

Lesitin

Emulsi merupakan suatu campuran yang tidak stabil dari dua cairan yang pada dasarnya tidak saling bercampur, pada umumnya untuk membuat kedua cairan tersebut dapat bercampur diperlukan zat pengemulsi (emulsifying agent) sehingga sediaan emulsi dapat stabil. Zat pengemulsi diantaranya adalah lesitin (Ansel,1989).

Lesitin adalah phospolipid yang merupakan komponen essensial dari membran sel dan pada prinsipnya terdapat pada berbagai varietas makhluk hidup. Pada kenyataannya, lesitin banyak ditemukan dalam tanaman-tanaman seperti kedelai, kacang tanah, biji kapas, bunga matahari, dan jagung. Lesitin banyak digunakan dalam industri pangan sebagai zat pendispersi, pengemulsi dan penstabil (stabilizing agent) (Wade, 1994).

Lesitin (phospatidil kolin) dengan komponen utamanya kolin, adalah zat gizi penting yang ditemukan secara luas pada berbagai pangan dan tersedia sebagai suplemen. Kolin telah lama dikenal sebagai zat gizi esensial bagi


(30)

sejumlah spesies hewan dan akhir-akhir ini terbukti esensial juga pada manusia (Priantary, 2011).

Lesitin mengandung sekitar 13 % kolin berdasar berat. Lesitin juga zwiter ion, mempunyai muatan positif pada atom N kolin dan muatan negatif pada atom O dari grup phospat. Lesitin dapat bersifat polar (bagian kolin) dan non polar (bagian asam lemak) sehingga sangat efektif sebagai emulsifier (Priantary, 2011).

Lesitin dan phospolipid lain mengandung komponen hidrofobik dan hidrofilik yang digunakan sebagai sifat fungsional dalam pengolahan pangan. Lesitin dapat digunakan sebagai emulsifier, fat replacer, mixing/blending aid,

release agent (Priantary, 2011).

Susu bubuk

Susu adalah cairan bergizi berwarna putih yang dihasilkan ole dapat mencerna makanan padat. Susu binatang (biasanya menjadi berbagai produk seperti

Susu bubuk adalah bubuk mempunyai daya tahan yang lebih lama daripada susu cair dan tidak perlu disimpan d banyak sekali ditemukan di negara-negara berkembang karena biaya transportasi dan penyimpanannya sangat murah (karena tidak membutuhkan pendingin). Susu bubuk dianggap tidak mudah rusak dikarenakan sedikitnya kandungan air (bakteri sangat cepat berkembangbiak pada makanan yang basah atau minuman). Susu bubuk dalam pembuatan selai cokelat digunakan untuk memberikan warna,


(31)

aroma serta meningkatkan nilai gizi dari produk selai cokelat yang dihasilkan (Wikipediab, 2008).

Jenis susu bubuk yang banyak dikenal di masyarakat antara lain susu bubuk full cream. Susu bubuk full cream merupakan susu yang paling mudah

dalam hal penyimpanan dan mudah bercampur ke dalam air hangat (suam-suam kuku). Kandungan susu bubuk full cream merupakan sumber protein

yang baik bagi badan kita. Susu bubuk full cream dapat diaplikasikan dalam minuman kopi atau teh sebagai ganti krimer. Adapun aplikasi yang lain dapat dicampur untuk pembuatan cokelat, selai roti, kue kering, permen, es krim dan segala jenis makanan yang membutuhkan rasa krim (Tokocsc, 2004).


(32)

BAHAN DAN METODA

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret – April 2011 di Laboratorium Analisa Kimia Bahan Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung cokelat dan minyak sawit Filma yang diperoleh dari pasar tradisional Simalingkar Medan. Bahan tambahan yang digunakan adalah susu krim, lesitin dan natrium benzoat.

Reagensia

Reagensia yang digunakan dalam penelitian ini adalah akuades dan hexan.

Alat Penelitian

Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah panci,

alumunium foil, spatula, baskom, erlenmeyer, hot plate, beaker glass, mixer,

desikator, sendok, gelas, piring, timbangan, corong, kertas label, botol selai,

soxhlet, oven.


(33)

Metoda Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode Rancang Acak Lengkap (RAL) faktorial yang terdiri dari 2 faktor, yaitu:

Faktor I : Perbandingan Tepung Cokelat dengan Minyak Sawit K1 = 40 g : 22 g

K2 = 38 g : 24 g K3 = 36 g : 26 g K4 = 34 g : 28 g Faktor II : Suhu Pemanasan

P1 = 50 oC P2 = 55 oC P3 = 60 oC P4 = 65 oC

Banyaknya kombinasi perlakuan (Tc) adalah 4 x 4 = 16, maka jumlah ulangan (n) adalah sebagai berikut :

Tc (n-1) ≥ 15 16 (n-1) ≥ 15 16n - 16 ≥ 15 16n ≥ 15

n ≥ 1,93 ……… dibulatkan menjadi n = 2 Untuk memperoleh ketelitian dilakukan 2 kali ulangan.


(34)

Model Rancangan (Bangun, 2001)

Penelitian ini dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan model :

Ŷijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk

Ŷijk : Hasil Pengamatan dari Faktor K dari taraf ke-i dan Faktor P pada taraf ke–j dengan ulangan k

µ : Efek nilai tengah

αi : Efek dari Faktor Konsentrasi NaOH (K) pada taraf ke–i

βj : Efek dari Faktor Suhu Pemanasan (P) pada Taraf ke–j (αβ)ij : Efek interaksi faktor K pada taraf ke–i dan faktor P pada

taraf ke–j

εijk : Efek galat dari faktor K pada taraf ke–i dan faktor P pada taraf ke–j dalam ulangan ke-k.

Pelaksanaan Penelitian

1. Dicampurkan tepung cokelat (40 g, 38 g, 36 g dan 34 g) bersama minyak sawit (22 g, 24 g, 26 g, 28 g) dari total 183 g bahan, kemudian diaduk sampai kedua bahan tercampur.

2. Dimasukkan ke dalam panci.

3. Dimasukkan susu (70 ml), gula pasir (50 g), dan garam (0,5 g) dari total 183 g bahan.

4. Dipanaskan dengan suhu ( 50 oC, 55 oC, 60 oC, 65 oC ) sambil dimixer selama 15 menit sampai kental dan tidak melekat di wajan.

5. Dimasukkan natrium benzoat 0,3 g dan lesitin 0,2 g 6. Diangkat dan didinginkan (selama 15 menit).


(35)

7. Disimpan didalam wadah tertutup.

Pengamatan dan Pengukuran Data

Pengamatan dan pengukuran data dilakukan dengan cara analisis terhadap parameter :

1. Kadar Air (%) 2. Kadar Abu (%) 3. Kadar Lemak (%) 4. Daya Oles

5. Uji Organoleptik (Warna, Aroma, dan Rasa) (Numerik)

Parameter Penelitian

Penentuan Kadar Air (%) ( AOAC, 1984 )

Ditimbang bahan sebanyak 5 gam dan dimasukkan ke dalam aluminium

foil yang telah diketahui berat kosongnya. Kemudian dikeringkan bahan dalam

oven pada suhu 1050 C selama 4 jam lalu dimasukkan dalam desikator selama 15 menit lalu ditimbang. Selanjutnya dimasukkan kembali di dalam oven selama 30 menit lalu didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang. Perlakuan ini dilakukan sampai diperoleh berat yang konstan. Pengurangan berat merupakan banyaknya air yang telah diuapkan dari bahan dengan perhitungan: Kadar Air (%) = Berat awal – Berat akhir x 100 %

Berat awal

Penentuan Kadar Abu (%) (Sudarmadji, et al., 1989)

Disiapkan cawan pengabuan, kemudian bakar dalam tanur, didinginkan dalam tanur dan ditimbang. Ditimbang sebanyak 3 – 5 gam sampel dalam cawan


(36)

tersebut, kemudian letakkan dalam tanur pengabuan, dibakar sampai didapat abu berwarna abu-abu atau sampai beratnya tetap, pertama suhu 4000 C dan kedua pada suhu 5500 C. Didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang dan dihitung kadar abunya dengan rumus :

Kadar Abu (%) = Berat abu akhir x 100 % Berat sampel

Penentuan Kadar Lemak (%) (Sudarmadji, et al., 1989).

Kadar lemak ditentukan dengan dengan cara ekstraksi dengan soxhlet. Contoh sebanyak 5 gam dikeringkan di dalam oven 70o C sampai mencapai berat konstan, kemudian dimasukkan ke dalam selonsong yang terbuat dari kertas saring dan ditutup. Selonsong yang telah berisi bahan dimasukkan ke dalam alat

soxhlet yang berisi pelarut heksan dan diekstraksi selama 5 - 6 jam, lalu selonsong

dikeluarkan dari alat soxhlet. Heksan yang telah digunakan dalam proses ekstraksi dipindahkan ke dalam beaker glass yang telah diketahui berat awalnya. Beaker

glass kemudiaan dimasukkan ke dalam oven pada suhu 40o C sampai mencapai berat stabil kemudiaan dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang. Selisih antara beaker glass awal dan beaker glass akhir setelah didesikator adalah berat lemak pada bahan.

Kadar Lemak (%) = a x 100% b

Keterangan : a = berat lemak b = berat awal contoh

Penentuan Daya Oles (Sudarmadji, et al., 1989).

Penentuan uji daya oles dilakukan dengan uji hedonik. Caranya, contoh diuji oleh sepuluh (10) orang panelis yang melakukan penelitian. Setiap panelis


(37)

mengoleskan masing-masing sampel pada roti lalu dilakukan penilaian berdasarkan kriteria pada tabel :

Tabel 3. Skala Uji Hedonik Daya Oles Selai Cokelat

Skala Hedonik Skala Numerik

Sangat Halus Halus

Agak Halus Tidak Halus

4 3 2 1

Keterangan :

- sangat halus : hanya dengan sekali oles langsung rata dan menempel pada permukaan roti

- halus : masih terdapat patahan jika dioleskan pada roti - agak halus : hasil olesan selai tidak rata pada permukaan roti - tidak halus : selai susah dioleskan dengan rata pada permukaan roti

Penentuan Uji Organoleptik Aroma, Warna, dan Rasa (Soekarto, 1985). Penentuan uji organoleptik aroma, warna, dan rasa dilakukan dengan uji kesukaan terhadap 10 panelis dengan ketentuaan sebagai berikut:

Tabel 4. Skala Uji Hedonik Aroma Selai Cokelat

Skala hedonik Skala numerik

Sangat Kuat Kuat

Agak Kuat Tidak Kuat

4 3 2 1


(38)

Tabel 5. Skala Uji Hedonik Warna Selai Cokelat

Skala Hedonik Skala Numerik

Sangat Cokelat Cokelat

Agak Cokelat Tidak Cokelat

4 3 2 1

Tabel 6. Skala Uji Hedonik Rasa Selai Cokelat

Skala Hedonik Skala Numerik

Sangat suka Suka Agak Suka Tidak Suka

4 3 2 1


(39)

SKEMA PEMBUATAN

Gambar 1. Skema pembuatan selai cokelat.

Dicampurkan tepung cokelat bersama minyak sawit kemudian diaduk sampai kedua bahan tercampur

Dimasukkan ke dalam baskom bersama dengan susu (70 ml), gula pasir (50 g) dan garam (0,5 g)

Dipanaskan di atas hot plate sambil diaduk sampai kental selama 15 menit dan ditambahkan natrium

benzoat ( 0,3 g) dan lesitin (0,2 g)

Di mixer selama + 15 menit sampai kental dan tidak melekat diwajan

Diangkat dan didinginkan selama 15 menit

Disimpan di dalam wadah tertutup Perbandingan T.Cokelat

dengan M. Sawit (K) K1 = 40 g : 22 g K2 = 38 g : 24 g K3 = 36 g : 26 g K4 = 34 g : 28 g

Suhu (P)

P1 = 50oC P2 = 55oC P3 = 60oC P4 = 65oC


(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit dan suhu pemanasan memberikan pengaruh terhadap mutu selai coklat yang dihasilkan dan dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pengaruh Perbandingan Tepung Cokelat dengan Minyak Sawit terhadap Parameter yang Diamati

Secara umum hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit memberikan pengaruh terhadap kadar air, kadar abu, kadar lemak, daya oles, dan uji organoleptik terhadap aroma, warna,dan rasa.

Tabel 7. Pengaruh perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit terhadap parameter yang diamati

Perlakuan Kadar Air (%)

Kadar Abu (%)

Kadar Lemak (%)

Daya Oles (Numerik)

Uji Organoleptik (Numerik) Aroma Warna Rasa 40 g : 22 g 41.525 9.000 24.960 2.738 2.575 3.000 3.050 38 g : 24 g 41.525 8.833 25.001 3.063 2.925 3.013 3.038 36 g : 26 g 41.525 8.583 26.501 3.238 3.000 3.063 2.938 34 g : 28 g 41.800 7.667 27.791 3.450 3.113 3.100 2.925

Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit memberikan pengaruh terhadap parameter yang diamati. Persentase kadar air tertinggi terdapat pada perlakuan K4 (perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit 34 g : 28 g) yaitu sebesar 41,800 % dan terendah terdapat pada K1 (perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit 40 g : 22 g) yaitu sebesar 41,525 %, kadar abu tertinggi terdapat pada perlakuan K1 (perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit 40 g : 22 g) yaitu sebesar 9,000 % dan terendah terdapat pada K4 (perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit


(41)

34 g : 28 g) yaitu sebesar 7.667 %, kadar lemak tertinggi terdapat pada perlakuan K4 (perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit 40 g : 22 g) yaitu sebesar

27.791 % dan terendah terdapat pada K1 (perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit 34 g : 28 g) yaitu sebesar 24,960 %, daya oles tertinggi terdapat

pada perlakuan K4 (perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit 34 g : 28 g) yaitu sebesar 3.450 dan terendah terdapat pada K1 (perbandingan

tepung cokelat dengan minyak sawit 40 g : 22 g) yaitu sebesar 2.738, dan uji organoleptik warna tertinggi terdapat pada perlakuan K4 (perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit 34 g : 28 g) yaitu sebesar 3.100 dan terendah terdapat pada K1 (perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit 40 g : 22 g) yaitu sebesar 3.000, aroma tertinggi terdapat pada perlakuan K4 (perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit 34 g : 28 g) yaitu sebesar 3.113 dan terendah terdapat pada K1 (perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit 40 g : 22 g) yaitu sebesar 2.575, rasa tertinggi terdapat pada perlakuan K4 (perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit 34 g : 28 g) yaitu sebesar 3.050 dan terendah terdapat pada K1 (perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit 40 g : 22 g) yaitu sebesar 2.925.

Pengaruh Suhu Pemanasan terhadap Parameter yang Diamati

Secara umum hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa suhu pemanasan memberikan pengaruh terhadap kadar air, kadar abu, kadar lemak, daya oles dalam air, dan uji organoleptik terhadap aroma, warna,dan rasa.


(42)

Tabel 8. Pengaruh suhu pemanasan terhadap parameter yang diamati

Perlakuan Kadar Air (%)

Kadar Abu (%)

Kadar Lemak (%)

Daya Oles (Numerik)

Uji Organoleptik (Numerik) Aroma Warna Rasa 50 oC 42.350 8.083 25.168 3.313 2.750 3.063 2.938 55 oC 42.075 8.375 25.875 3.238 2.825 3.050 2.950 60 oC 40.975 8.625 26.335 3.063 2.975 3.038 3.013 65 oC 40.975 9.000 26.876 2.875 3.063 3.025 3.050

Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa suhu pemanasan memberikan pengaruh terhadap parameter yang diamati. Persentase kadar air tertinggi terdapat pada perlakuan P1 (suhu pemanasan 50 oC) yaitu sebesar 42.350 % dan terendah terdapat pada P3 dan P4 (suhu pemanasan 60 oC dan 65 oC) yaitu sebesar 40.975 %, kadar abu tertinggi terdapat pada perlakuan P4 (suhu pemanasan 60 oC) yaitu sebesar 9 % dan terendah terdapat pada P1 (suhu pemanasan 50 oC) yaitu sebesar 8.083%, kadar lemak tertinggi terdapat pada perlakuan P4 (suhu pemanasan 65 oC) yaitu sebesar 26,876 % dan terendah terdapat pada P1 (suhu pemanasan 50 oC) yaitu sebesar 25.168 %, daya oles tertinggi terdapat pada perlakuan P2 (suhu pemanasan 55 oC) yaitu sebesar 3.313 dan terendah terdapat pada P4 (suhu pemanasan 65 oC) yaitu sebesar 2.875, aroma tertinggi terdapat pada perlakuan P4 (suhu pemanasan 65 oC) yaitu sebesar 3.063 dan terendah terdapat pada P1 (suhu pemanasan 50 oC) yaitu sebesar 2,750, dan uji organoleptik (numerik) warna tertinggi terdapat pada perlakuan P1 (suhu pemanasan 50 oC) yaitu sebesar 3,063 dan terendah terdapat pada P4 (suhu pemanasan 65 oC) yaitu sebesar 3.025, rasa tertinggi terdapat pada perlakuan P4 (suhu pemanasan 65 oC) yaitu sebesar 3.050 dan terendah terdapat pada P1 (suhu pemanasan 50 oC) yaitu sebesar 2.938.

Hasil analisa statistik analisa untuk masing-masing parameter yang diamati dapat dijelaskan sebagai berikut:


(43)

Kadar Air

Pengaruh perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit terhadap kadar air

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 1 dapat dilihat bahwa perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap kadar air selai cokelat yang dihasilkan, sehingga uji dengan LSR tidak dilanjutkan.

Pengaruh suhu pemanasan terhadap kadar air

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 1 dapat dilihat bahwa suhu pemanasan memberi pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap kadar air selai cokelat yang dihasilkan, sehingga uji dengan LSR tidak dilanjutkan.

Pengaruh interaksi antara perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit dan suhu pemanasan terhadap kadar air

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 1 dapat dilihat bahwa interaksi antara perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit dan suhu pemanasan memberi pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap kadar air selai cokelat yang dihasilkan, sehingga uji dengan LSR tidak dilanjutkan.

Kadar Abu

Pengaruh perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit terhadap kadar abu

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 2 dapat dilihat bahwa perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar abu selai cokelat yang dihasilkan. Hasil pengujian dengan uji LSR menunjukkan pengaruh perbandingan tepung cokelat


(44)

dengan minyak sawit terhadap kadar abu untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 9 berikut :

Tabel 9 . Uji LSR efek utama pengaruh perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit terhadap kadar abu

Perlakuan LSR Perbandingan Tepung Cokelat Rataan (%)

Notasi

0.05 0.01 dengan Minyak Sawit (K) 0.05 0.01

- - - 40 g : 22 g 9.000 a A

2 0,198 0,272 38 g : 24 g 8.833 a AB

3 0,208 0,286 36 g : 26 g 8.583 b BC

4 0,213 0,293 34 g : 28 g 7.667 c D

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda antar baris menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil)dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar) menurut uji LSR.

Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa perlakuan K1 berbeda nyata terhadap K2 dan berbeda sangat nyata terhadap perlakuan K3 dan K4. Perlakuan K2 berbeda sangat nyata dengan perlakuan K3 dan K4. Perlakuan K3 berbeda sangat nyata dengan perlakuan K4. Kadar abu tertinggi terdapat pada perlakuan K1 yaitu sebesar 9,000 % dan terendah terdapat pada perlakuan K4 yaitu sebesar 7,667 %.

Hubungan antara perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit terhadap kadar abu dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini:

Gambar 2. Histogram pengaruh perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit terhadap kadar abu.

7.0 7.5 8.0 8.5 9.0 9.5

40 g : 22 g 38 g : 24 g 36 g : 26 g 34 g : 28 g

Tepung Kakao : Minyak Sawit

K ad ar A b u ( % ) 0


(45)

Dari Gambar 2 dapat dilihat, semakin sedikit konsentrasi tepung cokelat maka kadar abu akan semakin menurun. Konsentrasi tepung cokelat yang tinggi akan menyebabkan kadar abu pada selai cokelat akan semakin tinggi, sehingga kadar abu yang diperoleh adalah bekas dari pembakaran tepung cokelat yang digunakan, ini mengakibatkan kadar abu akan semakin kecil apabila konsentrasi minyak sawitnya semakin tinggi dan konsentrasi tepung cokelatnya semakin rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Janner (2010) yang menyatakan bahwa semakin sedikit tepung cokelat yang digunakan dalam suatu produk maka nilai kadar abu yang diperoleh akan semakin kecil. Didalam 100 gram tepung cokelat mengandung 4 gram mineral, 400 mg potasium, 15 mg magnesium, 50 mg kalsium, 375 mg posfor, 12 mg sodium, dan sedikit flour.

Pengaruh suhu pemanasan terhadap kadar abu

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 2 dapat dilihat bahwa suhu pemanasan selai cokelat memberi pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar abu selai cokelat yang dihasilkan. Hasil pengujian dengan uji LSR menunjukkan pengaruh suhu pemanasan terhadap kadar abu untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 10 berikut :

Tabel 10 . Uji LSR efek utama pengaruh suhu pemanasan terhadap kadar abu

Perlakuan LSR Suhu Pemanasan (P) Rataan

(%)

Notasi

0.05 0.01 0.05 0.01

- - - 50 oC 8.083 c C

2 0,198 0,272 55 oC 8.375 b B

3 0,208 0,286 60 oC 8.625 b B

4 0,213 0,293 65 oC 9.000 a A

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda antar baris menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil)dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar) menurut uji LSR.


(46)

Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa perlakuan P1 berbeda sangat nyata terhadap P2, P3 dan P4. Perlakuan P2 tidak berbeda nyata dengan perlakuan P3 dan berbeda sangat nyata terhadap P4. Perlakuan P3 berbeda sangat nyata dengan perlakuan P4. Kadar Abu tertinggi terdapat pada perlakuan P4 yaitu sebesar 9 % dan terendah terdapat pada perlakuan P1 yaitu sebesar 8.083 %.

Hubungan antara perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit terhadap kadar abu dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini:

Gambar 3. Grafik pengaruh suhu pemanasan terhadap kadar abu

Dari Gambar 3 dapat dilihat, semakin tinggi suhu pemanasan maka kadar abu akan semakin meningkat. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, bahwa semakin tinggi suhu pemanasan maka semakin banyak sisa pengabuan dari bahan. Dapat dilihat pada perlakuan dengan suhu 50 oC, kadar abu pada bahan lebih sedikit daripada dengan menggunakan suhu 65 oC. Hal ini terjadi karena suhu pemanasan memberikan pengaruh terhadap kadar abu, sehingga diperoleh pada produk yang diberikan pemanasan paling tinggi (65 oC), akan menyisakan kandungan mineral yang besar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Janner (2010) yang menyatakan suhu pemanasan akan memberikan pengaruh terhadap kadar abu

Ŷ = 0.06p + 5.0716 r = 0.9931

7.4 7.7 8.0 8.3 8.6 8.9 9.2

30 45 60 75

Suhu Pemanasan (°C)

K a d a r A b u ( % )


(47)

dalam suatu bahan, hal ini disebabkan suhu pemanasan akan menyebabkan senyawa organik kompleks dalam selai cokelat akan terdegradasi dalam bentuk senyawa organik yang lebih sederhana dan hal ini mempermudah pengeluaran air dan ekstraksi lemak.

Pengaruh interaksi antara perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit dan suhu pemanasan terhadap kadar abu

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 2 dapat dilihat bahwa interaksi antara perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit dan suhu pemanasan selai cokelat memberi pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap kadar abu selai cokelat yang dihasilkan, sehingga uji dengan LSR tidak dilanjutkan.

Kadar Lemak

Pengaruh perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit terhadap kadar lemak

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 3 dapat dilihat bahwa perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar lemak se;ai cokelat yang dihasilkan. Hasil pengujian dengan uji LSR menunjukkan pengaruh perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit terhadap kadar lemak untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 11 berikut:


(48)

Tabel 11. Uji LSR efek utama pengaruh perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit terhadap kadar lemak

Perlakuan LSR Perbandingan Tepung Cokelat Rataan (%)

Notasi

0.05 0.01 dengan Minyak Sawit (K) 0.05 0.01

- - - 40 g : 22 g 24,960 c C

2 0,839 1,115 38 g : 24 g 25,001 c C

3 0,881 1,214 36 g : 26 g 26,501 b B

4 0,903 1,244 34 g : 28 g 27,791 a A

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda antar baris menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil)dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar) menurut uji LSR.

Dari Tabel 11 dapat dilihat bahwa perlakuan K1 berbeda sangat nyata terhadap perlakuan K2, K3 dan K4. Perlakuan K2 berbeda sangat nyata dengan perlakuan K3 dan K4. Perlakuan K3 tidak berbeda nyata dengan perlakuan K4. Kadar lemak tertinggi terdapat pada perlakuan K4 yaitu sebesar 27,791 dan terendah terdapat pada perlakuan K1 yaitu sebesar 24,960.

Hubungan antara perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit terhadap kadar lemak dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini:

Gambar 4. Histogram pengaruh perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit terhadap kadar lemak.

Dari Gambar 4 dapat dilihat, semakin rendah konsentrasi tepung cokelat dan semakin tinggi konsentrasi minyak yang digunakan pada pembuatan selai


(49)

cokelat, maka kadar lemak akan semakin meningkat. Hal ini terjadi karena minyak sawit memiliki kandungan lemak yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kristott (2003) yang dikutip Rhamadan (2007), yang menyatakan bahwa minyak sawit memiliki asam lemak palmitat dalam jumlah yang cukup besar dibandingkan minyak jagung dan minyak kacang tanah.

Pengaruh suhu pemanasan terhadap kadar lemak

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 3 dapat dilihat bahwa suhu pemanasan selai cokelat memberi pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar lemak selai cokelat yang dihasilkan. Hasil pengujian dengan uji LSR menunjukkan pengaruh suhu pemanasan terhadap kadar lemak untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 12 berikut :

Tabel 12. Uji LSR efek utama pengaruh suhu pemanasan terhadap kadar lemak

Perlakuan LSR Suhu Pemanasan (P) Rataan

(%)

Notasi

0.05 0.01 0.05 0.01

- - - 50 oC 25,168 c B

2 0,839 1,155 55 oC 25,875 bc AB

3 0,881 1,214 60 oC 26,335 ab AB

4 0,903 1,244 65 oC 26,876 a A

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda antar baris menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil)dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar) menurut uji LSR.

Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa perlakuan P1 berbeda sangat nyata terhadap P2, P3 dan P4. Perlakuan P2 berbeda nyata dengan perlakuan P3 dan berbeda sangat nyata terhadap P4. Perlakuan P3 berbeda nyata dengan perlakuan P4. Kadar lemak tertinggi terdapat pada perlakuan P4 yaitu sebesar 26,876 dan terendah terdapat pada perlakuan P1 yaitu sebesar 25,168.


(50)

Hubungan antara perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit terhadap kadar lemak dapat dilihat pada Gambar 5 berikut ini:

Gambar 5. Grafik pengaruh suhu pemanasan terhadap kadar lemak

Dari Gambar 5 dapat dilihat, semakin tinggi suhu pemanasan maka kadar lemak akan semakin meningkat. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, bahwa semakin tinggi suhu pemanasan maka kandungan lemak dari tepung cokelat dan minyak sawit akan mulai meningkat jika temperaturnya dinaikkan, jumlah penggunaan minyak sawit pada pembuatan produk juga menentukan konsentrasi kadar lemak yang dihasilkan. Semakin tingginya suhu pemanasan pada pembuatan produk maka kadar lemaknya juga semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kristott (2003) yang dikutip Rhamadan (2007), yang menyatakan bahwa minyak sawit memiliki asam lemak palmitat dalam jumlah yang cukup besar, asam lemak palmitat memiliki titik leleh yang tinggi sehingga akan meningkatkan total kandungan lemak pada produk yang dihasilkannya.

Ŷ = 0.1117p + 19.639 r = 0.9922

23.5 24.0 24.5 25.0 25.5 26.0 26.5 27.0 27.5

30 45 60 75

Suhu Pemanasan (°C)

K a d a r L em ak ( % )


(51)

Pengaruh interaksi antara perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit dan suhu pemanasan terhadap kadar lemak

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 3 dapat dilihat bahwa interaksi antara perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit dan suhu pemanasan selai cokelat memberi pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap kadar lemak selai cokelat yang dihasilkan, sehingga uji dengan LSR tidak dilanjutkan.

Penentuan Daya oles

Pengaruh perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit terhadap daya oles

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 4 dapat dilihat bahwa suhu pemanasan memberi pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap daya oles selai cokelat yang dihasilkan. Hasil pengujian dengan uji LSR menunjukkan perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit terhadap daya oles untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 13 berikut :

Tabel 13 Uji LSR efek utama pengaruh perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit terhadap daya oles

Perlakuan LSR Perbandingan Tepung Cokelat Rataan (Numerik)

Notasi

0.05 0.01 dengan Minyak Sawit (K) 0.05 0.01

- - - 40 g : 22 g 2,738 d D

2 0.068 0.093 38 g : 24 g 3,063 c C

3 0.071 0.098 36 g : 26 g 3,238 b B

4 0.073 0.100 34 g : 28 g 3,450 a A

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda antar baris menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil)dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar) menurut uji LSR.

Dari Tabel 13 dapat dilihat bahwa perlakuan P1 berbeda sangat nyata terhadap P2, P3 dan P4. Perlakuan P2 berbeda sangat nyata dengan perlakuan P3 dan P4. Perlakuan P3 berbeda sangat nyata dengan perlakuan P4. daya oles


(52)

tertinggi terdapat pada perlakuan P4 yaitu sebesar 3,450 dan terendah terdapat pada perlakuan P1 yaitu sebesar 2,738.

Hubungan antara perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit terhadap daya oles dapat dilihat pada Gambar 6 berikut ini:

Gambar 6. Histogram pengaruh perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit terhadap daya oles

Dari Gambar 6 dapat dilihat, pada konsentrasi tepung cokelat paling tinggi dan konsentrasi minyak sawit paling rendah menghasilkan nilai daya oles yang paling rendah dan pada perlakuan dimana konsentrasi minyak sawit paling tinggi, memiliki nilai daya oles paling bagus. Hal ini menjelaskan bahwa minyak sawit berfungsi sebagai pengikat bahan, dimana semakin tinggi konsentrasi minyak sawit yang digunakan maka viskositas dari selai cokelat akan semakin rendah, sehingga selai cokelat yang dihasilkan menjadi semakin lembut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kumara (2003), minyak yang digunakan pada produk-produk coklat akan memberikan sifat kemudahan mengalir dan mencegah kelengketan pada larutan.


(53)

Pengaruh suhu pemanasan terhadap daya oles

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 4 dapat dilihat bahwa suhu pemanasan selai cokelat memberi pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap daya oles selai cokelat yang dihasilkan. Hasil pengujian dengan uji LSR menunjukkan pengaruh suhu pemanasan terhadap daya oles untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 14 berikut :

Tabel 14. Uji LSR efek utama pengaruh suhu pemanasan terhadap daya oles

Perlakuan LSR Suhu Pemanasan (P) Rataan

(Numerik)

Notasi

0.05 0.01 0.05 0.01

- - - 50 oC 3.313 a A

2 0,839 1,155 55 oC 3.238 ab AB

3 0,881 1,214 60 oC 3.063 bc AB

4 0,903 1,244 65 oC 2.875 c B

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda antar baris menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil)dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar) menurut uji LSR.

Dari Tabel 14 dapat dilihat bahwa perlakuan P1 berbeda sangat nyata terhadap P2, P3 dan P4. Perlakuan P2 berbeda nyata dengan perlakuan P3 dan berbeda sangat nyata terhadap P4. Perlakuan P3 berbeda nyata dengan perlakuan P4. Daya oles tertinggi terdapat pada perlakuan P4 yaitu sebesar 3.313 dan terendah terdapat pada perlakuan P1 yaitu sebesar 2.875.


(54)

Hubungan antara perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit terhadap daya oles dapat dilihat pada Gambar 7 berikut ini:

Gambar 7. Grafik pengaruh suhu pemanasan terhadap daya oles

Dari Gambar 7 dapat dilihat, semakin tinggi suhu pemanasan maka daya oles akan semakin menurun. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, bahwa semakin tinggi suhu pemanasan maka selai cokelat yang dihasilkan memiliki daya oles yang jelek. Hal ini menjelaskan bahwa suhu pemanasan sangat mempengaruhi viskositas dari produk. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rhamadan (2007) yang menyatakan bahwa, suhu pengadukan krim pengisi coklat pada 45 oC mampu menghasilkan krim pengisi coklat yang sesuai dengan viskositas standar perusahaan. Sedangkan suhu 55 oC terlalu tinggi untuk memproduksi krim pengisi coklat.

Pengaruh interaksi antara perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit dan suhu pemanasan terhadap daya oles

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 4 dapat dilihat bahwa interaksi antara perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit dan suhu

Ŷ = -0,0298p + 4,8325 r = -0,9689

2.5 2.6 2.7 2.8 2.9 3.0 3.1 3.2 3.3 3.4

30 45 60 75

Suhu Pemanasan (°C)

P e n en tu a n D ay a O le s ( N u m e ri k )


(55)

pemanasan memberi pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap daya oles selai cokelat yang dihasilkan, sehingga uji dengan LSR tidak dilanjutkan.

Uji Organoleptik Rasa

Pengaruh perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit terhadap uji organoleptik rasa

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 5 dapat dilihat bahwa perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap uji organoleptik rasa selai cokelat yang dihasilkan. Hasil pengujian dengan uji LSR menunjukkan pengaruh perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit terhadap rasa untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 15 berikut :

Tabel 15. Uji LSR efek utama pengaruh perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit terhadap uji organoleptik rasa

Perlakuan LSR Perbandingan Tepung Cokelat Rataan (Numerik)

Notasi

0.05 0.01 dengan Minyak Sawit (K) 0.05 0.01

- - - 40 g : 22 g 3.050 a A

2 0.038 0.052 38 g : 24 g 3.038 a A

3 0.039 0.054 36 g : 26 g 2.938 b B

4 0.040 0.056 34 g : 28 g 2.925 b B

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda antar baris menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil)dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar) menurut uji LSR.

Dari Tabel 15 dapat dilihat bahwa perlakuan K1 tidak berbeda nyata terhadap K2 dan berbeda sangat nyata terhadap perlakuan K3 dan K4. Perlakuan K2 berbeda sangat nyata dengan perlakuan K3 dan K4. Perlakuan K3 tidak berbeda nyata dengan perlakuan K4. Warna tertinggi terdapat pada perlakuan K3 yaitu sebesar 3,550 dan terendah terdapat pada perlakuan K1 yaitu sebesar 1,850.

Hubungan antara perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit terhadap uji organoleptik rasa dapat dilihat pada Gambar 8 berikut ini:


(56)

Gambar 8. Histogram pengaruh perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit terhadap uji organoleptik rasa

Dari Gambar 8 dapat dilihat menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi tepung cokelat dan semakin rendahnya konsentrasi minyak sawit maka cita rasa selai cokelat yang dihasilkan semakin baik. Pada perlakuan yang menggunakan konsentrasi minyak sawit yang paling tinggi, hasilnya kurang disukai oleh panelis. Hal ini dijelaskan sebagai berikut, semakin tinggi konsentrasi minyak sawit yang digunakan maka rasa cokelat yang diharapkan pada pembuatan selai cokelat semakin menurun. Selai cokelat yang dihasilkan memiliki citarasa minyak sawit, namun karena citarasa yang diharapkan dalam pembuatan selai cokelat adalah rasa cokelat maka nilai uji organoleptiknya menurun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ketaren (1987), yang menyatakan bahwa, pada pembuatan beberapa produk, minyak dan lemak umumnya mempunyai flavour yang tidak enak, sehingga harus digunakan dalam jumlah yang pas.


(57)

Pengaruh suhu pemanasan terhadap uji organoleptik rasa

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 5 dapat dilihat bahwa suhu pemanasan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap uji organolepti rasa selai cokelat yang dihasilkan. Hasil pengujian dengan uji LSR menunjukkan pengaruh suhu pemanasan terhadap rasa untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 17 berikut :

Tabel 16. Uji LSR efek utama pengaruh suhu pemanasan terhadap uji organoleptik rasa

Perlakuan

LSR

Suhu Pemanasan (P) Rataan (Numerik)

Notasi

0.050 0.010 0.05 0.01

- - - 50 oC 2.613 c C

2 0.109 0.151 55 oC 2.825 b B

3 0.115 0.158 60 oC 3.025 a A

4 0.118 0.162 65 oC 3.088 a A

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda antar baris menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil)dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar) menurut uji LSR.

Dari Tabel 16 dapat dilihat bahwa perlakuan P1 berbeda sangat nyata terhadap perlakuan P2, P3 dan P4. Perlakuan P2 berbeda sangat nyata dengan perlakuan P3 dan P4. Perlakuan P3 tidak berbeda nyata dengan perlakuan P4. Rasa tertinggi terdapat pada perlakuan P4 yaitu sebesar 3,088 dan terendah terdapat pada perlakuan P1 yaitu sebesar 2,613.


(58)

Hubungan antara lama pemanasan terhadap uji organoleptik rasa mengikuti garis regresi linier seperti terlihat pada Gambar 9 berikut ini:

Gambar 9. Grafik pengaruh suhu pemanasan terhadap uji organoleptik rasa Dari Gambar 9 dapat dilihat, semakin tinggi suhu pemanasan maka nilai uji organoleptik rasa selai cokelat yang dihasilkan semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat pada tabel bahwa pada pembuatan selai cokelat dengan perlakuan menggunakan suhu 65 oC diperoleh nilai uji organoleptik rasa yang paling tinggi.

Hal ini terjadi oleh karena suhu pemanasan mampu mengembangkan rasa dari produk olahan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rhamadan (2007) yang menyatakan bahwa, komponen citarasa khas cokelat terbentuk selama proses pemanasan karena pada saat pemanasan, senyawa-senyawa calon pembentuk citarasa bereaksi satu sama lain, menghasilkan komponen-komponen mudah menguap dan beraroma khas coklat.

Ŷ = 0.008x + 2.5289 r = 0.9462

2.80 2.85 2.90 2.95 3.00 3.05 3.10

30 45 60 75

Suhu Pemanasan (°C)

U ji O rg a n o le p tik R a sa ( N u m e rik


(59)

Pengaruh interaksi antara perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit dan suhu pemanasan terhadap nilai uji organoleptik rasa

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 5 dapat dilihat bahwa interaksi antara perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit dan suhu pemanasan memberi pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap uji organoleptik rasa selai cokelat yang dihasilkan, sehingga uji dengan LSR tidak dilanjutkan.

Uji Organoleptik Aroma

Pengaruh perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit terhadap uji organoleptik aroma

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 6 dapat dilihat bahwa perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap uji organoleptik aroma selai cokelat yang dihasilkan. Hasil pengujian dengan uji LSR menunjukkan pengaruh perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit terhadap aroma untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 17 berikut :

Tabel 17. Uji LSR Efek utama pengaruh perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit terhadap uji organoleptik aroma

Perlakuan LSR Perbandingan Tepung Cokelat Rataan (Numerik)

Notasi

0.05 0.01 dengan Minyak Sawit (K) 0.05 0.01

- - - 40 g : 22 g 2.888 b B

2 0.046 0.063 38 g : 24 g 2.900 a A

3 0.048 0.066 36 g : 26 g 3.000 a A

4 0.049 0.068 34 g : 28 g 3.013 a A

keterangan : Notasi huruf yang berbeda antar baris menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil)dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar) menurut uji LSR

Dari Tabel 17 dapat dilihat bahwa perlakuan K1 berbeda sangat nyata terhadap perlakuan K2, K3 dan K4. Perlakuan K2 tidak berbeda nyata dengan perlakuan K3 dan K4. Perlakuan K3 tidak berbeda nyata dengan perlakuan K4. Uji


(60)

organoleptik aroma tertinggi terdapat pada perlakuan K4 yaitu sebesar 3.013 dan terendah terdapat pada perlakuan K1 yaitu sebesar 2.888.

Hubungan antara perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit terhadap uji organoleptik aroma dapat dilihat pada Gambar 10 berikut ini :

Gambar 10. Histogram pengaruh perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit terhadap uji organoleptik aroma

Dari Gambar 10 dapat dilihat, bahwa semakin rendah konsentrasi tepung cokelat dan semakin tingginya konsentrasi minyak sawit maka uji organoleptik aromanya akan semakin meningkat, hal ini disebabkan karena pada pembuatan selai cokelat ini digunakan tepung cokelat dengan kualitas rendah. Aroma bawaan dari tepung cokelat berkualitas rendah tersebut tidak begitu disukai, namun karena penambahan dari minyak sawit yang digunakan mampu untuk mengurangi aroma yang tidak disukai tersebut. Aroma dari selai cokelat yang dihasilkan menjadi agak beraroma minyak sawit dimana minyak sawit yang digunakan memiliki aroma yang disukai panelis. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ketaren (1987) yang menyatakan bahwa bau khas minyak kelapa sawit ditimbulkan oleh persenyawaan beta ionone.


(61)

Pengaruh suhu pemanasan terhadap uji organoleptik aroma

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 6 dapat dilihat bahwa perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap uji organoleptik aroma selai cokelat yang dihasilkan. Hasil pengujian dengan uji LSR menunjukkan pengaruh suhu pemanasan terhadap aroma untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 18 berikut :

Tabel 18. Uji LSR efek utama pengaruh suhu pemanasan terhadap uji organoleptik aroma

Perlakuan LSR Suhu Pemanasan (P) Rataan

(Numerik)

Notasi

0.05 0.01 0.05 0.01

- - - 50 oC 2.863 c C

2 0.046 0.063 55 oC 2.938 b B

3 0.048 0.066 60 oC 3.975 a A

4 0.049 0.068 65 oC 3.025 a A

keterangan : Notasi huruf yang berbeda antar baris menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil)dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar)

menurut uji LSR

Dari Tabel 18 dapat dilihat bahwa perlakuan P1 berbeda sangat nyata terhadap perlakuan P2, P3 dan P4. Perlakuan P2 berbeda sangat nyata dengan perlakuan P3 dan P4. Perlakuan P3 tidak berbeda nyata dengan perlakuan P4. Aroma tertinggi terdapat pada perlakuan P3 yaitu sebesar 3,175 dan terendah terdapat pada perlakuan P1 yaitu sebesar 2,550.


(62)

Hubungan antara suhu pemanasan selai cokelat dengan aroma mengikuti garis regresi linier seperti terlihat pada Gambar 11 berikut ini :

Gambar 11. Grafik hubungan pengaruh suhu pemanasan terhadap uji organoleptik aroma

Dari Gambar 11 dapat dilihat semakin tinggi suhu pemanasan maka nilai uji organoleptik aroma juga semakin besar. Pada pengolahan pangan suhu pemanasan dapat mempengaruhi aroma dari produk olahannya. Seperti pada pembuatan selai cokelat, pada suhu 65oC mempunyai skor uji organoleptik yang paling tinggi, hal ini terjadi karena suhu pemanasan dapat menarik aroma khas cokelat yang disukai oleh panelis. Oleh karena pada penelitian ini menggunakan minyak goreng dengan teknologi dua kali penyaringan sehingga tidak memiliki bau khas minyak sawit yg pekat, maka selai cokelat yang dihasilkan akan lebih baik dari segi aroma. Hal ini sesuai dengan pernyataan Desroiser (2008) yang menyatakan bahwa, minyak-minyak makan yang berkualitas tinggi mempunyai citarasa yang manis, gurih, aroma yang menarik dan dengan kenampakan yang cerah.

Ŷ = 0.0105p + 2.3463

r = 0.98

2.75 2.80 2.85 2.90 2.95 3.00 3.05

30 45 60 75

Suhu Pemanasan (°C)

U ji O rga nol ept ik A rom a (N um eri k)


(63)

Pengaruh interaksi antara perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit dan suhu pemanasan terhadap nilai uji organoleptik aroma

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 7 dapat dilihat bahwa interaksi antara perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit dan suhu pemanasan memberi pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap uji organoleptik aroma selai cokelat yang dihasilkan, sehingga uji dengan LSR tidak dilanjutkan.

Uji Organoleptik Warna

Pengaruh perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit terhadap uji organoleptik warna

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 7 dapat dilihat bahwa perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap uji organoleptik warna selai cokelat yang dihasilkan. Hasil pengujian dengan uji LSR menunjukkan pengaruh perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit terhadap uji organoleptik aroma untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 19 berikut :

Tabel 19. Uji LSR Efek utama pengaruh perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit terhadap uji organoleptik warna

Perlakuan LSR Perbandingan Tepung Cokelat Rataan (Numerik)

Notasi

0.05 0.01 dengan Minyak Sawit (K) 0.05 0.01

- - - 40 g : 22 g 3.000 c C

2 0.027 0.037 38 g : 24 g 3.013 c C

3 0.028 0.038 36 g : 26 g 3.063 b B

4 0.029 0.039 34 g : 28 g 3.100 a A

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda antar baris menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil)dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar) menurut uji LSR

Dari Tabel 19 dapat dilihat bahwa perlakuan K1 tidak berbeda nyata terhadap T2 dan berbeda sangat nyata terhadap perlakuan K3 dan K4. Perlakuan K2 berbeda sangat nyata dengan perlakuan K3 dan K4. Perlakuan K3 tidak berbeda


(1)

Pengaruh suhu pemanasan terhadap uji organoleptik warna

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 7 dapat dilihat bahwa suhu pemanasan selai cokelat memberi pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap uji organoleptik warna selai cokelat yang dihasilkan, sehingga uji dengan LSR tidak dilanjutkan.

Pengaruh interaksi antara perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit dan suhu pemanasan terhadap uji organoleptik warna

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 7 dapat dilihat bahwa interaksi antara perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit dan suhu pemanasan memberi pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap uji organoleptik warna selai cokelat yang dihasilkan, sehingga uji dengan LSR tidak dilanjutkan.


(2)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa pengaruh perbandingan tepung kakao dengan minyak sawit dan suhu pemanasan yang digunakan terhadap mutu selai cokelat terhadap parameter yang diamati memberikan kesimpulan sebagai berikut :

1. Perbandingan tepung kakao dan minyak sawit memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar abu, kadar lemak, daya oles dan nilai organoleptik (aroma, rasa dan warna), tetapi memberikan pengaruh berbeda tidak nyata terhadap kadar air.

2. Suhu pemanasan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar abu, kadar lemak, daya oles dan nilai organoleptik (aroma dan rasa), tetapi memberikan pengaruh berbeda tidak nyata terhadap kadar air dan uji organoleptik warna.

3. Interaksi antara pengaruh perbandingan tepung kakao dengan minyak sawit dan suhu pemanasan yang digunakan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata terhadap kadar air, kadar abu, kadar lemak dan uji organoleptik (aroma rasa dan warna).


(3)

Saran

1. Untuk mendapatkan selai cokelat yang terbaik disarankan untuk menggunakan perbandingan tepung kakao dengan minyak sawit 34 g : 28 g dengan suhu 50 oC.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh mutu tepung kakao dan minyak sawit yang digunakan terhadap mutu selai cokelat.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H.C, 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, edisi ke-4. UI-Press, Jakarta.

AOAC, 1984. Official Method and Analysis of The Association of The Official Analitical Chemist, 11th Edition. Washington D.C.

Bangun, M. K., 1991. Rancangan Percobaan. Bagian Biometer Fakultas Pertanian. USU-Press, Medan.

Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet and M. Wootton, 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan H. Purnomo dan Adiono. UI-Press, Jakarta.

Desrosier, N. W., 2008. Teknologi Pengawetan Pangan. Terjemahan M. Muljoharjo. UI-Press, Jakarta.

De Zaan, 1975. Cocoa Powder and Nutritional Labelling. Technical Information, Bull. Vol. 11, No. 75.

Direktorat Bina Pengolahan dan Pemasaran hasil Pertanian, 2004. Pembuatan Selai.

Djatmiko, B. dan T. Wahyudi, 1986. Aspek Pengolahan dan Mutu Coklat Lindak dan Mulia. Balai Penelitian Perkebunan Jember, Jawa Timur.

Hudayah, H., 1985. Evaluasi Standar Coklat. Pertemuan Teknis Penetapan Standar (Khusus Coklat). Direktorat Standarisasi dan Pengendalian Mutu, Depdag RI-Jakarta.

Ketaren,S., 1987. Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press, Jakarta.

Margono, T., D. Suryati dan S. Hartinah, 2007. Selai dan jelly Buah.

Muchtadi, T,R., 2000. Asam Lemak Omega 9 dan Manfaatnya Bagi Kesehatan.

Nasution, Z., 1976. Pengolahan Cokelat, Departemen Teknologi Hasil Pertanian. IPB-Press, Bogor.

Poedjiwidodo, M. S., 1996. Sambung Samping Kakao. Trubus Agriwidya, Jawa Tengah.


(5)

Purba, A. dan H. Rusmarilin, 1985. Dasar Pengolahan Pangan. USU-Press, Medan.

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 45, 2009. Pemerintah Terapkan SNI Wajib pada Produk Kakao Bubuk. 2011]

Soekarto, S. T., 1985. Penilaian Organoleptik untuk Pangan dan Hasil Pertanian. Bhatara Karya Aksara, Jakarta.

Spillane, J.J., 1995. Komoditi Kakao Peranannya Dalam Perekonomian Indonesia. Kanisius, Yogyakarta.

Standar Nasional Indonesia, 2000. Standarisasi Mutu Coklat Indonesia. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.

Sudarmadji, S., B. Haryono dan Suhardi, 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta.

Suprapti, L., 2000. Membuat Saus Tomat. Trubus Agrisana. Jakarta

Susanto, F.X., 1994. Tanaman Kakao Budidaya dan Pengolahan Hasil. Kanisius, Yogyakarta.

Tim Penulis PS, 1992. Kelapa Sawit. Penebar Swadaya. Jakarta.

Tokocsc, 2004. Susu Bubuk Full Cream. 2011].

Tranggono, Sutardi, Haryadi, Suparno, A. Mudijati, S., Sudarmadji, K. Rahayu, S. Nanik dan M. Astuti. 1990. Bahan Tambahan Pangan (Food Additive). PAU Pangan dan Gizi UGM. Yogyakarta.

Viskil, H. J., 1980. Cocoa, Kumpulan Makalah. Konferensi Coklat Nasional II, Medan.

Wade, Ainley, and Paul J. Weller., 1994, Handbook of Pharmaceutical

Recipients, second edition, American Pharmaceutical Association,

Washington.

Widayanto, D., 2009. Mengenali Garam dapur. [22 Agustus 2009].

Widyotomo, S, Sri Mulato, dan Handaka. 2004. Mengenal Lebih Dalam Teknologi Pengolahan Biji Kakao. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Vol. 26 No. 2.


(6)

Wikipedia, 2008b. Susu Bubuk Full Cream. [10 Maret 2011].

Winarno, F.G., 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wood, G.A.R., 1987. From Harvest To Store. In Cocoa Fourth Editian. Longman

Scientific and Technical. Copublished in The United State with John Willey and Sons. Inc, New York.