Undang-undang Penyiaran di Indonesia
40 “Tidak ada siaran televisi selain TVRI saat itu, maka begitu kran
deregulasi di bidang pertelevisian dibuka lebar-lebar dan muncul beberapa stasiun TV swasta barulah masyarakat mendapatkan
beberapa alternatif tayangan, terutama acara berita. Terasa sekali setelah kurang lebih 32 tahun masyarakat Indonesia dijejali dengan
informasi „pesanan‟ yang disiarkan lewat pemberitaan TVRI, tiba-tiba disuguhi beragam berita yang tidak melulu mengenai seremonial.
Bertahannya pemerintahan orde baru yang berkuasa hampir 32 tahun itu adalah contoh dari peran politik monopoli penyiaran di Indonesia
yang begitu kuat yakni keleluasaan untuk menyajikan berita-berita pembangunan yang hanya bersumber dari
pejabat negara.”
3
Oleh karenanya, hampir 32 tahun selalu di suguhi model-model
propaganda melalui program acara pembangunan di TVRI yang tidak lain
hanya memberitakan
keberhasilan pemerintah
dalam pembangunan nasional. Bukanlah hal yang mustahil bila kelanggengan
pemerintahan orde baru tidak lepas dari peran politik pemberitaan TVRI. Peran ini lebih ditonjolkan pada orientasi pemberitaan yang
berbau seremonial. Mulailah kebebasan mendapatkan informasi yang transparan berlaku di negara ini, sampai akhirnya penonton atau
masyarakat bisa memilih acara berita dari 11 stasiun televisi swasta.
4
Di era orde baru memang peran media khususnya media penyiaran baik RRI maupun TVRI belumlah menunjukkan fungsi sosial dengan
sempurna karena intervensi politik kekuasaan pada waktu itu. Sebenarnya pada waktu itu Departemen Penerangan Deppen telah
mengedepankan fungsi media RRI dan TVRI yang sebenarnya dalam rangka meningkatkan peran sosial RRI dan TVRI dengan melegitimasi
forum media seperti kelompencapir sebagai media belajar masyarakat, tetapi dalam pelaksanaannya belumlah optimal karena masuknya
3
Askurifai Baksin, Jurnalistik Televisi Teori dan Praktik, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2006, cet ke-1, h.27.
4
Askurifai Baksin, Jurnalistik Televisi Teori dan Praktik, cet ke-1, h.27.
41
kepentingan politik di dalamnya. Sehingga keberadaan kelompencapir sering memunculkan pomeo sebagai upaya penggalangan massa cara
untuk kepentingan politik dan kekuasaan.
5
Bila di bandingkan dengan negara-negara di barat, bahwa peran media di negara tersebut sangat penting. Sebagai alat kontrol, sehingga
televisi di barat terbiasa dengan menampilkan berita-berita miring tentang beberapa elemen di pemerintahan. Hal ini sangat
bertolakbelakang dengan media di Indonesia yang belum menonjol dalam menampilkan berita-berita seperti di Negara Barat tersebut.
“Dominasi TVRI mulai menunjukkkan tanda-tanda berakhir pada tahun 1988, setelah mengudaranya RCTI yang lahir sebagai TV
swasta pertama di Indonesia. Stasiun televisi milik Bambang Trihatmojo Soeharto ini awalnya bersiaran melalui jaringan kabel
untuk seputar Jakarta dengan sistem pay-television semacam TV berlangganan. Pada Agustus 1990, RCTI baru diizinkan mengudara
secara bebas, setelah itu muncul TV swasta lainnya. Namun kelahiran TV swasta lainnya tidaklah semata-mata karena terbukanya iklim
demokrasi, tetapi lebih karena adanya akses politik para pemiliknya. Sehingga kelahiran TV swasta tersebut tidaklah begitu berarti bagi
masyarakat khususnya di dalam memberikan pelayanan informasi yang bebas dan terbuka. Kemunculan TV swasta lebih condong kepada
tujuan bisnis di mana para pemiliknya selalu lebih mengedepankan isi programnya pada pendekatan ekonomi yang menguntungkan pasar.
Karena itu, program-program TV swasta lebih banyak berorentasi kepada masyarakat di perkotaan yang menjual isi media dengan tema-
tema yang memanipulasi selera pasar seperti war, sex and crime. Inilah menjadi konsekuensi jika media di kuasai oleh pemilik modal,
sehingga isi programnya dikemas sedemikian rupa untuk memanjakan
selera pasar.”
6
Pada sektor industri, media menimbulkan kontradiksi yang menarik khususnya di pertengahan pemerintahan orde baru, pers
5
Agus Sudibyo, Ekonomi Politik Media Penyiaran, Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, 2004, cet ke-1, h.13.
6
Agus Sudibyo, Ekonomi Politik Media Penyiaran, Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, 2004, cet ke-1, h.98.
42
Indonesia berada di persimpangan antara fungsi pers sebagai instrumensi hegemoni negara dengan fungsi pers sebagai institusi
kapitalis. Di satu sisi pemerintahan mulai mengadopsi prinsip-prinsip pers liberal namun di sisi lain mempertahankan kebijakan-kebijakan
sektor media yang bertentangan dengan semangat liberitarianisme.
7
Dampak kapitalisme kroni terhadap industri penyiaran televisi cukup jelas, yakni pola kepemilikan media yang memusat dan
monopolistik, beserta dampak buruknya terhadap monopoli dan rekayasa informasi seperti yang telah kita rasakan bersama pada
pemerintahan orde baru yang lalu.
8
“Problem yang muncul pada media televisi pada saat akhir era orde baru lebih menunjukkan pada dinamika media yang telah menjadi
instrument industri kapitalis yang berdamapak pada moda isi program media yang bersangkutan, yakni apa dan bagaimana acara-acara yang
harus diproduksi dan di tayangkan lebih di tentukan berdasarkan korelasinya dengan pihak sponsor dan selera khalayak. Akibatnya di
lain pihak, para pengelolah televisi dihadapkan pada permasalahan pada pengelolah televisi dihadapkan pada permasalahan SDM yang
berkualitas dan teknologi pendukung, ketika harus memenuhi tuntutan- tuntutan produksi manakala televisi memasuki entitas komersial.
”
9
Memasuki era paska keruntuhan rezim orde baru pada revolusi Mei 1998, media penyiaran belum beranjak mengalami perubahan
yang signifikan. Walaupun dari sisi perkembangan kepemilikan media, bisnis penyiaran tidak lagi berpusat kepada keluarga Cendana. Nama-
nama anak Soeharto memang tidak terlihat lagi dalam kacah kepemilikan stasiun televisi. Para pemain baru bermunculan, baik
7
Agus Sudibyo, Ekonomi Politik Media Penyiaran, Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, 2004, cet ke-1, h.14.
8
Agus Sudibyo, Ekonomi Politik Media Penyiaran, cet ke-1, h.13-14.
9
Agus Sudibyo, Ekonomi Politik Media Penyiaran, cet ke-1, h.13.