Latar Belakang Penelitian PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Di Indonesia, landasan hukum penerapan pajak terhadap Undang- undang 1945 pasal 23 Ayat 2 berbunyi: “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”. Kemudian ayat ini dapat diperjelas dalam penjelasannya yang berbunyi: “Oleh karena penetapan belanja mengenai hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri, maka segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat, seperti pajak dan lain-lainnya, harus ditetapkan dengan undang-undang yaitu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Pajak merupakan salah satu alternatif sumber pembiayaan pembangunan yang diterapkan hampir seluruh negara di dunia. Bahkan pajak dapat menjadi sumber pendapatan negara paling favorit di saat langkanya sumber dana pembangunan, mengingat penyelenggaraannya yang sepenuhnya menjadi otoritas pemerintah suatu negara, sehingga pembiayaan pembangunan secara mandiri dapat terwujud. Penerimaan pajak merupakan salah satu sumber yang utama, baik dalam penerimaan rutin pemerintah maupun pengaluaran investasi atau pembangunan serta pengeluaran dan pengendalian kebijakan ekonomi di berbagai negara. Namun, keberhasilan penggalangan dana pembangunan melalui optimalisasi penerimaan pajak ini memerlukan kerjasama dan dukungan seluruh rakyat, sehingga perlu disusun suatu sistem perpajakan yang sederhana namun memadai baik dari segi perangkat hukumnya maupun dari segi pelaksanaannya di lapangan. Sistem dan prosedur perpajakan untuk meningkatkan pendapatan negara terus disempurnakan dan disederhanakan dengan memperhatikan asas keadilan, pemerataan, manfaat dan kemampuan masyarakat melalui peningkatan mutu pelayanan dan kualitas aparat yang tercermin dalam peningkatan kejujuran, tanggung jawab dan dedikasi yang tinggi serta melalui penyempurnaan sistem administrasi. Dengan adanya sistem perpajakan yang baik diharapkan potensi pajak yang belum tersentuh dan dioptimalkan, akan dapat memberikan kontribusi yang lebih besar dalam penerimaan APBN. Menurut data yang diperoleh dari www.pajak.go.id Inovasi Online Edisi Vol.6XVIIIMaret 2006, pajak dianggap sebagai mesin penghasil uang negara semenjak berakhirnya era kejayaan minyak yang dulu berfungsi sebagai penghasil utama penerimaan negara. Namun demikian, menurut Jakarta Kompas Kamis, 19 Juni 2008 jumlah penerimaan negara dari pajak belum optimal sebab upaya memperbanyak jumlah pemilik Nomor Pokok Wajib Pajak atau NPWP belum menunjukan hasil yang maksimal. Sejak awal tahun 2006 hingga kini, jumlah NPWP efektif atau NPWP yang dimiliki orang yang membayar pajak secara riil, baru enam juta. Dengan demikian, jumlah orang yang belum memiliki NPWP sangat besar. Direktur Jenderal Pajak Departemen Keuangan Darmin Nasution menyebutkan, dari 6 juta pemilik NPWP hanya sekitar 2,4 juta Wajib Pajak yang rutin membayar pajak, yaitu 1,3 juta Wajib Pajak Orang Pribadi dan 1,1 juta Wajib Pajak Badan. Akan tetapi dengan hal ini pemerintah akan berusaha menjaring Wajib Pajak lain untuk membayar pajak di atas Rp 5 miliar, pemerintah berharap akan ada peningkatan kesadaran masyarakat untuk membuat NPWP paling lambat akhir 2008. Dengan kenaikan jumlah itu, pemerintah mengharapkan ada kenaikan penerimaan negara sebesar Rp. 5 triliun pertahun. Saat ini, 3.276 orang membayar pajak penghasilan PPh Rp 1 miliar-Rp 2 miliar dengan nilai Rp 1,456 triliun, sebanyak 1.901 orang membayar pajak Rp 2 miliar-Rp 5 miliar senilai Rp 2,88 triliun dan sebanyak 411 orang membayar pajak di atas Rp 5 miliar dengan nilai Rp 1,4 triliun. Kewajiban mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak dimulai ketika seseorang memperoleh penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak PTKP. Batas PTKP yang sekarang berlaku adalah sejak tanggal 1 Januari 2006, sebagai berikut: Wajib Pajak belum kawin Rp.13.200.000 pertahun; tambahan Rp.1.200.000 untuk Wajib Pajak yang kawin; tambahan Rp.13.200.000 jika istri bekerja; dan tambahan masing-masing Rp.1.200.000 untuk tanggungan maksimal tiga. Dilihat dari batasan penghasilan tersebut, potensi pajak yang dimiliki oleh masyarakat masih sangat besar. Sementara itu target penerimaan negara dari sektor pajak terus ditingkatkan dari tahun ke tahunnya. Berikut Tabel Perkembangan Jumlah Wajib Pajak selama 6 tahun terakhir: Tabel 1.1 Perkembangan Jumlah Wajib Pajak Uraian WP Badan 2002 2003 2004 2005 2006 2007 1.Terdaftar 941.038 1.031.624 1.116.224 1.207.653 1.337.637 1.358.022 2. Efektif 795.451 882.253 964.122 1.054.127 1.137.752 1.268.739 WP OP 1.Terdaftar 2.112.896 2.426.110 2.728.947 2.999.100 3.330.821 5.336.214 2. Efektif 1.986.108 2.263.492 2.564.735 2.829.251 2.876.911 5.144.748 TOTAL 1.Terdaftar 3.053.934 3.457.734 3.845.171 4.206.762 4.668.458 6.694.236 2. Efektif 2.781.559 3.145.745 3.528.857 3.883.378 4.014.663 6.413.487 Sumber: Direktorat TIP 05 Februari 2008 diolah sendiri Dapat dijelaskan bahwa Wajib Pajak Efektif adalah Wajib Pajak yang melakukan pemenuhan kewajiban perpajakannya dalam melaporkan serta membayarkan jumlah pajak terutangnya secara riil kepada pemerintah KPP serta melaporkan SPT Tahunannya tepat pada waktu yang telah ditentukan yang dilakukan secara rutin sesuai peraturan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pemerintah. Sedangkan Wajib Pajak Non Efektif adalah Wajib Pajak yang tidak pernah melakukan pemenuhan kewajiban perpajakannya selama 2 tahun berturut- turut, wajib pajak tersebut meninggal dunia bubar, wajib pajak yang tidak diketahui lagi alamatnya serta wajib pajak yang berdasarkan hasil penelitian pengamatan tidak melakukan kegiatan usaha lagi. Berdasarkan data yang diperoleh dari Indonesian Tax Review 2005:28 Pajak dapat juga disebut sebagai sebuah produk hukum yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan publik. Namun, ironisnya publik relatif masih menganggapnya sebagai sesuatu yang sulit dan dapat menimbulkan kebingungan. Bahkan tidak jarang publik bersikap apatis terhadap pajak. Salah satu penyebab sikap apatis tersebut adalah karena pajak dirasakan sebagai sesuatu yang asing, rumit dan membingungkan. Pemeriksaan pajak adalah salah satu bentuk upaya Direktorat jenderal Pajak dalam menerapkan pengawasan terhadap para Wajib Pajak. Adapun wewenang untuk melakukan pemeriksaan ini diberikan melalui Perubahan ketiga atas Undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan umum dan Tata cara Perpajakan, yang terakhir telah diubah dengan Undang-undang No. 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan umum dan Tata cara Perpajakan. Penerapan sistem perpajakan sebelum reformasi perpajakan pertama Undang-undang No. 6 Tahun 1983, dimana besarnya pajak yang harus dibayar Wajib Pajak sepenuhnya ditentukan oleh fiskus, telah membuat bayangan menakutkan terhadap Wajib Pajak yang mengakibatkan sikap antipati dan cenderung menghindar dari pajak. Kondisi ini diperparah oleh kurang memadainya perangkat hukum yang mengaturnya, sehingga perlindungan akan hak-hak dari Wajib Pajak dan kepastian hukum serta persamaan perlakuan hukum menjadi kurang terjamin. Sebagai akibatnya, pajak terlebih pemeriksaan pajak dianggap sebagai momok yang meresahkan hanya menambah beban bagi masyarakat. Pemeriksaan pajak merupakan instrument untuk menentukan kepatuhan baik formal maupun material, yang tujuan utamanya adalah untuk menguji dan meningkatkan tax compliance seorang wajib pajak. Dengan demikian pemeriksaan pajak tidak lain merupakan pagar penjaga agar Wajib Pajak tetap pada koridor peraturan perpajakan. Selain itu penegakan hukum ini menjadi upaya untuk menciptakan keadilan melalui penerapan peraturan perpajakan secara fair, konsisten, dan konsekuen sesuai nilai-nilai yang dituntut pada era masa depan. Seiring dengan perkembangan masyarakat Indonesia yang semakin kritis, menuntut banyak lagi kepada Pemerintah untuk memberikan pelayanan publik yang layak, termasuk dalam penerapan kewajiban perpajakan, mengingat salah satu sifat dari pengenaan pajak yang tidak memberikan kontraprestasi individual secara langsung. Menurut Chaidir Ali dalam bukunya Hukum Pajak Elementer 1993:16 beberapa diantara tuntutan ini antara lain adalah kepastian hukum dan kejelasan informasi mengenai hak-hak dan kewajibannya serta perlakuan yang sama dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan. Dewasa ini kita menginginkan transparansi baik dalam aturan main pengumpulannya maupun alokasi penggunaan dana dari pajak yang dipungut. Tanpa pemungutan pajak sudah bisa dipastikan bahwa keuangan Negara akan lumpuh terlebih lagi bagi Negara yang sedang membangun seperti Indonesia. Namun, ada beberapa kendala dan hambatan dalam melaksanakan pemeriksaan pajak. Kendala ini berasal dari fiskusnya sendiri yang jumlah maupun kemampuannya masih sangat terbatas, menurut data yang telah diperoleh dari www.pajak.go.id 06 Juni 2007 jumlah pejabat eselon dua ke atas Ditjen Pajak adalah yang terbanyak berjumlah 44 orang, jumlah pegawainya pun mencapai 30 ribu. Namun, karyawan yang berlatar belakang auditor fungsional hanya berjumlah 2.300 orang, padahal di negara lain komposisi auditor ideal mencapai 50-60 persen. Sedangkan dari sisi objek pemeriksaan yaitu Wajib Pajak sendiri yang kerap kali menghindar atau bahkan menolak untuk bekerja sama. Dalam prakteknya Wajib Pajak sering tidak kooperatif dalam memberikan data- data yang dibutuhkan selama proses pemeriksaan. Bahkan kerapkali terjadi pula usaha-usaha meringankan beban pajak dengan cara yang melanggar undang- undang atau menggelapkan pajak tax evasion, selain itu kendala yang dihadapi adalah masih kurang memadainya sarana pemeriksaan. Menurut data yang diperoleh dari Indonesian Tax Review Volume IVEdisi 502005:36-37, keengganan mereka wajib pajak untuk membayar atau menyetorkan pajak, pada umumnya diaplikasikan melalui dua cara yang berbeda. Pertama, dengan cara penghindaran pajak tax avoidance. Kedua, dengan cara pengelakan pajak tax evasion. Tax evasion, atau yang kadang disebut dengan penggelapan pajak, adalah tindakan pengelakan membayar pajak yang dilakukan dengan cara melanggar hukum dan peraturan perundang-undangan perpajakan itu sendiri. Sebagai contoh, misalnya tidak mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, atau memiliki NPWP tetapi tidak melaporkan SPT atau melaporkan SPT tetapi isinya tidak benar. Banyak alasan mengapa orang wajib pajak melakukan hal itu. Namun secara garis besar, sebab-musabab tindak penggelapan pajak tax evasion dapat dibedakan menjadi dua. Pertama karena yang bersangkutan tidak sengaja alpa dan tidak mengetahui akan adanya peraturan tersebut. Dan kedua yang bersangkutan tahu bahwa ada peraturan tersebut, tetapi tetap melanggarnya demi menjaga kesejahteraannya agar tidak berkurang atau tidak membayar pajak. Penelitian tentang pelaksanaan pemeriksaan pajak terhadap SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan ini merupakan replikasi dari penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Siti Himayah 2005, dengan judul “Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak atas Surat Pemberitahuan SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi”. Hasil dari skripsinya tersebut menyebutkan bahwa pelaksanaan pemeriksaan pajak atas SPT Tahunan PPh Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan di KPP Jakarta Tebet sudah sangat efektif, yang menunjukan bahwa kepatuhan Wajib Pajak untuk diperiksa tinggi dan petugas pemeriksa tidak mendapat kendala serta hambatan dalam melaksanakan pemeriksaan tersebut, sehingga pemeriksa pajak dapat menyelesaikan pemeriksaan tepat waktu dan sesuai dengan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak SP3. Berdasarkan berbagai kondisi dan keadaan seperti diuraikan diatas, maka penulis merasa tertarik untuk mengadakan penelitian terhadap topik ini, dengan harapan dapat ikut memberikan sumbangan pemikiran dalam memberikan informasi kepada masyarakat pada umumnya, juga dalam memecahkan berbagai persoalan yang menghambat pelaksanaan tugas pemeriksaan pajak. Serta ingin meningkatkan kesadaran dan pengetahuan Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan Undang-undang yang berlaku. Seberapa jauh pelaksanaan dimaksud, penulis mencoba menelitinya dalam bentuk skripsi yang berjudul “Evaluasi atas Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak terhadap Surat Pemberitahuan SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan Di Kantor Pelayanan Pajak KPP Jakarta Kebayoran Baru Satu”.

B. Perumusan Masalah