BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Agama Dalam Kehidupan Bermasyarakat
Seorang sosiolog asal jerman, Max Weber 1864-1920 pernah mengungkapkan bahwa agama cukup berjasa dalam melahirkan perubahan sosial yang paling spektakuler
dalam sejarah peradaban manusia. Agama dianggap mampu memberikan dorongan terhadap masyarakat untuk melakukan “revolusi”. Tesis ini tentunya bagaikan “mimpi
indah” bagi umat beragama. Namun yang perlu direnungkan kembali, tesis Weber mengenai agama sebagai motor perubahan sosial “dilahirkan” diatas seratus tahun yang
lalu. Weber bukanlah sosok “masa kini”. Karenanya, kita perlu membuktikan kembali kebenaran tesis Weber tersebut. Karena nampaknya saat ini kondisinya justru berbalik,
yakni agama lah yang mesti mengejar “kebaruan” dalam pola interaksi sosial yang terbangun.
Tarik ulur mengenai pola interaksi yang dibangun antara agama dan perubahan
sosial sosial change tersebut pada akhirnya membentuk polarisasi pandangan. Pertama,
pandangan yang memposisikan agama sebagai wacana yang harus mengikuti arus kondisi interaksi manusia. Dengan pemahaman semacam ini berarti agama ditempatkan sebagai
entitas otonom yang “terbebas” dari interaksi sosial disekelilingnya. Kedua, berangkat
dari segudang ‘kegelisahan’ akibat pola interaksi yang dibangun manusia saat ini yang ditengarai semakin menjauhkan diri dari kontrol agama, sehingga yang harus dilakukan
adalah dengan kembali kepada teks-teks agama.
Universitas Sumatera Utara
Dua polarisasi pandangan tersebut jelas meniscayakan interpretasi yang berbeda terhadap agama. Di satu sisi, penafsiran terhadap agama harus mengikuti dan
berdialektika dengan mesra terhadap penggeseran struktur sosial, ekonomi dan budaya manusia. Bukan sebaliknya, agama dijadikan sebagai “aliran instruksi” dalam menyikapi
setiap interaksi manusia yang terjadi disuatu masa dan tempat. Sementara yang lain ingin menempatkan agama sebagai “coordinator” dan menjadi semacam “inkusisi” atas setiap
problem kemanusiaan yang muncul. Segala problem telah dijawab didalam al-Qu’ran sebagai pedoman umat islam. Hal ini karena seringnya umat islam mengalami kegagapan
yang cukup luar biasa dalam menyongsong era baru ini. Akibatnya. Terjadi krisis terhadap agama yang tercerabut nilai-nilai universalitasnya dari realitas kemanusiaan
masyarakat modern. Agama dikembalikan dalam konsepsinya sebagai serentetan ibadah ritual yang hampa tanpa makna. Agama adalah untuk Tuhan, bukan manusia.
Pada hal, Islam tidak hanya tegak dalam posisinya sebagai agama akan tetapi sebagai bangunan dari sebuah peradaban yang cukup besar yang menyentuh empat
dimensi kehidupan manusia, yakni ubudiyah berkaitan dengan soal ibadah, ahwal al syakhsiyah keluarga, muamalah masyarakat dan siyasah Negara. Nabi Muhammad
SAW sendiri yang mendapatkan “titah dari Tuhan” ditugaskan untuk membawa dimensi tersebut dalam menciptakan rahmat bagi seluruh semesta alam. Sehingga sosok Nabi,
tidak hanya sebagai seorang pemimpin agama akan tetapi juga sebagai “aktivis” perubahan sosial dan Pendobrak ketidakadilan.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Interaksi sosial