Prevalensi Gangguan Pendengaran pada Siswa SMA Swasta Raksana di Kota Medan Tahun 2010
PREVALENSI GANGGUAN
PENDENGARAN PADA SISWA SMA
SWASTA RAKSANA DI KOTA MEDAN
TAHUN 2010
Oleh:
SUKGANTI SUPRAMANIAM
070100312
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
(2)
PREVALENSI GANGGUAN
PENDENGARAN PADA SISWA SMA
SWASTA RAKSANA DI KOTA MEDAN
TAHUN 2010
Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran
Oleh:
SUKGANTI SUPRAMANIAM
070100312
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
(3)
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Prevalensi Gangguan Pendengaran pada Siswa SMA Swasta Raksana di Kota Medan Tahun 2010
Nama : Sukganti Supramaniam Nim : 070100312
Pembimbing, Penguji,
(dr. Aliandri, Sp THT-KL) (dr. Mashitha Dewi Sari, Sp.M) Nip. 19660309 200012 1 007 Nip. 19761024 200501 2 001
(dr. Rointan Simanungkalit, Sp.KK(K)) Nip. 19630820 198902 2 001
Medan, 9 Disember 2010 Mengetahui
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
(Prof.dr.Gontar Alamsyah Siregar Sp.PD-KGEH Nip. 19540220 1980011 1 001
(4)
ABSTRAK
Latar Belakang. Dari hasil "WHO Multi Center Study" pada tahun 1998, Indonesia termasuk empat negara di Asia Tenggara dengan prevalensi gangguan pendengaran yang cukup tinggi (4,6%). Data Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran pada tahun 1994-1996 juga menunjukan prevalensi gangguan pendengaran (16,8%) dan paling tinggi pada kelompok usia sekolah (7-18) tahun.
Metode. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang telah dilakukan di SMA Swasta Raksana. Sampel pada penelitian ini adalah siswa SMA Swasta Raksana yang terpilih dan bersedia mengikuti penelitian ini. Pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan garputala. Data yang berhasil dikumpulkan, diolah, dan dianalisa dengan menggunakan program computer SPSS.
Hasil. Penelitian ini diikuti oleh 96 orang dan berdasarkan hasil penelitian didapati distribusi gangguan pendengaran pada siswa SMA Swasta Raksana adalah sebanyak 10,4% yaitu, masing-masing tuli konduktif sebanyak 7,3%, tuli sensorineural sebanyak 3,1%, tuli campuran sebanyak 0,0%. Distribusi gangguan pendengaran pada siswa laki-laki adalah sebanyak 6,2% dan siswa perempuan adalah sebanyak 4,2%.
Kesimpulan. Secara keseluruhan prevalensi gangguan pendengaran pada siswa SMA Swasta Raksana adalah sebanyak 10,4% yaitu, masing-masing tuli konduktif sebanyak 7,3%, tuli sensorineural sebanyak 3,1% dan tidak ada tuli campuran. Harus dilakukan skrening pendengaran pada seluruh siswa supaya dapat mengurangkan prevalensi gangguan pendengaran.
(5)
ABSTRACT
Background. From result " WHO Multi Center Study" in the year 1998, Indonesia
is inclusive of four state in South-East Asia by prevalence is hearing trouble which is high enough (4,6%). Indonesia Data of pursuant to Survey of Health of Indera of Eyesight and Hearing in the year 1994-1996 also prevalence of hearing trouble ( 16,8%) and highest at school age group ( 7-18) year.
Methods. This Research is descriptive research is which have been conducted in
SMA Swasta Raksana. Sampel of this research is student of SMA Swasta Raksana and ready to follow this research. Data collecting done by doing inspection tuning fork. Collected a success data, processed, and analyzed by using program of computer SPSS.
Results. This Research follow 96 people and pursuant to research result got by
distribution of hearing trouble student of SMA Swasta Raksana is as much 10,4% that is, each conductive deaf as much 7,3%, sensorineural as much 3,1% and there no deaf of mixture. Distribution of hearing trouble of men student is as much 6,2% and woman student is as much 4,2%.
Conclusion. As a whole prevalence of hearing trouble of student of SMA Swasta
Raksana is as much 10,4% that is, each conductive deaf as much 7,3%, sensorineural as much 3,1% and there no deaf of mixture. Must be done screening hearing of entire student so that can taper down the prevalence of hearing trouble.
(6)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Berkuasa karena atas berkat dan anugerahNyalah saya dapat menyelesaikan penelitian saya yang berjudul “Prevalensi Gangguan Pendengaran pada Siswa SMA Swasta Raksana di Kota Medan pada Tahun 2010”.
Rasa terima kasih yang besar untuk dr. Aliandri, SpTHT sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan waktunya dalam membimbing dan membantu saya selama pelaksanaan penelitian ini. Ketulusan dalam membimbing dan saran-saran beliau membuat saya bersemangat menyelesaikan penelitian ini.
Terima kasih juga saya ucapkan kepada kepala sekolah SMA Swasta Raksana, Drs. S. Manik yang telah memberikan izin dan bantuan kepada saya untuk pengumpulan data di sekolah tersebut.
Tidak lupa pula, terima kasih saya sampaikan untuk orang tua dan keluarga saya serta teman-teman yang memberi dukungan moral, tenaga, dan materi sehingga dapat menyelesaikan penelitian ini.
Saya mengetahui penelitian ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, segala kritik dan saran yang membangun atas penelitian ini dengan senang hati saya terima. Saya mohon maaf atas segala kekurangan yang diperbuat dan semoga saya dapat melanjutkan penelitian-penelitian lain dengan baik.
Akhir kata, saya berharap penelitian yang saya buat ini dapat bermanfaat kepada kita semua dalam upaya kita bersama menurunkan prevalensi terjadinya gangguan pendengaran di Indonesia.
(7)
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Persetujuan ... i
Abstrak ... ii
Abstract ... iii
Kata Pengantar ... iv
Daftar Isi ... v
Daftar Tabel ... vi
Daftar Gambar ... vii
Daftar lampiran ... viii
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 2
1.3. Tujuan Penelitian ... 2
1.4. Manfaat Penelitian ... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4
2.1. Anatomi Telinga ... 4
2.1.1. Anatomi Teling Luar ... 4
2.1.2. Anatomi Telinga Tengah ... 4
2.1.3. Anatomi Telinga Dalam ... 5
2.2. Fisiologi Pendengaran ... 6
2.2.1. Fisiologi Pendengaran Normal ... 6
2.2.2. Fisiologi Gangguan Pendengaran ... 7
2.3. Gangguan Pendengaran ... 7
2.3.1. Definisi Gangguan Pendengaran ... 7
2.3.2. Klasifikasi Derajat Gangguan Pendengaran ... 8
2.3.3. Jenis Gangguan Pendengaran ... 8
2.3.3.1. Gangguan Pendengaran Jenis Konduktif ... 8
2.3.3.2. Gangguan Pendengaran Jenis Sensorineural ... 9
2.3.3.3. Gangguan Pendengaran Jenis Campuran ... 10
2.3.4. Pemeriksaan dan Diagnosis Gangguan Pendengaran ... 11
2.3.5. Penyakit yang Menyebabkan Gangguan Pendengaran .... 12
2.4. Gangguan Pendengaran pada Siswa Sekolah ... 13
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 14
3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 14
(8)
BAB 4 METODE PENELITIAN ... 17
4.1. Rancangan Penelitian ... 17
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 17
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 17
4.4. Metode Pengumpulan Data ... 18
4.5. Metode Analisis Data ... 19
BAB 5: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian ... 21
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 21
5.1.2. Karakteristik Demografi Responden ... 21
5.1.3. Hasil Analisa Data ... 22
5.1.3.1. Distribusi Jenis Gangguan Pendengaran …….. 22
5.1.3.2. Distribusi Jenis Gangguan Pendengaran Berdasarkan Jenis Kelamin ………... 23
5.1.3.3. Distribusi Sisi Telinga yang Mengalami Gangguan Pendengaran ……… 24
5.2. Pembahasan ………... 25
BAB 6: KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ……….. 27
6.2. Saran ……… 27
DAFTAR PUSTAKA ... 29 DAFTAR LAMPIRAN
(9)
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
2.1. Klasifikasi Derajat Gangguan Pendengaran Menurut International Standard Organization (ISO) dan American Standard Association
(ASA) ………... 8
3.1. Interpretasi Hasil Tes Rinne dan Tes Weber ………... 15
5.1. Karakteristik Demografi Siswa SMA Swasta Raksana ………. 22
5.2. Distribusi Jenis Gangguan Pendengaran pada Siswa SMA
Swasta Raksana ……… 22
5.3. Jenis Gangguan Pendengaran Siswa SMA Swasta Raksana
Berdasarkan Jenis Kelamin ……… 23 5.4. Distribusi Sisi Telinga yang Mengalami Gangguan
(10)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1. Anatomi Telinga Luar, Telinga Tengah, dan Telinga
Dalam ……… 6
3.1. Kerangka Konsep Prevalensi Gangguan Pendengaran pada Siswa SMA Swasta Raksana di Kota Medan
pada Tahun 2010 ... 14 3.2. Kerangka Kerja Prevalensi Gangguan Pendengaran
pada Siswa SMA Swasta Raksana di Kota Medan
pada Tahun 2010 ... 20 5.1. Distribusi Jenis Ganggaun Pendengaran Menurut
(11)
DAFTAR LAMPIRAN
No. Nama Lampiran
1. Lampiran Riwayat Hidup Peneliti 2. Lampiran Anamnesis dan Pemeriksaan 3. Lampiran Lembar Penjelasan
4. Lampiran Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan 5. Lampiran Ethical Clearance
6. Lampiran Izin Penelitian USU
7. Lampiran Surat Keterangan SMA Swasta Raksana 8. Lampiran Jumlah Siswa SMA Swasta Raksana 9. Lampiran Hasil Data
10. Lampiran Hasil Output Analisis Data (Karakteristik) 11. Lampiran hasil Output Data (Distribusi)
(12)
ABSTRAK
Latar Belakang. Dari hasil "WHO Multi Center Study" pada tahun 1998, Indonesia termasuk empat negara di Asia Tenggara dengan prevalensi gangguan pendengaran yang cukup tinggi (4,6%). Data Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran pada tahun 1994-1996 juga menunjukan prevalensi gangguan pendengaran (16,8%) dan paling tinggi pada kelompok usia sekolah (7-18) tahun.
Metode. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang telah dilakukan di SMA Swasta Raksana. Sampel pada penelitian ini adalah siswa SMA Swasta Raksana yang terpilih dan bersedia mengikuti penelitian ini. Pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan garputala. Data yang berhasil dikumpulkan, diolah, dan dianalisa dengan menggunakan program computer SPSS.
Hasil. Penelitian ini diikuti oleh 96 orang dan berdasarkan hasil penelitian didapati distribusi gangguan pendengaran pada siswa SMA Swasta Raksana adalah sebanyak 10,4% yaitu, masing-masing tuli konduktif sebanyak 7,3%, tuli sensorineural sebanyak 3,1%, tuli campuran sebanyak 0,0%. Distribusi gangguan pendengaran pada siswa laki-laki adalah sebanyak 6,2% dan siswa perempuan adalah sebanyak 4,2%.
Kesimpulan. Secara keseluruhan prevalensi gangguan pendengaran pada siswa SMA Swasta Raksana adalah sebanyak 10,4% yaitu, masing-masing tuli konduktif sebanyak 7,3%, tuli sensorineural sebanyak 3,1% dan tidak ada tuli campuran. Harus dilakukan skrening pendengaran pada seluruh siswa supaya dapat mengurangkan prevalensi gangguan pendengaran.
(13)
ABSTRACT
Background. From result " WHO Multi Center Study" in the year 1998, Indonesia
is inclusive of four state in South-East Asia by prevalence is hearing trouble which is high enough (4,6%). Indonesia Data of pursuant to Survey of Health of Indera of Eyesight and Hearing in the year 1994-1996 also prevalence of hearing trouble ( 16,8%) and highest at school age group ( 7-18) year.
Methods. This Research is descriptive research is which have been conducted in
SMA Swasta Raksana. Sampel of this research is student of SMA Swasta Raksana and ready to follow this research. Data collecting done by doing inspection tuning fork. Collected a success data, processed, and analyzed by using program of computer SPSS.
Results. This Research follow 96 people and pursuant to research result got by
distribution of hearing trouble student of SMA Swasta Raksana is as much 10,4% that is, each conductive deaf as much 7,3%, sensorineural as much 3,1% and there no deaf of mixture. Distribution of hearing trouble of men student is as much 6,2% and woman student is as much 4,2%.
Conclusion. As a whole prevalence of hearing trouble of student of SMA Swasta
Raksana is as much 10,4% that is, each conductive deaf as much 7,3%, sensorineural as much 3,1% and there no deaf of mixture. Must be done screening hearing of entire student so that can taper down the prevalence of hearing trouble.
(14)
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gangguan pendengaran menggambarkan kehilangan pendengaran di salah satu atau kedua telinga. Ada tiga jenis gangguan pendengaran, yaitu konduktif, sensorineural, dan campuran. Pada gangguan pendengaran konduktif terdapat masalah di dalam telinga luar atau tengah, sedangkan pada gangguan pendengaran sensorineural terdapat masalah di telinga bagian dalam dan saraf pendengaran. Sedangkan, tuli campuran disebabkan oleh kombinasi tuli konduktif dan tuli sensorineural. (World Health Organization, 2006).
Data World Health Organization (WHO) mencatat angka gangguan pendengaran sungguh mengejutkan. Pada tahun 2000 terdapat 250 juta (4,2%) penduduk dunia yang menderita gangguan pendengaran dan lebih kurang setengahnya (75-140 juta) terdapat di Asia Tenggara. Dari hasil "WHO Multi Center Study" pada tahun 1998, Indonesia termasuk empat negara di Asia Tenggara dengan prevalensi gangguan pendengaran yang cukup tinggi (4,6%), tiga negara lainnya adalah Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%), dan India (6,3%) (Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian, 2006).
Data Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran pada tahun 1994-1996 juga menunjukan morbiditas yang tinggi, yaitu penyakit telinga (18,5%), prevalensi gangguan pendengaran (16,8%), sedangkan ketulian didapatkan pada (0,4%) populasi dan paling tinggi pada kelompok usia sekolah (7-18) tahun. Selanjutnya data WHO menyebutkan bahwa bayi lahir tuli (tuli kongenital) berkisar (0,1-0,2%) dengan risiko gangguan komunikasi dan akan menjadi beban keluarga, masyarakat dan bangsa. Angka kelahiran di Indonesia sekitar (2,6%), maka setiap tahunnya akan ada 5200 bayi tuli di Indonesia (Depkes, 2010).
Menurut Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (Komnas PGPKT) prevalensi morbiditas telinga paling tinggi pada kelompok usia sekolah (7-18 tahun) sehingga peranan lintas sektor melalui
(15)
kegiatan Upaya Kesehatan Sekolah (UKS) sangat besar dalam menurunkan prevalensi ini. Kecenderungan di masa depan akan terjadi peningkatan gangguan pendengaran. Beberapa penyebabnya, antara lain semakin tingginya umur harapan hidup, sehingga penduduk usia lanjut akan semakin banyak yang membawa konsekuensi peningkatan prevalensi degenerasi sehubungan dengan usia. Faktor lain, yaitu gaya hidup masyarakat yang kurang menguntungkan, seperti mendengarkan musik dengan suara keras, lingkungan tempat kerja dengan tingkat kebisingan yang tinggi, dan lain-lain. Masalah penanggulangan gangguan pendengaran di Indonesia terutama, adalah kurangnya sarana dan prasarana, kurangnya dukungan dari lintas sektor dalam penanggulangan masalah gangguan pendengaran, dan masih kurangnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang kesehatan indera pendengaran (Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian , 2006).
Objektif penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi gangguan pendengaran pada siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Siswa SMA dipilih karena statistika menunjukkan kelompok usia yang mengalami gangguan pendengaran paling tinggi adalah (7-18) tahun dan usia siswa SMA berada dalam rentang usia tersebut.
1.2. Rumusan Masalah
Berapakah prevalensi gangguan pendengaran pada siswa SMA?
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui prevalensi gangguan pendengaran pada siswa SMA.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Memperoleh informasi tentang seberapa besar prevalensi gangguan pendengaran pada siswa SMA.
2. Mengetahui prevalensi jenis gangguan pendengaran berdasarkan jenis kelamin.
(16)
3. Mengetahui prevalensi jenis gangguan pendengaran berdasarkan sisi telinga yang kena.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Memperoleh data prevalensi. Setelah tahun 1996, tidak ada survei nasional.
2. Dapat mengembang ilmu dalam bidang ini dan sebagai acuan untuk penelitian berikutnya.
3. Meningkatkan kepedulian orang tua mengenai gangguan pendengaran pada anak-anak.
4. Menjadi sumber informasi dalam penanggulangan gangguan pendengaran sesuai dengan program Sound Hearing 2030.
5. Dengan mengetahui jenis gangguan pendengaran, dapat mengambil tindakan prevantif.
(17)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Telinga 2.1.1. Anatomi Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari aurikula dan kanalis auditorius eksternus dan dipisahkan dari telinga tengah oleh membrana timpani. Aurikula berfungsi untuk membantu pengumpulan gelombang suara. Gelombang suara tersebut akan dihantarkan ke telinga bagian tengah melalui kanalis auditorius eksternus. Tepat di depan meatus auditorius eksternus terdapat sendi temporal mandibular (Kumar dan Clark, 2005).
Kanalis auditorius eksternus panjangnya sekitar 2,5 sentimeter. Sepertiga lateral mempunyai kerangka kartilago dan fibrosa padat tempat kulit melekat. Dua pertiga medial tersusun atas tulang yang dilapisi kulit tipis. Kanalis auditorius eksternus berakhir pada membrana timpani. Kulit dalam kanal mengandung kelenjar khusus, glandula seruminosa, yang mensekresi substansi seperti lilin yang disebut serumen. Serumen mempunyai sifat antibakteri dan memberikan perlindungan bagi kulit (Audiolab, 2004).
2.1.2. Anatomi Telinga Tengah
Bagian atas membrana timpani disebut pars flaksida, sedangkan bagian bawah pars tensa. Pars flaksida mempunyai dua lapisan, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Menurut Sherwood, pars tensa mempunyai satu lapisan lagi di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier di bagian luar dan sirkuler di bagian dalam.
Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes. Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada membrana timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap oval yang berhubungan dengan koklea. Hubungan
(18)
antara tulang-tulang pendengaran merupakan persendian. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah (Hall dan Colman, 1987).
2.1.3. Anatomi Telinga Dalam
Menurut Rambe, koklea bagian tulang dibagi menjadi dua lapisan oleh suatu sekat. Bagian dalam sekat ini adalah lamina spiralis ossea dan bagian luarnya adalah lamina spiralis membranasea.Ruang yang mengandung perilimfe terbagi dua, yaitu skala vestibuli dan skala timpani. Kedua skala ini bertemu pada ujung koklea yang disebut helikotrema.
Skala vestibuli berawal pada foramen ovale dan skala timpani berakhir pada foramen rotundum. Pertemuan antara lamina spiralis ossea dan membranasea kearah perifer membentuk suatu membrana yang tipis yang disebut membrana Reissner yang memisahkan skala vestibuli dengan skala media (duktus koklearis). Duktus koklearis berbentuk segitiga, dihubungkan dengan labirin tulang oleh jaringan ikat penyambung periosteal dan mengandung end organ dari nervus koklearis dan organ Corti. Duktus koklearis berhubungan dengan sakkulus dengan perantaraan duktus Reuniens.
Organ Corti terletak di atas membrana basilaris yang mengandung organel-organel yang penting untuk mekenisma saraf perifer pendengaran. Organ Corti terdiri dari satu baris sel rambut dalam yang berisi kira-kira 3000 sel dan tiga baris sel rambut luar yang berisi kira-kira 12.000 sel. Sel-sel ini menggantung lewat lubang-lubang lengan horisontal dari suatu jungkat-jangkit yang dibentuk oleh sel-sel penyokong. Ujung saraf aferen dan eferen menempel pada ujung bawah sel rambut. Pada permukaan sel rambut terdapat strereosilia yang melekat pada suatu selubung yang cenderung datar yang dikenal sebagai membrana tektoria. Membrana tektoria disekresi dan disokong oleh limbus (Liston dan Duvall, 1997).
(19)
Gambar 2.1. Anatomi telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam
2.2. Fisiologi Pendengaran
2.2.1. Fisiologi Pendengaran Normal
Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang diteruskan ke liang telinga dan mengenai membrana timpani sehingga membrana timpani bergetar. Getaran ini diteruskan ke tulang-tulang pendengaran yang berhubungan satu sama lain. Selanjutnya, stapes menggerakkan foramen ovale yang juga menggerakkan perilimfe dalam skala vestibuli. Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong endolimfe dan membrana basalis ke arah bawah. Perilimfe dalam skala timpani akan bergerak sehingga foramen rotundum terdorong ke arah luar (Tortora dan Derrickson, 2009).
Menurut Ismail, pada waktu istirahat, ujung sel rambut Corti berkelok dan dengan terdorongnya membrana basal, ujung sel rambut itu menjadi lurus. Rangsangan fisik ini berubah menjadi rangsangan listrik akibat adanya perbedaan ion Natrium dan Kalium yang diteruskan ke cabang-cabang nervus
(20)
vestibulokoklearis. Kemudian meneruskan rangsangan itu ke pusat sensorik pendengaran di otak melalui saraf pusat yang ada di lobus temporalis.
2.2.2. Fisiologi Gangguan Pendengaran
Gangguan pada telinga luar, tengah, dan dalam dapat menyebabkan ketulian. Tuli dibagi atas tuli kondukt if, tuli sensorineural, dan tuli campur. Tuli konduktif terjadi akibat kelainan telinga luar, seperti infeksi, serumen atau kelainan telinga tengah seperti otitis media atau otosklerosis (Kliegman, Behrman, Jenson, dan Stanton, 2004).
Tuli sensorineural melibatkan kerusakan koklea atau saraf vestibulokoklear. Salah satu penyebabnya adalah pemakaian obat-obat ototoksik seperti streptomisin yang dapat merusak stria vaskularis. Selain tuli konduksi dan sensorineural, dapat juga terjadi tuli campuran. Tuli campuran adalah tuli baik konduktif maupun sensorineural akibat disfungsi konduksi udara maupun konduksi tulang (Lassman, Levine dan Greenfield, 1997).
2.3. Gangguan Pendengaran
2.3.1. Definisi Gangguan Pendengaran
Menurut Khabori dan Khandekar, gangguan pendengaran menggambarkan kehilangan pendengaran di salah satu atau kedua telinga. Tingkat penurunan gangguan pendengaran terbagi menjadi ringan, sedang, sedang berat, berat, dan sangat berat.
(21)
2.3.2. Klasifikasi Derajat Gangguan Pendengaran
Tabel 2.1. Klasifikasi derajat gangguan pendengaran menurut International Standard Organization (ISO) dan American
Standard Association (ASA) Derajat Gangguan
Pendengaran ISO ASA
Pendengaran Normal 10-25 dB 10-15 dB
Ringan 26-40 dB 16-29 dB
Sedang 41-55 dB 30-44 dB
Sedang Berat 56-70 dB 45-59 dB
Berat 71-90 dB 60-79 dB
Sangat Berat Lebih 90 dB Lebih 80 dB
2.3.3. Jenis Gangguan Pendengaran
Ada tiga jenis gangguan pendengaran, yaitu konduktif, sensorineural, dan campuran. Menurut Centers for Disease Control and Prevention pada gangguan pendengaran konduktif terdapat masalah di dalam telinga luar atau tengah, sedangkan pada gangguan pendengaran sensorineural terdapat masalah di telinga bagian dalam dan saraf pendengaran. Sedangkan, tuli campuran disebabkan oleh kombinasi tuli konduktif dan tuli sensorineural. Menurut WHO-SEARO (South East Asia Regional Office) Intercountry Meeting (Colombo, 2002) faktor penyebab gangguan pendengaran adalah otitis media suppuratif kronik (OMSK), tuli sejak lahir, pemakaian obat ototoksik, pemaparan bising, dan serumen prop.
2.3.3.1.1. Gangguan Pendengaran Jenis Konduktif
Pada gangguan pendengaran jenis ini, transmisi gelombang suara tidak dapat mencapai telinga dalam secara efektif. Ini disebabkan karena beberapa gangguan atau lesi pada kanal telinga luar, rantai tulang pendengaran, ruang telinga tengah, fenestra ovalis, fenestra rotunda, dan tuba auditiva. Pada bentuk yang murni (tanpa komplikasi) biasanya tidak ada kerusakan pada telinga dalam, maupun jalur persyarafan pendengaran nervus vestibulokoklearis (N.VIII).
(22)
1. Ada riwayat keluarnya carian dari telinga atau riwayat infeksi telinga sebelumnya.
2. Perasaan seperti ada cairan dalam telinga dan seolah-olah bergerak dengan perubahan posisi kepala.
3. Dapat disertai tinitus (biasanya suara nada rendah atau mendengung). 4. Bila kedua telinga terkena, biasanya penderita berbicara dengan suara
lembut (soft voice) khususnya pada penderita otosklerosis.
5. Kadang-kadang penderita mendengar lebih jelas pada suasana ramai. Menurut Lalwani, pada pemeriksaan fisik atau otoskopi, dijumpai ada sekret dalam kanal telinga luar, perforasi gendang telinga, ataupun keluarnya cairan dari telinga tengah. Kanal telinga luar atau selaput gendang telinga tampak normal pada otosklerosis. Pada otosklerosis terdapat gangguan pada rantai tulang pendengaran.
Pada tes fungsi pendengaran, yaitu tes bisik, dijumpai penderita tidak dapat mendengar suara bisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar kata-kata yang mengandung nada rendah. Melalui tes garputala dijumpai Rinne negatif. Dengan menggunakan garputala 250 Hz dijumpai hantaran tulang lebih baik dari hantaran udara dan tes Weber didapati lateralisasi ke arah yang sakit. Dengan menggunakan garputala 512 Hz, tes Scwabach didapati Schwabach memanjang (Soepardi dan Iskandar, 2001).
2.3.3.2. Gangguan Pendengaran Jenis Sensorineural
Gangguan pendengaran jenis ini umumnya irreversibel. Gejala yang ditemui pada gangguan pendengaran jenis ini adalah seperti berikut:
1. Bila gangguan pendengaran bilateral dan sudah diderita lama, suara percakapan penderita biasanya lebih keras dan memberi kesan seperti suasana yang tegang dibanding orang normal. Perbedaan ini lebih jelas bila dibandingkan dengan suara yang lembut dari penderita gangguan pendengaran jenis hantaran, khususnya otosklerosis.
2. Penderita lebih sukar mengartikan atau mendengar suara atau percakapan dalam suasana gaduh dibanding suasana sunyi.
(23)
3. Terdapat riwayat trauma kepala, trauma akustik, riwayat pemakaian obat-obat ototoksik, ataupun penyakit sistemik sebelumnya.
Menurut Soetirto, Hendarmin dan Bashiruddin, pada pemeriksaan fisik atau otoskopi, kanal telinga luar maupun selaput gendang telinga tampak normal. Pada tes fungsi pendengaran, yaitu tes bisik, dijumpai penderita tidak dapat mendengar percakapan bisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar kata-kata yang mengundang nada tinggi (huruf konsonan).
Pada tes garputala Rinne positif, hantaran udara lebih baik dari pada hantaran tulang. Tes Weber ada lateralisasi ke arah telinga sehat. Tes Schwabach ada pemendekan hantaran tulang.
2.3.3.3. Gangguan Pendengaran Jenis Campuran
Gangguan jenis ini merupakan kombinasi dari gangguan pendengaran jenis konduktif dan gangguan pendengaran jenis sensorineural. Mula-mula gangguan pendengaran jenis ini adalah jenis hantaran (misalnya otosklerosis), kemudian berkembang lebih lanjut menjadi gangguan sensorineural. Dapat pula sebaliknya, mula-mula gangguan pendengaran jenis sensorineural, lalu kemudian disertai dengan gangguan hantaran (misalnya presbikusis), kemudian terkena infeksi otitis media. Kedua gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama. Misalnya trauma kepala yang berat sekaligus mengenai telinga tengah dan telinga dalam (Miyoso, Mewengkang dan Aritomoyo, 1985).
Gejala yang timbul juga merupakan kombinasi dari kedua komponen gejala gangguan pendengaran jenis hantaran dan sensorineural. Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi tanda-tanda yang dijumpai sama seperti pada gangguan pendengaran jenis sensorineural. Pada tes bisik dijumpai penderita tidak dapat mendengar suara bisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar kata-kata baik yang mengandung nada rendah maupun nada tinggi. Tes garputala Rinne negatif. Weber lateralisasi ke arah yang sehat. Schwabach memendek (Bhargava, Bhargava and Shah, 2002).
(24)
5.1.1. Pemeriksaan dan Diagnosis Gangguan Pendengaran
Diagnosis meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik atau otoskopi telinga, hidung dan tenggorok, tes pendengarn, yaitu tes bisik, tes garputala dan tes audiometri dan pemeriksaan penunjang. Tes bisik merupakan suatu tes pendengaran dengan memberikan suara bisik berupa kata-kata kepada telinga penderita dengan jarak tertentu. Hasil tes berupa jarak pendengaran, yaitu jarak antara pemeriksa dan penderita di mana suara bisik masih dapat didengar enam meter. Pada nilai normal tes berbisik ialah 5/6 – 6/6.
Tes garputala merupakan tes kualitatif. Garputala 512 Hz tidak terlalu dipengaruhi suara bising disekitarnya. Menurut Guyton dan Hall, cara melakukan tes Rinne adalah penala digetarkan, tangkainya diletakkan di prosesus mastoideus. Setelah tidak terdengar penala dipegang di depan teling kira-kira 2 ½ cm. Bila masih terdengar disebut Rinne positif. Bila tidak terdengar disebut Rinne negatif.
Cara melakukan tes Weber adalah penala digetarkan dan tangkai garputala diletakkan di garis tengah kepala (di vertex, dahi, pangkal hidung, dan di dagu). Apabila bunyi garputala terdengar lebih keras pada salah satu telinga disebut Weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak dapat dibedakan ke arah teling mana bunyi terdengar lebih keras disebut Weber tidak ada lateralisasi.
Cara melakukan tes Schwabach adalah garputala digetarkan, tangkai garputala diletakkan pada prosesus mastoideus sampai tidak terdengar bunyi. Kemudian tangkai garputala segera dipindahkan pada prosesus mastoideus telinga pemeriksa yang pendengarannya normal. Bila pemeriksa masih dapat mendengar disebut Schwabach memendek, bila pemeriksa tidak dapat mendengar, pemeriksaan diulang dengan cara sebaliknya, yaitu garputala diletakkan pada prosesus mastoideus pemeriksa lebih dulu. Bila penderita masih dapat mendengar bunyi disebut Schwabach memanjang dan bila pasien dan pemeriksa kira-kira sama-sama mendengarnya disebut Schwabach sama dengan pemeriksa (Medicastore, 2006).
Tes audiometri merupakan tes pendengaran dengan alat elektroakustik. Tes ini meliputi audiometri nada murni dan audometri nada tutur. Audiometri nada murni dapat mengukur nilai ambang hantaran udara dan hantaran tulang
(25)
penderita dengan alat elektroakustik. Alat tersebut dapat menghasilkan nada-nada tunggal dengan frekuensi dan intensitasnya yang dapat diukur. Untuk mengukur nilai ambang hantaran udara penderita menerima suara dari sumber suara lewat heaphone, sedangkan untuk mengukur hantaran tulangnya penderita menerima suara dari sumber suara lewat vibrator.
Manfaat dari tes ini adalah dapat mengetahui keadaan fungsi pendengaran masing-masing telinga secara kualitatif (pendengaran normal, gangguan pendengaran jenis hantaran, gangguan pendengaran jenis sensorineural, dan gangguan pendengaran jenis campuran). Dapat mengetahui derajat kekurangan pendengaran secara kuantitatif (normal, ringan, sedang, sedang berat, dan berat) (Bhargava, Bhargava dan Shah, 2002).
5.1.2. Penyakit yang Menyebabkan Gangguan Pendengaran
Penyakit telinga dapat menyebabkan tuli konduktif atau tuli sensorineural. Tuli konduktif, disebabkan kelainan terdapat di telinga luar atau telinga tengah. Telinga luar yang menyebabkan tuli konduktif adalah atresia liang telinga, sumbatan oleh serumen, otitis eksterna sirkumskripta dan osteoma liang telinga. Kelainan di telinga tengah yang menyebabkan tuli konduktif adalah sumbatan tuba eustachius, otitis media, otosklerosis, timpanosklerosis, hemotimpanum dan dislokasi tulang pendengaran.
Tuli sensorineural dibagi dalam tuli sensorineural koklea dan retrokoklea. Tuli sensorineural koklea disebabkan oleh aplasia (kongenital), labirintitis (oleh bakteri atau virus) dan intoksikasi obat (streptomisin, kanamisin, garamisin, neomisin, kina, asetosal, atau alcohol). Selain itu, dapat juga disebabkan oleh tuli mendadak (sudden deafness), trauma kapitis, trauma akustik dan pajanan bising.
Tuli sensorineural retrokoklea disebabkan oleh neuroma akustik, tumor sudut pons serebelum, myeloma multiple, cedera otak, perdarahan otak, dan kelainan otak lainnya. Kerusakan telinga oleh obat, pengaruh suara keras, dan usia lanjut akan menyebabkan kerusakan pada penerimaan nada tinggi di bagian basal koklea. Presbikusis ialah penurunan kemampuan mendengar pada usia
(26)
lanjut. Pada trauma kepala dapat terjadi kerusakan di otak karena hematoma, sehingga terjadi gangguan pendengaran (Maqbool, 2000).
5.2. Gangguan Pendengaran pada Siswa Sekolah
Gangguan pendengaran mempunyai dampak yang merugikan pada siswa. Menurut Suwento, siswa akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan lingkungannya dan terisolasi. Mereka akan kehilangan kesempatan dalam aktualisasi diri, mengikuti pendidikan formal di sekolah umum, kehilangan kesempatan memperoleh pekerjaan yang pada akhirnya berakibat pada rendahnya kualitas hidup (Purnanta, Soekardono, Rianto dan Christanto, 2008).
(27)
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep
Gambar 3.1. Kerangka konsep prevalensi gangguan pendengaran pada siswa SMA Swasta Raksana di Kota Medan pada tahun 2010 3.2. Variabel dan Definisi Operasional
Variabel-variabel yang akan diteliti mencakup karakteristik demografi siswa SMA dan prevalensi gangguan pendengaran.
Karekteristik demografi siswa SMA mencakup jenis kelamin, usia dan kelas SMA. SMA yang dipilih adalah SMA Swasta Raksana. Jenis kelamin adalah sesuatu ciri dari makhluk hidup yang membedakan jenis makhluk tersebut. Jenis kelamin dikategorikan menjadi lelaki dan perempuan. Umur adalah lamanya waktu perjalanan hidup responden yang dihitung sejak lahir sampai pada saat pelaksanaan tes. Umur siswa diukur menurut tahun mereka dilahirkan. Kelas SMA dikategori menjadi kelas I, kelas II, dan kelas III.
Gangguan pendengaran menggambarkan kehilangan pendengaran di salah satu atau kedua telinga. Ada tiga jenis gangguan pendengaran, yaitu konduktif, sensorineural dan campuran. Pada gangguan pendengaran konduktif terdapat masalah di dalam telinga luar atau tengah, sedangkan pada gangguan pendengaran sensorineural terdapat masalah di telinga bagian dalam dan saraf pendengaran. Gangguan pendengaran campuran adalah gabungan tuli konduktif dan tuli sensorineural. Menurut Sastroasmoro, prevalensi ialah ukur an morbiditas kasus
Prevalensi Gangguan
Pendengaran
•
Jenis
•
Sisi Telinga
Siswa SMA
•
Karakteristik
Demografi
(28)
lama tambah kasus baru berdasarkan angka kejadian suatu penyakit pada populasi tertentu dan pada waktu tertentu.
Gangguan pendengaran diukur dengan menggunakan tes garputala. Tes garputala yang dilakukan tes Rinne dan tes Weber. Garputala yang dipilih ialah 512 Hz karena penggunaan garpu tala ini tidak terlalu dipengaruhi suara bising di sekitarnya. Tes ini akan dilakukan di ruangan yang sunyi.
Cara melakukan tes Rinne adalah, garputala digetarkan, tangkainya diletakkan di prosesus mastoideus. Setelah tidak terdengar garputala dipegang di depan teling kira-kira 2 ½ cm. Bila masih terdengar disebut Rinne positif. Bila tidak terdengar disebut Rinne negatif. Cara melakukan tes Weber adalah, garputala digetarkan dan tangkai garputala diletakkan di garis tengah kepala (di vertex, dahi, pangkal hidung, dan di dagu). Apabila bunyi garputala terdengar lebih keras pada salah satu telinga disebut Weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak dapat dibedakan ke arah teling mana bunyi terdengar lebih keras disebut Weber tidak ada lateralisasi.
Table 3.1. Interpretasi hasil Tes Rinne dan Tes Weber
Tes Rinne Tes Weber Diagnosis
Positif Tidak ada lateralisasi Normal
Negatif Lateralisasi ke telinga
yang sakit Tuli konduktif
Positif Lateralisasi ke telinga
(29)
Dalam penentuan kategori gangguan pendengaran dinilai menurut positif bila normal dan negatif bila ada gangguan pendengaran (tuli konduktif atau tuli sensorineural). Jenis gangguan pendengaran dikategorikan tuli konduktif, tuli senorineural dan campuran. Skala pengukuran bagi gangguan pendengaran ialah nominal.
(30)
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif, yaitu suatu survey morbiditas untuk mengetahui prevalensi gangguan pendengaran pada siswa SMA Swasta Raksana di Kota Medan pada tahun 2010.
4.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMA Swasta Raksana di Kota Medan. Waktu penelitian ini direncanakan pada bulan Juli hingga Agustus 2010.
4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah semua siswa SMA Swasta Raksana yang berjumlah 1271 orang. Siswa SMA dipilih karena statistika menunjukkan kelompok usia yang mengalami gangguan pendengaran paling tinggi adalah (7-19) tahun dan usia siswa SMA berada dalam rentang usia tersebut.
4.3.2. Sampel
Kriteria penerimaan sampel adalah semua siswa SMA Swasta Raksana. Sampel pada penelitian ini dipilih secara random dari populasi. Siswa yang tidak bersedia dilakukan pemeriksaan tidak disertakan sebagai sampel.
Menurut Notoatmodjo, untuk mencapai jumlah sampel dari populasi yang jumlahnya lebih kecil dari 10.000, dapat dihitung berdasarkan rumus :
(31)
n =
1 + N (d2) N_____
Keterangan :
N = Besar populasi
n = Besar sampel
d = Tingkat kepercayaan/ ketepatan yang diinginkan. Dalam penelitian ini, peneliti menetapkan = 0,1
Angka- angka di atas di masukkan kembali ke rumus besar sampel:
n =
1 + 1271 (0.12) 1271 _
n= 92,70 ≈ 93 orang
4.3.4. Cara Sampling
Cara sampling yang dipilih ialah proppartional stratified sampling. Menurut Notoatmodjo, apabila suatu populasi terdiri dari unit yang mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, maka teknik pengambilan sampel yang tepat digunakan adalah proppartional stratified sampling. Hal ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi karakteristik umum dari anggota populasi, kemudian menuntukan strata atau lapisan dari jenis karakteristik unit-unit tersebut. Agar perimbangan sampel dari masing-masing strata itu memadai, maka dalam teknik ini sering pula dilakukan perimbangan antara jumlah anggota populasi berdasarkan masing-masing strata. Setiap SMA dibagi menurut strata kelas, pada Kelas 10 SMA diambil 32 sampel, kelas 11 SMA diambil 32 sampel dan kelas 12 SMA diambil 32 sampel. Siswa dipilih dengan secara random dengan cara penarikan untuk mendapatkan 32 sampel pada setiap kelas SMA. Jadi, jumlah sampel yang diperoleh adalah 96 (3×32) orang.
(32)
4.4. Teknik Pengumpulan Data 4.4.1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber data. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan tes garputala. Peneliti meminta izin terlebih dahulu kepada kepala SMA Swasta Raksana. Siswa yang telah dipilih akan ditempatkan dalam ruang pemeriksaan yang telah disediakan. Ruang pemeriksaan ini harus di tempat yang sunyi untuk mengelakan faktor bising. Peneliti memberikan penjelasan secara ringkas tentang penelitian ini dan cara merespon pada tes kepada responden sebelum tes dilakukan. Selanjutnya, tes gaprutala Rinne dan Weber dilakukan terhadap responden.
4.4.2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang didapatkan secara langsung dari pihak Administrasi Yayasan Pendidikan Raksana tentang jumlah, kelas, usia, dan agama siswa SMA tahun 2010.
4.5. Pengolahan Data
Data yang sudah terkumpul diperiksa. Setelah data diedit/diperiksa, langkah selanjutnya yakni memberi kode yaitu, positif jika responden mengalami gangguan pendengaran dan negatif jika responden tidak mengalami gangguan pendengaran dan jenis gangguan pendengaran ditentukan sama ada tuli konduktif, tuli sensorineural atau tuli campuran. Data yang telah dikumpul dan disusun secara tepat sesuai dengan variabel penelitian kemudian dimasukkan ke dalam komputer untuk diolah. Pemeriksaan data telah dimasukkan ke dalam program komputer dapat menghindari terjadinya kesalahan pada pemasukkan data.
Menentukan prevalensi gangguan pendengaran dengan menggunakan prevalence rate yaitu, mengukur jumlah orang dikalangan penduduk yang menderita satu penyakit pada satu titik waktu tertentu. Rumus A/A+B
(33)
yaitu, jumlah kasus gangguan pendengaran yang ada dibahagi dengan jumlah siswa SMA. Data disajikan dalam bentuk tabel frekuensi distribusi.
4.6. Analisis Data
Data yang berhasil dianalisa dengan menggunakan program komputer menggunakan perangkat lunak SPSS versi 16.0.
4.7. Kerangka Kerja
Gambar 3.2. Kerangka kerja prevalensi gangguan pendengaran pada siswa SMA Swasta Raksana di Kota Medan pada
tahun 2010
Anamnesis singkat
Pemeriksaan Rinne dan Weber.
Hasil Sampel
(34)
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Sekolah SMA Swasta Raksana berlokasi di Jalan Gajah Mada No. 20, Kota Medan. Sekolah ini berada di tengah kota dan dikelilingi oleh rumah penduduk.
5.1.2. Karakteristik Demografi Responden
Karakteristik responden terdiri dari jenis kelamin, usia, dan tingkat pendidikan. Didapatkan bahwa proporsi responden laki-laki sebesar 41,7% sedangkan proporsi responden perempuan sebesar 58,3%.
Usia siswa SMA Swasta Raksana yang mengikuti penelitian ini antara 14-19 tahun, di mana proporsi terbesar usia responden adalah 15 tahun sebesar 39,6%, sedangkan proporsi usia responden yang paling rendah adalah 19 tahun sebesar 1,0%.
Untuk mewakili semua siswa SMA Swasta Raksana, pada setiap tingkatan kelas diambil 32 orang siswa secara random. Data karakteristik responden selengkapnya dapat dilihat pada table 5.1. di bawah ini:
(35)
Table 5.1. Karakteristik demografi siswa SMA Swasta Raksana
Variabel n %
Jenis Kelamin
- Laki-Laki 40 41,7
- Perempuan 56 58,3
Usia (tahun)
- 14 tahun 8 8,3
- 15 tahun 38 39,6
- 16 tahun 27 28,1
- 17 tahun 20 20,8
- 18 tahun 2 2,1
- 19 tahun 1 1,0
Tingkat pendidikan
- Kelas 10 32 33,3
- Kelas 11 32 33,3
- Kelas 12 32 33,3
5.1.3. Hasil Analisa Data
Data mengenai prevalensi gangguan pendengaran pada siswa SMA Swasta Raksana pada tahun 2010 diperoleh melalui anamnesis dan pemeriksaan garputala. Berikut ini disajikan data hasil penelitian tersebut.
5.1.3.1. Distribusi Jenis Gangguan Pendengaran
Tabel 5.2. Distribusi jenis gangguan pendengaran pada siswa SMA Swasta Raksana
Diagnosis n %
Tuli Kondukt if 7 7,3
Tuli Sensorineural Tuli Campuran
3 0
3,1 0,0
Normal 86 89,6
(36)
Berdasarkan data di atas, didapatkan bahwa sebanyak 86 (89,6%) siswa didiagnosa normal. Prevalensi siswa yang menderita gangguan pendengaran adalah 10,4% yaitu, masing-masing tuli konduktif sebanyak 7,3% dan tuli sensorineural sebanyak 3,1%. Dengan asumsi sampel mewakili populasi maka, diperkirakan terdapat sebanyak 131 siswa mengalami gangguan pendengaran.
5.1.3.2. Distribusi Jenis Gangguan Pendengaran Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 5.3. Jenis gangguan pendengaran siswa SMA Swasta Raksana berdasarkan jenis kelamin
Diagnosis Jenis Kelamin
laki-laki perempuan
Tuli Konduktif 5 (5,2%) 2 (2,1%)
Tuli Sensorineural Tuli Campuran
1 (1,0%) 0 (0,0%)
2 (2,1%) 0 (0,0%)
Normal 34 (35,4%) 52 (54,2%)
Total 40 (41,7%) 56 (58,3%)
Tabel di atas memperlihatkan jenis gangguan pendengaran siswa SMA Swasta Raksana berdasarkan jenis kelamin. Persentase laki-laki menderita tuli konduktif adalah sebanyak 5,2% dan perempuan sebanyak 2,1%. Sebanyak 1,0% laki-laki dan 2,1% perempuan menderita tuli sensorineural. Persentase laki-laki menderita gangguan pendengaran adalah sebanyak 6,2%. Sementara, persentase perempuan menderita gangguan pendengaran adalah sebanyak 4,2%. Tidak ada siswa yang menderita tuli campuran.
(37)
5.1.3.3. Distribusi Sisi Telinga yang Mengalami Gangguan Pendengaran
Tabel 5.4. Distribusi sisi telinga yang mengalami gangguan pendengaran
Diagnosis n %
Unilateral 8 8,3
Bilateral 2 2,1
Normal 86 89,6
Total 96 100
Berdasarkan data di atas, didapatkan bahwa sebanyak 8 siswa mengalami gangguan pendengaran unilateral dan sebanyak 2 siswa mengalami gangguan pendengaran bilateral. Prevalensi siswa yang mengalami gangguan pendengaran unilateral adalah sebanyak 8,3% dan bilateral adalah sebanyak 2,1%.
Selanjutnya, distribusi jenis ganggaun pendengaran menurut sisi telinga yang mengalami gangguan dapat dilihat dalam diagram berikut:
Distribusi jenis ganggaun pendengaran menurut sisi telinga yang mengalami gangguan
0 2 4 6 8 10 Uni later al Bilat eral Sisi Telinga Je ni s G an ggu an Pen d en gar an Campuran Sensorineural Conduktif
Gambar 5.1. Distribusi jenis ganggaun pendengaran menurut sisi telinga yang mengalami gangguan
(38)
Berdasarkan grafik diatas terdapat sebanyak 8 (8,3%) orang siswa yang mengalami gangguan pendengaran pada satu sisi telinga yaitu, 6 (6,2%) orang siswa tuli konduktif dan 2 (2,1%) orang siswa tuli sensorineural . Manakala, sebanyak 2 (2,1) orang siswa mengalami gangguan pendengaran pada dua sisi telinga yaitu, 1 (1,05%) orang siswa menderita tuli konduktif dan 1 (1,05%) orang siswa menderita tuli sensorineural.
5.2. Pembahasan
Penelitian ini memperlihatkan prevalensi gangguan pendengaran pada siswa SMA Swasta Raksana. Pada tabel table 5.1. dapat melihat karakteristik demografi siswa SMA Swasta Raksana dari segi jenis kelamin, usia, dan tingkat pendidikan. Supaya dapat perkirakan prevalensi gangguan pendengaran pada penelitian ini telah dilakukan asumsi sampel mewakili populasi.
Pada tabel 5.2. distribusi jenis gangguan pendengaran didapati prevalensi gangguan pendengaran adalah sebanyak 10,4% yaitu, masing-masing tuli konduktif sebanyak 7,3% dan tuli sensorineural sebanyak 3,1%. Pada survey kesehatan indera penglihatan dan pendengaran pada tahun 1994-1996 didapati prevalensi gangguan pendengaran adalah sebanyak 16,3%. Perbedaan ini dapat terjadi karena status kesehatan masyarakat pada saat penelitian ini dilakukan lebih baik dibandingkan survey kesehatan indera.
Prevalensi gangguan pendengaran pada siswa laki-laki adalah sebanyak 6,2% dan siswa perempuan adalah sebanyak 4,2%. Siswa laki-laki mempunyai prevalensi tertinggi dibanding dengan siswa perempuan. Dalam hal ini peneliti sependapat dengan Khabori dan Khandekar, 2004 yang menyatakan bahwa prevalensi laki-laki menderita gangguan pendengaran lebih tinggi daripada perempuan. Hal ini mungkin disebabkan laki-laki lebih melakukan aktivitas diluar rumah sehingga lebih cenderung untuk terpapar kepada faktor resiko gangguan pendengaran seperti trauma, bising dan lain-lain. Selain itu, faktor genetik X linked juga memainkan peranan.
Pada tabel distribusi sisi telinga yang mengalami gangguan pendengaran menunjukkan bahwa prevalensi siswa yang mengalami gangguan pendengaran
(39)
unilateral adalah sebanyak 8,3% dan bilateral adalah sebanyak 2,1%. Gangguan pendengaran bilateral kurang dari unilateral disebabkan status pendidikan dan sosial yang bagus. Berdasarkan penelitian Josef Shargorodsky, MD, MPH, dari Brigham dan Women's Hospital, dan Boston menyatakan gangguan pendengaran bilateral kurang dari unilateral karena kurangnya etiologi seperti riwayat infeksi telinga sebanyak 3 atau lebih dan paparan suara keras selama 5 jam atau lebih dalam seminggu.
Pada anamnesis yang dilakukan didapati beberapa penyebab kemungkinan gangguan pendengaran. Penyebab yang didapati untuk tuli konduktif adalah liang telinga tersumbat kotoran atau benda asing, telinga tengah berisi cairan, pilek atau radang tenggorok yang menyebabkan terganggunya fungsi tuba Eustachius (saluran penghubung antara telinga tengah dengan atap tenggorok). Tuli sensorineural disebabkan oleh kerusakan pada rumah siput (koklea), saraf pendengaran dan batang otak (brainstem) sehingga bunyi tidak dapat diproses sebagaimana mestinya. Tuli campur ( mixed deafness) bila tuli konduktif dan sensorineural terjadi bersamaan.
Pada anamnesis didapati jumlah siswa yang menderita gangguan pendengaran sejak bayi sebanyak 4 (4,2%) orang. Pada pendapat peneliti hal ini mungkin disebabkan peningkatan kesadaran orang tua mengenai skrening untuk melihat kelainan telinga pada bayi. Semua pihak yang terlibat harus memainkan peranan penting dalam mendeteksi dini gangguan pendengaran.
(40)
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Prevalensi gangguan pendengaran pada siswa SMA Swasta Raksana adalah sebanyak 10,4%.
2. Prevalensi siswa yang menderita gangguan pendengaran adalah 10,4% yaitu, masing-masing tuli konduktif sebanyak 7,3%, tuli sensorineural sebanyak 3,1% dan tidak ada tuli campuran.
3. Prevalensi gangguan pendengaran pada siswa laki-laki adalah sebanyak 6,2% dan siswa perempuan adalah sebanyak 4,2%.
4. Distribusi sisi telinga yang mengalami gangguan pendengaran menunjukkan bahwa prevalensi siswa yang mengalami gangguan pendengaran unilateral adalah sebanyak 8,3% dan bilateral adalah sebanyak 2,1%.
6.2. Saran
6.2.1. Saran kepada Institusi yang Terkait dengan Masalah Gangguan Pendengaran
1. Dilakukan skrening pendengaran pada seluruh siswa.
2. Diharapkan pihak puskesmas dapat melakukan program
penangulangan gangguan pendengaran di sekolah.
3. Meningkatkan kesadaran orang tua mengenai gangguan pendengaran dan akibatnya supaya dapat mengurangkan kejadian gangguan pendengaran pada anak mereka.
(41)
6.2.2. Saran kepada Pihak Sekolah SMA Swasta Raksana di Medan
1. Pihak sekolah harus mengadakan penyuluhan yang dapat memberi kesadaran mengenai gangguan pendengaran dan tatalaksananya kepada siswa.
2. Pihak sekolah harus mengambil inisiatif dalam mendidik siswa untuk mendeteksi gangguan pendengaran dan sekaligus dapat mengurangi prevalensi gangguan pendengaran.
6.2.3. Saran kepada Peneliti Lain
1. Melakukan penelitian lebih lanjut lagi untuk mengetahui penyebab gangguan pendengaran.
2. Melakukan penelitian dengan sampel yang besar untuk mengetahui prevalensi yang lebih luas.
(42)
DAFTAR PUSTAKA
Audiolab One Stop Hearing Care Centre, 2004. Masalah pendengaran dan telinga anda. Diunduh dari: April 2010].
Bhargava, K.B., Bhargava, S.K., dan Shah, T.M., 2002. Deafness & Examination of the Ear. Dalam: A Short Textbook of E.N.T. Diseases. 5th ed. Mumbai: Usha Publications: 119-125 & 21-40.
Centers for Disease Control and Prevention. 2004. Hearing Loss. USA: National Center on Birth Defects and Developmental Disabilities. Diunduh dari:
Depkes Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010. Telinga Sehat Pendengaran Baik. Diunduh dari:
Guyton, A.C., dan Hall, J.E., 2007. The Sense of Hearing Dalam: Textbook of Medical Physiology. 11th ed. India: Saunders Elsevier: 651-662.
Hall, I. S., dan Colman, B.H., 1987. Anatomy of the Nose and Examination and Symptoms. Daam: Disease of the Nose, Throat and Ear. 13th ed. Edinburgh London Melbourne and New York: Churchill Livingstone: 7-14.
Ismail, C., 2008. Kajian Masalah Pendengaran Dan Saringan Mutasi A1555G Gen DNA Mitokondria (mtDNA), Hospital Sains Malaysia. Diunduh dari: [Akses 28 April 2010].
Khabori, M.A., dan Khandekar, R., 2004. The Prevalence and Causes of Hearing Impairment in Oman. Dalam: International Journal of Audiology, 43:486-492. Kliegman, R.M., Behrman, R.E., Jenson, H.B., dan Stanton, B.F., 2004. Hearing Loss. Dalam: Nelson Textbook of pediatrics. 18th ed. USA: Saunders Elseveir: 2620-2628.
Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (Komnas PGPKT), 2006. Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran Dan Ketulian Untuk Mencapai Sound Hearing 2030. Diunduh
dari:
(43)
Kumar, P., and Clark, M., 2005. Clinical Medicine. 6th ed. London, UK: Elseveir Saunders: 1153-1154.
Lalwani, A.K., 2008. Disoreders of Smell, Taste and Hearing Dalam: Harrison’s Principle of Internal Medicine. 17th ed. US: Mc Graw Hill: 199-204.
Lassman, M.F., Levine, S.C., dan Greenfield, D.G., Audiologi. Dalam: Adams, G.L., Boie, Jr., dan Highler, P.A., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran: 46-47.
Liston, S.L., dan Duvall, A.J., Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Telinga. Dalam: Adams, G.L., Boie, Jr., dan Highler, P.A., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran: 27-38.
Maqbool, M., 2000. Deafness. Dalam: Textbook of Ear, Nose and Throat Diseases. 9th ed. New Delhi: Jaypee Brothers: 102-109.
Medicastore, 2006. Berkurangnya Pendengaran dan Tuli. Diunduh dari: [Akses 15 April 2010].
Miyoso, D.P., Mewengkang, L.N., dan Aritomoyo, D., 1985. Diagnosis Kekurangan Pendengaran. Cermin Dunia Kedokteran,No.39: 16-20. Diunduh dari:
Notoatmodjo, S., 2005. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian Kesehatan. Dalam: Metodologi Penelitian Kesehatan PT. Rineka Cipta, Jakarta. Cetakan ketiga: 2-9.
Purnanta, M.A., Soekardono, S., Rianto, B.U.D., & Christanto, A., 2008. Pengaruh Bising terhadap Konsentrasi Belajar Murid Sekolah Dasar. Cermin Dunia Kedokteran, 163/vol.35no.4.
Rambe, A.Y.M., 2003. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. Bagian THT fakultas Kedokteran USU, Perpustakaan USU. No.Akses D0300207.
Sastroasmoro, S., dan Ismael, S., 2008. Perkiraan Besar Sampel. Dalam: Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. 3rd ed. Jakarta: Sagung Seto: 133.
Sherwood, L., 2002. Hearing and Equilibrium. Dalam: Human Physiology from Cells to Systems. 6th ed. Australia: Thomson Brooks/Cole: 208-217.
(44)
Soepardi, H.E.A., dan Iskandar, H.N., 2001. Pemeriksaan Telinga. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-hidung-tenggorok Kepala Leher. 5th ed. Jakarta: Gaya Baru: 1-3.
Soetirto, I., Hendarmin, H., dan Bashiruddin, J., Gangguan Pendengaran dan Kelainan Telinga. Dalam: Soepardi, H.E.A., dan Iskandar, H.N., 2001. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-hidung-tenggorok Kepala Leher. 5th ed. Jakarta: Gaya Baru: 9-21.
Suwento, R., 2006. Standar Pelayanan Kesehatan Di Puskesmas. Diunduh dari:
[Akses
13 April 2010].
Tortora, G.J., dan Derrickson, B.H., 2009. Principles of Anatomy and Physiology. 12th ed. Asia: John Wiley and Sons, Inc: 620-628.
World Health Organization, 2006. Deafness and Hearing Impairment. Diunduh dari: 2010].
(45)
Lampiran Riwayat Hidup Peneliti
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Sukganti Supramaniam
Tempat / tanggal lahir : Seremban / 13 Januari 1987
Pekerjaan : Mahasiswa
Agama : Hindu
Alamat : Jl. Dr. Mansur, Gg.Sehat No.26 Medan,
20155-Indonesia
Nomor Telepon : 087868660951
Orang Tua : Supramaniam Muthusamy
Riwayat Pendidikan : 1994-1999 Sekolah Rendah Kebangsaan Tamil 2000-2006 Sekolah Menengah KGV
2007-sekarang Fakultas Kedokteran USU
(46)
Lampiran Anamnesis dan Pemeriksaan
STATUS ANAMNESIS PENDERITA PENYAKIT THT DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA, HIDUNG,
TENGGOROK
FAKULTAS, KEDOKTERAN USU — RSVP. H. ADAM MALIK MEDAN
Tanggal : ...
I. IDE NT IFIK ASI
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin : Bangsa Suku :
Agama :
Alamat :
II. ANAMNESIS (Auto Anamnesis)
Gangguan Pendengaran : Ada/ Tidak
Riwayat Perjalanan Penyakit :
Riwayat Penyakit Keluarga :
(47)
Lampiran Anamnesis dan Pemeriksaan
ANAMNESE PENYAKIT TELINGA (GANGGUAN PENDENGARAN / TULI)
1. Apakah keluhan tersebut pads satu atau kedua telinga?
...
2. Timbul tiba-tiba atau bertambah berat secara bertahap dan sudah berapa lama diderita?
...
3. Adakah riwayat trauma kepala, telinga, tertampar, trauma akustik, terpajan bising, pemakaian obat ototoksik, menderita penyakit infeksi virus seperti parotitis, influensa berat dan meningitis?
...
4. Apakah gangguan pendengaran diderita sejak bayi?
...
5. Apakah gangguan ini lebih terasa ditempat yang bising atau, ditempat yang lebih tenang?
(48)
Lampiran Lembar Penjelasan
Salam sejahtera bagi kita semua,
Saya, Sukganti Supramaniam, mahasiswa semester VII Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, saat ini sedang melakukan penelitian yang berjudul “Prevalensi Gangguan Pendengaran pada Siswa Sekolah Menengah Atas Swasta Raksana di Kota Medan Tahun 2010”. Gangguan pendengaran menggambarkan kehilangan pendengaran di salah satu atau kedua telinga. Dari hasil "WHO Multi Center Study" pada tahun 1998, Indonesia termasuk empat negara di Asia Tenggara dengan prevalensi gangguan pendengaran yang cukup tinggi (4,6%). Data Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran pada tahun 1994-1996 juga menunjukan morbiditas yang tinggi, yaitu prevalensi gangguan pendengaran (16,8%) dan paling tinggi pada kelompok usia sekolah (7-18) tahun.
Penelitian saya ini menggunakan lembaran anamneses dengan 10 soalan dan lembar pemeriksaan. Saya mengharapkan kerjasama dari Saudara/i untuk memberikan jawaban yang sebenar-benarnya sesuai dengan pertanyaan dan pemeriksaan yang akan saya lakukan. Dengan menjawab pertanyaaan tersebut kita akan mengetahui prevalensi gangguan pendengaran pada siswa. Setelah pengisian lembaran anamneses dan pemeriksaan Saudara/i nantinya akan mendapat penjelasan mengenai gangguan pendengaran dan penatalaksanaan. Jawaban yang Saudara/i berikan hanya akan digunakan untuk kepentingan penelitian ini dan tidak akan disalahgunakan untuk maksud-maksud lain. Identitas Saudara/I tetap dirahasiakan dan tidak akan dituliskan atau disebarkan. Bila terjadi sesuatu atau ada yang ingin Saudara/i tanyakan dapat menemui atau menghubungi saya di : Alamat : Jl. Dr. Mansur, Gg.Sehat No.26 Medan, 20155-Indonesia No. Telepon / HP : 087868660951
(49)
Keikutsertaan Saudara/i dalam penelitian ini sangat Saya harapkan. Partisipasi Saudara/i bersifat bebas dan tanpa ada paksaan. Saudara/i berhak untuk menolak berpartisipasi tanpa dikenakan sanksi apapun.
Demikian penjelasan ini Saya sampaikan. Atas partisipasi dan kesediaan Saudara/i, Saya ucapkan terima kasih.
Medan, ________________ 2010
(50)
Lampiran Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan
LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN “Informed Consent”
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama :……….
Umur :……….
Pekerjaan :……….
Alamat :……….
Orang tua dari:
Nama : ………..
Umur : ………..
Kelas : ………..
Setelah mendapat keterangan dan penjelasan secara lengkap, serta memahaminya, maka dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan saya mengizinkan anak saya tersebut berpartisipasi pada penelitian ini. Demikianlah surat perjanjian ini saya perbuat tanpa paksaan dan apabila di kemudian hari saya mengundurkan diri, kepada saya tidak akan dituntut apapun.
Medan, ……… 2010 Yang membuat pernyataan
(51)
(……….)
(52)
(53)
(54)
(55)
Lampiran Hasil Data
No. Jenis
Kelamin Usia Kelas
Rinne
Weber Jenis Ketulian Kanan Kiri Kanan Kiri
1 LAKI LAKI 14 1 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 2 PEREMPUAN 14 1 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 3 LAKI LAKI 14 1 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 4 PEREMPUAN 14 1 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 5 LAKI LAKI 14 1 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 6 LAKI LAKI 14 1 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 7 LAKI LAKI 14 1 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 8 LAKI LAKI 14 1 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 9 LAKI LAKI 15 1 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 10 PEREMPUAN 15 1 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 11 PEREMPUAN 15 1 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 12 PEREMPUAN 15 1 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 13 PEREMPUAN 15 1 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 14 LAKI LAKI 15 1 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 15 PEREMPUAN 15 1 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 16 LAKI LAKI 15 1 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 17 PEREMPUAN 15 1 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 18 LAKI LAKI 15 1 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 19 LAKI LAKI 15 1 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 20 LAKI LAKI 15 1 + + Tidak ada Normal Normal
(56)
lateralisasi
21 PEREMPUAN 15 1 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
22 LAKI LAKI 15 1 + -
Lateralisasi ke telinga yang sakit
Normal Konduktif
23 LAKI LAKI 15 1 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 24 LAKI LAKI 15 1 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 25 LAKI LAKI 15 1 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 26 PEREMPUAN 15 1 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 27 PEREMPUAN 15 1 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 28 PEREMPUAN 15 1 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 29 PEREMPUAN 15 1 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 30 PEREMPUAN 15 1 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 31 PEREMPUAN 15 1 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 32 PEREMPUAN 15 1 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
33 PEREMPUAN 15 2 - +
Lateralisasi ke telinga yang sakit
Konduktif Normal
34 LAKI LAKI 15 2 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 35 PEREMPUAN 15 2 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 36 LAKI LAKI 15 2 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 37 PEREMPUAN 15 2 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
38 LAKI LAKI 15 1 - +
Lateralisasi ke telinga yang sakit
Konduktif Normal
39 PEREMPUAN 15 2 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 40 PEREMPUAN 15 2 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 41 LAKI LAKI 15 2 + + Tidak ada
(57)
42 PEREMPUAN 15 2 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 43 LAKI LAKI 15 2 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
44 PEREMPUAN 15 2 + +
Lateralisasi ke telinga yang sehat
Normal Sensorineural
45 LAKI LAKI 15 2 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 46 PEREMPUAN 15 2 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 47 LAKI LAKI 16 2 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 48 PEREMPUAN 16 2 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 49 LAKI LAKI 16 2 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
50 PEREMPUAN 16 2 - +
Lateralisasi ke telinga yang sakit
Konduktif Normal
51 LAKI LAKI 16 2 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 52 LAKI LAKI 16 2 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 53 LAKI LAKI 16 2 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
54 LAKI LAKI 16 2 + +
Lateralisasi ke telinga yang sehat
Sensorineural Sensorineural
55 LAKI LAKI 16 2 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 56 LAKI LAKI 16 2 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
57 LAKI LAKI 16 2 - -
Lateralisasi ke telinga yang sakit
Konduktif Konduktif
58 PEREMPUAN 16 2 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 59 LAKI LAKI 16 2 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 60 PEREMPUAN 16 2 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 61 PEREMPUAN 16 2 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 62 PEREMPUAN 16 2 + + Tidak ada
(58)
63 LAKI LAKI 16 2 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 64 PEREMPUAN 16 2 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 65 LAKI LAKI 16 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 66 LAKI LAKI 16 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 67 PEREMPUAN 16 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 68 LAKI LAKI 16 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 69 LAKI LAKI 16 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 70 PEREMPUAN 16 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 71 PEREMPUAN 16 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 72 PEREMPUAN 16 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 73 PEREMPUAN 16 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 74 PEREMPUAN 17 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 75 PEREMPUAN 17 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 76 PEREMPUAN 17 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 77 PEREMPUAN 17 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 78 PEREMPUAN 17 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 79 PEREMPUAN 17 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 80 PEREMPUAN 17 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
81 LAKI LAKI 17 3 - +
Lateralisasi ke telinga yang sakit
Konduktif Normal
82 PEREMPUAN 17 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 83 PEREMPUAN 17 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 84 PEREMPUAN 17 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 85 PEREMPUAN 17 3 + + Lateralisasi
(59)
yang sehat
86 LAKI LAKI 17 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 87 PEREMPUAN 17 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
88 LAKI LAKI 17 2 + -
Lateralisasi ke telinga yang sakit
Normal Konduktif
89 PEREMPUAN 17 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 90 PEREMPUAN 17 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 91 PEREMPUAN 17 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 92 PEREMPUAN 17 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 93 LAKI LAKI 17 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 94 PEREMPUAN 18 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 95 PEREMPUAN 18 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal 96 PEREMPUAN 19 3 + + Tidak ada
(60)
Lampiran Hasil Output Analisis Data (Karakteristik)
Frequencies
Statistics
JENIS KELAMIN RESPONDEN
USIA RESPONDEN
TINGKAT PENDIDIKAN
N Valid 96 96 96
Missing 0 0 0
JENIS KELAMIN RESPONDEN
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent Valid LAKI LAKI 40 41.7 41.7 41.7
PEREMPUAN 56 58.3 58.3 100.0
Total 96 100.0 100.0
USIA RESPONDEN
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 14 8 8.3 8.3 8.3
15 38 39.6 39.6 47.9
16 27 28.1 28.1 76.0
17 20 20.8 20.8 96.9
18 2 2.1 2.1 99.0
19 1 1.0 1.0 100.0
Total 96 100.0 100.0
(61)
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent Valid 1 32 33.3 33.3 33.3
2 32 33.3 33.3 66.7
3 32 33.3 33.3 100.0
Total 96 100.0 100.0
Lampiran hasil Output Data (Distribusi)
Frequencies
StatisticsDIAGNOSIS RESPONDEN N Valid 96
Missing 0
DIAGNOSIS RESPONDEN
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid NORMAL 86 89.6 89.6 89.6
TULI KONDUKTIF 7 7.3 7.3 96.9 TULI SENSORINEURAL 3 3.1 3.1 100.0
Total 96 100.0 100.0
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total N Percent N Percent N Percent DIAGNOSIS
RESPONDEN * JENIS KELAMIN
RESPONDEN
(62)
DIAGNOSIS RESPONDEN * JENIS KELAMIN RESPONDEN Crosstabulation
34 52 86
85.0% 92.9% 89.6%
35.4% 54.2% 89.6%
5 2 7
12.5% 3.6% 7.3%
5.2% 2.1% 7.3%
1 2 3
2.5% 3.6% 3.1%
1.0% 2.1% 3.1%
40 56 96
100.0% 100.0% 100.0%
41.7% 58.3% 100.0%
Count % within JENIS KELAMIN RESPONDEN % of Total
Count % within JENIS KELAMIN RESPONDEN % of Total
Count % within JENIS KELAMIN RESPONDEN % of Total
Count % within JENIS KELAMIN RESPONDEN % of Total
NORMAL TULI KONDUKTIF TULI SENSORINEURAL DIAGNOSIS RESPONDEN Total
LAKI LAKI PEREMPUAN
JENIS KELAMIN RESPONDEN
Total
Frequencies
StatisticsSITE OF HEARING IMPAIRMENT N Valid 10
Missing 86
SITE OF HEARING IMPAIRMENT
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent Valid UNILATERAL 8 8.3 80.0 80.0
BILATERAL 2 2.1 20.0 100.0
Total 10 10.4 100.0
Missing System 86 89.6
(63)
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total N Percent N Percent N Percent DIAGNOSIS
RESPONDEN * SITE OF HEARING IMPAIRMENT
10 10.4% 86 89.6% 96 100.0%
DIAGNOSIS RESPONDEN * SITE OF HEARING IMPAIRMENT Crosstabulation
6 1 7
75.0% 50.0% 70.0%
60.0% 10.0% 70.0%
2 1 3
25.0% 50.0% 30.0%
20.0% 10.0% 30.0%
8 2 10
100.0% 100.0% 100.0%
80.0% 20.0% 100.0%
Count
% within SITE OF HEARING IMPAIRMENT % of Total
Count
% within SITE OF HEARING IMPAIRMENT % of Total
Count
% within SITE OF HEARING IMPAIRMENT % of Total
TULI KONDUKTIF TULI SENSORINEURAL DIAGNOSIS RESPONDEN Total UNILATERAL BILATERAL
SITE OF HEARING IMPAIRMENT
(1)
63 LAKI LAKI 16 2 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
64 PEREMPUAN 16 2 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
65 LAKI LAKI 16 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
66 LAKI LAKI 16 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
67 PEREMPUAN 16 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
68 LAKI LAKI 16 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
69 LAKI LAKI 16 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
70 PEREMPUAN 16 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
71 PEREMPUAN 16 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
72 PEREMPUAN 16 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
73 PEREMPUAN 16 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
74 PEREMPUAN 17 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
75 PEREMPUAN 17 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
76 PEREMPUAN 17 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
77 PEREMPUAN 17 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
78 PEREMPUAN 17 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
79 PEREMPUAN 17 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
80 PEREMPUAN 17 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
81 LAKI LAKI 17 3 - +
Lateralisasi ke telinga yang sakit
Konduktif Normal
82 PEREMPUAN 17 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
83 PEREMPUAN 17 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
84 PEREMPUAN 17 3 + + Tidak ada
(2)
yang sehat
86 LAKI LAKI 17 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
87 PEREMPUAN 17 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
88 LAKI LAKI 17 2 + -
Lateralisasi ke telinga yang sakit
Normal Konduktif
89 PEREMPUAN 17 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
90 PEREMPUAN 17 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
91 PEREMPUAN 17 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
92 PEREMPUAN 17 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
93 LAKI LAKI 17 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
94 PEREMPUAN 18 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
95 PEREMPUAN 18 3 + + Tidak ada
lateralisasi Normal Normal
96 PEREMPUAN 19 3 + + Tidak ada
(3)
Lampiran Hasil Output Analisis Data (Karakteristik)
Frequencies
Statistics
JENIS KELAMIN RESPONDEN
USIA RESPONDEN
TINGKAT PENDIDIKAN
N Valid 96 96 96
Missing 0 0 0
JENIS KELAMIN RESPONDEN
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent Valid LAKI LAKI 40 41.7 41.7 41.7
PEREMPUAN 56 58.3 58.3 100.0
Total 96 100.0 100.0
USIA RESPONDEN
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent Valid 14 8 8.3 8.3 8.3
15 38 39.6 39.6 47.9 16 27 28.1 28.1 76.0 17 20 20.8 20.8 96.9
18 2 2.1 2.1 99.0
19 1 1.0 1.0 100.0
(4)
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent Valid 1 32 33.3 33.3 33.3
2 32 33.3 33.3 66.7
3 32 33.3 33.3 100.0 Total 96 100.0 100.0
Lampiran hasil Output Data (Distribusi)
Frequencies
Statistics
DIAGNOSIS RESPONDEN N Valid 96
Missing 0
DIAGNOSIS RESPONDEN
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent Valid NORMAL 86 89.6 89.6 89.6
TULI KONDUKTIF 7 7.3 7.3 96.9 TULI SENSORINEURAL 3 3.1 3.1 100.0
Total 96 100.0 100.0
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total N Percent N Percent N Percent DIAGNOSIS
RESPONDEN * JENIS KELAMIN
RESPONDEN
(5)
DIAGNOSIS RESPONDEN * JENIS KELAMIN RESPONDEN Crosstabulation
34 52 86
85.0% 92.9% 89.6%
35.4% 54.2% 89.6%
5 2 7
12.5% 3.6% 7.3%
5.2% 2.1% 7.3%
1 2 3
2.5% 3.6% 3.1%
1.0% 2.1% 3.1%
40 56 96
100.0% 100.0% 100.0%
41.7% 58.3% 100.0%
Count % within JENIS KELAMIN RESPONDEN % of Total
Count % within JENIS KELAMIN RESPONDEN % of Total
Count % within JENIS KELAMIN RESPONDEN % of Total
Count % within JENIS KELAMIN RESPONDEN % of Total
NORMAL
TULI KONDUKTIF
TULI SENSORINEURAL DIAGNOSIS
RESPONDEN
Total
LAKI LAKI PEREMPUAN JENIS KELAMIN
RESPONDEN
Total
Frequencies
Statistics
SITE OF HEARING IMPAIRMENT N Valid 10
Missing 86
SITE OF HEARING IMPAIRMENT
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent Valid UNILATERAL 8 8.3 80.0 80.0
BILATERAL 2 2.1 20.0 100.0
Total 10 10.4 100.0
Missing System 86 89.6
(6)
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total N Percent N Percent N Percent DIAGNOSIS
RESPONDEN * SITE OF HEARING IMPAIRMENT
10 10.4% 86 89.6% 96 100.0%
DIAGNOSIS RESPONDEN * SITE OF HEARING IMPAIRMENT Crosstabulation
6 1 7
75.0% 50.0% 70.0%
60.0% 10.0% 70.0%
2 1 3
25.0% 50.0% 30.0%
20.0% 10.0% 30.0%
8 2 10
100.0% 100.0% 100.0%
80.0% 20.0% 100.0%
Count
% within SITE OF HEARING IMPAIRMENT % of Total
Count
% within SITE OF HEARING IMPAIRMENT % of Total
Count
% within SITE OF HEARING IMPAIRMENT % of Total
TULI KONDUKTIF
TULI SENSORINEURAL DIAGNOSIS
RESPONDEN
Total
UNILATERAL BILATERAL SITE OF HEARING
IMPAIRMENT