Analisis Sosiologis Terhadap Cerita Rakyat Mual Simata Niari

(1)

ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP CERITA RAKYAT

MUAL SIMATA NIARI

Disusun oleh :

NAMA : HERBERT SURYA B.MANURUNG

NIM : 030703006

DEPARTEMEN ILMU BAHASA DAN SASTRA BATAK

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENGESAHAN

Diterima Oleh :

Panitia ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian dalam bidang Ilmu Bahasa dan Sastra Batak pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan.

Pada :

Hari :

Tanggal :

Fakultas Sastra USU Dekan,

Drs.Syaifuddin.M.A.Phd NIP : 1312098531

Panitia Ujian :

No. Nama Tanda Tangan

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.


(3)

ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP CERITA RAKYAT MUAL SIMATA NIARI

Skripsi Sarjana Di kerjakan Oleh :

NAMA : HERBERT SURYA B.MANURUNG NIM : 030703006

Medan, Desember 2007

Disejutui Oleh :

Pembimbing I Pembimbing II

Drs.Jamorlan Siahaan Drs. Baharuddin M.Hum


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………...I ABSTRAK ……….III PENGESAHAN ……….IV DAFTAR ISI ………...V BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah ………...1

1.2Perumusan Masalah…...………4

1.3Tujuan Penelitian………...5

1.4Manfaat Penelitian……….5

1.5Anggapan Dasar……….5

1.6Kajian Pustaka………...6

1.6.1 Kepustakaan Yang Relevan………...6

1.6.1.1 Pengertian Sastra………...6

1.6.1.2 Pengertian Sosiologis………..11

1.6.1.3 Hubungan Sastra Dengan Sosiologis………14

1.6.1.4 Sosiologis Sebagai Pendekatan Sastra………..16

1.6.2 Teori Yang Digunakan………...19

1.7 Metode Penelitian 1.7.1 Metode Dasar………...20

1.7.2 Lokasi, Sumber Data………...21

1.7.3 Instrumen Penelitian………...21


(5)

1.7.5 Metode Analisis Data………..23

1.8 Sistematika Penyajian………..23

BAB II DESKRIPSI MASYARAKAT Letak Geografis dan Sejarah Singkat Masyarakat Batak Toba Sibisa Porsea……….25

Letak Geografis………...25

Sejarah Singkat Masyarakat Batak Toba Sibisa……….26

Kosmologi Masyarakat………28

BAB III PEMBAHASAN Unsur – unsur Instrinsik Cerita………..29

Tema………29

Alur/Plot………..31

Latar/Setting………...40

Perwatakan……….41

BAB IV NILAI – NILAI SOSIOLOGIS DALAM CERITA 4.1 Nilai – Nilai Sosiologis……….44

4.1.1 Pengabdian……….44

4.1.2 Tanggung Jawab………46

4.1.3 Pertentangan………..47

4.1.4 Permintaan Maaf………...48

4.1.5 Kasih Sayang……….49

4.2 Pandangan Masyarakat………..51

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan………..52


(6)

DAFTAR PUSTAKA………56 LAMPIRAN :

1.Surat Penelitian 2.Bukti / Foto 3.Daftar Informan


(7)

Abstrak

Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari beribu pulau yang dihuni dari berbagai suku bangsa, golongan dan lapisan sosial. Mengingat hal itu, sudah barang tentu akan menghasilkan berbagai macam budaya, adat istiadat, dan karya sastra yang berbeda. Namun dengan demikian lahirnya negara kesatuan Republik Indonesia dapat memberikan rasa persatuan dan kesatuan atas budaya , adat istiadat, bahasa, dan sastra yang berbeda dengan dasar Bhineka Tunggal Ika. Sastra memiliki budaya yang tercermin dalam pemberian arti aspek-aspek pada berbagai jenis perilaku atau tindakan antar individu maupun golongan secara utuh. Perkembangan sastra Indonesia secara keseluruhan tidak terlepas dari masalah kesusasteraan daerah, karena sastra daerah adalah suatu modal memperkaya dan memberikan sumbangan terhadap sastra Indonesia. Secara garis besar sastra terbagi atas dua bagian yaitu : sastra lisan dan sastra tulisan. Sastra lisan dalam penyampainnya adalah dari mulut ke mulut yang berisi cerita-cerita terhadap sesama ( Sastra Oral ) yang merupakan warisan turun temurun dan mempunyai nilai-nilai luhur yang perlu dikembangkan misalnya : mitos, legenda, dongeng, dan lain-lain. Sastra tulisan dalm penyampaiannya adalah melalui tulisan yang sudah dibukukan dan dibaca orang banyak. Sastra tulisan ini banyak yang berasal dari sastra lisan misalnya satu dongeng yang diceritakan seseorang kemudian ditulis dan di bukuka n oleh orang yang mendengarnya. Salah satu contoh sastra


(8)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari beribu pulau yang dihuni dari berbagai suku bangsa, golongan dan lapisan sosial. Mengingat hal itu, sudah barang tentu akan menghasilkan berbagai macam budaya, adat istiadat, dan karya sastra yang berbeda. Namun dengan demikian lahirnya negara kesatuan Republik Indonesia dapat memberikan rasa persatuan dan kesatuan atas budaya , adat istiadat, bahasa, dan sastra yang berbeda dengan dasar Bhineka Tunggal Ika.

Sastra memiliki budaya yang tercermin dalam pemberian arti aspek-aspek pada berbagai jenis perilaku atau tindakan antar individu maupun golongan secara utuh. Perkembangan sastra Indonesia secara keseluruhan tidak terlepas dari masalah kesusasteraan daerah, karena sastra daerah adalah suatu modal memperkaya dan memberikan sumbangan terhadap sastra Indonesia.

Secara garis besar sastra terbagi atas dua bagian yaitu : sastra lisan dan sastra tulisan. Sastra lisan dalam penyampainnya adalah dari mulut ke mulut yang berisi cerita-cerita terhadap sesama ( Sastra Oral ) yang merupakan warisan turun temurun dan mempunyai nilai-nilai luhur yang perlu dikembangkan misalnya : mitos, legenda, dongeng, dan lain-lain. Sastra tulisan dalm penyampaiannya adalah melalui tulisan yang sudah dibukukan dan dibaca orang banyak. Sastra tulisan ini banyak yang berasal dari sastra lisan misalnya satu dongeng yang diceritakan seseorang kemudian ditulis dan di bukukan oleh orang yang mendengarnya. Salah satu contoh sastra


(9)

tulisan ini adalah Pustaha, yaitu tulisan yang terdapat pada kulit kayu ( Lak-lak ) dan pustaha ini berisikan sejrah, silsilah (tarombo), mantra dan lain-lain.

Banyak sastra lisan yang telah dibukukan, tetapi harus diakui juga masih banyak yang belum dibukukan. Dengan segala kekurangan dan kelemahannya penulis mencoba mengangkat karya sastra tersebut berupa cerita rakyat yaitu Mual Simata Niari yang berasal dari sibisa Porsea.

Cerita Mual Simata Niari ini mengisahkan seorang putri raja yang bernama

Pinta Haomasan sangat sombong dan tinggi hati karena kecantikannya. Dalam cerita tersebut si Putri diminta agar mau menikah dengan putra dari Boru Similing-Iling

yang bernama Raja Tambun asalkan diberikan warisan (Pauseang) yang lebih

banyak dari adiknya dan setelah dipenuhi permintaannya maka dia pun bersedia menikah meskipun terdapat rasa kesal dari adiknya.yang bernama Mas Mauli.

Karena kesediaannya mau menikah dengan Raja Tambun maka Raja Toga Manurung pun bersedia memberikan permintaannya meskipun ada terdapat rasa kesal dari adik Mas Mauli , akan tetapi dia pun setuju asal hati kakaknya senang.

Skripsi ini berjudul “ ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP CERITA

RAKYAT MUAL SIMATA NIARI “ yang terdapat di Desa Pardamean Kecamatan

Ajibata Kabupaten Toba Samosir, yang berisikan ajaran-ajaran budaya dan pesan yang mungkin berguna bagi pembaca dan peminat cerita rakyat.

Dalam cerita Mual Simata Niari ditemukan juga beberapa nilai-nilai sosiologis yang didapat penulis yaitu :

1. Tanggung jawab orangtua kepada anaknya 2. Pengabdian yang tidak ternilai harganya

3. Guna dan manfaat cerita beserta objeknya terhadap marga manurung dan terutama terhadap marga Tambunan yang dianggap sebagai harta yang


(10)

paling berharga karena memiliki fungsi yang sangat diakui kebenarannya dan keampuhannya.

Dengan demikian karya sastra bukanlah suatu uraian-uraian kosong atau khayalan yang sifatnya sekedar menghibur pembaca saja akan tetapi melalui karya sastra tesebut dihidupkan oleh pembaca agar lebih arif dan bijaksana dalam bertindak dan berpikir karena pada karya sastra selalu berisi masalah kehidupan manusia nyata untuk dijadikan pedoman bagi pembaca. Usaha untuk mengungkapkan dan memaparkan karya sastra tersebut adalah penelusuran terhadap unsur kebudayaan yang perlu dilaksankan karena sastra daerah merupakan sumber yang tidak pernah kering bagi kesempurnaan karya sastra, yang berarti keutuhan kebudayaan nasional kita.

Sastra lisan merupakan kekayaan budaya, khususnya kekayaan sastra karena sastra lisan sebagai modal apresiasi sastra, sebab sastra lisan telah membimbing pembaca untuk melakukan apresiasi san pemahaman gagasan berdasarkan praktik selama berabad-abad. Sastra lisan merupakan dasar komunikasi antara pencipta, masyarakat, dan peminat cerita yang dalam arti bahwa karya atau ciptaan yang didasarkan pada karya sastra akan lebih mudah untuk dipahami dan dihayati sebab unsur-unsurnya lebih mudah dikenal dan dilaksanakan oleh masyarakat.

Karya-karya sastra lisan tersebut telah banyak memberikan sumbangan yang berupa didaktis, filsafat, ilmu pengetahuan, dan lain-lain yang perlu diteliti dan diangkat kepermukaan melalui buku-buku yang menyangkut kepada karya sastra lisan tersebut agar masyarakat lain yang belum mengetahui menjadi mengenal.


(11)

1.2 Perumusan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini perumusan masalah sangat penting, mengingat dari perumusan masalah tersebut maka kita dapat meihat isi dari skripsi dan permasalahan yang hendak diselesaikan.

Perumusan Masalah sangat penting dalam pembuatan skripsi, karena dengan adanya perumusan masalah maka deskripsi masalah akan terarah sehinga hasilnya dapat dipahami dan dimengerti oleh pembaca. Adapun masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah:

1 Bagaimanakah unsur pembentuk dari cerita “ Mual Simata Niari “ yang dilihat dari unsur interistiknya ?

2 Bagaimanakah Nilai – nilai Sosiologis yang terdapat dalam cerita “ MUAL SIMATA NIARI “?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini memiliki tujuan yang sangat berguna bagi penulis dan pembaca. Dimana tujuan dari penelitian ini adalah :

1 Agar mengetahui nilai-nilai sosiologis yang terkandung dalam cerita

tersebut.

2 Untuk mengetahui unsur pembentuk cerita dari karya sastra tersebut.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah :

1 Untuk mendokumentasikan cerita rakyat tersebut agar terhindar dari kepunahan sehingga dapat di wariskan kepada generasi penerus.


(12)

2 Menambah wawasan dan mengetahui nilai-nilai sosiologis yang terdapat dalam cerita Mual Simata Niari

3 .Menyukseskan program pelestarian sastra daerah sebagai bagian dari kebudayaan nasional.

1.5 Anggapan Dasar

Anggapan dasar adalah suatu hal yang di yakini kebenarannya oleh peneliti yang harus dirumuskan secara jelas dengan tujuan untuk memperkuat permasalahan dan untuk membantu peneliti dalam memperjelas dan menetapkan objek yang ada pada cerita,wilayah pengambilan data dan instrumen dalam pengumpulan data.

Cerita Mual Simata Niari adalah cerita rakyat yang terdapat di daerah Desa Pardamean Kecamatan Ajibata Kabupaten Toba Samosir. Cerita tersebut masih bisa kita dengar dari para masyarakat setempat dan para orang tua yang mengetahui isi dari cerita tersebut dan para keturunan yang terdapat pada cerita tersebut.

Dari cerita Mual Simata Niari ini terdapat beberapa pesan pesan yang mungkin berguna bagi pembaca dan masyarakat baik Sosial, Budaya, Agama dan lain-lain. Dan sepanjang akal sehat dan pengetahuan penulis, cerita mual simata niari ini belum ada yang mengangkat untuk dikaji dan dikembangkan.


(13)

1.6 KAJIAN PUSTAKA

1.6.1 Kepustakaan Yang Relevan 1.6.1.1 Pengertian Sastra

Batasan sastra yang defenitif belum ada hingga kini yang berlaku secara universal. Keseluruhan defenisi yang telah ada dirasa kurang lengkap, karena hanya menekankan beberapa aspek saja. Luxemburg ( 1986 : 9 ) mengatakan :” Menurut hemat kami tidak mungkin memberikan definisi yang universal mengenai sastra. Sastra bukanlah sebuah benda yang kita jumpai, sastra adalah sebuah nama dengan alasan tertentu diberikan kepada sejumlah hasil dalam suatu lingkungan kebudayaan.”

Menurutnya ada beberapa alasan yang mungkin membuat kata sastra tidak dapat didefenisikan secara definitif. Adapun alasan-alasannya sebagai berikut :

1. Sulitnya orang menentukan sebuah karya sastra tersebut, untuk

mengkategorikan apakah karya sastra tersebut termasuk sastra atau tidak. 2. Sastra didefinisikan di dalam situasi para pembaca, yang menyebabkan

karya bagi seseorang termasuk sedangkan bagi orang lain tidak.

3. Adanya anggapan bahwa sastra terlalu berorientasi kepada sastra barat, sehingga sastra sulit didefinisikan untuk zaman-zaman tertentu atau pun lingkungan yang tertentu pula.

4. Kebanyakan definisi sastra, sedikit-dikitnya kurang relevan bila diterapkan pada sastra. Misalnya, yang dicari ( disajikan ) untuk sastra, tetapi setelah dianalisis defenisi tersebut lebih cocok untuk puisi.


(14)

Sekalipun demikian, banyak para ahli mencoba untuk memberikan batasan mengenai sastra. Sebagai bahan bandingan, penulis mengemukakan pendapat beberapa ahli sebagai berikut :

A. Teew (1988 :23) mengatakan :

“ Kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta, akar kata sas-, dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar memberikan petunjuk atau instruksi. Akhir –tra biasanya menunjukkan alat, saran. Maka dari itu sastra dapat berarti , alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi dan atau pengajar ; misalnya silpasastra, buku arsitektur, kemasastra, buku petunjuk mengenai seni cinta. Awalan su- berarti ‘ baik ‘, ‘indah’, sehingga susastra dapat dibandingkan dengan berbagai belles letters”.

Kutipan menyatakan sastra dapat diartikan sebagai alat untuk mengajar, untuk memberikan instruksi dan petunjuk kepada pembaca sebagai minat. Kemudian Supardi Djoko Damono (1985 :10) mengatakan :

“ Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium, bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. “.

Kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan. Jakob Sumardjo dan Saini K.M (1986 : 3) mengatakan :

“ Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, semangat keyakinan dalam bentuk konkrit yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa”.

Sedangkan Rene Wellek dan Austin Warren (1986 : 3) mengatakan

“Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni “. Dari keseluruhan defenisi sastra diatas, adalah berdasarkan persepsi masing-masing dan


(15)

sifatnya deskriptif, pendapat itu berbeda satu sama lain. Masing-masing ahli menekankan aspek-aspek tertentu namun yang jelas, defenisi tersebut dikemukakan dengan prinsip yang sama yaitu manusia, seni ,dan lingkungan. Manusia menggunakan seni sebagai pengungkapan segi-segi kehidupan. Ini suatu kreatif bagi manusia yang mampu menyajikan pemikiran dan pengalaman hidup dengan bentuk seni sastra.

Pengertian seni sastra tidak pernah mendapat batasan yang memuaskan seperti membuat batasan tetang ilmu hayat, misalnya sastra adalah kegiatan seni yang berhubungan dengan ekspresi dan penciptaan. Sedangkan membuat batasan adalah kegiatan keilmuan. Inilah sebabnya setiap usaha membuat batasan tentang sastra, selalu hanya merupakan pemberian atau gambaran dari suatu segi saja. Tiap segi hanya memunculkan sebagian kebenaran, sehingga tidak mungkin ada batasan yang sanggup meliputi semua segi kebenaran tentang sastra. Meskipun tidak mungkin membuat batasan sastra memuaskan, tetapi juga bermunculan batasan-batasan sastra sepanjang zaman.

Ada yang menyatakan Sastra adalah ungkapan ekspresi pikiran dalanm bahasa, yang dimaksud disini adalah pandangan, ide-ide, perasaan, pemikiran, buku yang memuat perasaan manusia yang mendalam dan kebenaran moral dengan sentuhan kesucian, keluasan pandangan dan bentuk yang mempesona. Dari beberapa batasan yang diuraikan diatas dapat disebut beberapa unsur batasan yang selalu disebut untuk unsur-unsur itu adalah isi sastra berupa pikiran, perasaan, pengalaman, ide-ide, semangat kepercayaan dan lain-lain.

Ekspresi atau ungkapan adalah upaya untuk mengeluarkan sesuatu bakat yang tertanam dari dalam diri manusia. Bentuk diri manusia dapat diekspresikan keluar, dalam berbagai bentuk, sebab tanpa bentuk tidak akan mungkin isi tadi disampaikan


(16)

kepada orang lain. Ciri khas pengungkapan bentuk pada sastra adalah bahasa. Bahasa adalah bahan utama untuk mewujudkan ungkapan pribadi didalam suatu bentuk yang indah. Dengan unsur-unsur tadi kiranya dapat dibuat batasan sastra sebgai berikut : sastra adalah ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman, pemikiran, perasaan ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk konkret yang memungkinkan pesona dengan alat bahasa. Batasan ini bersifat deskripsi yang mencakup semua karya sastra yang bermutu atau tidak dalam suatu zaman

Yang mendorong lahirnya sastra adalah keinginan dasar manusia untuk menaruh minat sesama manusia realitas, tempat hidupnya dan dunia angan-angan yang dihayalkan sebagai dunia nyata. Jadi, dapat disimpulkan bahwa sastra adalah bagian kehidupan manusia sebagai manifestasi kehidupannya yang dituangkan lewat bahasa lisan maupun tulisan dalam bentuk seni. Pendapat klasik mengatakan, bahwa karya sastra yang baik selalu memberi pesan kepada pembaca, pesan ini dinamakan moral, dan perkembangan sekarang disebut Amanat. Tugas ini dihubungkan dengan konsep Horatius yaitu Docere dan Delectare (memberi ajaran dan kenikmatan). Pendapat tesebut dijelaskan oleh pendapat ahli berikut :

A.Teew (1988:51) mengatakan :

“…Dalam istilah Horatius, seniman bertugas memberi ajaran dan kenikmatan ; sering kali ditambah mofere, menggerakkan pembaca kepada kegiatan yang harus bertanggung jawab, seni harus menggabungkan sifat Utile dan Dulce, bermanfaat dan manis”.

Berdasarkan kutipan diatas diterangkan bahwa Dolcere dan Delectare dirasa kurang lengkap, sehingga sering mengikut sertakan Movere, menggerakkan pembaca dalam proses kreatif yang bertanggung jawab. Berkenaan dengan itu karya sastra mempunyai efek yang harus dihasilkan denga menggabungkan sifat-sifat Dulce dan


(17)

Utile (manis dan bermanfaat). Bermanfaat berarti tidak terbuang, dengan seefektif mungkin. Manis berarti menghibur dan memberi kenikmatan. Agar lebih jelas lagi Rene Wellek dan Austin Warren (1986 :26) mengatakan :

Bermanfaat dalam arti luas sama dengan “ tidak membuang waktu “, bukan sekedar “ kegiatan iseng jadi sesuatu yang perlu mendapat perhatian yang serius. “Menghibur “ sama dengan “ tidak membosankan “, bukan kewajiban “, dan memberikan kesenangan ”.

Dalam uraian tersebut diatas dapat dijelaskan, bahwa fungsi sastra harus dikaitkan pada sifta Utile dan Dulce, yaitu memberi manfaat atau kenikmatan kepada pembaca, dan kemudian diterima denga tidak besifat keharusan atau paksaan.

1.6.1.2Pengertian Sosiologi

Secara etimologis sosiologi berasal dari kata socius dan Logos. Socius adalah kawan atau kelompok, sedangkan logos berarti uaraian atau pengetahuan. Atas dasar pengertian demikian sosiologi dapat diartikan sebagai ilmu atau pengetahuan yang sistematis tentang kehidupan kelompok manusia, atau ilmu tentang kehidupan manusia dengan manusia-manusia lainnya, yang secara umum disebut masyarakat. Pengertian sederhana tentang sosiologi seperti diatas tampak dalam beberapa batasan tentang ahli sosiologi sebagai mana yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Adapun defenisi sosiologi yang dikemukakan oleh beberapa ahli sosiologi antara lain :

William F.Ogeburn dan Meyer F.Nimkof (1983 : 9)mengatakan

“ Sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya yaitu organisasi sosial juga “.


(18)

Selo Soemardjan atau Soelaeman Soemardi (1984 : 11) mengatakan :

“ Sosiologi atau ilmu masyarakat ialah ilmu yang mempelajari struktur dan proses-proses sosial, termasuk perubahan sosial. Struktur sosial, keseluruhan jaringan antara unsur yang pokok yaitu kaedah atau norma-norma sosial. Proses sosial pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama, umpamanya pengaruh timbal balik antara segi kehidupan ekonomi dengan segi kehidupan agama dan antara segi kehidupan dengan segi kehidupan ekonomi dan lain sebagainya “.

Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa objek yang dipelajari dalam Sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan antara manusia didalam masyarakat. Pengertian Masyarakat terkandung dalam beberapa unsur hakiki yaitu manusia-manusia, tinggal bersama, dan saling berinteraksi, sadar akan adanya aturan atau norma yang wajib mereka taati secara sadar dan bersama-bersama menciptakan kebudayaan.

Adapun unsur-unsur masyarakat tersebut adalah :

1. Manusia yang hidup bersama.

Didalam ilmu sosial tidak ada kurang mutlak ataupun angka yang pasti untuk menentukan beberapa jumlah manusia yang harus ada, akan tetapi paling sedikit dua orang yang hidup bersama

2. Bercampur untuk waktu yang cukup lama.

Berkumpulnya manusia akan mucul manusia yang baru. Manusia muncul dapat juga bercakap-cakap, merasa dan mengerti, juga mempunyai keinginan untuk menyampaikan kesan-kesan atau perasaan-perasaannya. Sebagai akibat


(19)

hidup besama itu, timbullah sistem komunikasi dan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan kelompok tersebut.

3. Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan makanya mereka disebut manusia yang sadar.

4. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama Sistem kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan oleh karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu sama lainnya.

Sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat dan tentang sosial dan proses sosial. Sosiologi menelaah tentang bagaimana masyarakat itu tumbuh dan berkembang. Dengan mempelajari lembaga- sosial dan segala masyarakat perekonomian, keagamaan, politik dan lain-lain kita dapat gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mekanisme masyarakatnya, serta proses pembudayaannya.

Sosiologi dapat diartikan sebagai ilmu atau kelompok pengetahuan yang sistematis tentang kehidupan manusia dalam hubungannya dengan manusia-manusia lainnya secara umum di sebut Masyarakat.

Sosiologi disisi lain sebagai ilmu berbicara tentang aspek-aspek kemasyarakatan selalu dapat dimanfaatkan untuk membicarakan sebuah karya sastra. Nilai-nilai sosiologi pada sebuah cerita dapat diwujudkan untuk mencapai pemahaman yang mendalam.

Ilmu sosial digunakan untuk masyarakat itu sendiri dan diciptakan oleh masyarakat demi terjalinnya hubungan yang harmonis antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya dalam kehidupan.


(20)

1.6.1.3Hubungan Sastra dengan Sosiologi

Hal ini membuktikan bahwa kehadiran sastra mempunyai peranan penting dalam membentuk struktur masyarakatnya. Pengarang dan karyanya merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka membicarakan sebuah karya sastra.di sisi lain, pengarang adalah anggota dari kelompok masyarakat yang hidup di tengah tengah kelompok masyarakat tersebut. Jacob Sumardjo juga menekankan, bahwa kehadiran karya sastra merupakan salah satu wujud pelestarian dari keadaan sosio kultur suatu masyarakat dimana ia tercipta.

Jacob Sumardjo (1985 : 15 ) mengatakan :

” karya sastra menampilkan wajah kultur jamannya, tetapi lebih dari itu sifat-sifat sastra juga ditentukan oleh masyarakatnya “.

Selanjutnya Sapardi Djoko Darmono mengatakan :

“ Bahwa cipta sastra di samping memiliki sifat khas sebagai suatu kreasi estetis, cipta sastra juga merupakan produk dunia sosial ”.

Objek yang digarap sosiologi dan sastra sama maka wajarlah kalau ada ahli yang meramalkan bahwa pada akhirnya nanti sosiologi dapat menggantikan kedudukan novel. Mungkin pendapat itu muncul di dorong oleh pesatnya pertumbuhan dan perkembangan sosiologi dewasa ini di samping adanya anggapan bahwa novel akan atau telah tiada. Kedua-duanya memiliki kemungkinan yang sama untuk terus berkembang dan tidak mustahil juga kedudukannya dapat saling bekerja sama saling melengkapi.


(21)

Atar Semi ( 1989 : 54 ) mengatakan :

1. Konteks sosial pengarang yakni menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor – faktor sosial

yang bisa mempengaruhi si pengarang sebagai isi karya sastranya .

2. Sastra sebagai cermin masyarakat yang di telaah adalah sampai sejauh mana sastra di anggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat.

3. Fungsi sosial sastra dalam hal ini ditelaah sampai berapa jauh nilai sastra ber kaitan dengan nilai sosial dan sampai seberapa jauh nilai sastra di pengaruhi oleh nilai sosial dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan bagi masyarakat pembaca.

Demikian eratnya hubungan antara pengarang dan karyanya, serta hubungan pengarang dengan masyarakatnya. Hal ini merupakan tiga dimensi saling melengkapi. Memang dalam sejarah kesusastraan beberapa paham atau aliran yang menyangkut pembicaraan terhadapkarya sastra itu sendiri. Pada satu pihak para ahli melihat sastra itu sebagai totalitas semata dari kreasi seni biasa. Sastra hanya dapat dibicarakan dalam rangka huibungannya dengan struktur kebahasaan, seperti yang dianut strukturalisme. Tetapi kenyataan perkembangan zaman menuntut lebih banyak lagi terdapat fungsi kehadiran sastra ditengah-tengah kehidupan masyarakat.

Pada masa angkatan balai pustaka, kita masih menemukan ciri -ciri yang hanpir bersamaan dengan masa pujangga baru. Setelah angkatan ’45, bentuk-bentuk klise itu dirombak, khususnya penyair individualisme chairil Anwar. Sosiologi pada sisi lain sebagai ilmu yang berbicara tentang aspek-aspek kemasyarakatan selalu dapat dimanfaatkan untuk pembicaraan sebuah karya sastra, nilai-nilai sosiologis dalam


(22)

sebuah karya sastra dapat diwujudkan untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam. Banyak hal yang menjadi fokus pengamatan seorang sastrawan, kehidupan pribadinya lingkungan serta harapan-harapannya menjadi hal yang menarik dalam penelitian sebuah karya sastra.

Kompleks permasalahan itu merupakan hadiah seorang pengarang yang dapat memperluas wawasan pemikiran anggota masyarakat. Dengan menggambarkan fenomena dari hasil pengamatan pengarang, masyarakat pembacanya memperoleh hal yang bermakna dalam hidupnya. Pengarang sendiri mendapat sumber inspirasi dari bercorak ragam tingkah laku manusia maupun masyarakatnya.

Kesemuanya itu terangkum dalam aspek yang membangun sebuah cipta sastra, salah satu aspek yang membangun seutuhan sebuah cerita adalah menyangkut perwatakan tokoh-tokonya. Tokoh yang berpikiran primitif, tidak mungkin akan bertindak sebagai manusia modren yang serba luwes.

1.6.1.4Sosiologi Sebagai Pendekatan Sastra

Pendekatan yang dilakukan terhadap karya sastra pada dasarnya ada dua, yaitu pendekatan instrinsik dan pendekatan ekstrinsik. Unsur-unsur instrinsik merupakan unsur -unsur dalam yang diangkat dari isi karya sastra, seperti tema, plot, atau alur, perwatakan, gaya bahasa dan penokohan. Sedangkan unsur ekstrinsik berupa pengaruh luar yang terdapat dalam karya sastra itu seperti sosiologi, filsafat, politik, antropologi dan lain-lain.

Analisis aspek ekstrinsik karya sastra ialah analisis karya sastra sendiri dari segi isinya, dan sepanjang mungkin melihat kaitannya dengan kenyataan-kenyataan di luar karya sastra itu sendiri. Dengan demikian akan jelas nanti, apabila karya sastra tersebut sepenuhnya atau sebagian, sama sekali tidak berdasarkan kenyataan


(23)

sebenarnya atau sebaliknya. Untuk sampai kepada kesimpulan tersebut perlulah dikembangan suatu sistematika analisis dari aspek ekstrinsiknya, yaitu terlihat mula-mula faktor historisnya, disusul berturut-turut faktor sosiologis, psikologis dan seterusnya.

Sastra yang baik harus mempunyai objek yang luas mengenai kehidupan manusia yang disampaikan melalui bahasa. Dengan demikian, bahan hakiki dari sastra adalah suatu kehidupan masyarakat, termasuk interaksi sosialnya.

Jakob Sumardjo (1981 : 34) mengatakan :

“ seorang pengarang menulis karyanya karena ia mengemukakan obsesinya terhadap lingkungan hidupnya, ada unek-unek yang menggangu jiwanya dan itu harus dikatakannya. Karena keterampilannya menulis, maka cara yang paling baik untuk mengeluarkan secara tandas kegundahan jiwanya adalah dengan karya tulis. Ini bisa berupa essei, puisi, drama, atau novel. Kalau demikian sudah barang tentu pengarang sangat membutuhkan obsesinya ”.

Penulis menghubungkan kutipan diatas dengan teori konvergensi (menuju suatu titik petemuan) yang dikemukakan oleh William Setera, katanya baik pembawaan dan pengalaman maupun lingkungan mempunyai peranan penting dalam perkembangan individu. Perkembagan individu ini akan ditentukan pula oleh faktor endigen atau perkembangan yang ditimbanya melalui pengalaman,lingkungan dan pendidikan. Pengaruh lingkungan sosial ini lebih dalam mempengaruhi pemikiran dan perbuatan pengarang.

Wellek dan Warren (Atar Semi, 1986 : 58-59) mengatakan :

“ pendekatan sosiologi atau pendekatan ekstrinsik biasanya mempermasalahkan sesuatu di seputar sastra dan masyarakat bersifat sempit


(24)

dan eksternal. Yang dipersoalkan biasanya mengenai hubungan sastra dan situasi sosial tertentu, sistem ekonomi, sosial, adat istiadat dan politik “.

Dengan pendekatan sosiologis yang mungkin dapat menunjukkan sebab-sebab dan latar belakang kelahiran sebuah karya sastra, bahkan mungkin dapat membuat kritikus agar terhindar dari kekeliruan tentang hakekat karya sastra yang ditelaah, terutama dalam menentukan fungsi suatu karya sastra dan mengetahui beberapa aspek sosial lain yang harus diketahui sebelum penelaahan dilakukan. Kritik sosiologis berfaedah dalam mengembangkan pengetahuan kita dengan memberikan keterangan tentang karya sastra, misalnya mengapa beberapa kelemahan menjadi ciri khas dalam suatu priode tertentu, mengapa suatu kurun waktu tertentu memperlihatkan suasana yang memancing keharuan atau cenderung untuk membunuh para tokoh dalam cerita. Dengan bantuan sosiolgis sastra hal itu dapat diketahui dan dipahami secara lebih mendalam.

Suatu hal yang perlu dipahami dalam melakukan pendekatan sosiologis ini adalah : walaupun seorang pengarang melukiskan kondisi sosial yang berada dilingkungannya, namun ia belum tentu menyuarakan keamanan masyarakatnya. Dalam arti ia tidaklah mewakili atau menyalurkan keinginan-keinginan kelompok masyarakat tertentu yang pasti pengarang menyalurkan atau mewakili hati nuraninya sendiri, dan bila ia kebetulan mengucapkan sesuatu yang berkejolak dalam masyarakat hal itu merupakan suatu kebetulan belaka.

Para pengkritik sastra yang menilai hasil sastra dengan menggunakan pendekatan sosiologis tentu akan mempertimbangkan : apakah pengarang dapat mengungkapkan segi kemasyarakatan itu dilakukan dengan cara yang menarik, dalam arti dia mampu menarik hati para pembacanya. Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa pendekatan sosiologis mempunyai segi-segi yang bermanfaat dan berdaya


(25)

guna yang tinggi bila para kritikus tidak melupakan dan memperhatikan segi-segi instrinsik yang membangun karya sastra, disamping memperhatikan faktor-faktor sosiologis serta menyadari bahwa karya sastra itu diciptakan oleh suatu kreatifitas dengan memanfaatkan faktor imajenasi pengarang.

1.6.2 Teori Yang Digunakan

Teori merupakan hal yang sangat perlu dalam menganalisis suatu karya sastra yang diajukan sebagai objek penelitian, karena teori adalah landasan berpijak untuk melihat aspek-aspek atau unsur-unsur yang terdapat didalam karya sastra. Dalam menganalisis cerita ini maka penulis menerapkan teori struktural yaitu berupa nilai-nilai sosilogis cerita untuk mendapatkan nilai-nilai-nilai-nilai sosiologis yang optimal dari karya yang dianalisis.

Mengenai penjelasan tentang teori struktural karya sastra A.Teew (1985 : 135) mengatakan : teori struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail dan semendalam mungkin keterkaitan semua teori aspek-aspek karya sastra yang bersamaan dan menghasilkan makna menyeluruh.

Dalam hal ini penulis menggunakan analisis sosiolgi sastra yang dikemukakan oleh pendapat ahli berikut :

Wellek dan Warren dan Atar (1989 : 53 ) yaitu :

“ sosiologi sastra yakni mempermasalahkan suatu karya sastra yang menjadi pokok, tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan dan amanat yang hendak disampaikan dan dengan mempergunakan teori struktural maka dapat dirangkumkan tujuan dari penulis mengangkat cerita ini untuk dikembangkan, tujuannya yaitu mendapatkan nilai-nilai sosiologis yang ada “.


(26)

1.7 Metodelogi 1.7.1 Metode Dasar

Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Deskriptif yaitu penelitian yang berusaha untuk memberikan pemecahan masalah yang ada pada cerita berdasarkan data-data. Metode ini menyajikan dan menganalisis data yang diperoleh dari informasi.

Pada penelitian ini penulis mendeskripsikan struktur dan susunan sosiologis yang terkandung dalam cerita rakyat “ Mual Simata Niari “ yang dipercayai fungsi dan kegunaannya oleh masyarakat setempat maupun sipemilik objek tersebut yaitu marga Manurung.

1.7.2 Lokasi Penelitian.dan Sumber Data

Dalam membahas lokasi penelitian yang diterapkan oleh penulis yaitu Desa Pardamean yang terapat dikecamatan Ajibata Kabupaten Toba Samosir propinsi Sumatra Utara. Dimana lokasi penelitian ini adalah salah satu syarat pendukung penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Adapun sumber data yang diperoleh penulis yaitu berdasarkan cerita atau wawancara yang dilakukan dengan para informan yang mengetahui cerita tersebut dan dari hasil wawancara tersebut dapatlah diketahui cerita sebenarnya.


(27)

1.7.3 Instrumen Penelitian

Dalam melakukan wawancara tersebut, penulis menggunakan instrumen penelitian yang berupa tape recorder, dan alat bantu lainnya yang berupa buku tulis dan pulpen.

1.7.4 Metode Pengumpulan data

Adapun metode pengumpulan data yang dilakukan penulis dalam penelitian ini, adalah :

1 Metode Observasi

Metode observasi adalah metode yang mengharuskan penulis untuk turun kelapangan melakukan pengamatan terhadap objek penelitian.

2 Metode Wawancara

Metode wawancara adalah suatu metode dimana penulis melakukan sebuah wawancara terhadap informan yang dianggap dapat memberikan informasi atau data-data yang mendukung keabsahan cerita yang akan diteliti degan menggunakan dua macam teknik yaitu :

1 Teknik Rekam : yaitu dengan menggunkan tape recorder.

2 Teknik catat : yaitu mencata semua keterangan yang berisi cerita dari para informan dengan menggunakan buku tulis dan pulpen.

3 Metode Kepustakaan

Metode kepustakaan yaitu : metode yang mengharuskan penulis mecari bahan-bahan referensi buku yang berkaitan dengan pokok penelitian data sekunder penulis dalam menyusun skripsi ini.


(28)

1.7.5 Metode Analisis Data

Metode yang digunakan dalam menganalisis data penelitian ini adalah metode deskriptif yang didasarkan pada unsur-unsur intrinsik. Dengan langkah-langkah yang dilakukan penulis dalam menganalisis cerita adalah : 1 Menuliskan data yang diperoleh dari lapangan yaitu berupa sinopsis cerita

tersebut.

2 Mendeskripsikan isi cerita dalam hal ini unsur intrinsik sebagai tumpuan analisis dalam mengkaji nilai-nilai sosiologis dalam cerita.

1.8 Sistematika Penyajian

Skripsi ini terdiri dari lima bab, yaitu :

Bab I. Pendahuluan, yang mencakup latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, anggapan dasar, metodologi penelitian yang dijabarkan atas metode dasar, lokasi penelitian, sumber data penelitian, instrumen penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisis data, Kajian Pustaka, yang mencakup kepustakaan yang relevan. Kepustakaan yang relevan ini dijabarkan lagi yaitu pengertian sastra, pengertian sosiologi, hubungan sosiologi dengan sastra, dan sosiologi sebagai pendekatan sastra kemudian diakhiri dengan teori yang digunakan.

Bab II. Deskripsi Masyarakat Batak Toba Sibisa Porsea meliputi letak geografis sejarah singkat dan kosmologi masyarakat.

Bab III. Unsur - unsur intrinsik cerita, yang mencakup tema, alur/plot, latar belakang,dan perwatakan.


(29)

Bab IV. Nilai-nilai Sosiologis Terhadap cerita, yang didasarkan pada unsur- nsur intrinsik yang terdapat pada cerita.

Bab V. Kesimpulan dan Saran, yang mencakup kesimpulan dari permasalahan yang terdapat pada cerita dan saran dari para pembaca.


(30)

BAB II

DESKRIPSI MASYARAKAT BATAK TOBA SIBISA

2.1 Letak Geografis dan Sejarah Singkat 2.1.1 Letak Geografis

Secara geografis kabupaten Toba Samosir terlatak antara 1 ½ 0 – 3 ½ 0 LU dan 970 – 100 0 BT. Kabupaten Toba Samosir merupakan bagian dari daerah sumatera utara yang beribu kotakan Balige sedangkan kecamatan Ajibata adalah bagian dari kabupaten Toba Samosir. Jarak kecamatan Ajibata ke Ibu kota kabupaten (Balige) ± 60 km, dan menurut sensus penduduk di daerah kabupaten Toba Samosir terdapat sebanyak 45.570 jiwa.

Kecamatan Ajibata memiliki banyak desa yang berjumlah 9 desa, yaitu : Desa Pardamean Sibisa, parsaoran Sibisa, Motung, Pardomuan Sibisa, Desa Parsaoran Ajibata, Desa Pardamouan Ajibata, Horsik, Desa Sigapiton, dan Desa Sirukkungon porsea, Dan dari 9 desa tersebut lokasi penelitian penulis terletak diDesa Pardamean Sibisa yang memiliki 20 kepala keluarga.

Kecamatan Ajibata terletak antara batasan – batasan wilayah yaitu : - Sebelah utara berbatasan dengan pulau samosir

- Sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Lumban Julu - Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Simalungun - Sebelah barat berbatasan dengan Danau Toba dan Tarutung

Data tersebut sesuai dengan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) daerah Kabupaten Toba Samosir.


(31)

2.1.2 Sejarah Singkat Masyarakat Batak Toba Sibisa Porsea

Sejarah singkat Batak Toba Sibisa Porsea dapat diketahui berdasarkan sejarah asal mula bagi orang batak adalah perkembangan suatu desa dari masa kemasa. Hal ini erat hubungan silsilah yaitu perasaan komunal (komunitas) yang tebal dikalangan penduduk disuatu desa. Hal itu tampak sekali dalam kehidupan sehari – hari pada masyarakat setempat seperti penggunaan bahasa, adat istiadat, dan silsilah dari keturunannya. Sebelum dikemukakan tentang uraian desa perlulah diketahui bahwa perinsip adat istiadat dan asal mula suku batak tidak terlepas dari Dalihan Na Tolu.

Dalihan Na Tolu adalah suatu aturan yang mengatur sistem kekerabatan marga – marga yang ada pada suku batak dan merupakan acuan hidup masyarakat batak yang merupakan sebagai berikut : Hula – hula (Tulang), Dongan Sabutuha (Semarga), Boru (Anak Perempuan). Jadi dalam hal ini penulis memaparkan asal mula masyarakat Batak Toba yang ada di daerah Sibisa Porsea berdasarkan Bagan (Susunan) dari leluhur masyarakat Batak dibawah ini

Guru Tateabulan SARIBURAJA BORBOR LIMBONG LONTUNG SAGALA

Si Raja Batak MALAU

NAIAMBATON

Raja Isumbaon Sorimangaraja NARASAON NAISUANON

(TUAN SORBADIBANUA)

Berdasarkan Bagan diatas maka penulispun memisahkan (memaparkan) sejarah asal mula masyarakat setempat berasal dari keturunan Raja Batak yang bernama Narasaon. Raja Narasaon adalah seorang Raja yang terkenal sakti dan


(32)

bijaksana sehingga negeri dan masyarakatnya makmur sejahterah, dan Raja Narasaon adalah seorang raja yang berasal dari Pusuh Buhit yang merantau ke negeri Porsea dengan seorang istri yang berasl dari seekor katak.

Jadi asal mula masyarakat Batak Toba didaerah Sibisa Porsea berasal dari Raja Narasaon yang merantau ke daerah tersebut serta mendirikan kerajaannya. Untuk lebih jelas lagi dapat di lihat dari Bagan di bawah ini :

Sitorus Raja Mangatur Sirait

Datu Pejel (Narasaon) Butar – butar

Raja Mangarerak Raja Toga manurung Huta Gurgur

Sibitonga

Simanoroni

Dari Bagan diatas dapatlah dikemukakan bahwa asal mula masyarakat batak

yang ada di daerah Sibisa Porsea berasal dari Datu Pejel( Narasaon) dan keturunannya higga kini dapat di lihat dari marga – marga yang ada di daerah tersebut bahwa mulai dari struktur pemerintahnya dan masyarakat adalah keturunan Narasaon. Hingga kini pemilik asli daerah tersebut adalah keturunan Narasaon, oleh sebab itu penulis ingin mengangkat tentang cerita Mual Simata Niari karena penulis adalah keturunan dari leluhur pemilik daerah tersebut

2.2 Kosmologi Masyarakat

Kosmologi masyarakat yang terdapat di Kabupaten Toba Samosir khususnya di kecamatan di Ajibata beradat dan bersuku Batak Toba meskipun sedikit berkaitan dengan Batak Simalungun akan tetapi masyarakat didaerah tersebut mengaku suku Batak Toba bukan Batak Simalungun.


(33)

Masyarakat didaerah Kabupaten Toba Samosir menggunakan bahasa Batak toba dan adat istiadat yang memang sudah turun – temurun dari nenek moyang seperti upacara menyambut kelahiran, pernikahan, kematian, dan upacara agama lainnya. Masyarakat yang berada didesa Pardamaian Sibisa mengaku nenek moyang mereka selalu menggunakan adat istiadat dan bahasa tersebut yaitu Batak Toba. Adat istiadat tersebut dapat kita lihat dari kehidupan masyarakat Batak Toba, dan masih selalu digunakan hingga kini.

Kehidupan masyarakat kabupaten Toba Samosir Kecamatan Ajibata khususnya didesa Pardamean bermata pencaharian dari bercocok tanam dan nelayan sebagian


(34)

BAB III PEMBAHASAN

3.1 UNSUR-UNSUR INTRINSIK CERITA MUAL SIMATA NIARI

3.1.1 Tema

Setiap karya sastra harus mempunyai dasar atau tema cerita yang merupakan sasaran atau tujuan pengarang. Dari tema, seorang pengarang bertitik tolak mengembangkan ide cerita sesuai dengan kemampuannya menggambarkan atau melukiskan watak para tokoh. Walaupun sebuah cerita tidak memaparkan apa yang menjadi tema cerita secara eksplisit, namun kita sebagai pembaca atau penikmat cerita tersebut harus mampu menyimpulkan tema yang terkandung di dalam cerita itu setelah membaca atau membahasnya.

Mengenai tema Kusdiratin dan kawan-kawan ( 1980 : 59 ) mengatakan : “ Tema ialah masalah yang menjadi pokok pembicaraan atau yang menjadi inti topik didalam suatu pembahasan. Di dalam suatu novel tema merupakan suatu pokok persoalan yang menguasai pikiran pengarang sehingga mempengaruhi semua unsur cerita “.

Esten ( 1984 : 87 ) mengatakan bahwa :

“ Tema adalah persoalan utama didalam sebuah sastra. Sebagai persoalan utama merupakan suatu netral. Pada hakekatnya di dalam tema belum ada sikap serta kecenderungan untuk memihak karena apa saja yang dapat di jadikan tema dalam sebuah karya sastra tersebut “.

Poerwadarminta ( 1984 : 1040 ) mengatakan bahwa :

“ Tema adalah merupakan pokok pikiran dasar cerita ( yang di percakapkan ; dipakai sebagai dasar pengarang mengarak sajak dan sebagainya ) “.


(35)

Tarigan ( 1986 : 125 ) mengatakan :

” Tema adalah pandangan hidup tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun gagasan utama dalam sebuah karya sastra “.

Dari pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa Tema adalah Gagasan atau ide pengarang sebagai tumpuan untuk pengembangan karangan atau tema suatu karya sastra yang kadang bersifat implisit ( terselubung ). Untuk cerita Mual Simata Niari ini, penulis menurunkan tema cerita yaitu Kepatuhan terhadap nasehat orang tua dan Kesabaran

Hal itu dapat kita lihat dari mulai keturunan Raja Mangarerak yaitu Raja Toga Manurung dan Boru Similing-iling yang menghormati orang tuanya hingga kepada keturunan mereka meskipun ada terdapat sifat yang egois dan tidak mematuhi perkataan orang tuanya,dan itu terjadi pada keturunan Raja Toga Manurung yang bernama Pinta Haumasan. Akan tetapi semua itu dapat di atasi karena sikap sabar yang dilakukan Raja Tambun untuk merayunya agar mau menikah, dan akhirnya pun menikah dengannya meskipun ada beberapa syarat yang dikatakan Pinta Haumasan yang harus di kabulkan oleh ayahnya.

akan mendatangkan berkat pada orang yang benar-benar melaksanakannya.

3.1.2 Alur / Plot

Plot disebut juga dengan Alur, dan agar lebih jelasnya penulis memaparkan beberapa pendapat para ahli tentang alur/plot sebagai berikut :


(36)

Atar Semi ( 1985 : 45 ) mengatakan :

Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interaksi khusus sekaligus menandai urutan bagian-bagian keseluruhan fiksi. Luxemburg dan kawan-kawan ( 1984 : 148 ) mengatakan :

Yang dinamakan alur ialah konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logik dan kronologik sehingga berkaitan dan diakibatkan atau dialami oleh para pelaku cerita. Maka dari para pendapat ahli diatas dapat dikatakan bahwa Alur/Plot adalah : struktur deretan kejadian-kejadian yang dialami oleh para pelaku cerita yang pada umumnya dibedakan atas tiga bagian utama yaitu bagian perkenalan, bagian pertikaian, dan diakhiri oleh penyelesaian.

Elemen-elemen Plot menurut S. Tasrif dalam Mochtar lubis ( 1983 : 17 ) pada kesimpulannya dibagi menjadi lima unsur yaitu :

1) Situasi ( menggambarkan situasi )

2) Generating Circumtances ( peristiwa yang bersangkut paut mulai gerak ) 3) Rising Action ( keadaan mulai memuncak )

4) Klimaks ( puncak cerita )

5) Demoument ( penyelesaian )

Plot bukanlah jalan cerita, melainkan manifestasi, bentuk usaha, bentuk jasmaniah dari cerita. Selanjutnya plot dari cerita MUAL SIMATA NIARI dapat diuraikan sebagai berikut :


(37)

1. Situasi

Cerita ini diawali dengan alur menggambarkan keadaan yang ditandai dengan memperkenalkan Raja Toga Manurung yang memerintah didaerah Sibisa Porsea. Raja ini memiliki sifat yang adil dan tak pernah membiarkan penduduk nya melarat sehingga ia sangat dihormati dan disegani oleh penduduknya ataupun daerah yang lain sama seperti semasa Raja Mangarera memerintah. Di antara keturunan Raja Mangarera ada seorang Putri yang bernama Boru Similing-iling yang terkenal cantik dan pandai menari.akan tetapi sewaktu beranjak dewasa, boru similing iling tidak dapat tumbuh dan bermain dengan teman sebayanya karena terserang suatu penyakit aneh yang belum ada obatnya hingga membuat raja menyelenggarakan sebuah sayembara agar ada yang bisa menyembuhkannya. Karena tiada satupun yang mampu menyembuhkan maka hadirlah seorang raja yang pintar dalam pengobatan yang bernama Raja Silahi dari silahi sabungan dan akan mencoba mengobati, akan tetapi raja tersebut meminta agar diberi minum air putih yang berasal dari mata air yang menghadap ke timur milik dari Raja Mangarera karena hanya dengan itulah dia dapat disembuhkan dan akhirnya sembuhlah Putri tersebut oleh Raja Silahi. Setelah kesembuhannya itulah maka merekapun dinikahkan dan mempunyai seorang putra yang kemudian dibawa Raja Silahi ke desanya dan diberi nama oleh istrinya yang pertama dengan sebutan nama anak tersebut yaitu Raja Tambun, demikian juga dengan Raja Toga Manurung yang memiliki tiga orang putra dan dua orang Putri dimana dari kedua putrinya itu ada yang akhirnya menikah dengan Raja Tambun meskipun dalam keadaan terpaksa yang bernama Pinta Haumasan yang sifatnya sangat sombong dan egois.


(38)

Demikianlah sedikit gambaran situasi pada cerita ini yaitu penulis memaparkan tentang kehidupan kerajaan Raja Mangarera beserta keluarganya yang adil dan makmur demikian juga dengan penduduknya.

2. Generating Circumtances ( peristiwa yang bersangkut paut mulai gerak )

Cerita ini mulai gerak setelah Raja Toga Manurung dan ayahnya yaitu Raja Mangarera mengijinkan Boru Similing-iling menikah dengan raja Silahi dan karena keberhasilannya maka raja tersebutpun di ijinkan menikahinya. Dari hasil pernikahan mereka lahirlah seorang putra yang amat tampan, akan tetapi setelah putra tersebut dewasa maka diapun mulai mencari ibunya yang sebenarnya karena dikampung ayahnya dia amat menderita oleh para saudara tirinya yang lain, sehingga diapun beranjak pergi. Setibanya dikampung yang dituju diapun bertemu dengan seorang wanita yang ternyata ibunya setelah melihat cincin yang sama dengan miliknya, dan akhirnya mereka pergi kekampung halaman ibunya. Raja Tambun tersebut amat menghormati semua perintah dan nasehat ibunya serta mau melakukan apapun perintah tulangnya. Karena kebaikkannya dan kepatuhannya kepada segala nasehat dan perintah orang tuanya dan tulangnya (Raja Toga Manurung) maka Raja Tambun pun diminta untuk menikah dengan Pinta Houmasan meskipun terdapat rasa tidak suka akan si Raja Tambun, hal itu dapat kita lihat petikan cerita dibawah ini :

“ apakah ibu setuju saya menikah dengannya sementara sifat Pinta Houmasan yang terkenal egois dan tinggi hati tidak cocok pada saya! Akan tetapi saya akan berusaha demi ibu “ seru Raja Tambun.

Lalu kata pinta Houmasan pada ayahnya :

“ saya mau menikah dengannya dengan syarat kelima harta yang paling berharga milik kakek diberikan kepada saya”.


(39)

Dari petikan cerita diatas dapat kita ketahui bahwa cerita tersebut mulai bergerak yang ditandai dengan permintaan Putri Raja Toga Manurung yang mengharapkan kelima pusaka keluarga tersebut jadi miliknya.

3. Rising Action (Keadaan Mulai Memuncak)

Atas sikap patuh akan nasehat orang tuanya maka Raja Tambun pun bersedia menikah dengan Pinta Houmasan akan tetapi dia bertanya kepada ibunya :

“ apakah ibu setuju saya menikah dengannya sementara sifat Pinta Houmasan yang terkenal egois dan tinggi hati tidak cocok pada saya! Akan tetapi saya akan berusaha demi ibu “

Demi mengambil hati dari Pinta Houmasan, raja Tambun pun berusaha semaksimal mungkin melakukan apa yang diperintah ibunya untuk menikahi Pinta Houmasan dan meluluhkan sifat egoisnya, meskipun dipandang sebelah mata oleh Pinta Houmasan. Mendengar hal itu dari keluarga raja Toga Manurung yang ingin menikahkan Pinta Houmasan kepada Raja Tambun maka diapun berontak dan marah kepada ayahnya dengan perkataan :

“ saya tidak mau menikah dengannya, dan apabila saya menikah dengannya maka saya akan bunuh diri” seru Pinta Houmasan.

Mendengar hal itu Raja Toga Manurung marah dan menanyakan pada putrinya apa keinginan dari Pinta Houmasan karena Raja Toga Manurung sangat menyanyangi putrinya dengan perkataan :

“ Menikahlah dengan dia dan apa keinginanmu agar mau menikah dengan dia katakan pada ayah!”.


(40)

“ saya mau menikah dengannya dengan syarat keempat harta yang paling berharga milik kakek diberikan kepada saya”.

Lalu kata Raja Toga Manurung pada putrinya :

“ Baiklah, saya akan memberikan Pauseang (warisan) yang kamu minta yaitu Mual Simata Niari, Pinasa Sigamilton (Pohon Nangka yang berbatang pendek akan tetapi tak pernah mati ), Palia Sidundungon (Pohon Petai milik ayah Raja Toga Manurung yang dipercaya dapat berbuah koin emas apabila hatinya bersih), Hauma Sipitu Batangin (Sawah Tujuh Petak yang tak pernah gagal panen karena dialiri oleh Mual Simata Niari) dan Raja Toga Manurung meminta agar jangan dijual pada orang lain”.

Mendengar hal itu maka Pinta Houmasan besedia menikah dengan Raja Tambun meskipun ada suatu perasaan yang tak senang dari adiknya Mas Mauli, akan tetapi Mas Mauli bersedia memberikan Hauma Sipitu Batangin miliknya kepada kakaknya demi .

Keempat pusaka itu rupanya sudah sangat diinginkan oleh Pinta Houmasan untuk menaikkan harga dirinya dan menjadikan dirinya ahli atau pakar dalam segala hal yang tidak bertentangan dengan perintah orang tuanya, setelah menerima kelima pusaka itu maka akhirnya Pinta Houmasan dan Raja Tambun pun menikah. Pada saat pernikahan berlangsung tiba-tiba ibu dari si Raja Tambun meminta kepada abangnya (Raja Toga Manurung) agar kiranya Raja Silahi diundang kepesta anaknya meskipun hingga berlansungnya pesta tersebut Raja Toga Manurung tidak setuju karena sikap dan perilaku Raja Silahi yang telah meninggalkan Boru Simling-iling dan menelantarkan seorang diri dikampung mereka. Akan tetapi, karena permintaan Boru Similing-iling maka Raja Toga Manurung pun bersedia mengundang Raja Silahi dengan syarat sebagai berikut dari petikan cerita dibawah ini:


(41)

” Selanjutnya diadakanlah pesta pernikahan mereka dengan meriah dan semarak akan tetapi ibu dari Raja Tambun meminta agar ayahnya Raja Tambun mau menghadiri dan membersihkan diri di Mual Simata Niari dari kesalahannya yang telah membohongi dan marah keluarga besar Raja Mangarera karena kepergiannya kekampung halamannya meninggalkan boru Similing-iling, lalu tersiarlah kabar kepada Raja Silahi agar mau datang dan memenuhi persyaratan dari keluarga boru Similng-iling dan akhirnya Raja Silahi bersedia. Karena kesediaan Raja Silahi maka keluarga Raja Mangarera mengampuni kesalahannya dan diijinkan hadir ”.

4 Klimaks(Puncak Cerita)

Cerita ini semakin memanas karena Boru Similing-iling meminta kepada Raja Toga Manurung agar Raja Silahi diijinkan hadir, akan tetapi Raja Toga Manurung masih menyimpan dendam pada Raja Silahi karena perilakunya telah meninggalkan Boru Similing-iling seorang diri dan menelantarkan Raja Tambun seorang diri untuk mencari ibu kandungnya di kampung Raja Toga Manurung. Raja Toga Manurung pun sempat marah karena putrinya yang tidak mau mendengarkan perintahnya untuk menikah dengan Raja Tambun. Dari ketiga sebab diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa sifat Raja Toga Manurung sangat tidak suka akan sikap-sikap yang tidak berkenan dengan nilai-nilai sosial seperti yang dilakukan Raja Silahi Sabungan, dan putrinya yang sangat egois.

5. Demoument(Penyelesaian)

Penyelaesain dari cerita Mual Simata Niari tersebut dapat kita lihat pada bagian akhir dari rangkain cerita berikut ini :


(42)

“Demi mengambil hati dari Pinta Houmasan, raja Tambun pun berusaha semaksimal mungkin melakukan apa yang diperintah ibunya untuk menikahi Pinta Houmasan dan meluluhkan sifat egoisnya, meskipun dipandang sebelah mata oleh Pinta Houmasan. Mendengar hal itu dari keluarga raja Toga Manurung yang ingin menikahkan Pinta Houmasan kepada Raja Tambun maka diapun berontak dan marah kepada ayahnya dengan perkataan :

“ saya tidak mau menikah dengannya, dan apabila saya menikah dengannya maka saya akan bunuh diri” seru Pinta Houmasan.

Mendengar hal itu Raja Toga Manurung marah dan menanyakan pada putrinya apa keinginan dari Pinta Houmasan karena Raja Toga Manurung sangat menyanyangi putrinya dengan perkataan :

“ Menikahlah dengan dia dan apa keinginanmu agar mau menikah dengan dia katakan pada ayah!”.

Lalu kata pinta Houmasan pada ayahnya :

“ saya mau menikah dengannya dengan syarat keempat harta yang paling berharga milik kakek diberikan kepada saya”.

Lalu kata Raja Toga Manurung pada putrinya :

“ Baiklah, saya akan memberikan Pauseang (warisan) yang kamu minta yaitu Mual Simata Niari, Pinasa Sigamilton (Pohon Nangka yang berbatang pendek akan tetapi tak pernah mati ), Palia Sidundungon (Pohon Petai milik ayah Raja Toga Manurung yang dipercaya dapat berbuah koin emas apabila hatinya bersih), Hauma Sipitu Batangin (Sawah Tujuh Petak yang tak pernah gagal panen karena dialiri oleh Mual Simata Niari) dan Raja Toga Manurung meminta agar jangan dijual pada orang lain”.


(43)

Mendengar hal itu maka Pinta Houmasan besedia menikah dengan Raja Tambun meskipun ada suatu perasaan yang tak senang dari adiknya Mas Mauli, akan tetapi Mas Mauli bersedia memberikan Hauma Sipitu Batangin miliknya kepada kakaknya demi meluluhkan hatinya yang sangat egois dan sombong

Keempat pusaka itu rupanya sudah sangat diinginkan oleh Pinta Houmasan untuk menaikkan harga dirinya dan menjadikan dirinya ahli atau pakar dalam segala hal yang tidak bertentangan dengan perintah orang tuanya, setelah menerima kelima pusaka itu maka akhirnya Pinta Houmasan dan Raja Tambun pun menikah. Pada saat pernikahan berlangsung tiba-tiba ibu dari si Raja Tambun meminta kepada abangnya (Raja Toga Manurung) agar kiranya Raja Silahi diundang kepesta anaknya meskipun hingga berlansungnya pesta tersebut Raja Toga Manurung tidak setuju karena sikap dan perilaku Raja Silahi yang telah meninggalkan Boru Simling-iling dan menelantarkan seorang diri dikampung mereka. Akan tetapi, karena permintaan Boru Similing-iling maka Raja Toga Manurung pun bersedia mengundang Raja Silahi dengan syarat sebagai berikut dari petikan cerita dibawah ini:

” Selanjutnya diadakanlah pesta pernikahan mereka dengan meriah dan semarak akan tetapi ibu dari Raja Tambun meminta agar ayahnya Raja Tambun mau menghadiri dan membersihkan diri di Mual Simata Niari dari kesalahannya yang telah membohongi dan marah keluarga besar Raja Mangarera karena kepergiannya kekampung halamannya meninggalkan boru Similing-iling, lalu tersiarlah kabar kepada Raja Silahi agar mau datang dan memenuhi persyaratan dari keluarga boru Similng-iling dan akhirnya Raja Silahi bersedia. Karena kesediaan Raja Silahi maka keluarga Raja Mangarera mengampuni kesalahannya dan diijinkan hadir setelah


(44)

terlebih dahulu membersihkan diri di mata air milik Raja Mangarera yaitu di Mual Simata Niari. “

Dari uraian plot tersebut diatas maka dapat disimpulkan menggunakan alur lurus, dan alasan penulis mengatakan bahwa cerita ini adalah alur lurus adalah karena cerita ini mulai dari awal sampai akhir tersedia tanpa maju mundur.

3.1.3 Latar ( Setting )

Latar (setting) merupakan lukisan tetang tempat terjadinya peristiwa dalam sebuah cerita. Latar membina struktur karya sebagai bagian yang dapat menciptakan suasana cerita. Dengan demikian latar dapat mempengaruhi karakter tokoh dan dapat menunjukkan bagaimana tata cara, latar belakang alam, cara hidup dan lain-lain. Panuti Sudjiman (1986 : 46) mengatakan :

“ latar adalah segala keterangan mengenai waktu dan suasana terjadinya kelakuan dalam sebuah karya sastra “.

Setelah membaca dan menganalisa cerita Mual Simata Niari, penulis tidak menemukan latar waktu yaitu kapan cerita ini ada, sedangkan latar yang mendominasi adalah latar tempat, yaitu :

- Lumban Jabi-jabi tempat asal Raja Mangarera beserta keturunnya - Mual Simata Niari yaitu tempat atau objek cerita

- Silahi Sabungan yaitu tempat kediaman Raja Silahi

- Lumban Julu yaitu tempat kediaman Raja Tambun dan Pinta Houmasan

- Sibisa Porsea yaitu tempat kelahiran keluarga Raja Mangarera beserta keturunannya.


(45)

3.1.4 Perwatakan

Perwatakan tokoh-tokoh dalam cerita Mual Simata Niari, bisa kita lihat pada uraian berikut ini :

1. Raja Mangarera

Mengenai perwatakan Raja Mangarera ini, penulis tidak dapat menjelaskan secara rinci karena penulis tidak berani mengatakannya secra lansung, untuk itu penulis menguraikan perwatakan Raja Mangarera ini secara kolektif . perwatakan Raja Mangarera dalam cerita yaitu seorang Raja yang sangat sakti, bijaksana, perhatian akan kehidupan rakyatnya dan keluarganya, murah hati dan pemaaf.

2. Raja Toga Manurung

Perwatakan dari Raja Toga Manurung dari cerita yaitu seorang Raja yang memiliki sifat sama seperti ayahnya Raja Mangarera pada cerita. Berdasarkan cerita dapat disimpulkan bahwa sifat (perwatakan) Raja Toga Manurung adalah seorang Raja yang sangat dihormati oleh penduduknya dan keluarganya karena merupakan keturunan dari Raja Mangarera. Dan juga Raja Toga Manurung memiliki tanggung jawab sebagai orang tua terhadap anak-anaknya.

3. Boru Similing-iling

Perwatakan dari Boru Similing-iling pada cerita diketahui sebagai seorang Putri Raja sekaligus ibu dari Raja Tambun dan terkenal baik hati dan tidak sombong


(46)

serta seorang ibu yang benar-benar memberikan kasih sayang kepada anaknya meskipun telah lama tidak berjumpa.

4. Raja Silahi Sabungan

Adalah seorang Raja yang memiliki ilmu pengobatan dan kesaktain yang dapat menyembuhkan penyakit. Ayah dari si Raja Tambun yang berasal dari Silahi Sabungan yang terkenal sebagai seorang Raja yang mau menyadari kesalahannya atas perbuatannya.

5. Raja Tambun

Putra dari Raja silahi Sabungan dan si Boru Miling-iling yang terkenal tampan dan memiliki kharisma yang mammpu melakukan apapun yang diperintah orang tuanya dengan sempurna dan memiliki perwatakan yang patuh akan nasehat orang tuannya dan penyabar

6. Pinta Houmasan

Istri dari Raja Tambun yang terkenal cantik dan menawan tetapi memiliki sifat yang amat sombong sehingga membuat ayahnya marah, tetapi dia sangat menghormati orang tuanya.

7 . Mas Mauli

Putri dari Raja Toga Manurung yang memiliki sifat yang mau berkorban demi kebahagiaan keluarganya dan sebagai seorang anak yang patuh terhadap nasehat dari orang tuanya.


(47)

Karena banyak masyarakat yang mempercayai kegunaan air dari Mual Simata Niari itu dahulu kala, maka hingga sekarang masih banyak pula yang menginginkan air tersebut meskipun namanya hampir tak terdengar lagi.

Dari cerita diatas disimpulkan kegunaan dan manfaat Mual Simata Niari yang berikut : Sebagai sarana perairan yang tak pernah mati pada masyarakat dan keluarga Raja Mangarera hingga kini. Sarana pembersihan diri dari segala perbuatan dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan selama ini.

Penyembuh segala macam penyakit baik kronis ataupun tidak kronis yang diderita,dengan syarat harus di percayai si pengguna.

Sarana mencari jawaban dari segala kegundahan hati yang diiringi dengan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa.


(48)

BAB IV

NILAI-NILAI SOSIOLOGIS DALAM CERITA

MUAL SIMATA NIARI

4.1 Nilai – nilai Sosiologis Dalam Cerita

Berdasarkan tinjauan unsur-unsur interinsik pada Bab tiga, dapatlah dianalisis nilai-nilai sosiologis cerita Mual Simata Niari dengan menggunakan pendekatan sosiologis tanpa menghilangkan konteks sastra karena kita tidak terlepas dari unsur karya sastra tersebut.

Pembahasan dalam karya sastra ini adalah nilai-nilai sosiologis maka objek bahasannya adalah interaksi (aksi), perwatakan tokoh-tokoh cerita sehingga menghasilakan nilai-nilai sosiologis yang dapat kita lihat pada uraian sebagai berikut :

4.1.1 Pengabdian

Pengabdian dapat diartikan sebagai pengorbanan kepada orang lain tanpa mengharapkan balasan seperti mengorbankan jiwa raga, mengorbankan hak demi tercapainya suatu tujuan tertentu baik tujuan dipihak orang lain maupun tujuan untuk dirinya sendiri. Untul lebih jelasnya kita dapat melihat pengertian pengabdian, maka penulis mengutip pendapat ahli berikut :

Poerwa Darminta ( 1984 : 12 ) mengatakan :

“ pengabdian adalah perihal mengabdi atau mengabdikan, mengabdikan adalah memperhambakan, memakai untuk, menggunakan segala tenaganya“.Jadi pengabdian dapat disimpulkan pengorbanan kepada orang lain,baik materi maupun jiwa untuk tercapinya suatu tujuan yang diinginkan.


(49)

Raja Tambun dinilai mengabdi kepada Raja Mangarera, Raja Tambun tidak menghiraukan dirinya walaupun dihina dan dicaci oleh Putri Raja Toga Manurung yang bernama Pinta Houmasan karena dia tahu bahwa dengan sifat penyabar dan mau rendah hati akan mendapatkan hasil yang sempurna. Ternyata benar setelah Raja Tambun mengabdi pada Raja Mangarera dan Raja Toga manurung dengan sifat penyabarnya Raja Tambun pun mendapatkan hadiah yang mengejutkan yaitu menikah dengan Putri Raja Toga Manurung yang bernama Pinta Houmasan dan mendapatkan warisan yang diberikan kepada Pinta Houmsan beserta ayahnya yang telah dimaafkan oleh Raja Mangarera dan Raja Toga Manurung. Hal ini dapat pada bagian cerita :

“ Selanjutnya diadakanlah pesta pernikahan mereka dengan meriah dan semarak akan tetapi ibu dari Raja Tambun meminta agar ayahnya Raja Tambun mau menghadiri dan membersihkan diri di Mual Simata Niari dari kesalahannya yang telah membuat marah keluarga besar Raja Mangarera, karena kepergiannya kekampung halamannya meninggalkan boru Similing-iling. Lalu tersiarlah kabar kepada Raja Silahi agar mau datang dan memenuhi persyaratan dari keluarga Raja Mangarera dan akhirnya Raja Silahi bersedia. Karena kesediaan Raja Silahi, maka keluarga Raja Mangarera mengampuni kesalahannya dan diijinkan hadir setelah terlebih dahulu membersihkan diri di mata air milik Raja Mangarera yaitu di Mual Simata Niari “.

Pengabdian mereka kali ini bukanlah sekedar menyelamatkan peninggalan atau warisan dari Raja Toga Manurung kepada Pinta Houmasan akan tetapi pengabdian mereka juga membawa kembalinya Raja silahi kekampung halaman mertuanya yang bertempat di Desa Lumban Jabi-jabi hingga akhir hayat mereka.

Demikianlah pengabdian yang dilakukan Raja Tambun, untuk membawa Raja Silahi (ayahnya) kembali bersatu dengan ibunya di negeri Raja Toga manurung


(50)

meskipun melespaskan atau menghilangkan segala kesaktian milik ayahnya demi permintaan maaf dari Raja Mangarera (tulangnya). Mengabdikan diri demi kedaulatan dan keutuhan negeri serta rumah tangga merupakan sifat yang terpuji dan sangat dihormati.

4.1.2 Tanggung Jawab

Dalam hal ini pengertian tanggung jawab yaitu bersedia melakukan kewajiban yang semestinya dilakukan, hal tersebut dapat kita lihat dari sinopsis cerita yang ada dimana isi cerita tersebut mengisahkan tentang tanggung jawab orang tua pada anaknya. Salah satu tangggung jawab yang dapat kita ambil dari cerita yaitu petikan cerita yang berisikan tentang pemberian permintaan atau pemberiaan keinginan dari Pinta Houmasan (Putri Raja Toga Manurung) agar mau menikah dengan RajaTambun karena sifat dan perilaku Raja Tambun yang amat dinilai baik oleh Raja Toga Manurung yang telah mengabdikan diri di Kerajaan Raja Toga Manurng dan Raja Mangarera. Tanggung jawab yang lainnya dapat kita lihat dalam petikan cerita yang berisikan mau memaafkan segala perbuatan dan perilaku Raja Silahi dari Silahi Sabugan (ayahnya) dan menerima kembali ayahya dalam keluarga besar Raja Mangarera. Demikianlah beberapa tanggung jawab yang dilakukan orang tua pada anaknya meskipun penulis tahu masih banyak jenis tanggun jawab yang terdapat pada sinopsis cerita.

4.1.3 Pertentangan

W.J.S.Poerwadarminta ( 1984 : 1053 ) mengatakan :

“ Pertentangan adalah perlawanan ( yang berlawanan atau bertentangan ) perselisihan yang sangat mendalam (ketidak cocokan) dan sebagainya ”.


(51)

Pertentangan dapat ditafsirkan dengan terjadinya perselisihan antara satu pihak dengan pihak yang lain, yang disebabkanadanya ketidak sesuaian unsur-unsur, seperti selisih pendapat, selisih paham, dan sebaginya. Pertentangan kerap kali merugiakan pihak yang berselisih, walaupun terkadang satu pihak yang bertikai mendapat keuntungan, tetapi hal itu sangat kecil kemungkinannya dapat berhasil.

Dalam cerita ini penulis menguraikan pertentangan antara Raja beserta ketujuh anak lainnya, dan Raja Mangarera dengan Raja Silahi dari Silahi Sabungan yang disebabkan kesalahan pahaman antara kedua belah pihak.

Pertentangan dalam cerita dapat kita lihat ketika Raja Silahi meninggalkan Boru Similing-iling dan membawa anak mereka tanpa diketahui oleh Raja Mangarera sehingga membuat Raja Mangarera marah besar melihat perlakuan Raja Silahi dari Silahi Sabungan, lalu pertentangan kedua dapat kita lihat dari cerita yang menjelaskan tentang sikap para saudara Raja Tambun yang bersala dari istri pertama dari Raja Silahi yang ingin membunuh Raja Tambun karena keistimewaan yang dimilikinya sehingga membuat Raja Silahi marah kepada ketujuh anaknya, akan tetapi hal tersebut sudah sangat menyakiti hati Raja Tambun sehingga membuat dia pergi mencari ibunya ke Desa Sibisa bisa. Demikianlah pertentangan digambarkan dalam cerita ini, pertentangan sangat merugikan apabila pertentangan itu dipicu pula oleh kecemburuan dan kesenjangan sosial antara sesama individu.

4.1.4 Permintaan maaf

Dalam kehidupan ini kita pernah berbuat salah terhadap sesama ataupun terhadap banyak orang sehingga dapat memungkinkan kita dibenci orang yang kita sakiti. Akan tetapi, apabila kita menyadari kesalahan yang kita perbuat maka kita pasti


(52)

akan diberikan permintaan maaf dari orang yang kita sakiti. Permintaan maaf berarti memberikan maaf kepada orang yang melakukan kesalahan tersebut, dengan tidak mengulangi perrbuatan yang sama, permintaan maaf yang ada pad cerita dapat kita ketahui dari petikan cerita dibawah ini :

“Selanjutnya diadakanlah pesta pernikahan mereka dengan meriah dan semarak akan tetapi ibu dari Raja Tambun meminta agar ayahnya Raja Tambun mau menghadiri dan membersihkan diri di Mual Simata Niari dari kesalahannya yang telah membohongi dan marah keluarga besar Raja Mangarera karena kepergiannya kekampung halamannya meninggalkan boru Similing-iling, lalu tersiarlah kabar kepada Raja Silahi agar mau datang dan memenuhi persyaratan dari keluarga boru Similng-iling dan akhirnya Raja Silahi bersedia. Karena kesediaan Raja Silahi maka keluarga Raja Mangarera mengampuni kesalahannya dan diijinkan hadir setelah terlebih dahulu membersihkan diri di mata air milik Raja Mangarera yaitu di Mual Simata Niari “.

Demikianlah pemberiaan maaf dari Raja Mangarera kepada Raja Silahi agar tidak mengulangi perbuatannya dan diijinkan tinggal denga mereka karena ketulusan dari Raja Silahi dalam meminta maaf .

Walaupun kita kaya, pintar, berpangkat tinggi, perbedaan usia yang jauh dan lainnya bukan berarti kita tidak pernah melakukan salah. Jadi, karena kita bersalah tidak ada salahnya kita meminta maaf pada orang yang kita sakiti atas segala perbuatan yang kita lakukan agar hati kita pun tenang.


(53)

4.1.5 Kasih Sayang

Kasih sayang adalah perasaan suka, sangat cinta terhadap seseorang baik pada lawan jenis maupun sejenis, misalnya kasih sayang antara abang dan adik, kasih sayng suami terhadap istri, kasih sayang antara ibu dan anak dan lain sebagainya.

Sedangkan sayang dapat dikatakan kasihan, rasa menyesal, terasa rugi dan tidak iklas. Untuk lebih jelasnya pengertian kasih sayang, penulis menurunkan pendapat yang dikutip dari W.J.S. Poerwadarminta (1985 :449 ) mengatakan :

“ Kasih adalah merasa sayang (cinta, suka, kepada ), sangat sayang, sangat cinta, cinta kasih, cinta mencintai, sayang menyayangi, mencurahkan isi kabulnya “

“ Sayang adalah kasihan, terasa menyesal dan rasa rugi “.

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kasih sayang menjadi merasa atau perasaan sayang (cinta, suka, kepada ), sangat kasih terhadap orang disekitar atau kasih terhadap sesama, persaudaraan, percintaan, dalam kekeluargaan.

Dalam tahap awal pengarang menyajikan kasih sayang yang mendalam Raja Toga Manurung kepada keluarganya, adiknya, anaknya, dan masyarakatnya demikian sebaliknya.

Raja Toga Manurung selalu memberikan kasih sayangnya terhadap keluarga, anak-anaknya, adiknya, disaat bagaimanapun. Demikian juga orang-orang yang dincintainya dan disayanginya selalu memberikan kasih sayang yang sama.

Dalam hal pembahasan kasih sayang pada bab ini dapat kita lihat dari seluruh pengorbanan dan pemberian Raja Mangarera kapada Raja Toga Manurung dan adiknya Boru Similing-iling yang rela memberikan harta kekayaan kepada mereka yang selanjutnya diberikan kepada keturunan Raja Toga Manurung yaitu Pinta Houmasan dan keturunan Boru Similing-iling yaitu Raja Tambun untuk mewujudkan


(54)

pernikahan keturunan mereka. Berikut petikan cerita yang menggambarkan kasih sayang orang tua pada anaknya dan kasih sayang seorang Raja pada masyarakatnya meskipun tidak dapat diuraikan secara rinci kasih sayang seorang Raja kepada masyarakatnya.

4.2 Pandangan Masyarakat

Pandangan masyarakat pada cerita tersebut di dasarin karena menurut penulis, masyarakat dan para keturunan pemilik objek cerita tersebut sudah memudar dari ingatan, olleh sebab itu penulis perlu untuk mengembangkan dan mengkaji semua unsur – unsur cerita yang ada.

Berdasarkan atas hal tersebut maka penulis yang sudah melakukan penelitian kelapangan dan atas dorongan masyarakat bermaksud ingin membukukan cerita tersebut agar tidak mengalami kepunahan. Oleh sebab itu, masyarakat menyarankan kepada penulis agar lebih tanggap dan jeli melakukan pelestarian peninggalan budaya karena banyak terdapat pesan – pesan, nilai – nilai,dan gambaran hidup bagi masyarakat sekarang.

Masyarakat menilai bahwa pada jaman sekarang peniggalan kebudayaan yang ada di daerah Sibisa Porsea kurang mengalami pelestarian dari masyarakat setempat, keturunan pemilik objek cerita, dan orang banyak lainnya


(55)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Kesimpulan dari pembahasan skripsi ini berdasarkan cerita dan analisisnya dapat di ketahui sebagai berikut :

1) Tema dari cerita Mual Simata Niari adalah patuh terhadap nasehat dan perkataan orang tua serta menghormatinya akan mendatangkan berkat dari Tuhan Yang Maha Esa

2) Alur/ Plot cerita dari Mual Simata Niari adalah Alur lurus, penulis dimulai dari tahap pengenalan, suasana dan tahap penyelesaian.

3) Latar (Tempat, Waktu) terjadi cerita ini adalah di desa Pardamean Sibisa Porsea, sedangkan latar waktu terjadinya tidak jelas di ketahui terbentuknya objek yang di teliti penulis.

4) Nilai – nilai sosilogis yang di dapat penulis dari cerita Mual Simata Niari tersebut adalah :

1. Pengabdian

2. Tanggung Jawab

3. Pertentangan 4. Permintaan Maaf 5. Kasih Sayang

5) Perwatakan (Karakter) dari Tokoh – tokoh dalam cerita Mual Simata Niari yaitu :


(56)

1. Raja Mangarerak : Raja yang bijaksana, bertanggung jawab dan menyayangi keluarga.

2. Raja Toga Manurung : bijaksana, bertanggung jawab dan menyayangi keluarga.

3. Boru Similing – iling : baik hati, patuh, serta sayang kepada keluarga dan anaknya.

4. Raja Silahi Sabungan : Raja yang bijaksana, adil, dan mau mengakui kesalahannya.

5. Raja Tambun : Raja yang memiliki kharisma dapat

melakukan apapun, patuh terhadap nasehat orang tua dan mau mengalah.

6. Pinta Haomasan : Putri yang tinggi hati, sombong, dan rakus akan harta.

7. Mas Mauli : Putri yang memiliki sifat mau berkorban,

patuh terhadap nasehat, dan jujur.

5.2 SARAN

Karya Sastra merupakan hasil karya seseorang pengarang yang diangkat dari tengah – tengah masyarakat yang berupa legenda, mite, dongeng, cerita. Oleh sebab itu penulis mengangkat cerita Mual Simata Niari ini karena penulis merasa perlu untuk mengembangkan agar tidak terjadi kepunahan terhadap peninggalan kebudayaan.

Adapun saran – saran yang di dapatkan penulis dari penyusunan skripsi ini yaitu :


(57)

1. Pelestarian peninggalan kebuyaan dengan cara mengangkat kembali cerita – cerita rakya yang belum di bukuka n dan diketahui orang banyak.

2. Menganalisis cerita – cerita rakyat oleh karena karya sastra sangat kaya akan nilai – nilai yang berguna bagi kehidupan masyarakat dan menerapkannya dalam kehidupan sehari – hari.

3. Melestarikan peninggalan – peninggalan kebudayaan tersebut dengan cara melakukan penelitian lapangan dan mengabadikannya kedalam buku ataupun kedalam visual/foto.


(58)

DAFTAR INFORMAN

1. P. MANURUNG

Umur : 48 Thn

Pekerjaan : Bertani

2. Drs. M. Sirait

Umur : 52 Thn

Pekerjaan : Kepala Desa Pardamean Sibisa

4. Drs. D. Manurung

Umur : 58 Thn

Pekerjaan : Pegawai Negeri

5. G. Manurung

Umur : 49 Thn


(1)

4.1.5 Kasih Sayang

Kasih sayang adalah perasaan suka, sangat cinta terhadap seseorang baik pada lawan jenis maupun sejenis, misalnya kasih sayang antara abang dan adik, kasih sayng suami terhadap istri, kasih sayang antara ibu dan anak dan lain sebagainya.

Sedangkan sayang dapat dikatakan kasihan, rasa menyesal, terasa rugi dan tidak iklas. Untuk lebih jelasnya pengertian kasih sayang, penulis menurunkan pendapat yang dikutip dari W.J.S. Poerwadarminta (1985 :449 ) mengatakan :

“ Kasih adalah merasa sayang (cinta, suka, kepada ), sangat sayang, sangat cinta, cinta kasih, cinta mencintai, sayang menyayangi, mencurahkan isi kabulnya “

“ Sayang adalah kasihan, terasa menyesal dan rasa rugi “.

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kasih sayang menjadi merasa atau perasaan sayang (cinta, suka, kepada ), sangat kasih terhadap orang disekitar atau kasih terhadap sesama, persaudaraan, percintaan, dalam kekeluargaan.

Dalam tahap awal pengarang menyajikan kasih sayang yang mendalam Raja Toga Manurung kepada keluarganya, adiknya, anaknya, dan masyarakatnya demikian sebaliknya.

Raja Toga Manurung selalu memberikan kasih sayangnya terhadap keluarga, anak-anaknya, adiknya, disaat bagaimanapun. Demikian juga orang-orang yang dincintainya dan disayanginya selalu memberikan kasih sayang yang sama.

Dalam hal pembahasan kasih sayang pada bab ini dapat kita lihat dari seluruh pengorbanan dan pemberian Raja Mangarera kapada Raja Toga Manurung dan adiknya Boru Similing-iling yang rela memberikan harta kekayaan kepada mereka yang selanjutnya diberikan kepada keturunan Raja Toga Manurung yaitu Pinta Houmasan dan keturunan Boru Similing-iling yaitu Raja Tambun untuk mewujudkan


(2)

sayang orang tua pada anaknya dan kasih sayang seorang Raja pada masyarakatnya meskipun tidak dapat diuraikan secara rinci kasih sayang seorang Raja kepada masyarakatnya.

4.2 Pandangan Masyarakat

Pandangan masyarakat pada cerita tersebut di dasarin karena menurut penulis, masyarakat dan para keturunan pemilik objek cerita tersebut sudah memudar dari ingatan, olleh sebab itu penulis perlu untuk mengembangkan dan mengkaji semua unsur – unsur cerita yang ada.

Berdasarkan atas hal tersebut maka penulis yang sudah melakukan penelitian kelapangan dan atas dorongan masyarakat bermaksud ingin membukukan cerita tersebut agar tidak mengalami kepunahan. Oleh sebab itu, masyarakat menyarankan kepada penulis agar lebih tanggap dan jeli melakukan pelestarian peninggalan budaya karena banyak terdapat pesan – pesan, nilai – nilai,dan gambaran hidup bagi masyarakat sekarang.

Masyarakat menilai bahwa pada jaman sekarang peniggalan kebudayaan yang ada di daerah Sibisa Porsea kurang mengalami pelestarian dari masyarakat setempat, keturunan pemilik objek cerita, dan orang banyak lainnya


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Kesimpulan dari pembahasan skripsi ini berdasarkan cerita dan analisisnya dapat di ketahui sebagai berikut :

1) Tema dari cerita Mual Simata Niari adalah patuh terhadap nasehat dan perkataan orang tua serta menghormatinya akan mendatangkan berkat dari Tuhan Yang Maha Esa

2) Alur/ Plot cerita dari Mual Simata Niari adalah Alur lurus, penulis dimulai dari tahap pengenalan, suasana dan tahap penyelesaian.

3) Latar (Tempat, Waktu) terjadi cerita ini adalah di desa Pardamean Sibisa Porsea, sedangkan latar waktu terjadinya tidak jelas di ketahui terbentuknya objek yang di teliti penulis.

4) Nilai – nilai sosilogis yang di dapat penulis dari cerita Mual Simata Niari tersebut adalah :

1. Pengabdian 2. Tanggung Jawab 3. Pertentangan 4. Permintaan Maaf 5. Kasih Sayang

5) Perwatakan (Karakter) dari Tokoh – tokoh dalam cerita Mual Simata Niari yaitu :


(4)

dan menyayangi keluarga.

2. Raja Toga Manurung : bijaksana, bertanggung jawab dan menyayangi keluarga.

3. Boru Similing – iling : baik hati, patuh, serta sayang kepada keluarga dan anaknya.

4. Raja Silahi Sabungan : Raja yang bijaksana, adil, dan mau mengakui kesalahannya.

5. Raja Tambun : Raja yang memiliki kharisma dapat

melakukan apapun, patuh terhadap nasehat orang tua dan mau mengalah.

6. Pinta Haomasan : Putri yang tinggi hati, sombong, dan rakus akan harta.

7. Mas Mauli : Putri yang memiliki sifat mau berkorban, patuh terhadap nasehat, dan jujur.

5.2 SARAN

Karya Sastra merupakan hasil karya seseorang pengarang yang diangkat dari tengah – tengah masyarakat yang berupa legenda, mite, dongeng, cerita. Oleh sebab itu penulis mengangkat cerita Mual Simata Niari ini karena penulis merasa perlu untuk mengembangkan agar tidak terjadi kepunahan terhadap peninggalan kebudayaan.


(5)

1. Pelestarian peninggalan kebuyaan dengan cara mengangkat kembali cerita – cerita rakya yang belum di bukuka n dan diketahui orang banyak.

2. Menganalisis cerita – cerita rakyat oleh karena karya sastra sangat kaya akan nilai – nilai yang berguna bagi kehidupan masyarakat dan menerapkannya dalam kehidupan sehari – hari.

3. Melestarikan peninggalan – peninggalan kebudayaan tersebut dengan cara melakukan penelitian lapangan dan mengabadikannya kedalam buku ataupun kedalam visual/foto.


(6)

1. P. MANURUNG

Umur : 48 Thn

Pekerjaan : Bertani

2. Drs. M. Sirait

Umur : 52 Thn

Pekerjaan : Kepala Desa Pardamean Sibisa

4. Drs. D. Manurung

Umur : 58 Thn

Pekerjaan : Pegawai Negeri

5. G. Manurung

Umur : 49 Thn