Tinjauan Psikologis Cerita Rakyat Melayu Serdang yang Berjudul Sri Putih Cermin

(1)

TINJAUAN PSIKOLOGIS CERITA RAKYAT MELAYU

SERDANG YANG BERJUDUL SRI PUTIH CERMIN

SKRIPSI SARJANA Dikerjakan

O L E H

Nama : Romanna Dutyriva Martha NIM : 030702011

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN BAHASA DAN SASTRA DAERAH

PROGRAM STUDI BAHASA MELAYU

MEDAN

2008


(2)

TINJAUAN PSIKOLOGIS CERITA RAKYAT MELAYU

SERDANG YANG BERJUDUL SRI PUTIH CERMIN

SKRIPSI SARJANA

Dikerjakan O

L E H

Nama : Romanna Dutyriva Martha NIM : 030702011

Disetujui Oleh:

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

Drs. Syaifudin, M.A, Ph. D. Drs. Baharudin, M.Hum

NIP. 132098531 NIP. 131785647

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat SARJANA SASTRA dalam bidang ilmu Bahasa dan Sastra Daerah Melayu.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN BAHASA DAN SASTRA DAERAH PROGRAM STUDI BAHASA MELAYU


(3)

PENGESAHAN

Diterima oleh:

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian SARJANA SASTRA dalam bidang Ilmu Bahasa dan Sastra Daerah Melayu pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan.

Pada,

Hari : Tanggal :

Fakultas Sastra USU Dekan,

Drs. Syaifudin, M.A, Ph. D. NIP. 132098531

Panitia Ujian

No. Nama Tanda Tangan

1. ... 2. ... 3. ... 4. ... 5. ...


(4)

DISETUJUI OLEH;

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Dept. Bahasa dan Sastra Daerah Ketua,

Drs. Baharuddin, M. Hum. NIP. 131785647


(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah berikan kesehatan serta bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi ini disusun untuk melengkapi persyaratan guna menyelesaikan program pendidikan Sarjana (S1) pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Setelah melewati rintangan yang panjang akhirnya penulis menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini adalah sebagian ilmu dalam dunia pendidikan, jadi tanpa adanya rasa syukur kepada Allah SWT kita sebagai manusia bukan apa-apa. Akan tetapi, keinginan untuk terus belajar haruslah ada pada diri kita, dari sekarang sampai kita tua nanti.

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas bantuan tenaga serta pikiran, juga memberikan pengarahan, motivasi, bimbingan, dan semangat maupun saran yang penulis terima dari semua pihak, sehingga setiap kesulitan yang dihadapi dapat teratasi. Dengan ketulusan hati penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada:

1. Bapak Drs.Syaifuddin, M. A. Ph. D. Dekan Fakultas Sastra USU Selaku pimpinan tertinggi di Fakultas Sastra USU selaku pembimbing I, yang mana bimbingan serta arahan dari beliau penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.


(6)

2. Bapak Drs. Baharuddin, M. Hum. Ketua Jurusan Departemen Bahasa dan Sastra Daerah selaku Pembimbing II, yang telah banyak memberi bimbingan dan arahan dari beliau penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Segenap Dosen/Staf Pengajar Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan tuntunan, bimbingan, dan kemudahan dalam menyelesaikan perkuliahan penulis.

4. Teristimewa Ayahanda dan Ibunda tercinta, yang telah memberikan segalanya kepada penulis kasih sayang, perhatian, bimbingan, serta tidak pernah mengeluh dalam membiayai pendidikan penulis sampai penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

5. Keluarga penulis yang juga telah ikut ambil peran dalam memberikan masukan dan bimbingannya selama Studi Perkuliahan dan Pengerjaan Skripsi. 6. Rekan-rekan se-Angkatan tahun 2003 & Angkatan 2004 di Sastra Daerah

Universitas Sumatera Utara atas kerja sama yang terbina selama ini dan memberikan dorongan bagi penulis untuk segera menyelesaikan perkuliahan. menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. oleh karena itu, semua masukan maupun kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan dari para dosen dan pembaca sekalian.

Medan, 2008 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Batasan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

1.5 Tinjauan Pustaka ... 5

1.6 Landasan Teori ... 6

BAB II KARYA SASTRA DAN PSIKOLOGIS 2.1 Bahasa sebagai Media Karya Sastra ... 18

2.2 Pengertian Psikologi ... 19

2.3 Pendekatan Psikologi ... 21

2.4 Hubungan Sastra dengan Psikologi ... 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Dasar ... 27

3.2 Sumber Data Penelitian ... 28

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 28


(8)

BAB IV STRUKTUR CERITA RAKYAT SRI PUTIH CERMIN

4.1 Ringkas Cerita ... 30

4.2 Alur ... 31

4.3 Penokohan ... 32

4.4 Latar ... 34

4.5 Tema dan Amanat ... 34

BAB V NILAI-NILAI PSIKOLOGIS CERITA RAKYAT SRI PUTIH CERMIN 5.1 Marajaya ... 35

5.2 Sri Putih Cermin ... 37

5.3 Balagala ... 40

5.4 Jin Jembalang... 43

5.5 Tuanku Indra Bestari ... 43

5.6 Tuan Indra Bongsu ... 44

5.7 Tiga Raksasa para Penjaga Istana Kayangan ... 45

5.8 Tiga Orang Srikandi ... 45

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 46

6.2 Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 52


(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bangsa Indonesia adalah yang memiliki banyak etnis, salah satunya adalah etnis Melayu. Etnis Melayu merupakan bagian dari kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Etnis Melayu mempunyai banyak warisan leluhur yang masih tersimpan dan belum digali sampai sekarang sehingga dikhawatirkan warisan budaya tersebut akan menurun kualitas atau mutunya disebabkan oleh perkembangan peradaban yang terjadi pada masyarakat Melayu tersebut.

Karya sastra merupakan hasil pemikiran dan cermin dari sebuah budaya kelompok masyarakat yang memiliki kebudayaan (Nurgiyantoro, 2001:89). Karya sastra merupakan hasil renungan atau pikiran serta daya imajinasi yang terpadu karya sastra itulah yang membedakan dengan buku-buku sastra dan karangan lainnya. Melalui karya sastra segala kemungkinan-kemungkinan diungkapkan oleh pengarang baik kehidupan jasmani maupun rohani, secara universal.

Sastra lisan merupakan bagian dari kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat lalu diwariskan turun-menurun secara lisan sebagai milik bersama. Ragam sastra yang demikian tidak hanya berfungsi sebagai alat hiburan, pengisi waktu senggang, serta penyalur perasaan dan pendengaran, tetapi juga sebagai pencerminan sikap, pandangan, angan-angan


(10)

kelompok, alat pendidikan anak-anak, alat pengesahan pranata dan lembaga kebudayaan serta pemeliharaan norma masyarakat, (Fachruddin, 1981:1).

Sesuai dengan keadaan masyarakat Melayu yang sedang membangun saat ini, berbagai bentuk kebudayaan lama termasuk sastra lisan, bukan mustahil akan terabaikan di tengah-tengah kesibukan pembangunan dan pembaharuan yang sedang meningkat. Sehingga dikhawatirkan kualitas sastra lisan menurun dan tak akan tumbuh serta berkembang pada diri generasi saat ini. Salah satu genre prosa rakyat dari kesusastraan Melayu adalah cerita rakyat yang lahir dari etnik masyarakat Melayu Serdang.

Sastra memiliki nilai budaya yang tercermin dalam pemberian arti aspek pada berbagai jenis perilaku atau tindakan antar individu maupun golongan secara utuh, khususnya pada sastra etnik Melayu Serdang merupakan bagian dari kebudayaan yang tumbuhdan perkembangan pada masyarakatnya. Pada prinsipnya nilai budaya suatu etnis yang ada pada Melayu Serdang tidak akan pernah hilang dari perilaku pendukungnya, hal ini dapat kita lihat dari kebudayaan etnik yang memiliki ciri khas tertentu. Nilai budaya etnik itu dapat diketahui melalui prosa rakyat sebagai bahagian khasanah kesusastraan Melayu Serdang.

Prosa rakyat sebagai bentuk genre dari karya sastra bila dibaca dan dinikmati dapat menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin. Welleck & Waren (2001:212) menyatakan betapa pun saratnya pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditawarkan, sebuah karya prosa haruslah tetap merupakan cerita yang menarik, tetap merupakan bangunan struktur yang koheren, dan tetap mempunyai tujuan tertentu.


(11)

Memahami pandangan dan penjabaran di atas dapat dijelaskan bahwa melalui karya sastra segala kemungkinan-kemungkinan diungkapkan oleh pengarang, baik kehidupan jasmani maupun rohani. Sastra memiliki nilai budaya yang tercermin dalam pemberian arti aspek psikologis pada berbagai jenis perilaku atau tindakan antar individu maupun golongan secara utuh, khususnya pada sastra etnik Melayu merupakan bagian dari kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.

Salah satu bentuk dari kesusatraan Melayu, khususnya prosa Melayu adalah cerita rakyat. Cerita rakyat adalah salah satu karya sastra yang menggambarkan tentang kehidupan masyarakat khususnya kehidupan masyarakat Melayu Serdang. Dalam karya sastra bentuk prosa Melayu tersebut terdapat berbagai unsur pendukung seperti tema, alur atau plot, latar, tokoh. Dan unsur ekstrinsik seperti dimana tempat terjadinya karya sastra itu muncul, pandangan hidup atau cara berpikir masyarakat pada karya sastra tersebut, keadaan masyarakat pada waktu tertentu sehingga perlu direkam dalam karya sastra, kondisi baru yang muncul sesudah keadaan masyarakat sebelumnya, adat-istiadat masyarakat yang terdapat dalam karya sastra, pandangan pembaca terhadap karya sastra dan kedudukan karya sastra dalam sejarah saatra atau dalam satu jangka waktu tertentu berdasarkan ciri-ciri umum suatu zaman/periodesastra. Serta nilai-nilai psikologis yang terkandung dalam suatu cerita rakyat.

Dengan alasan di atas, penulis mengangkat cerita rakyat masyarakat Melayu Serdang dengan judul “Tinjauan Psikologi Cerita Rakyat Sri Putih Cermin pada masyarakat serdang”.


(12)

Cerita ”Sri Putih Cermin” ini adalah satu cerita dari masyarakat Melayu Serdang yang telah dibukukan. Apabila dilihat dari isinya, ”Sri Putih Cermin” menceritakan keajaiban alam, yakni terjadinya suatu pantai bernama Pantai Putri. Cerita ini mengisahkan hubungan adat istiadat dan asal usul terjadinya Pantai Putri, Sungai Ular, dan Ikan Baung. Yang mana cerita ini banyak mengandung nilai-nilai psikologis yang dapat dijadikan sebagai alat pendidikan moral masyarakat Melayu Serdang khususnya, dan masyarakat pembaca umumnya, selain itu juga sebagai kebanggaan daerah, bangsa dan negara tercinta.

1.2 Batasan Masalah

Adapun batasan masalah dalam penelitian cerita rakyat Sri Putih Cermin ini, meliputi:

a. Bagaimana struktur cerita rakyat Sri Putih Cermin?

b. Nilai-nilai psikologis apa saja yang terkandung dalam cerita rakyat Sri Putih Cermin?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: a. Mengetahui struktur cerita rakyat Sri Putih Cermin.

b. Mengetahui nilai-nilai psikologis yang terkandung dalam cerita rakyat Sri Putih Cermin.

1.4 Manfaat Penelitian


(13)

a. Menambah khasanah kajian sastra masyarakat Melayu Serdang khususnya cerita rakyat Sri Putih Cermin.

b. Sebagai sumber bacaan bagi peneliti sastra agar cerita rakyat terus menerus digali dan dikembangkan.

c. Mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra Melayu.

d. Memelihara karya sastra lisan agar terhindar dari kemusnahan dan dapat diwariskan pada generasi yang akan datang.

e. Untuk memenuhi salah satu syarat menempuh Sarjana Sastra di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

1.5 Tinjauan Pustaka

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan dengan judul skripsi ini. Untuk mempertanggungjawabkan suatu karya ilmiah bukanlah pekerjaan mudah, karena itulah disertakan data-data yang kuat yang ada hubungannya dengan objek yang diteliti.

Ada beberapa buku yang dipakai penulis dalam penelitian ini seperti buku karangan Zam Nuldyn, yang berjudul Sri Putih Cermin diterbitkan oleh Firma “Hasmar” Medan-Jakarta-Ujung Pandang. Dan buku Jayawati, yang berjudul Analisa Struktur dan Nilai Budaya Cerita Rakyat Sumatera Utara diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan kebudayaan.


(14)

1.6 Landasan Teori 1.6.1 Teori Struktural

Untuk mengetahui struktur dalam sebuah karya sastra, haruslah dilakukan analisis unsur instrinsik karya sastra tersebut. Dalam unsur instrinsik digunakan empat struktur karya sastra prosa fiksi yang harus dianalisis yaitu: alur (plot), penokohan/perwatakan, latar,dan tema (Tinambunan. et.al., 1996:7-14)

a. Alur

Alur prosa fiksi (cerita fiksi) adalah rentetan peristiwa yang biasanya bersebab akibat atau berkaitan secara kronologis, sedangkan alur prosa nonfiksi adalah rentetan pikiran atau paparan sebagaimana dalam sajak dan drama (Natawidjaja, 1980:80). Alur yang baik dalam prosa fiksi adalah alur yang di dalamnya terdapat keingintahuan pembaca akan peristiwa berikutnya (Akhadiyah M.K.dkk., (1992:184).

Secara sederhana alur itu terbagi dalam tiga tahap, yaitu tahap perkenalan, tahap pertikaian, dan tahap akhir (Surana, 1980:84). Pada tahap perkenalan pada awal cerita diperkenalkan/dilukiskan tempat, waktu, dan tokoh-tokohnya pada tempat dan saat tertentu. Pada tahap pertikaian dilukiskan munculnya pertikaian yang berkembang menuju puncak atau klimaks. Pertikaian dapat berupa konflik bathin dalam diri sendiri, antar tokoh dalam suatu keluarga atau masyarakat. Pada tahap akhir dilukiskan cerita telah berakhir atau penyelesaian konflik atau masalah yang dihadapi.


(15)

Rentetan peristiwa itu dapat disusun dari awal, tengah, dan akhir (progresif) cerita dan dapat juga dari akhir cerita, lalu kembali ke pangkalnya (regresif atau flashback). Di samping itu, kedua alur itu dapat dipakai bersama-sama atau digabungkan, yaitu mula-mula diceritakan peristiwa masa lalu, kemudian, beralih ke perstiwa sesudah masa kini.

Urutan peristiwa dalam alur dapat berupa urutan klimaks atau antiklimaks dan dapat pula berupa urutan kronologis atau regresif (alur mundur atau alur sorot balik). Urutan klimaks peristiwa dimulai dari peristiwa biasa dan diteruskan oleh peristiwa berkembang, serta diakhiri dengan peristiwa memuncak. Dalam urutan antiklimaks, peristiwa dimulai dari peristiwa yang paling tegang atau paling mengerikan (memuncak), kemudian diakhiri dengan peristiwa biasa. Dalam urutan kronologis, peristiwa maju secara wajar menurut waktu. Dalam alur sorot balik, peristiwa dimulai dari peristiwa akhir (tahap akhir), lalu kembali ke permulaan peristiwa (tahap konflik) atau peristiwa dimulai dari peristiwa yang berkonflik (tahap konflik), lalu kembali pada permulaan cerita (tahap perkenalan), dan diteruskan dengan peristiwa akhir dari cerita (tahap akhir), (Surana, 1980:83-86).

b. Penokohan

Tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan di dalam berbagai peristiwa cerita sedangkan watak adalah menggambarkan bagaimana sifat para tokoh pada cerita itu. Tokoh dan watak dinyatakan setelah alur cerita dinyatakan secara jelas. Biasanya alur cerita berpusat pada tokoh utama, ditemukan juga tokoh bawahan. Watak tokoh cerita ada yang baik


(16)

(penyabar, suka mengampuni dan sebagainya), yang dapat dicontohkan oleh pembaca dan ada juga yang kurang baik (pemarah, pendendam, dan sebagainya) yang harus dihindari ditanggapi secara positif oleh pembaca.

Ada enam cara yang dipakai dalam mendeskripsikan penokohan dalam karya sastra, yaitu:

(1) penulisan bentuk lahir,

(2) pelukiskan jalan pikiran dan perasaan, (3) pelukisan reaksi tokoh lain,

(4) pelukisan keadaan sekeliling, (5) pengungkapan ucapan, (6) dan pelukisan kebiasaan.

Pelukisan bentuk lahir atau tingkah laku dalam mengukapan watak seseorang atau tokoh cerita dapat dilakukan secara analitik dan dramatik. Pelukisan reaksi tokoh lain terhadap tokoh utama atau tokoh bawahan. Misalnya, pada waktu tokoh mendapat suatu musibah, banyak tetangga dan kenalan datang menjenguk untuk memberikan hiburan dan pertolongan. Dalam hal ini, tampak bahwa tokoh utama berwatak baik: rela menolong, suka mengampuni, dan sebagainya.

Pelukisan keadaan sekeliling tokoh utama atau tokoh bawahan cerita, misalnya keadaan rumah, kamar, dan halaman dapat mengukapkan watak pelaku, misalnya rajin atau malas, saleh atau munafik.


(17)

Pengungkapan ucapan dapat juga menyatakan watak pelaku. Ucapan positif menunjukan watak negatif. Kebiasaan positif menyatakan watak yang baik dan kebiasaan negatif menyatakan watak yang tidak baik/kurang baik.

Penggambaran watak pada fiksi kontemporer tidak lagi dapat dilakukan menurut waktu, tetapi menurut tanggapan sesaat, kesadaran zaman lampau, kini dan besok bercampur-baur (perwatakan absur yang tidak logis).

Perwatakan tokoh cerita fiksi merupakan perbauran, minat, keinginan,

emosi, dan moral yang membentuk sosok individual tokoh itu (Semi, 1988:39).

Karena itu, watak tokoh cerita dapat dinyatakan menurut sifat tersebut, antara lain: bersifat positif, berkeinginan positif, emosi positif, dan moral positif (baik hati) atau sebaliknya. Perkembangan tokoh dan perwatakan harus wajar. Perwatakan tokoh cerita itu akan menimbulkan kesan tertentu (benci atau senang/simpati) kepada pembaca, kritikus, atau peminat.

b. Latar

Latar atau setting yang disebut juga landas tumpu, menyaran kepada

pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Nurgiyantoro, 201:218). Latar

memberikan pijakan cerita secara konkrit dan jelas, hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca dengan demikian merasa diperlukan untuk mengoperasikan daya imajinasinya di samping

memungkinkan untuk berperan serta secara kritis sehubungan dengan tentang latar. Pembaca dapat merasakan menilai kebenaran, ketepatan, dan aktualisasi latar yang diceritakan sehingga merasa lebih akrab. Pembaca seolah-olah


(18)

merasa menemukan dalam cerita itu sesuatu yang sebenarnya menjadi bagian dirinya, hal ini akan terjadi jika latar mampu mengangkat suasana setempat, warna lokal, lengkap dengan perwatakan dalam cerita.

Menurut Nurgiyantoro ( 2001:227) unsur latar dapat dibedakan kedalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, sosial. Ketiga unsur itu walau masing- masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Ketiga unsur latar tersebut secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Latar tempat, latar ini menyarankan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin lokasi tertentu tanpa jelas. Tempat- tempat yang bernama adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata misalnya pantai hutan, desa, kota, kamar, ruangan, dan lain-lain.

2) Latar waktu , latar ini berhubungan dengan masalah “kapan “ terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra masalah, “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitanya dengan peristiwa sejarah. Pengetahuan tentang persepsi pembaca terhadap waktu sejarah itu kemudian dipergunakan untuk mencoba masuk kedalam suasana cerita. Pembaca berusaha memahami dan


(19)

menikmati cerita berdasarkan acuan waktu yang

diketahuinya berasal dari luar cerita yang bersangkutan. Adanya persamaan perkembangan dan kesejalanan dan waktu tersebut juga dimanfaatkan untuk mengesani pembaca seolah-olah cerita itu sebagai sungguh-sungguh ada dan terjadi.

3) Latar sosial, latar ini menyarankan pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial

masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam karya sastra. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Dia dapat berupa kebiasaan hidup, adapt-istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara bepikir dan bersikap, dan lain-lain.

. Tema dan Amanat

Tema adalah gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari satu karya sastra. Adanya tema membuat karya lebih penting daripada sekedar bacaan hiburan (Sudjiman, 1992:50), sedangkan amanat adalah pemecahan tema; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca (Gaffar, 1990:4).

Sedangkan struktur yang harus dianalisis dalam unsur ekstrinsik karya sastra mencakup latar belakang karya sastra. Latar belakang karya sastra mengacu pada:


(20)

a) tempat dan masa tertentu dengan fakta-faktanya, yaitu tempat dan yang memungkiri karya sastra itu muncul.

b) pandangan hidup masyarakat pada saat itu sehingga muncul pandangan hidup atau cara berpikir masyarakat pada karya sastra.

c) keadaan masyarakat pada saat tertentu sehingga perlu direkam dalam karya sastra.

d) Kondisi baru yang muncul sesudah keadaan masyarakat sebelumnya, e) adat-istiadat masyarakat yang terdapat dalam karya sastra,

f) keadaan penulis karya sastra, seperti pertumbuhan pribadinya, cara penemuannya atas ilham yang tertuang dalam karya sastra,

g) pandangan pembaca terhadap karya sastra, dan

h) kedudukan karya sastra dalam sejarah sastra atau dalam satu jangka waktu tertentu berdasarkan ciri-ciri umum suatu zaman/periode sastra.

1.6.2 karya sastra dan psikologis

Menurut suatu definisi tidak mudah sebab definisi selalu berusaha memberikan pengertian yang tepat dan sedekat mungkin terhadap sesuatu dalam kalimat yang relatif singkat dan padat. Demikian juga dengan definisi sastra, tetapi bukan berarti sastra itu tidak dapat didefinisikan.

Secara Etimologi dapat ditinjau bahwa kata sastra yang dalam kehidupan sehari-hari disebut juga kesusastraan berasal dari bahasa sansekerta. Kata dasar kesusastraan ialah sastra yang berarti tulisan, karangan. Sastra mendapat awalan sehingga maknanya menjadi tulisan atau karangan yang indah. Dalam bahasa


(21)

indonesia sastra mendapat konfiks ke-an hingga kesusastraan yang berarti kumpulan tulisan atau karangan yang indah.

Kata sastra dapat ditemukan dalam berbagai konteks pernyataan yang berbeda satu sama lain. Kenyataan ini mengisyaratkan bahwa sastra itu bukan hanya sekedar istilah untuk menyebutkan fenomena yang sederhana. Sastra merupakan istilah yang memiliki arti luas, meliputi sejumlah kegiatan yang berbeda-beda.

Kita dapat membicarakan sastra secara umum misalnya berdasarkan aktivitas manusia tanpa mempertimbangakan budaya, suku, maupun bangsa. Karya sastra dipandang sebagai suatu yang dihasilkan dan dinikmati. Orang-orang tertentu pada masyarakat dapat menghasilkan karya sastra, sedangkan orang lain dalam jumlah yang besar dapat menikmati karya sastra itu dengan cara mendengarkan atau membacanya. Karena karya sastra dapat disajikan dalam berbagai cara seperti, langsung diucapkan atau lisan, lewat radio, majalah, buku, dan sebagainya.

Bahasa, baik lisan maupun tulisan, merupakan bahan pokok karya sastra. Dengan perkataan lain, karya sastra mengandung kumpulan dari bentuk bahasa yang digunakan dalam berbagai pola yang objeknya adalah manusia dan kehidupanya menggunakan bahasa sebagai mediumnya.

Dalam proses penciptaan suatu karya sastra, pengarang tidak hanya mengekspresikan apa yang ada pada jiwa mereka ke dalam suatu karya sastra, tetapi diperlukan kemampuan pendidikan yang mapan dan kejelian dalam menganalisis serta memasukkan ilmu lainnya, seperti psikologi, filsafat,


(22)

antropologi, sosiologi, dan lain-lain. Dengan pendidikan yang mapan dan kejelian menganalisis serta memasukan pengetahuan lainnya ke dalam suatu hasil karya sastra, karya sastra tersebut terasa bermanfaat di samping mempunyai unsur kenikmatan.

Hubungan sastra dengan psikologi, sosiologi, dan antropologi sangat dekat. Hal ini karena sastra dengan cabang-cabang ilmu pengetahuan tersebut mempunyai objek yang sama yaitu manusia yang mencakup lingkungan dan kehidupannya. Darma (1983 : 52) mengemukakan bahwa, ”sastra sebenarnya pengungkapan masalah hidup, kejiwaaan, dan filsafat melalui sastra”.

Dari kutipan di atas dapat dilihat bagaimana eratnya hubungan jiwa pengarang dalam melukiskan karya sastra sebagai dorongan dari jiwanya. Dapat ditarik kesimpulan bahwa karya sastra diperkaya atau berisikan nilai-nilai kehidupan serta pengalaman manusia.

Bahasa sebagai Media Karya Sastra

Setiap karya seni mempunyai fungsi sosial, tetapi setiap karya seni itu tidak sama nilai fungsinya sosialnya. Di antara beberapa hasil karya seni, karya sastralah yang mempunyai fungsi ssosial yang lebih banyak dan lebih leluasa mengungkapan atau mengekpresikan nilai-nilai yang bermanfaat bagi penyempurnaan kehidupan manusia.

Bahasa dalam kesustraan seperti juga dalam bidang yang lain adalah media berhubungan antara sesama anggota masyarakat dalam kegiatan sosial dan kebudayaan, pengunaan bahasa dalam sastra sendiri pun mempunyai perbedaan. Oleh karena itu, sastra tidaknya sebuah hasil tulisan sangat tergantung pada


(23)

kemampuan pengarang menggunakan bahasa, tetapi bukan berarti isi dan pesan tidak diperhatikan.

Bahasa yang baik dan mampu membangun karya sastra adalah bahasa yang matang, dan mempunyai makna. Kelenturan bahasa dieksploitasi oleh pengarang sedemikian rupa dan seluas mungkin, seperti memilih kalimat, diksi, dan ungkapan yang khusus, pemakaian bahasa kias seperti tamsil, metafora, dan lain-lain untuk mencapai suatu kesan sensitif dan kehalusan rasa.

Dasar pengunaan bahasa dalam karya sastra bukan sekedar kata itu mengusik dan meninggalkan kesan kepada pembaca. Nilai konotasi yang lebih luas dari pengertian denotasi sangat penting. Setiap karya yang dipilih boleh diasosiasikan kepada berbagai dearah. Oleh sebab itulah, dalam karya sastra tidak ada pengertian yang sama bila ditinjau dari sudut kesan sensivitas, dari sudut bunyi, lambang. Setiap pilihan kata mempunyai pengertian tersendiri, misalnya kata cantik, molek, bagus, baik, anggun, indah, dari sudut denotasi mungkin artinya sama, tetapi kesan kata-kata ini berbeda.

Sebagaimana telah dikemukakan diatas, cerita hikayat Sri Puith Cermin berasal dari daerah Sumatera Utara yang kemudian di translit oleh Zam Nuldyn ke dalam bahasa Indonesia. Secara umum keseluruhan hikayat ini dapat dipahami isinya karena bahasa yang dipergunakan adalah bahasa indonesia.

Pengertian Psikologi

Psikologi berasal dari bahasa latin, yaitu psyche berarti jiwa dan logos artinya ilmu. Dengan demikian psikologi dapat diterjemahakan ke dalam bahasa Indonesia menjadi ilmu jiwa.


(24)

Jiwa sebagai objek dari psikologi tidak dapat dilihat, diraba, atau disentuh. Jiwa adalah sesuatu yang abstraks, hanya dapat diobservasi melalui hasil yang ditimbulkannya. Hal ini dapat dilihat dari tingkah laku dan aktivitas lainnya sebab tingkah laku mempunyai arti yang lebih nyata daripada jiwa karena itu lebih mudah untuk dipelajari. Melalui tingkah laku, pribadi seseorang dapat terungkap dengan mudah, cara makan, berjalan, berbicara, menangis, dan sebagainya merupakan suatu perbuatan terbuka sedangkan perbuatan tertutup dapat dilihat dari tingkah lakunya seperti berpikir, takut, dan lain-lain.

Tingkah laku dalam psikologi bukan hanya tetapi meliputi eksistensi yaitu perpanjangan tingkah laku nyata. Tanda-tanda akan tampak pada tubuh sebagai akibat terlalu sering tingkah laku atau kebiasaan tersebut dilakukan. Seperti halnya seorang periang dan sering tertawa akan meninggalkan tanda-tanda di wajahnya dan kita dapat langsung menilai orang tersebut. Efek-efek permanen memungkinkan seorang psikologi mampu mempelajari jiwa manusia melalui tingkah lakunya. Suatu prinsip yang bagaimanapun adalah mutlak dalam psikologi yaitu bahwa tingkah laku merupakan ekspresi mempunyai peranan yang penting dalam psikologi sekalipun patut diketahui bahwa tidak semua yang terdapat dalam tingkah laku.

Aminuddin (1990:49) menyatakan bahwa: ”...ilmu pengetahuan tentang tingkah laku dan perbuatan individu semua berbentuk dorongan dari (impulsum : dorongan, tolakan, rangsangan, rasa). Dalam diri manusia yang menyebabkan timbulnya macam-macam aktifitas fisik dan psikis dijelaskan oleh psikologis.

Secara umum psikologis mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan. Dengan semakin kompleksnya masyarakat. Maka psikologis memegang peranan


(25)

yang penting dalam memecahkan masalah manusia. Para ahli psikologis menaruh perhatian terhadap segala masalah yang beraneka ragam. Namun yang jelas disiplin ilmu psikologis mempelajari tindak tanduk atau tingkah laku manusia dimana pun berada. Tingkah laku tersebut merupakan hasil perpadanan yang dipadatkan oleh tiap-tiap individu dengan lingkungan dan keinginannya. Artinya tingkah itu lahir berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang dialami dalam kehidupan, kemudian dicetuskan dalam sikap-sikap yang sesuai dengan norma atau adat istiadat di mana individu tersebut dilahirkan.

Psikologi pada pokoknya menyibukan diri dalam masalah aktifitas phisikis seperti membenci, mencintai, menanggapi, berbicara dan penampilan diri, emosi-emosi yang terdapat dalam bentuk tangis dan senyum. Misalnya jika seorang mencintai orang lain tentu saja rasa itu diungkapkan dalam bentuk kasih sayang dan penuh perhatian terhadap orang dicintai. Tetapi seseorang membenci orang lain hal tersebut juga dapat kelihatan dari tingkah lakunya apakah rasa bencinya itu disebabkan karena rasa iri, kurang senang, dan sebagai berikut.

Jadi psikologis menyelidiki kepribadian individu dalam bentuk tingkah laku dan penyesuaian dirinya dengan lingkungan, dan sekaligus hubungan timbal balik dengan sesamanya,dengan perincian:

1. Ilmu pengetahuan yaitu suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis dan metode-metode tertentu yang tersussun secara sistematis dan metode-metode tertentu yang bersifat ilmu. Sedangkan pssikologis di samping ilmu yang merupakan seni karena dalam penerapannya dalam kehidupan manusia diperlukan keterampilan dan kreatifitas tersendiri.


(26)

2. Tingkah laku dan kegiatan mempunyai arti konkrit yang dapat diamati dengan panca indra, sehingga tingkah laku mudah diikenal dan mudah dipelajari.

3. Lingkungan yaitu tempat manusia hidup, berinteraksi, menyesuaikan diri, dan mengembangkan dirinya. Individu menerima pengaruh dari lingkungan.

Pendapat Aminuddin diatas menunjukan bahwa mempelajari jiwa manusia harus dilihat dari tingkah laku dan perbuatan individu yang berdasarkan tingkah lakunya sehari-hari.

1.6.3 Pendekatan Psikologi

Pendekatan psikologis adalah pendekatan yang bertolak dari asumsi bahwa karya sastra selalu saja mambahas peristiwa perilaku yang beragam. Bila ingin melihat dan mengenal manusia dalam hal ini tokoh-tokoh cerita hikayat Sri Putih Cermin lebih dalam diperlukan psikologi.

Penjelasan ke dalam batin atau kejiwaan untuk mengetahui lebih lanjut tentang seluk-beluk manusia yang unik merupakan sesuatu yang merangsang dan sangat menarik. Banyak penulis dan peneliti sastra yang mendalami masalah psikologi untuk dapat memahami karya sastra dengan bantuan psikologi.

Para tokoh psikologi memberikan inspirasi untuk pemecahan misteri tingkah laku manusia melalui teori-teori psikologi. Di antaranya adalah teori


(27)

psikoanalisis yang dikembangkan oleh Freud, Freudlah yang secara langsung berbicara tentang proses penciptaan seni sebagai akibat tekanan dan timbunan masalah di alam bawah sadar yang kemudian disublimasikan ke dalam bentuk penciptaan karya seni.

Teori-teori mengenai psikologi sastra terus berkembang seiring dengan berjalannya waktu Reokhan dalam Aminuddin (1990:89) mengatakan bahwa, ”...psikologi sastra sebagai salah satu disiplin ilmu ditopang oleh tiga pendekatan studi, yaitu (1) pendekatan ekspresif, yang mengkaji aspek psikologis penulis dalam proses kreatif yang mengkaji terproyeksi lewat karya ciptaannya, (2) pendekatan tesktual, yang mengkaji aspek psikologis sang tokoh dalam karya sastra dan (3) pendekatan reseptif pragmatis yang mengkaji aspek psikologi pembaca yang terbentuk setelah melakukan dialog dengan karya sastra yang dinikmatinya serta proses rekreatif yang ditempuh dalam menghayati teks sastra tersebut”.

Dalam pembahasan ini penulis mengunakan pendekatan tekstual yaitu mengkaji aspek psikologis sang tokoh dalam karya sastra. Sebagai salah satu pendekatan dalam studi psikologi sastra pendekatan tekstual pada mulanya hanya bertumpu pada pendekatan psikologi dalam atau psikologi analisis yang dikembangkan Freud. Sekarang pendekatan tekstual tidak hanya bertumpu pada pendekatan psikologi analisis, tetapi juga pendekatan-pendekatan psikologi yang lain seperti pendekatan psikologi kognitif, behavioral dan pendekatan eksistensial.

Pendekatan psikologis kognitif berangapan kepribadian manusia dibentuk oleh faktor agen internal atau pembawaan. Pendekatan psikologis behavioral berpijak pada angapan bahwa kepribadian manusia adalah hasil bentukan dari lingkungan tempat ia berada. Pendekatan psikologi eksistensial menegaskan


(28)

bahwa manusia membentuk dirinya sendiri dalam pola jalan hidup yang dipilihnya sendiri.

Jadi, dari uraian di atas dapat diketahui begitu luasnya materi psikologis sastra. Dalam pembahasan penelitian ini mengunakan pendekatan tekstual dengan teori behavioral. Pendekatan behavioral. Mengabaikan faktor pembawaan lahir seperti, kecerdasan, bakat, insting dan lain-lain. Dengan kata lain manusia dianggap sebagai produk lingkungan. Manusia menjadi jahat, beriman, penurut, berpandangan luas atau kolot adalah hasil dari bentukan lingkungannya.

Berdasarkan hal ini, perilaku manusia disebut sebagai respon yang akan muncul kalau ada stimulus tertentu yang berasal dari lingkunganya. Perilaku manusia selalu dipandang dalam bentuk hubungan stimulus dan respon atau stimulus respon. Mengenal pendekatan behavioral lebih lanjut Roekhan dalam Aminuddin (1990:96) mengatakan bahwa :

”...Untuk menerapkan pendekatan behavioral dalam studi sastra, haruslah dilakukuan dengan mengikuti tahapan berikut :

(2) Mencari dan menentukan tokoh cerita yang akan dikaji

(3) Menelusuri perkembangan karakter sang tokoh yang dikaji. Penelusuran ini dapat dilakukuan terhadap

(a) lakukan sang tokoh (b) dialog sang tokoh (c) pemikiran sang tokoh.

(4) Mengidentifikasi perilaku sang tokoh dan mendeskripsikan serta mengklasifikasikanya. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui macam-macam perilaku yang telah ditujukan oleh sang tokoh sebagai landasan untuk mengidentifikasi lingkungan yang telah membentuk perilakunya.

(5) Menghubungkan perilaku yang muncul dengan lingkungan yang melatarinya.


(29)

1.6.4 Hubungan sastra dengan psikologis

Karya sastra merupakan produk dari suatu keadaan kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada dalam situasi setengah atau sub cooncius. Setelah mendapat bentuk yang jelas dituangkan ke dalam, bentuk tertentu secara sadar dalam bentuk penciptaan karya sastra terjadi dalam dua tahap, tahap pertama dalam bentuk meramu gagasan dalam situasi imajinatif dan abstrak kemudian dipindahkan ke dalam tahap kedua yaitu penulisan karya yang sifatnya mengongkritkan apa yang sebelumnya dalam bentuk abstrak.

Freud dengan teori psikoanalisisnya mengambarkan bahwa pengarang dalam menciptakan suatu karya sastra diserang oleh penyakit jiwa yang dinamakan neurosis. Bukan hanya itu saja, bahkan kadang-kadang sampai pada tahap psikosis seperti sakit saraf dan mental yang membutanya berada dalam kondisi sebagai tertekan (bukan berarti gila), berkeluh kesah akibat ide dan gagasan yang mengelora serta menghendaki agar disublimasikan atau disalurkan dalam bentuk penciptaan yaitu karya sastra. Oleh karena itu, karya sastra tidak dapat dilepaskan dari masalah penciptaan yang diikuti oleh berbagai macam masalah kejiwaan maka untuk mengunakan pendekatan psikologis ini harus melalui dukungan psikologi. Pengetahuan psikologi yang minim tentu saja akan mempersulit pemahaman ataupun pemakaian pendekatan psikologis.

Sastra sebagai gejala kejiwaan yang di dalamnya terkandung fenomena kejiwaan yang tampak lewat perilaku tokoh-tokohnya. Dengan demikian, karya sastra (teks sastra) dapat didekati dengan demikian mengunakan pendekatan


(30)

psikologis. Hal ini tentu dapat kita terima karena antara sastra dengan psikologi memiliki hubungan lintas yang bersifat tak langsung dan fungsional.

Secara tidak langsung artinya hubungan itu ada karena baik sastra maupun psikologi kebetulan memiliki tempat berangkat yang sama yaitu kejiwaan manusia secara mendalam. Hasil penangkapan itu setelah mengalami proses pengolahan diungkapkan dalam bentuk sebuah karya sastra. Perbedaannya adalah pengarang mengemukakannya dalam bentuk formulasi penelitian psikologi. Dengan demikian tidaklah mengada-ada kalau antara sastra dan psikologi dapat dilakukan kajian lintas disiplin ilmu.

Psikologi dan karya sastra memiliki hubungan fungsional, yakni sama-sama berguna untuk sarana mempelajari keadaan kejiwaan orang lain. Perbedaan gejala kejiwaan yang ada dalam karya sastra adalah gejala-gejala kejiwaan dari manusia imajiner sedangkan dalam psikologis manusia dalam dunia nyata. Sekalipun demikian keduanya dapat saling mengisi untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam terhadap kejiwaan manusia karena mungkin saja apa yang terungkap oleh pengarang tidak mampu diamati oleh psikologi atau bahkan sebaliknya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa karya sastra sebenarnya tidak dapat dilepaskan oleh penganut paham-paham strukturalisme tradisional. Mereka menganggap bahwa karya sastra itu bersifat otonom lepas sama sekali dari penulisnya, padahal antara keduanya terdapat hubungan kausalitas atau sebab akibat yaitu karya sastra merupakan hasil kreatifitas pengarangnya tidak mungkin


(31)

lahir tanpa ada penulis sebagai penuturnya. Itulah sebabnya psikologis sastra, khususnya dalam kajian psikologis pengarang.

Dalam penelitian ini tidak menyinggung sedikit pun tentang apa dan siapa pengarang cerita hikayat Sri Putih Cermin karena setiap hasil karya sastra lama memang bersifat anonim maksudnya pengarang tidak mencantumkan namanya. Lagi pula analisis ini bukanlah mengenai analisis pengarang melainkan analisis psikologi terhadap tokoh. Jadi, yang dianalisis tentu saja para tokoh yang di dalam karya sastra tersebut.

Karya sastra yang bermutu menurut pandangan pendekatan psikologis adalah karya sastra yang mampu menggambarkan kekalutan dan kekacauan batin manusia karena hakekat kehidupan manusia itu adalah perjuangan menghadapi kekalutan batinnya sendiri. Perilaku yang tampak dalam kehidupan diri mereka masing-masing. Apa yang sesungguhnya terjadi dalam dirinya karena manusia sering berusaha menutupinya. Kejujuran, kecintaan, kemunafikan dan lain-lain berada dalam batin masing-masing yang terkadang terlihat gejalanya dari luar dan kadang-kadang tidak. Oleh sebab itu, kajian tentang dan tokoh harus ditekannya pada aspek kejiwaan dan tentu saja tidak lepas dari teori psikologi.


(32)

BAB II

METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi berasal dari kata metode dan logos. Metode artinya cara tepat untuk melakukan sesuatu; Logos artinya ilmu dan pengetahuan. Ilmu adalah pengetahuan yang bersistem dan terorganisasi (Jabrohim, 2001:8). Oleh karena itu, upaya penelitian dalam rangka pengembangan ilmu memerlukan metode yang bersifat ilmiah. Penelitian adalah suatu kegiatan atau proses sistematis untuk memecahkan masalah dengan dukungan dan sebagai landasan dalam mengambil kesimpulan (Jabrohim, 2001:8).

Menurut Narbuko (1997:3) Penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan, dan menganalisa dengan menyusun laporan, sedangkan metode penelitian adalah ilmu mengenai jalan yang digunakan atau dilewati untuk mencapai pemahaman.


(33)

2.1 Metode Dasar

Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk deskripsi. Dengan mendasarkan diri pada konsep yang ada pada teori, yang diperoleh dari studi pustaka (library research) yang dilakukan.

Identifikasi terhadap unsur intrinsik dan ekstrinsik yang terdapat dalam karya sastra tersebut.

2.2 Sumber Data Penelitian

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari kepustakaan (library research). Yang tujuannya untuk menambah bahan-bahan atau buku-buku yang berhubungan dengan masalah penelitian.

Adapun sumber data penelitian yang penulis analisis yaitu: Judul yang dianalisis : Cerita Sri Putih Cermin

Judul buku : CERITA PURBA “SRI PUTIH CERMIN” Bentuk karya sastra : Cerita Prosa Rakyat

Penulis buku : Zam Nuldyn

Penerbit : Firma Hasmar Medan – Jakarta – Ujung Pandang Tahun terbit : 1980

Jumlah halaman : 128 halaman Ukuran : 15 x 22 cm Sampul depan : Orange Sampul belakang : Putih


(34)

2.3 Metode pengumpulan data

Metode pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan, yaitu mencari data dari buku-buku sebagai sumber acuan. Data tersebut selanjutnya diteliti dan dibandingkan dengan yang lain dan setelah sesuai dengan kehendak penulis, maka data tersebut dijadikan panduan pembahasan.

2.4 Metode Analisis Data

Metode ini digunakan untuk menyelesaikan sebuah data yang terkumpul kemudian dianalisis. Penulis menggunakan metode deskriptif yaitu penelitian yang menentukan, menganalisis, dan mengklasifikasikan melalui studi pustaka, seperti langkah-langkah berikut :

1. Menetapkan pendekatan analisis baik pendekatan struktur dari segi instrinsik dan psikologi dari segi ekstrinsik

2. Mengumpulkan data yang berupa buku-buku yang berkaitan dengan cerita rakyat dan nilai-nilai psikologi sebagai bahan referensi.


(35)

BAB III

STRUKTUR CERITA RAKYAT SRI PUTIH CERMIN

Analisis struktur yang dilakukan terhadap cerita rakyat Sri Putih Cermin ini merupakan langkah awal untuk memahami unsur-unsur ekstrinsik, khususnya nilai psikologi dari hikayat tersebut.

Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Teeuw (1989) bahwa kajian struktural dimaksudkan untuk membongkar, mengkaji, dan menganalisis unsur pembentuk dalam instrinsik dari sebuah karya sastra, yang berguna untuk pengkajian selanjutnya dari karya sastra tersebut.

Sebelum penulis mulai menganalisis struktur cerita rakyat Sri Putih Cermin, ada baiknya penulis menyajikan ringkasan cerita Sri Putih Cermin guna mempermudah pembaca sekalian untuk memahami analisis yang penulis lakukan nantinya.

3.1. Ringkasan Cerita

Alkisah adalah seorang raja di daerah serdang bernama Tuanku Indra Bestari. Raja itu mempunyai seorang putri bernama Sri Putih Cermin. Kekasih


(36)

sang putri itu bernama Marajaya, pemuda yang tampan dan gagah perkasa, putra seorang panglima kerajaan.

Suatu ketika Marajaya pergi dari kerajaan itu karena kawan-kawannya sengaja menyesatkan pemuda yang menjadi saingannya. Sang putri sangat sedih memikirkan kepergian Marajaya, dan suatu malam ia bermimpi buruk tentang kekasihnya itu. Gadis itu memutuskan untuk pergi mencari kekasihnya dengan membawa tombak Serampang Sakti milik kerajaan. Setelah mengetahui hal ini, raja sangat sedih dan gusar. Raja tidak mengumumkan berita kepergian putrinya itu karena merupakan aib bagi keluarga.

Keadaan itu dimanfaatkan oleh Raja Indra Bongsu, adik Raja Indra Bestari untuk merebut kerajaan. Serangan pertama gagal karena Marajaya tiba-tiba datang menyelamatkan Raja Indra Bestari. Indra Bongsu bersama si Lidah Tanah mengancam akan menyerang kembali. Marajaya terpaksa pergi mencari putri Cermin karena hanya tombak Serampang Sakti yang dapat menaklukan si Lidah Tanah.

Di perjalanan Marajaya bertemu dengan seorang putri jelmaan raja kahyangan bernama Merak Kayangan. Wanita itu disangka kekasihnya kemala putri atau Sri Putih Cermin. Mereka menikah dan Marajaya segera pulang ke kahyangan setelah menyadari bahwa wanita itu ternyata bukan kekasihnya.

Sri Putih Cermin kembali ke kerajaan dan berhasil menumpas si Lidah Tanah dengan Sri Putih Cermin. Akhirnya, Marajaya melangsungkan pernikahannya dengan Sri Putri Cermin. Peristiwa ini rupanya menjadikan Merak Kahyangan gusar. Ia segera menciptakan angin topan dan banjir di kerajaan itu. Marajaya yang belum lama dinobatkan menjadi raja telah hilang, dan istrinya bersedih menantikan kehadiran suaminya. Kerajaan tenggelam dan setiap malam purnama di pantai itu terdengar ratap tangis seorang wanita sehingga pantai itu diberi nama Pantai Cermin.

3.2 Alur

Pada awal cerita penulis memperkenalkan tokohnya, kemudian mengisahkan kepergian Marajaya dan menghilangnya Sri Putih Cermin. Konflik mulai tercipta setelah kehilangan tombak Serampang Sakti. Kerajaan nyaris diserang oleh pemberontak yang bernama Indra Bongsu, adik kandung Raja Indra Bestari. Untunglah Sri Putih Cermin segera pulang dan dengan tombaknya ia berhasil mengalahkan musuhnya, Si Lidah Tanah. Tetapi, sayang pada alur selanjutnya, Marajaya yang sedang mencari kekasihnya itu mengikat janji dengan


(37)

putri kayangan dengan mengawininya. Tindakan itulah yang menyebabkan Kerajaan Indra Bestari hancur. Pada akhir cerita, kerajaan hancur membawa air hujan dan guntur yang mengamuk.berdasarkan cerita di atas dapat dilihat bahwa secara garis besar; perkenalan Sri Putih Cermin, persoalan diatasi dengan kembalinya Sri Putih Cermin membawa tombak Serampang Sakti, dan akhirnya berhasil. Dengan kata lain, tahapnya ialah tahap perkenalan, tahap pertikaian, dan tahap akhir. ”Alur cerita ini termasuk alur maju yang peristiwanya disusun secara kronologis karena urutan peristiwa menurut waktu yang berkembang maju”.

3.3Penokohan

Tokoh utama dalam cerita Sri Putih Cermin ialah Sri Putih Cermin. Watak buruknya: ”pergi dari kerajaan dengan membawa tombak Serampang Sakti milik kerajaan hanya untuk mencari seorang pria, kekasihnya, yang pergi tidak tentu tujuan”. Watak baiknya: ”mau memaafkan orang yang bersalah kepadanya”.

Hal ini dapat kita baca pada buku Sri Puith Cermin terdapat di halaman 35. Sebaiknya Kemala Puteri tampil ketengah ruangan, Menyembahlah

dayang-dayang itu serentak menyusun tangan: ”Ampunilah kami wahai Tuanku Putri nan sakti. Mulai hari ini kami akui tuanku Putri sebagai Dewi Sri Putih nan sakti. Dewi pembebas kami dari kekejaman raja jin.

”Watak tokoh ini dilukiskan secara dramatik (pengungkapan ucapan)”. Tokoh berikutnya yang ikut berperan dalam cerita Sri Putih Cermin adalah Marajaya. Watak buruknya: ”tidak tepat janji”.


(38)

Cerita ini dapat kita baca pada halaman 77 dengan judul buku Sri Putih Cermin. ”Wahai adinda Ratu Kayangan, perkenankanlah kanda sejenak kembali ke kampung halaman. Dan kanda berjanji akan segera kembali...”. Dengan rasa berat sekali Ratu Merak Kayangan berperi: ”Baiklah oh Arjuna Dewa Asmara Murni. Biarlah adinda perkenankan kanda pergi, tetapi kanda harus teguh berjanji. Selama kanda berada di atas bumi, kanda tak boleh kawin atau beristri. Dan harus segera kembali!”

Marajaya mengangguk mengiyakan janji, kemudian katanya : ”bagaimanakah caranya kanda turun kebumi !”

”itu tak usah kanda susahkan,” sahut Merak Kayangan lalu tegak mengangkat tangan seraya berseru : ”oh Dewa-Dewi di Indra Suci ! Datangkanlah semberani kepada kami, untuk diutus keatas bumi!”

Watak baik Marajaya yaitu: ”mengasihi sesama manusia, penolong”. Dengan langkah enggan dibawanya Marajaya ke ruangan bawah menara itu. Tiba-tiba Marajaya terkejut melihat satu baris mayat manusia terjepit diantara dua batang kayu yang menjadi satu.

”HAI Balagala !” bentak Marajaya marah ”Aku peringatkan, mulai hari ini jangan menganiaya manusia lagi ! Ayo kebumikan mereka itu baik-baik sekarang juga !”

”Ampun tuan hamba”, mohon Balagala sambil mengangkat sepitan panggang manusia-manusia itu. ”Sementara belum ada perbekalan lain, perkenankanlah hamba menyantap mereka yang sudah terlanjur hamba panggang”.


(39)

”TIDAK BISA !” hardik Marajaya semakin marah,” atau aku terpaksa menohokan tombak berbisa ini ke daging betismu itu !”

Dan tokoh berikutnya yang juga berperan dalam cerita Sri Putih Cermin ini adalah Ratu Merak Kayangan. Watak buruknya: ”pemarah, dengan segera ia menciptakan angin topan dan banjir di kerajaan itu”.

Watak baiknya: ”mempersilakan dan memberi kepercayaan kepada Marajaya untuk kembali sejenak ke kampung halamannya”.

Ketiga tokoh di atas tersebut berwatak bulat, artinya kedua perwatakan, baik dan buruk terdapat pada ketiga tokoh itu.

Adapun tokoh-tokoh yang lain seperti: Balagala, Jin Jembalang, Tuanku Indra Bongsu, Datuk Sitawar. Berwatak negatif, yaitu mempunyai sifat serakah dan membunuh manusia. Berbeda dengan Tuanku Indra Bestari yang mempunyai sikap bijaksana dan penyayang.

3.4Latar

Latar cerita terdapat di dalam istana Kerajaan Kota Pari, hutan belantara, dan kayangan. Tokoh utama Sri Putri Cermin berada di dalam istana dan di hutan belantara ketika mencari kekasihnya. Selain itu, tokoh Marajaya berada di istana, hutan belantara dan di kayangan ketika menikah dengan Merak Kayangan. Dalam akhir cerita latar pantai ditemukan pula, yakni ketika Sri Putih Cermin selalu menanti kedatangan Marajaya di malam bulan purnama sehingga pantai itu disebut pantai putri.


(40)

Tema cerita ini adalah kisah percintaan seorang putri raja yang membawa malapetaka. Kisah terjadinya Pantai Putri itu semula diawali oleh kepergian seorang pemuda bernama Marajaya. Kekasihnya, Sri Putih Cermin, anak seorang raja di kota pari, bersedih mengenang kepergian Marajaya. Suatu malam Sri Putih Cermin bermimpi kekasihnya berada dalam bahaya. Diam-diam ia pergi dari istana dengan membawa tombak Serampang Sakti milik kerajaan. Berawal dari kepergian gadis itulah, kerajaan menjadi tenggelam dan menjelma menjadi Pantai Putri.

Amanat yang disampaikan dalam cerita ini adalah:

1) seorang gadis hendaknya patuh kepada orang tua dan jangan melanggar larangan yang telah ditetapkan secara adat;

2) seorang pemuda hendaknya waspada dalam memilih jodoh, jangan menikah di sembarang tempat yang belum diketahui persis orang tuanya agar tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya sendiri.

BAB IV

NILAI-NILAI PSIKOLOGI CERITA RAKYAT SRI PUTIH CERMIN

Analisis mengenai nilai-nilai Psikologi yang terkandung dalam hikayat Sri Putih Cermin ini penulis sajikan pertokoh satu persatu. Hal ini guna memudahkan penulis dan pembaca untuk dapat memahami penelitian yang penulis lakukan ini.


(41)

a. Tempat dan masa tertentu dengan fakta-faktanya, yaitu tempat dan yang memungkiri karya sastra itu muncul.

Tempat tejadinya cerita ini adalah di daerah Deli Serdang yang dipimpin oleh seorang raja yang bernama Tuanku Indra Bestari. Raja itu mempunyai seorang putri bernama Sri Putih Cermin. Putri ini memiliki kekasih bernama Marajaya.

b. Pandangan hidup masyarakat pada saat itu sehingga muncul pandangan hidup atau cara berpikir masyarakat pada karya sastra.

Pandangan atau prinsip hidup yang dianut oleh masyarakat Deli Serdang berdasarkan hikmah dari cerita ini adalah sudah sepatutnya kita sebagai anak mendengarkan nasihat orang tua dan berbakti terhadap mereka.. Jika kita tidak mendengarkan nasehat mereka maka kita atau si anak akan celaka.

Hal ini dapat kita simpulkan dari cerita di bawah ini:

”Pada suatu malam yang tak disangka-sangka datanglah hujan yang sangat lebat, angin kencang, badai dan gempa yang mengoyangkan bumi. Rupanya merak Kayangan marah kepada Marajaya sebab Marajaya lupa akan janjinya kepada Merak Kayangan. Marajaya hilang dibawa air tidak tentu rimbanya. Istana penuh dengan air, rumah-rumah penduduk hanyut dan tinggallah Sri Putih Cermin tidak berdaya. Setiap malam bulan sabit muncullah putri menangis meratap sambil menghimbau Marajaya di tepi pantai. Pantai itu pun diberi nama Pantai Cermin.”

Hujan badai yang diciptakan oleh Merak Kayangan itu karena Marajaya mengingkari janjinya. Sebelum kejadian itu, Marajaya pergi mencari Sri Putih Cermin, tetapi di jalan bertemu dengan Merak Kayangan yang disangka oleh


(42)

Marajaya kekasihnya. Mereka jatuh cinta dan kawin di kayangan. Setelah Marajaya sadar bahwa wanita itu bukan kekasihnya, ia mohon diri untuk turun ke bumi dan berjanji akan kembali ke kayangan. Tetapi, sampai di bumi Marajaya menikah dengan kekasihnya, Sri Putih Cermin, dan melupakan Merak Kayangan yang selalu menunggu kehadiranya.

Jika menyimak peristiwa yang dialami ketiga tokoh itu, pengarang ingin menyampaikan agar seorang wanita, terlebih-lebih putri raja, janganlah pergi dari rumahnya. Wanita atau gadis remaja hendaknya taat pada adat dan masa dipingit. Hal itu tidak akan terjadi jika Sri Putih Cermin tidak pergi meninggalkan istana. Marajaya tidak akan menikah dengan Merak Kayangan jika ia tidak pergi mencari Sri Putih Cermin sehingga penghianatan tidak terjadi antara Marajaya dan Merak Kayangan.

c. Keadaan masyarakat pada tertentu sehingga perlu direkam dalam karya sastra.

Keadaan masyarakat di kota pari pada masa itu hanya raja-raja yang sanggup mendirikan rumah (istana), sedang rakyatnya sebagian besar masih mendiami lubang-lubang (gua) panjang tepi rimba. Namun demikian giat bekerja, apalagi kalau untuk kepentingan bersama. Pemuda-pemudanya, selain dari rajin bekerja, rajin pula belajar dan berlatih pencak silat. Hampir semua mereka ini pandai berburu rusa, kijang, babi dan sebagai. Memang berburu itu termasuk mata pencarian yang utama bagi rakyat kerajaan Berhala.


(43)

Perubahan pada masyarakat kota pari tidak terlalu diceritakan pada hikayat Sri Putih Cermin ini, tetapi telah terjadi perselisihan diantara dua saudara kandung yaitu Tuanku Indra Bestari dan Tuanku Indra Bongsu. Tuanku Indra Bongsu ingin merebut tahta raja dari Tuanku Indra Bestari hal ini dikarenakan menghilangnya Tombak Serampang Sakti Tangkal Negara.

”Beralih kisah kepada Raja Berhala, sesudah ternyata olehnya bahwa Kemala Putri menghilang bersama Tombak Serampang Sakti, maka yakinlah baginda keselamatan anaknya terjamin. Tetapi hal tersebut terpaksa dirahasiakan, karena menurut adat di masa itu kepergian secara demikian sangat memalukan bagi keluarga kerajaan, apalagi karena Tombak Serampang Sakti Tangkal Negara turut pula hilang...

Dan ini pulalah pangkal perselisihan antara baginda dengan adiknya Tuanku Indra Bongsu. Tiap hari adiknya datang menuntut supaya pemerintahan segera diserahkan kepadanya, sebelum rakyat mengetahui peristiwa-peristiwa yang memalukan itu, tetapi tetap dengan lemah lembut ditolak oleh baginda: ”wahai sabarlah tuanku adik, jika kelak abang tiada dipercayai rakyat, tentu adik jua yang menjadi Raja”. Tetapi Tuanku Indra Bongsu tiada sabar lagi, lalu katanya: ”aku sudah bosan mendengar perkataan sabar itu ! jika Tuanku abang tak hendak segera menyerahkan Kerajaan ini kepadaku..., tentu akan abang rasai akibatnya kelak!”.

e. Adat-istiadat masyarakat yang terdapat dalam karya sastra,

Di dalam Hikayat Sri Putih Cermin adat-istiadat yang digambarkan hanya saling tolong-menolong di antara sesama masyarakat. “Pantang melihat orang tua


(44)

atau kaum ibu membawa beban berat maka ia akan membawakan sampai ke tempat yang dituju, pantang melihat anak-anak menangis karena lapar, diusahakannya memberi makanan”.

f. Pandangan pembaca terhadap karya sastra, dan

Menurut pandangan pembaca terhadap hikayat Sri Putih Cermin ini adalah bahwa isi dari hikayat tersebut memberitahukan kepada kita bahwa kita tidak boleh melanggar perintah dari orang tua supaya kita pun terhindar dari malapetaka.

h. kedudukan karya sastra dalam sejarah sastra atau dalam satu jangka waktu tertentu berdasarkan ciri-ciri umum suatu zaman/periodesastra. Kedudukan cerita ini dalam masyarakat Deli Serdang cukup penting. Hal ini terlihat dari seringnya cerita ini dikisahkan oleh orang-orang tua terhadap anak-anaknya. Atau diwariskan ke generasi-generasi muda berikutnya. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak Melayu Serdang berbakti dan tidak durhaka pada orang tuanya. Khususnya remaja putri agar tidak melarikan diri dari rumah. Cerita ini jadi bahan ajaran untuk anak-anak. Dan sebagian masyarakat memang mengakui bahwa beginilah asal muasal terjadinya pantai Cermin.

4.1 Marajaya

 Penolong

Sudah selayaknya kita sebagai sesama manusia yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa harus saling tolong-menolong, karena tidak semua manusia diberikan anugerah yang sama. Maka dari itu Marajaya mau memberikan pertolongan kepada warga di desanya tanpa imbalan apapun.


(45)

Sifat penolongnya pun melebihi dari orang banyak. Pantang didengar atau dilihatnya orang mendapat kecelakaan, pastilah dia yang pertama sekali membari bantuan apa saja yang diperlukan. “Pantang melihat orang tua atau kaum ibu membawa beban berat maka ia akan membawakan sampai ke tempat yang dituju, pantang melihat anak-anak menangis karena lapar, diusahakannya memberi makanan.” Kalau karena takut pulang, diantarkan sampai ke rumah. Dan kalau karena dimarahi orang tua, dibujuk dengan lemah lembut serta menasihatkan, bahwa tak pernah ada seorang ibu atau ayah yang memarahi anaknya sendiri karena benci dan sebagainya.

(halaman 7 paragraf 1).

 Tidak Tamak

Marajaya adalah orang yang tidak serakah ia selalu membagikan hasil tangkapannya kepada warga lain yang lebih membutuhkannya.

“sedangkan dari yang seekor itupun, hanya sebagian kecil yang diambilnya, yaitu sekedar mencukupi kebutuhan famili tempat ia menumpang. Selebihnya dibagi-bagikan kepada semua jiran yang ada. Bahkan sering pula hasil buruan tak sempat sampai ke rumah, karena habis dibagi-bagikan kepada orang-orang yang dianggapnya lebih membutuhkan di sepanjang jalan”.

Halaman 8 alinea 2)

 Suka kedamaian

Marajaya merupakan sosok manusia yang menyukai perdamaian daripada pertengkaran tetapi jika ada yang menantangnya ia tidak akan menghindari.


(46)

Tiba-tiba gelombang itu pecah hingga bertaburan para penyerbu ke segenap penjuru dan kelihatanlah Marajaya berpusing-pusing ligat seperti gasing ditempat sambil meninju lawannya sekeliling yang terpekik bagai digigit kalajengking. Melihat ketangkasan Marajaya berkelahi, kecutlah semua pengikut Indra Bongsu, lalu lari menyelamatkan diri…..

Indra Bongsu semakin marah : “hai Marajaya ! rupanya kau ini semakin sakti. Tunggulah sampai kembali membawa imbangan yang lebih sakti yaitu Lidah Tanah di atas bumi”.

“Saya bukan mencari musuh, Tuanku Bongsu, sahut Marajaya “tetapi saya pun tiada memilih imbang”

(halaman 44 paragraf 3).

 Tidak Tepat Janji

Marajaya sungguh tidak dapat menepati janjinya kepada Ratu Merak Kayangan. Ia berjanji untuk menukah lagi jika turun kebumi tetapi ia malah menikah lagi dengan Sri Putih Cermin karena hal itulah Ratu Merak Kayangan marah dan menciptakan hujan badai.

”wahai adinda Ratu kayangan, perkenankanlah kanda sejenak kembali ke kampung halaman. Dan kanda berjanji akan kembali lagi....

Dengan berat hati Ratu Merak Kayangan berperi: ”Baiklah oh Arjuna Dewa Asmara Murni. Dinda perkenankan kanda pergi, tapi kanda harus berjanji. Selama kanda di atas bumi, kanda tak boleh kawin atau beristeri dan harus segera kembali!”.


(47)

4.2 Sri Putih Cermin

 Kemauan Keras

Hanya karena ingin mencari kekasihnya Marajaya, Sri Putih Cermin berani keluar dari istana pada waktu tengah malam. Karena ia berkemauan keras dan merasa yakin karena ia juga membawa Tombak Pusaka ikut bersamanya.

“Di tengah malam itu juga, sambil membawa tombak pusaka turunlah Kemala Putri dari istana menuju rimba. “Aku percaya Marajaya masih sempat diselamatkan”, katanya dalam hati. Jika tak ada orang yang sanggup mencarinya, biarlah aku sendiri yang pergi menjumpainya. Aku percaya usahaku ini tiada siasia”.

(halaman 18 paragraf ke 6)

 Kegigihan

Sri Putih Cermin adalah gadis yang gigih tanpa memperdulikan waktu ia tetap berjalan melewati hutan rimba hanya untuk mencari kekasihnya Marajaya.

“Kemala Putri berjalan terus sampai pagi mengharui rimba untuk mencari kekasihnya Marajaya”. Sudah lepas pula sehari, belum juga bersua yang dicari. Demikianlah dari hari kehari semakin jauh Kemala putrid ke tengah rimba belantara yang sunyi. Meskipun ia sudah merasa sangat lelah, tapi sedikitpun tak sudi berputus asa. Ia masih terus mencari sambil berdendang menghibur diri. (Halaman 19 paragraf 2)


(48)

Sri Putih Cermin adalah seorang putri yang pemaaf jaga baik hati, karena sifatnya itulah ia dijuluki oleh para dayang-dayang sebagai Dewi Sri Putih nan sakti seperti yang dinyatakan dibawah ini.

“Menyembahlah dayang-dayang itu serentak menyusun tangan-tangan “Ampunilah kami wahai Tuanku Putri nan sakti. Mulai hari ini kami akui Tuanku Putri sebagai DEWI SRI PUTIH nan suci. Dewi pembebas kami dari ke kejaman si raja jin. Selama ini kami menjadi gundik pemuas hawa nafsunya. Semoga di bawah naungan Tuanku Putri kami dibenarkan mencari suami masing-masing.

Mendengar permohonan dayang-dayang Baiduri, tersenyumlah Tuanku Kemala Putri, “ permohonan kalian mencari suami, sangat menyenangkan hati kami. Kiranya kini tujuan kita serupa. Kami kota Pari, seorang taruna bernama Marajaya idaman kesuma di taman sari. Marilah kita saling bantu membantu mencari nan hilang setiap waktu”.

(halaman 35 paragraf 5)

 Pemberani

Sifat pemberani yang dimiliki oleh Sri Putih cermin sangat mengejutkan, karena hanya karena rasa cintanya pada Marajaya ia berani menantang Balagala yang memiliki tubuh yang raksasa. Padahal tidak satu pun manusia yang berani melawannya kecuali Marajaya.

Sekonyong-konyong ia tertahan melihat Sri Putih muncul di depan !

“Hai Balasegala !” seru Sri Putih, “Kaukah yang menangkap Marajaya ? ayo kembalikan dengan segera !!!” Balagala semakin tertegun keheranan…..


(49)

Sri putih mendesak terus :” Ayo Balasegala kenapa kau diam saja ! lekas kembalikan Marajaya !”

“Hai manusia kecil ! berani menukar namaku menjadi Balasegala, ya ??? Awas !!! Semuanya akan ku kunyah-kunyah kumakan ! Tahulah, orang lapar mendapat santapan !”

(Halaman 59 paragraf 5)

 Kesetiaan

Watak baik yang dimiliki oleh Sri Putih Cermin, kekasih Marajaya. Dalam cerita terdahulu sebagai gadis, ia telah berbuat salah. Di sisi lain, sebagai seorang kekasih, ia setia kepada kekasihnya dan ragu-ragu menolong kekasihnya yang berada dalam kesulitan. Pepatah ringan sama dijinjing, berat sama dipikul adalah nilai psikologi kesetiaan yang akan ditunjukkan oleh si empunya cerita kepada pembaca.

“Aku mau beristirahat hanya bersamamu. Kalau kau pergi aku terpaksa ikut”. Kalau kau pergi, aku terpaksa ikut. Tak usah cerita mengenai Balagala. Sungguh pun tubuhnya besar tapi hatinya pengecut. Aku sudah pernah berhadapan dengan dia. Dia lari dan istananya kurebut. Istana kacanya itu kunamai Istana Cermin Permata. Apalagi yang kau kuatirkan ?”

“oh …..jadi, Tuanku Putri sudah pernah ke istana Kaca ? dan pernahkah menaiki tangga asap ?” Marajaya teringat akan perkataan balagala dulu.

(halaman 84 paragraf 2) 4.3 Balagala


(50)

Balagala adalah orang yang sombong karena dia merasa dia paling kuat dan ditakuti oleh manusia.

Tiba-tiba pintu terbuka serentak dengan gemuruh suara raksasa : “HAI ! MANUSIA KIRANYA ! sudah lama aku mencari manusia, kini dia datang sendiri! “

“ Benar !” Sahut Marajaya, “ aku ingin berkenalan dengan raksasa. Siapakah namamu ?”

Mendengar jawaban Marajaya itu terbelalak mata sang raksasa. Kepalanya yang botak berkilat itu berkerunyut. Ia menggigil menahan marah hingga tengkorak-tengkorak manusia yang terikat pada kalungnya berkeretak-keretak kedengaran. Akhirnya dari mulut raksasa yang besar itu tercetus suara parau.

“Hai ! apa katamu? Ingin berkenalan ? HA HA HA ! tidakkah kau takut? Akulah Balagala yang paling ditakuti manusia.”

“O Balagala !” balas Marajaya. “ kenapa aku takut ? Kau juga seperti aku hanya mempunyai satu nyawa !”

(Halaman 12 paragraf 5)

 Bekerja sama

Sebagai manusia raksasa yang kuat dan ditakuti namun Balagala tetap mempunyai sifat mau bekerja sama. Hal ini dapat dilihat ketika Marajaya ingin mencari Sri Putih Cermin ke kayangan, Balagala mau bekerja sama membantu Marajaya.

Sebaik mendengar keterangan itu Balagala mencari akal, kemudian katanya : “Oooo…. Yaaa! Baru saya ingat ! beberapa hari yang lalu ada seorang


(51)

putri bersembunyi di ruangan asap hitam. Sewaktu saya datangi, dia lari menaiki tangga asap sampai sekarang ia belum turun “.

Marajaya segera percaya : “Ayo kita susul dia ke kayangan !”

“semakin cepat semakin baik”, sambung Balagala pula, “naiklah Tuan hamba ke pundak saya supaya cepat sampai ke kayangan”.

(halaman 48 paragraf 5)

 Pengkhianat

Balagala berkhianat karena di awal dia bersedia membantu Marajaya, namun setelah Marajaya sampai ke kayangan dia kembali terlebih dahulu, meninggalkan Marajaya dan menghapus atau memusnahkan tangga asap menuju kayangan. Sehingga Marajaya tidak bisa kembali lagi ke Bumi.

Menggigil tubuh Balagala mendengarkannya. Ia terus berlari, terus menerus tiada henti, tiada memandang kanan dan kiri, tiada perduli apa yang terjadi, demi menyelamatkan diri ! ia berlari sekuat hati dan tenaga menuruni titian tangga menuju terowangan ujung Tanah kayangan….. sekeluarnya dari terowongan ujung Tanah Kayangan, luputlah ia dari kejaran Hulunan Tiga dan Hulubelang Gelang, hingga ia pun aman menuju jalan pulang.

Sambil berjalan ia berpikir : “putus harapan menjumpai Sri Dewi Bidadari. Biarlah aku kembali bebas ke bumi! Marajaya takkan mungkin kembali karena tangga asap akan kumusnahkan, pasti!”.

Sesampainya di istana Kaca. Balagala pun bertindak dengan segera menghancurkan bangunan ruangan asap hitam, hingga putuslah hubungan tangga asap. Bagian tangga asap yang terakhir, naik gegap gempita : “selamat jalan !


(52)

selamat pergi ! kirim salamku kepada Sri Dewi Bidadari dan Marajaya yang takkan kembali, karena putus hubungan antara kayangan dengan bumi !”

Sesudah itu ia pun tertawa terbahak-bahak : “Ha haha ! Hi hihi bebas ! bebas ! aku bebas !!! Ha haha Marajaya tiada berdaya dan aku merdeka seperti sediakala ! Boleh memakan segala apa yang aku suka ! Manusia ! daging manusia !! ha ha ha !!”

(Halaman 58 paragraf 6) 4.4 Jin Jembalang

 Tamak

Jin Jembalang betul-betul jin yang sangat tamak ia sudah memiliki beberapa permaisuri tetapi masih ingin menjadikan Sri Putih Cermin menjadi permaisurinya juga.

Heranlah Jin Jembalang melihat hasil buruan dayang-dayangku sekalian ! Buka pintu cahaya semuanya ! aku ingin melihat rupa buruan ini dengan lebih jelas lagi….

Sesudah semua pintu cahaya terbuka, tiba-tiba terdengarlah ketawa hebat Jin Jembalang karena gembira yang amat dahsyat pula. “HA HA HA !!! kalau begini, aku mau semuanya ! Inilah baru bakal permaisuriku idaman hatiku ! HA HA HA.” Rasanya aku tak sabar lagi !” lalu diperintahnya kepada dayang-dayang “bawa dia ke bilik peraduanku !koyakkan pakaiannya semuanya ! ganti dengan pakaian Istana Baiduri ! malam ini juga ia kujadikan permaisuriku ! Ha haha!!!” (halaman 33 paragraf 5)


(53)

 Suka akan kerukunan dan kedamaian

Hidup rukun, aman dan sentosa itu merupakan dambaan setiap manusia, hal itulah juga yang diinginkan oleh Raja Indra Bestari. Tuanku Indra Bestari ingin bisa rukun dengan adiknya Tuanku Indra Bongsu.

Dan inilah pulalah pangkal perselisihan antara baginda dengan adiknya datang Tuanku Indra Bongsu. Tiap hari adiknya datang menuntut supaya pemerintahan segera diserahkan kepadanya, sebelum rakyat mengetahui peristiwa yang memalukan ini, tetapi tetap dengan lemah lembut ditolak oleh baginda : “wahai sabarlah Tuanku adik jika kelak abang tiada dipercayai rakyat, tentu adik jua yang menjadi Raja”.

Tetapi Tuanku Indra Bongsu tiada sabar lagi, lalu katanya : “Aku sudah bosan mendengar perkataan sabar itu ! Jika Tuanku abang tak hendak segera menyerahkan kerajaan ini kepadaku…. Heh heh heh…….” Katanya lagi sambil menejek, “tentu akan abang rasai akibatnya kelak!”

“Hai, Kenapa Tuanku adik bercakap begitu ? lupakah kita bersaudara kandung. Kerena persaudaraan inilah makannya peristiwa yang memalukan itu sangat mendesakku untuk menggantikan abang dengan segera ! Ingat ! jika tiga hari lagi abang masih berkeras……berbahaya”.

(halaman 38 paragraf 3) 4.6 Tuan Indra Bongsu


(54)

Tuan Indra Bongsu sungguh memiliki sifat keras kepala, ia memaksa kakaknya Tuanku Indra bestari menyerahkan tahta kerajaan kepadanya. Hal ini dijelaskan seperti dibawah ini.

“Aku sudah bosan mendengar perkataan sabar itu ! Jika Tuanku abang tak hendak segera menyerahkan ini kepadaku ….., tentu abang rasai akibatnya kelak!”.

(Halaman 38 paragraf 3)

4.7 Tiga raksasa para penjaga istana kayangan a. Panglima Hulunan Tiga

b. Panglima Hulubelang Gelang c. Panglima Hulunan Gadabak

Ketiganya memiliki jiwa pemberani . dengan gigih mereka menjaga kayangan. Walaupun mereka mengetahui bahwa Marajaya mempunyai kesaktian dikarenakan memiliki tongkat yang sakti, mereka tetap berani untuk melarang Balagala dan Marajaya masuk menemui Putri Merak Kayangan. Dengan sekuat tenaga meraka melawan Marajaya yang memaksa masuk ke kayangan.

4.8 Tiga Orang Srikandi a. Sri Celah Awan b. Sri Jauhari c. Sri Tuah Alang

Ketiganya adalah tiga orang srikandi yang dipimpin oleh Sri Putih Cermin untuk melawan si Lidah Tanah yang ingin menyerang kerajaan. Ketiga srikandi atau yang dimaksud dengan panglima ini mempunyai sifat yang setia dan patuh


(55)

terhadap sang putri. Mereka rela mengorbankan nyawanya untuk membantu si putri.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Setelah melakukan menganalisis mengenai struktur dan unsur Psikologis yang terdapat dalam cerita Sri putih Cermin. Ada beberapa kesimpulan yang penulis ambil yaitu:


(56)

Untuk mengetahui struktur dalam sebuah karya sastra, haruslah dilakukan analisis unsur instrinsik dan ekstrinsik karya sastra tersebut. Dalam unsur Instrinsik digunakan empat struktur karya sastra prosa fiksi yang harus dianalisis yaitu: alur (plot), penokohan/perwatakan, latar,dan tema

1. Alur (plot) ”cerita hikayat Sri Putih Cermin” termasuk alur maju yang peristiwanya disusun secara kronologis karena urutan peristiwa menurut waktu yang berkembang maju.

2. Setelah menganalisis tokoh yang terdapat dalam cerita hikayat Sri Putih Cermin dapatlah ditarik kesimpulan bahwa karakter atau sifat seseorang tercermin dari tingkah lakunya, seperti yang dikemukan oleh Roekan, Aminuddin dalam teori behavioralnya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa tokoh yang terdapat dalam cerita hikayat Sri Putih Cermin. Seperti halnya tiga tokoh utama dalam cerita ini Sri Putih Cermin, Marajaya, Putri Merak Kayangan. Ketiganya memiliki watak baik dan buruk. Watak baik Sri Putih Cermin pemaaf, karena dia mau memaafkan orang yang bersalah kepadanya”. Watak buruk Sri Putih Cermin : ”pergi dari kerajaan dengan membawa tombak Serampang Sakti milik kerajaan hanya untuk mencari seorang pria, kekasihnya, yang pergi tidak tentu tujuan”.

Watak baik Marajaya : ”mengasihi sesama manusia, penolong”. Sedangkan watak buruknya : . Watak buruknya: ”tidak tepat janji”.

Watak baik Ratu Merak Kahyangan : ”mempersilakan dan memberi kepercayaan kepada Marajaya untuk kembali sejenak ke kampung halamannya”.


(1)

Dengan percaya Marajaya langsung menyusul kekayangan bersama Balagala.

”Hai, siapa kau yang berani memasuki biara ini? Belum kenal kau padaku? Akulah panglima HULUNAN GADABAK!”.

terjadilah perlawanan antara Balagala dan Hulunan Gedabakk. Tiba-tiba Balagala sambil berlari berseru dari jauh: ”Tuan Marajaya! Carilah segera Puteri yang hilang itu, sementara saya mengalihkan perhatian pengawal gadabak ini!”.

Mendengar itu berlarilah Marajaya tetapi ia dikejutkan oleh suara musik genderang dari belakang ditolehnya kelihatanlah dinding yang tadinya rapat, kini terbuka. Kemudian ruangan itu menjadi terang-menderang oleh cahaya yang memancar laksana lampu neon. Lalu terdengarlah suara: Hai apa kehendakmu masuk ke dalam biara ini?”

Walaupun tak ada orang kelihatan Marajaya tetap menjawab ”saya hendak berjumpa dengan Tuanku Kemala Puteri atau Puteri Merak Kayangan”.

”O...Ratu Merak Kayangan bukan disini!”. ”Ratu berada di mahligai istana kencana. Jika kamu sanggup mengalahkan Hulunan gadabak, barulah diperkenankan menghadap Ratu!”.

”Saya sanggup!” cetus Marajaya... dan seketika itu juga ia jatuh ke lantai. ”asalkan bisa berjumpa dengan Kemala Puteri!”

Marajaya bersusah payah mencari Kemala Puteri di kayangan. Padahal ia tetap di bumi yang kini bergelar Sri Putih menjadi Ratu Istana Baiduri. Tetapi ia tidak puas menjadi Ratu karena sebenarnya ia mencari Marajaya.

”Uh !”Hulunan Gadabak mengerutu, ”kuping kiriku mendenging ! itu tanda panggilan penting dari Dewata Guru Tanding ! Tentu ada apa-apa di biara ! sebaiknya aku segera kembali kesana...

Karena Balagala tertinggal diluar ia pergi untuk melarikan diri sambil berpiikir ” putus harapan menjumpai Sri Dewi Bidadari. Tapi tak apalah yang penting aku bebas !” Marajaya takkan mungkin kembali, karena tangga asap akan kumusnahkan !”.

Sesampainya di istana kaca. Balagala pun bertindak dengan segera menghancurkan bangunan ruangan asap hitam, hingga putuslah hubungan tangga asap. Setelah hubungan antara kayangan dengan bumi !”

Sesudah itu ia pun tertawa terbahak-bahak merasa bahagia dan bebas dari Marajaya jadi ia boleh makan daging manusia kembali.

Tiba-tiba tercium olehnya bau manusia. Ia berhenti saat melihat Sri Putih muncul dihadapannya. “hai, Balasegala!” seru Sri Putih.” “kaukah yang menangkap Marajaya? Ayo kembalikan dia.

Balagala heran, tapi Sri Putih terus mendesak. Bersuaralah Balagala ”Hai manusia kecil! Berani menukar namaku menjadi Balasegala, ya??? Awas!!! Semuanya akan kumakan kebetulan aku sedang lapar.

Sri mengancam :”jangan kau coba bergerak dari tempatmu, tahukah kamu kami datang untuk menangkapmu bahkan mungkin membunuhmu.

Balagala tidak perduli ancaman Sri Putih. Begitu hendak melangkah, Sri Putih Cermin langsung berteriak. Maka menderulah dari segenap penjuru untuk menyerbu Balagala. Hingga sekejap mata Balagala ketakutan dan lari menghilang ka Langkapura tempat asalnya.


(2)

Kembali kepada Hulunan Gadabak, sesampainya di biara ia bertanya kepada Dewata Guru Tanding ”Apakah nian ke hendak Dewata memanggil saya?”

Terdengar suara menyahut ”masuklah ke ruangan tanding! Imbangmu sudah ada”.

Masuklah Hulunan Gadabak ke ruangan itu ”siapa imbangku!”. ”SAYA”, sahut Marajaya sambil melompat.

”Hah” bangsat kecil!” kata Hulunan sambil mengangkat kaki kanannya, lalu ”BAM” dihentakkannya ke tubuh Marajaya.... tetapi Marajaya sempat lebih dahulu melompat dari tempat itu ke kaki kiri lawannya sambil menghujamkan tombak berbisa tepat ke pergelangan kaki Hulunan, sehingga ia tak dapat berdiri dan akhirnya ia bersandar dan berkata ”Hai manusia ini luar biasa!” Aku mengaku kalah, ”apa keinginanmu agar dapat kupenuhi”.

”Aku ingin berjumpa dengan Puteri Merak Kayangan” .Silakan masuk. Setelah masuk ke dalam pintu yang ditunjukkan, tampak dihadapannya ruangan yang amat luas berhiasan emas serta permata, lalu ia menuju pintu di ujung ruangan begitu di buka tiba-tiba serombongan orang kayangan.

”Tak usah tuan curiga!” kata mereka ”kami sengaja diutus untuk membuka pintu dan mengiring tuan untuk menghadap Ratu Merak Kayangan di istana.

Ketika Marajaya tiba di ruangan mahligai, berdirilah para pembesar istana serempak dari tempat duduknya dan di puncak tahta duduk Ratu Merak Kayangan dengan tenang memandang Marajaya.

”oh.... dia bukan Kemala Putri!” bisiknya kecewa.

Melihat Marajaya semakin undur hendak pergi, maka berserulah Ratu Merak Kayangan dari puncak tahta : Hai pahlawan manusia bumi! Apakah kehendak tuan menjumpai kami?”

”Saya hendak mencari yang belum dapat!” sahut Marajaya cepat, ”biarlah saya berangkat!”

”Tunggu!” seru Ratu, ”kami tiada memperkenankan tuan berangkat dan semua pintu keluar telah dikunci ketat!” ”kini kami membutuhkan tuan sebagai pahlawan istana menjadi Arjuna Dewa Asmara!”.

Selesai sang ratu bersabda, melengkunglah tangga emas itu mengangkat Marajaya ke depan tahta, dimana Ratu menantikan dengan segenap suka cita....

Sementara itu Balagala mulai berangkat dari kampungnya LangkaPura bersama ratusan kaum raksasa lengkap dengan senjata untuk menggembur Sri Putih di Istana Cermin Permata. Gemuruh rentak telapak kaki mereka, menggegar ke seluruh padang dan rimba bagai guruh tak reda!

Di saat itulah Sri Putih cermin sibuk mengatur pasukan dalam rangka usaha mencari Marajaya dan membagi menjadi empat dan dengan tiada di sangka-sangka pasukan pimpinan Sri Putih Cermin tiba di kota Pari. Gemparlah penduduk seluruh kota ketakutan melihat kedatangan manusia-manusia aneh. Sri Putih segera tampil menerangkan penduduk dan menjelaskan bahwa mereka itu adalah anggota Kemala Putri.

Maka dikabarkanlah kepada Baginda bahwa putrinya telah tiba. Alangkah gembiranya Tuanku Indra Bestari menyambut kedatangan anaknya Tuanku


(3)

Kemala Putri serta Tangkal Negara Tombak Sakti. Baginda tiada lupa menceritakan bahaya yang akan mengancam negeri.

Mendengar cerita Baginda, Sri Putih pun meradang lalu berkata : Kalau begitu biar anaknda panggil semua pasukan dayang-dayang dan pasukan burung raksasa untuk menghadang serangan Lidah Tanah.

”Ayahanda berpikir itu sia-sia saja”, ”hanya Tombak Serampang Sakti yang dapat mengalahkannya.

Tetapi Sri Putih tidak percaya. Lewat perantaraan burung si Jenggi di perintahnya agar menyerang dari udara. Setelah menyerbu Lidah Tanah dalam sekejap itu juga burung-burung itu disapu oleh mulut Lidah Tanah, hingga melekat di daging bawah mulut yang dapat menghirup darah burung-burung itu berguguran hingga jenis burung si Jenggi habis.

Sementara itu orang-orang di kota Pari sudah bersiap dengan Tombak Serampang Sakti Tangkal Negara. Sri Putih berteriak ”awas ayahanda! Itu dia muncul! Mari tombak serampang! Biarlah anakda menyerang!. ”jangan, jawab ”Tombak Serampang perlu mantera kalau menghadapi Lidah Tanah! Hanya ayah yang dapat melakukannya”. Lalu dibacakanlah mantera kepada tombak itu.

Ketika itu Lidah Tanah tertegun, heran melihat sinar sakti berpencaran. Ia undur pelan-pelan sambil mengumpat : Indra Bongsu manusia pendusta! Katanya Tombak Serampang telah hilang, kiranya ia membawa celaka”.

Sinar ajaib yang memancar dari tombak Serampang Sakti mendesak Lidah Tanah mundur dengan tidak disadarinya keluar dari tempat itu, hingga mudahlah Tuanku Indra Bestari melayangkan Tombak Serampang Sakti yang terus terbenam ke dalam Lidah Tanah! Sejenak tubuhnya meledak kepalanya terlempar menjadi gajah di pegajahan dan ekornya terpelanting ke hilir sungai Kerai menjadi Ular Bidau hingga kini bagian itu dinamai sungai ular.

Konon berita di kayangan, sesudah selesai upacara perkawinan antara Marajaya dan Merak Kayangan maka pada suatu hari berkatalah ia kepada isterinya: ”wahai adinda Ratu kayangan, perkenankanlah kanda sejenak kembali ke kampung halaman. Dan kanda berjanji akan kembali lagi....

Dengan berat hati Ratu Merak Kayangan berperi: ”Baiklah oh Arjuna Dewa Asmara Murni. Dinda perkenankan kanda pergi, tapi kanda harus berjanji. Selama kanda di atas bumi, kanda tak boleh kawin atau beristeri dan harus segera kembali!”. Marajaya mengangguk tanda berjanji. Lalu ia berkata: ”bagaimana caranya kanda turun ke bumi”

”Tak usah kanda bingung” lalu ia mengangkat tangan :”oh Dewa-Dewi di Indra Suci! Datangkanlah semberani kepada kami, untuk di utus ke atas bumi!”. Yang didatangkan seekor kuda emas rupanya berwarna kuning dan memiliki sayap dan berkatalah Merak kayangan kepada Marajaya: ”ini dia semberani telah tiba! Naiklah kanda ke atas pundaknya.... Tetapi ingat! Janji harus tepati!”. Berpamitanlah Marajaya dan ia pun pergi.

Dalam perjalanan itu Marajaya berpikir: ”apakah yang akan terjadi jika janji itu kupungkiri? Untunglah aku belum pernah bercinta dibumi”.


(4)

”Benar!” sahut Marajaya ”kini aku kembali ke bumi! Kiranya kau melanggar janji! Ayo lepaskan Kemala Putri! Ataukah kau ingin mati seperti kawanmu tadi menjadi asap tak berapi?”.

Balagala mendengarnya ngeri, lalu berpikir hendak lari. Tetapi buntu akalnya memikirkan bagaimana cara mengelakkan tombak berbisa. Dengan tiba-tiba Balagala melemparkan Sri Putih Cermin jauh tinggi ke udara sambil berkata: ”Perintah tuan, saya patuhi! Itulah dia puteri tuan saya lepaskan! Tuan sambutlah dia di udara!”. dengan segera Marajaya mengejar menggunakan kuda terbangnya.

Dalam kesempatan itulah Balagala melarikan diri bersama kawan-kawannya. Mereka pulang ke tempat asalnya Langkapura, sesampainya di madan dekat tepi sungai petani ia menoleh ke belakang dan ia pun kebingungan. Kemana kawan-kawannya sebagian lagi, padahal ia tahu pasti bahwa hanya seorang saja yang mati karena tombak berbisa.

Kembali kepada Marajaya, yang tak dapat berbuat apa-apa selain memacu kuda untuk mengejar Sri Putih Cermin yang sedang melayang di udara karena dilemparkan Balagala.... Tetapi belum sempat menukik jatuh ke tanah, Marajaya belum tegak di atas kudanya, bersiap-siap menangkap Sri Putih.

Tuanku Indra Bestari serta para pengungsi menarik nafas karena cemas, lebih-lebih Baginda, ia hampir rebah seperti orang berputus asa. Tapi akhirnya ia dapat ditangkap oleh Marajaya tapi Sri Putih lebih dulu pingsan.

Sesudah Marajaya duduk kembali di atas kudanya, barulah ia teringat kepada pasukan Balagala. Tapi begitu dilihatnya Balagala telah lari ke jurusan barat, tersentaklah Sri Putih dari pingsannya.

”Oh... kaukah ini Marajaya?” terdengar suara parau Sri Putih. Mendengar suaranya Marajaya segera menahan lari kudanya yang hendak mengejar Balagala. ”Oh....”, suara pelan sambil mengelus rambut Sri Putih yang panjang dengan jarinya yang lemah lembut, ”Ampunilah hamba wahai Tuanku Kemala Puteri. Hamba menggendong Tuanku hingga melanggar adat aturan Negeri....!

Tapi perkatannya tak diacuhkan Sri Putih, yang merta menyela: ”Benarkah kau ini Marajaya? Penyegar bunga nan layu di taman sari nan telah lama ditinggalkan?”

Marajaya bingung mendengar pertanyaan itu. Susah ia mencari jawaban. Tapi ia menjawab juga: “Benar, Tuanku Putri ... oh, Tuanku kelihatan sangat lemah. Hamba pikir Tuanku perlu istirahat. Biarlah hamba antarkan dulu Tuanku kepada Baginda, karena hamba hendak mengejar Balagala ke Langkapura”.

“Marajaya.... aku telah letih mencarimu dimana-mana sepanjang masa! Kini bawalah aku bersama-sama ke Langkapura. Aku ingin bertempur dan berkorban denganmu... kata Sri Putih.

Terharu Marajaya mendengarnya. Terkenang ia kembali kepada dendang Kemala di sepanjang pantai dan rimba di masa lampau : O Marajaya – dimanakah kau berada – beta telah lelah – mencarimu segenap rimba. O Marajaya – pulanglah segera – menjenguk taman bunga – yang kini layu tiada berdaya! Tetapi ia tak sampai hati membawa serta Tuanku Puteri. Lagi pula mungkin pertempuran berlarut-larut memakan waktu yang lama, hingga membahayakan buat Tuanku Puteri”.


(5)

“Marajaya”, tak usahlah ceritakan soal bahaya” sahut Sri Putih Cermin dengan air mata berlinang segala macam penderitaan dan malapetaka ku tempuh demi mencarimu.

Marajaya semakin bingung. Semakin terasa apa yang dimaksudkan Sri Putih. Lalu ia teringat akan janjinya kepada permaisuri Ratu Merak Kayangan. Menyesal rasanya, tetapi entah siapa hendak disalahkan. Lalu ia berkata: ”Hamba bermohon amat sangat, beristirahatlah Tuanku Putri dulu. Nanti hamba kembali lagi menjenguk Tuanku. Tak usah Tuanku ikut karena Balagala itu sangat berbahaya.

”Aku hanya ingin beristirahat bersamamu, kalau kau pergi terpaksa aku ikut. Tak perlu cerita Balagala karena aku mengenalnya. Tubuhnya besar dan pengecut dia lari dan istananya kurebut.

”Oh..jadi Tuanku sudah pernah ke istana kaca? Dan pernahkah menaiki tangga asap?”

”Tangga asap, aku tidak pernah melihat tangga asap ada disitu, apakah tangga asap itu? Bagaimana bentuknya?

”Mmm... Marajaya marah karena ia merasa sudah ditipu oleh Balagala. Kuda tetap menuju ke Langkapura.

Tak lama penduduk terkejut akan kedatangan Marajaya. ”Hai penduduk raksasa, mana Balagala?”.

Penduduk tidak menjawab, ”Hai penduduk Langkapura” kalian tidak mau memberi tahu, maka turutlah kalian durhaka seperti Balagala!” tiba-tiba Langkapura menjadi asap

Setelah selesai menghancurkan Langkapura Marajaya mengantarkan Sri ! ”Marajaya, aku ingin KASIH yang harus kau antarkan kepadaku”. Kata Sri Putih

”Kemanakah kasih hamba cari untuk Tuanku?”.

”Oh, Marajaya! Kasih itu ada dalam hatimu sendiri! Curahkanlah dia kepadaku!”.

”Wahai ampunilah hamba! Jika kasih mesra itu yang Tuanku harapkan, dia telah titipkan dikayangan!”

”Aduh Marajaya! Aku telah bersungguh-sungguh, jangan kau bercanda. Lalu berkata Marajaya:”Ampunilah Tuanku Kemala Putri, kita terpaksa berpisah ditempat ini. Hamba tak sanggup lagi mengantar Tuanku kalau hanya menimbulkan kecewa.

”Tidak Marajaya! Kasihku tak dapat dibendung oleh apapun, kecuali tak dapat dibendung oleh apapun, kecuali oleh kasihmu kepadaku dengan ikatan perkawinan!” dan akhirnya Marajaya terpaksa menurut....

Dan akhirnya mereka pun menikah dengan pesta yang sangat meriah rakyat pun ikut merasakan bahagianya, tetapi tak lama setelah pesta itu Tuanku Indra Bestari meninggal dunia Sri Putih Cermin sangatlah sedih.

Ketika itu Pangeran Marajaya sedang bertamasya dengan Permaisurinya, mereka berdua menaiki kuda terbangnya yang besar menuju ujung tanjung kuala yang indah .

“Sabarlah adinda, tak usah di kenang ayahanda yang telah pergi takkan kembali, memang begitu adat di dunia, hidup dan mati memang pasangannya”.


(6)

“Bukan itu Adinda sedihkan, Kanda….!

“Jadi Apa lagi yang adinda sedihkan ?” Tanya pangeran Marajaya.

“Oh, Kakanda Junjunganku ! Adinda sedih karena belum merasakan kasih, kakanda dapat membendung curahan kasihmu ! Benarkah hati hamba telah hampa????

“Wahai …!! Kandapun tak tahu, tetapi jika adinda setuju mari kita ke tengah kuala itu. Curahan segala kasih dinda ke dalam kuala siapa tau kasih baru datang menjelma mengikat kita…!.”

Maka terbanglah kuda itu menuju kuala kasih ( kini di sebut kula lama ). Keindahan kuala kasih berpengaruh besar. Alunan air lautnya yang beriak kasih, menghemburkan gelombang cinta yang menghempas ke pantai bahagia….rasa cinta kasih mesra menyelinap ke dalam kalbu sri putih Cermin dan Marajaya.

Tiba-tiba terdengar suara orang berteriak minta tolong dari arah tempat pengungsian kota pari. Tak tahan Marajaya mendengarnya lalu di suruhnya kuda terbang turun di ujung tanjung kemula. Sri putih cermin di baringkan di rumput halus yang empuk di bawah pohon rindang. Lalu pergi menuju kota pari.

Dari jauh terlihat sekelompok raksasa, yang masing-masing mengalingkan sebatang pohon kayu. Mereka hendak memusnahkan para pengungsi, tanpa pikir panjang Marajaya laksana meluncurkan peluru bersama kuda terbang.

“Hai !!!! Engkau rupanya Balagala!!!” teriak Marajaya, “masih hidupkah engkau ?” Awas Kau!!!” Marajaya membelokkan kearah Balagala.

Tetapi Balagala tidak membuang kesempatan ketika Marajaya membelok, Balagala berteriak “awas, kawan-kawan ! Itu Marajaya Masih Hidup. Lekas berlindung di bawah pohon masing-masing dan lari. Dengan cepat Marajaya sudah berada tinggi di atas mereka. Ia belum dapat menombokkan tombaknya seperti biasanya, karena terhalang pohon-pohon tualang. Sementara Marajaya sebuk mencari pualang untuk menyerang , terdengar lagi suara orang yang minta tolong . Rupanya Marabao masih bertahan di sana dan masih sempat menahan orang yang terpekik-pekik kesakitan.

“Marajaya terpaksa kembali ke kota pari untuk menyerang marabao. Kudanya melayang laksana kilat ke depan laksana Marabao.

Untunglah Ia cepat Mengelak, Hingga lehernya luput dari tombak maut. Tetapi setelah Marajaya mengejar lama dan melewati rintangan yang berat karena harus melewati pohon-pohon tinggi menjulang dan akhirnya Marabao dan Balagala pun dapat Marajaya menohokan tombaknya keleher mereka akhirnya mereka pun mati.

Dengan perasaan puas marajaya kembali ke kota pari. ia segera teringat kepada permaisurinya yang disangka masih tertidur di ujung tanjung kuala. Tetapi belum separuh jalan cuaca mendadak mendung, kilat menggencar sabung-menyabung, petir beruntun. Tak lama antaranya hujan lebat disusul hujan batu meteor raksasa yang menimpa daerah kerajaan berhala dan sekitarnya. sebagian besar tenggelam menjadi dasar lautan dan selebihnya menjadi pantai-pantai berhala (kini masih dinamai pulau berhala). konon kabarnya jenazah tuanku Indra Bestari terpelanting dan terkubur di palau itu, adiknya tuanku Indra Bongsu menjadi ikan di sungai celawan dan di namai ikan bongsu, kemudian ikan boung, kemudian.