Tinjauan Sosiologis Terhadap Cerita Rakyat Tuah Burung Merbuk Masyarakat Melayu Serdang

(1)

TINJAUAN SOSIOLOGIS TERHADAP CERITA RAKYAT

TUAH

BURUNG MERBUK

MASYARAKAT MELAYU SERDANG

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN

O

L

E

H

NAMA

: YAN FAUZI SIBA

NIM

: 040702010

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN SASTRA DAERAH

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA MELAYU

MEDAN


(2)

TINJAUAN SOSIOLOGIS DALAM CERITA RAKYAT TUAH BURUNG MERBUK MASYARAKAT MELAYU SERDANG SKRIPSI SARJANA

Dikerjakan O

L E H

YAN FAUZI SIBA 040702010

Pebimbing I PembimbingII

Prof.Syaifuddin,M.A,Ph.D Drs.Baharuddin,M.Hum NIP 19650909 199403 1 004 NIP 19600101 198803 1 007

Skripsi ini disajikan kepada panitia Ujian fakultas Sastra USU melengkapii salah satu syarat ujian SARJANA dalam bidang Ilmu Bahasa dan Sastra Melayu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN SASTRA DAERAH

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA MELAYU

MEDAN


(3)

Pengesahan

Diterima Oleh :

Panitia ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam Ilmu Bahasa & Sastra Daerah Fakultas Sastra USU Medan

Tanggal : Hari :

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dekan

Prof.Syaifuddin,M.A,Ph.D NIP 19650909 199403 1 004

Panitia Ujian

No Nama Tanda Tangan

1. ……….... ( ) 2. ……….... ( ) 3. ……….... ( ) 4. ……….... ( ) 5. ……….... ( ) 6. ……….... ( ) 7. ……….... ( )


(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang senatiasa memberikan nikmat dan rahmatnya, sehingga sekripsi ini dapat diselesaikan. Syalawat beriring salam penulis atas NAbi Muhammad SAW sebagai penuntun kita dari alam kegelapan ke alam yang “terang benderang”.

Skripsi ini berjudul “TINJAUAN SOSIOLOGIS DALAM CERITA RAKYAT TUAH BURUNG MERBUK MASYARAKAT MELAYU SERDANG”. Skripsi ini merupakan tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana pada fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Jurusan Daerah Program Studi Bahasa dan Sastra Melayu.

Selama penyusunan skripsi ini, penulis banyak mengalami kesulitan, tetapi berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, penulis dapat memyelesaikan skripsi ini. Untuk itu sewajarnyalah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof.Syahfuddin,M.A,Ph.D (selaku Dekan fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara) dan juga sebagai pembimbing I yang telah banyak memberikan masukan, nasehat, serta bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Drs.Baharuddin,M.Hum baik sebagai Ketua Jurusan Sastra Daerah maupun sebagai pembimbing II yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(5)

3. Bapak warisman sinaga, M.Hum, selaku Skretaris Departemen Sastra Daerah.

4. Semua dosen di lingkungan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. 5. Teristimewa kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta yang telah

membantu penulis secara moril maupun materil.

6. Bapa H. Syarifuddin Siba, SH., selaku paman penulis yang telah banyak membantu penulis dalam memberikan semangat untuk dapat menyelesaikan kuliah seceptnya, tanpa ada dorongan dari beliau mungkin penulis tidak dapat secepatnya menyelesaikan skripsi.

7. Saudara-saudaraku yang tercinta: Emil Budian Siba, SE, Maisarah, Risi Diana Novita Siba, dan seluruh keluarga yang telah banyak memberikan doa dan semangat kepada penulis dalam menempuh perkuliahan sampai selesai.

8. Teristimewa buat Hikmah Fitria, S.Ked, Mr. Rahmad Hdayat, SS, Fuad Syahrial, SS, Armen Sofyan Hrp, SS, yang telah banyak memberikan masukkan-masukkan yang berharga dalam penyelesaian Skripsi ini. 9. Yayasan Ikatan Pelajar Mahasiswa Deli (IPMD) yang telah menyalurkan

Beasiswa selama penulis menuntut Ilmu dibangku perkuliahan.

Penulis tidak dapat membalas kebaikan dan bantuannya yang telah diberikan, sehingga terwujudnya skripsi ini, Hanya Allah yang dapat membalasnya. Akhirnya, penulis menyadari sedalam-dalamnnya bahwa


(6)

skripsi ini hanya merupakan salah satu persyaratan untuk menempuh ujian kesarjanaan pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Kalau dilihat dari isinya mungkin masih jauh dari apa yang di harapkan , namun itulah kemampuan penulis. Dengan rendah hati penulis menerima kritikan dan saran yang membangun dari pembaca, sehingga skripsi ini lebih disempurnakan dan bermanfaat bagi kita semua, khususnya mahasiswa Fakultas Sastra Dan Masyarakat Melayu.

Semoga Allah SWT akan Selalu Memberikan taufik dan hidayahNya kepada orang-orang yang mau berbuat baik.

Medan, 2010 Penulis

Yan Fauzi Siba Nim : 040702010


(7)

KATA PENGANTAR

Syukur yang sedalam-dalamnya penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Adapun judul skripsi ini adalah TINJAUAN SOSIOLOGIS DALAM

CERITA RAKYAT TUAH BURUNG MERBUK MASYARAKAT MELAYU SERDANG.

Skripsi ini diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar penyusunan skripsi untuk para penulis lain.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangannya karena keterbatasan yang penulis miliki, namun penulis berusaha sebaik mungkin untuk mendeskripsikan Tinjauan sosiologis yang terdapat dalam cerita Rakyat Tuah Burung Merbuk tersebut. Pada kesempatan ini penulis mengharapkan kritik dan saran dari para Dosen Penguji dan pembimbing agar skripsi ini dapat menjadi lebih baik lagi.

Medan, 2010 Penulis

Yan Fauzi Siba Nim : 040702010


(8)

DISETUJUI OLEH :

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

JURUSAN SASTRA DAERAH

KETUA JURUSAN

Drs.Baharuddin,M.Hum

NIP 19600101 198803 1 007


(9)

DAFTAR ISI

Halaman UCAPAN TERIMA KASIH ... I

KATA PENGANTAR ... IV DAFTAR ISI ... VI

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.5 Orisinilitas Penelitian ... 6

1.6 Objek Penelitian ... 7

1.7 Landasan Teori ... 7

1.7.1 Teori Struktural... 8

1.7.2 Sosiologi Sastra ...11

1.8 Metode Penelitian ...17

1.8.1 Jenis Penelitian ...17

1.8.2 Metode Penelitian Data ...17

1.8.3 Metode Analisis Data ...18

BAB II ANALISIS STRUKTUR CERITA RAKYAT TUAH BURUNG MERBUK PADA MASYARAKAT MELAYU SERDANG ... 19

2.1 Analisis Struktur cerita... 19

2.2 Ringkasan Cerita ... 19

2.3 Tema ... 21

2.4 Alur ... 25

2.5 Latar ... 36

2.6 Watak dan Perwatakan ... 38

BAB III TINJAUAN SOSIOLOGIS TERHADA CERITA RAKYAT TUAH BURUNG MERBUK PADA MASYARAKAT MELAYU SERDANG ... 44

3.1 Patuh Kepada Nasihat ... 44

3.2. Kemauan Keras...46

3.3 Bekerja Keras ... 49

3.4 Sifat Jahat ... 50

3.5 Menggunakan Akal Pikiran ... 52


(10)

3.7 Kasih Sayang Saudara Kandung... 58

3.8 Menjadi Pemimpin Yang Baik ... 60

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 64

4.1 Kesimpulan ... 64

4.2 Saran ... 65


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang dan Masalah

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdiri banyak etnis, salah satunya adalah etnis Melayu. Etnis Melayu merupakan bagian dari kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Etnis Melayu mempunyai banyak warisan leluhur yang masih tersimpan dan belum digali sampai sekarang sehingga dikhawatirkan warisan budaya tersebut akan menurun kualitas atau mutunya disebabkan oleh perkembangan peradaban yang terjadi pada masyarakat Melayu tersebut.

Karya sastra merupakan hasil pemikiran dan cermin dari sebuah budaya kelompok masyarakat yang memiliki kebudayaan. Karya sastra merupakan hasil renungan atau pikiran serta daya imajinasi yang terpadu karya sastra itulah yang membedakan dengan buku-buku sastra dan karangan lainnya. Melalui karya sastra segala kemungkinan diungkapkan oleh pengarang, baik kehidupan jasmani maupun rohani, secara universal.

Sastra lisan merupakan bagian dari kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat lalu diwariskan turun-menurun secara lisan sebagai milik bersama. Ragam sastra yang demikian tidak hanya berfungsi sebagai alat hiburan, pengisi waktu senggang, serta penyalur perasaan dan pendengaran, tetapi juga sebagai pencerminan sikap,


(12)

pandangan, angan-angan kelompok, alat pendidikan anak-anak, alat pengesahan pranata dan lembaga kebudayaan serta pemeliharaan norma masyarakat.

Sastra lisan merupakan bagian suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat dan diwariskan turun-temurun secara lisan sebagai milik bersama. Ragam sastra yang demikian tidak hanya berfungsi sebagai alat hiburan, pengisi waktu senggang, serta penyalur perasaan dan pendengaran, melainkan juga sebagai alat cermin sikap pandangan dan lembaga kebudayaan serta alat pemeliharaan norma-norma masyarakat.

Dalam keadaan masyarakat yang sedang membangun, seperti halnya masyarakat Indonesia sekarang ini, berbagai bentuk kebudayaan lama termasuk sastra lisan, bukan mustahil akan terabaikan di tengah-tengah kesibukan pembangunan dan pembaharuan yang sedang meningkat. Sehingga dikhawatirkan lama kelamaan akan hilang tanpa bekas atau berbagai unsurnya yang asli sudah tidak dapat dikenal lagi.

Mengingat kedudukan dan peranan sastra lisan yang cukup penting, maka penelitian sastra lisan perlu dilakukan sesegera mungkin. Lebih-lebih lagi bila diingat bahwa terjadinya perubahan dalam masyarakat, seperti adanya kemajuan-kemajuan dalam teknologi, adanya radio, dan televisi dapat menyebabkan berangsur hilangnya sastra lisan di seluruh Nusantara. Dengan demikian, penelitian sastra lisan berarti melakukan penyelamatan


(13)

sastra lisan itu dari kepunahan, yang dengan sendirinya merupakan usaha pewarisan nilai budaya, karena dalam sastra lisan itu banyak ditemui nilai-nilai serta cara hidup dan berpikir masyarakat (nilai-nilai-nilai-nilai sosiologis masyarakat) yang memiliki sastra lisan itu. Hampir setiap suku bangsa di Indonesia mengenal adanya sastra lisan, demikian pula halnya dengan sastra lisan Melayu Serdang.

Salah satu genre prosa rakyat dari kesusasteraan Melayu adalah cerita rakyat yang lahir dari etnik masyarakat Melayu Serdang. Sastra lisan Melayu Serdang merupakan salah satu warisan budaya bangsa yang perlu diselamatkan. Salah satu usaha penyelematannya adalah dengan mengadakan penelitian dan inventarisasi. Di samping itu, penelitian ini bermanfaat pula sebagai salah satu upaya pembinaan dan pengembangan sastra lisan yang bersangkutan, dan sekaligus mempunyai manfaat dalam rangka pembinaan dan pengembangan budaya daerah dan nasional.

Dari sekian banyak sastra lisan Melayu Serdang, satu diantaranya adalah cerita rakyat Tuah Burung Merbuk, ( selanjutnya akan disingkat menjadi TBM ). TBM adalah cerita rakyat Melayu Serdang yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat Melayu Serdang dan merupakan cerminan dari masyarakat Melayu Serdang.

TBM menceritakan tentang 2 orang anak yang bernama si Ahmad anak sulung dan si Muhammad anak bungsu, mereka berasal dari sebuah kampong yang mempunyai seekor burung merbuk yang bertuah mereka


(14)

sering bermain bersama-sama kemana saja, Pada suatu hari ada pawang burung merbuk dari kampong seberang datang untuk mencari burung merbuk bertuah yang dimiliki anak tersebut karena dia pernah bermimpi pada suatu hari dan didalam mimpinya dia didatangin seorang kakek dengan maksud tujuan bahwasannya burung merbuk yang dimiliki anak-anak tersebut adalah burung bertuah , apabila engkau memekan hatinya burung tersebut maka engkau akan menjadi seorang mentri, dan yang memakan kepalanya adalah seorang raja, dan suatu hari pawang tersebut datang untuk membeli burung tersebut karena orang tua si Ahmad dan Muhammad ini perlu dengan keuangan maka ia memncoba menjualnnya , sebelum dijualnnya ibu dari anak-anak tersebut menggorengnya untuk dijual kepada pawang tersebut dan setelah itu pulanglah anak-anaknya dari ladang dan sesampai dirumahnya anak-anak itu bertanya kepada ibu nya soal burung merbuk mereka lalu ibunya bilang burung mereka telah mati digigit kucing, mereka tampak sedih mendengar kabar tersebut, karena mereka sangat sayang sama burung merbuk itu mereka pun bertanya kemana burung tersebut ditaruh, lalu ibunya membilang kepada anaknya bahwa burung merbuknya digoreng biar bisa dimakan. Lalu mereka bertanya dimana disimpan . ibunya bilang ditaruh di meja makan lalu merekapun kesana dan sangkin sayangnya mereka dengan burung itu mereka memakannya, lalu ahmad memakan kepalanya dan Muhammad memakan hatinya . setelah mereka memakannya beberapa saat kemudian orangtuanya bertanya kepada mereka, dimana


(15)

burung goreng tersebut, mereka pun menjawab burung gorengnya sudah mereka makan, karena oarang tuannya sangat memebutuhkan uang untuk memenuhi kehidupan dengan menjual burung goreng tersebut merekapun disuruh pergi dari rumah dan berjuang diluar untuk bertahan hidup. Setelah dewasa si Ahmad menjadi seorang raja dan Muhammad menjadi seorang mentri.

Ditinjau dari kemasyarakatan, penelitian ini juga mempunyai arti penting. Ia dapat digunakan sebagai bahan pengajaran untuk mengetahui budaya-budaya yang ada di Indonesia. Secara tidak langsung penelitian ini juga memberi sumbangan bahan pembinaan kepribadian bangsa, terutama sastra lisan yang memuat unsur pendidikan budi pekerti luhur.

1.2 Rumusan Masalah

Untuk lebih memfokuskan pembahasan maka diperlukan perumusan masalah yang tepat agar pembahasan terhadap cerita rakyat TBM tidak meluas dan tidak mencapai sasaran yang dikehendaki.

Permasalahan yang akan dibicarakan dalam tulisan ini pada hakikat-nya mencakup aspek tinjauan sosiologis dalam cerita TBM. Untuk mengetahui dan memahami aspek-aspek sosiologi dalam cerita rakyat tersebut maka dianggap periu untuk menelaah terlebih dahulu aspek-aspek pembangun dari cerita rakyat tersebut atau unsur-unsur pembentuk dalaman cerita (unsur intrinsik) rakyat TBM.


(16)

1.3.Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah maka kajian sosiologis dalam cerita rakyat TBM secara khusus bertujuan untuk:

1. Mengetahui struktur intrinsik pada cerita rakyat TBM masyarakat Melayu serdang.

2. Mengetahui aspek sosiologis dalam cerita rakyat TBM.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

a. Menambah khasanah kajian sastra masyarakat Melayu Serdang khususnya cerita TBM.

b. Sebagai sumber bacaan bagi peneliti sastra agar cerita rakyat terus menerus digali dan dikembangkan.

c. Mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai atau tinjauan yang terkandung dalam karya sastra Melayu.

d. Memelihara karya sastra lisan agar terhindar dari kemusnahan dan dapat diwariskan pada generasi yang akan datang.

e. Untuk memenuhi salah satu syarat menempuh Sarjana Sastra di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.


(17)

1.5 Orisinilitas Penelitian

Penelitian terhadap cerita rakyat berupa intertalisasi TBM ini telah dilakukan oleh Eddy Setia dan kawan-kawan, pada tahun 1990, dengan judul Fungsi dan Kedudukan Sastra Lisan Melayu Serdang. Namun kajian yang dilakukan oleh Eddy Setia dkk., hanya menyangkut fungsi dan kedudukan cerita saja tanpa menganalisis cerita rakyat TBM, baik dengan pendekatan sastra maupun dengan pendekatan sosiologi sastra,

Oleh karena itu, penulis beranggapan bahwa kajian yang penulis kerjakan terhadap cerita rakyat TBM merupakan karya ilmiah yang masih asli (orisinil) dan belum pernah dikaji oleh peneliti manapun. Adapun kajian yang penulis fokuskan adalah tinjauan sosiologis yang terkandung di dalam TBM.

1.6 Objek Penelitian

Naskah yang menjadi objek penelitian penulis adalah kumpulan cerita yang diteliti oleh Eddy Setia dan kawan-kawan pada tahun 1990 dengan data sebagai berikut :

Judul : Hikayat Tuah Burung Merbuk Judul buku Asli : Tuah Burung Merbuk

Bentuk karya sastra : Cerita Prosa Rakyat Prasilitator : Rosmawati R.


(18)

Penerbit : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI Tahun terbit : 1990

1.7 Landasan Teori

Untuk membahas tentang struktur dalam teori struktural dan nilai nilai sosiologis yang terkandung di dalam cerita rakyat TBM digunakan dua teori pendekatan yaitu teori struktural dan teori sosiologi sastra. Kedua teori pendekatan tersebut digunakan untuk mengetahui sekaligus mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik dan intrinsik yang terdapat di dalam hikayat tersebut. Berikut akan dipaparkan kedua teori pendekatan tersebut

1.7.1 Teori Struktural

Untuk mengetahui struktur dalam sebuah karya sastra, haruslah dilakukan analisis unsur instrinsik karya sastra tersebut. Dalam unsur intrinsik digunakan empat struktur karya sastra prosa fiksi yang harus dianalisis yaitu: alur (plot), penokohan/perwatakan, latar,dan tema (Tinambunan. et.al., 1996:7-14).

Pendekatan struktural dipelopori oleh kaum Formalis Rusia dan strukturalisme Praha. Studi linguistik tidak lagi ditekankan pada sejarah perkembangannya, melainkan pada hubungan antar unsurnya. Masalah


(19)

unsur dan hubungan antarunsur merupakan hal yang penting dalam pendekatan ini.

Sebuah karya sastra, fiksi, atau puisi, menurut kaum strukturalisme dalam sebuah totaiitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur (pembangun)-nya. Di satu pihak, struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah (Abrams dalam Nurgiyanto, 2001 : 46).

Di pihak lain, struktur karya sastra juga menyaran pada pengertian hubungan antarunsur (intrinsik) yang bersifat timbal balik, saling menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh. Secara sendiri, terisolasi dari keseluruhannya, bahan, unsur, atau bagian-bagian tersebut tidak penting, bahkan tidak ada artinya. Tiap bagian akan menjadi berarti dan penting setelah ada dalam hubungannya dengan bagian-bagian yang lain, serta bagaimana sumbangannya terhadap keseluruhan wacana.

Selain istilah struktural di atas, dunia kesastraan mengenal istilah strukturalisme. Strukturalisme dapat di pandang sebagai salah satu pendekatan kesastraan yang menekankan pada kajian hubungan antarunsur pembangun karya yang bersangkutan. Jadi, strukturalisme (disamakan dengan pendekatan objektifnya Abrams) dapat dipertentangkan dengan


(20)

pendekatan yang lain, seperti pendekatan mimetik, ekspresif, dan pragrnatik (Abrams dalam Teeuw, 1989 : 189).

Namun di pihak lain, strukturalisme, menurut Hawkes (dalam Nurgiyantoro, 2004 ; 47), pada dasarnya juga dapat dipandang sebagai cara berpikir tentang dunia yang lebih merupakan susunan hubungan dari pada susunan benda. Dengan demikian, kodrat setiap unsur dalam bagian sistem struktur itu baru mempunyai makna setelah berada dalam hubungannya dengan unsur-unsur yang lain yang terkandung di dalamnya. Kedua pengertian tersebut tidak perlu dipertentangkan namun justru dapat dimanfaatkan secara saling melengkapi.

Analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini TBM, dapat dilakukan dengan mengidentifikasikan, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik hikayat yang barsangkutan. Mula-mula diidentifikasikan dan dideskripsikan, misalnya, bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-iain. Setelah coba di jelaskan bagaimana fungsi-fungsi masing-masing unsur dalam menunjang makna keseluruhannya ,dan bagaimana hubungan antar unsur itu sehingga secara bersama membentuk sebuah totalitas kemaknaan yang padu. Misalnya, bagaimana hubungan antara peristiwa yang satu dengan yang lain, kaitannya dengan pemplotan yang tidak selalu kronologis, kaitannya dengan tokoh dan penokohan, dengan latar dan sebagainya.


(21)

Dengan demikian pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersama rnenghasilkan sebuah keseluruhan .Analisis struktual tidak cukup dilakukan hanya sekedar mendata unsur tertentu sebuah karya sastra,misalnya peristiwa, plot, tokoh, latar, atau yang lain. Namun, yang lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antar unsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin di capai. hal itu perlu dilakukan mengingat bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks dan unik, di samping setiap karya mempunyai ciri kekompleksan dan keunikan sendiri. Hal inilah antara lain yang membedakan antara karya yang satu dengan karya yang lain. Namun, tak jarang analisis fragmentaris yang terpisah-pisah. Analisis yang demikian inilah yang dapat dituduh sebagai mencincang karya sastra sehingga justru menjadi tidak bermakna.

Analisis structural dapat berupa kajian yang menyangkut relasi unsur-unsur dalam mikrotes, satu keseluruhan wacana, dan wacana intertekstual (Hartoko dan Rahmanto, 1996 : 136). Analisis unsur-unsur mikrotes itu misalnya berupa analisis kata-kata dalam kaiimat, atau kalimat-kalimat dalam alinea atau konteks wacana yang lebih besar. Namun, ia dapat juga berupa analisis fungsi dan hubungan antara unsur satu keseluruhan wancana dapat berupa analisis bab per bab, atau bagian-bagian secara keseluruhan seperti dibicarakan di atas. Analisis relasi intelekstual berupa kajian hubungan antar


(22)

teks, baik dalam satu periode (misalnya untuk karya-karya sastra Melayu zaman Hindu) maupun dalam periode-periode yang berbeda (misalnya antara karya-karya Melayu zaman Hindu dengan sastra Melayu zaman Islam).

Melepaskan karya sastra dari latar belakang sosial budaya dan kesejarahannya, akan menyebabkan karya itu menjadi kurang bermakna, atau paling tidak maknanya menjadi sangat terbatas, atau bahkan makna menjadi sulit ditafsirkan. Hal itu berarti karya sastra menjadi kurang berarti dan bermanfaat bagi kehidupan. Oleh karena itu, analisis struktural sebaiknya dilengkapi dengan analisis yang lain, yang dalam hal ini dikaitkan dengan keadaan sosial budaya secara luas.

1.7.2 Sosiologi Sastra

Membicarakan sosiologi sastra adalah membicarakan sampai di mana hubungan antara sosiologi dan sastra, dan membicarakan hasil sastra yang relevan. Sastra tercipta untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan manusia dalam suatu masyarakat. Sebagai sesuatu yang perlu dinikmati, karya sastra harus mengandung keindahan yang berasal dari keorisinalitasan sehingga dapat memenuhi dan memuaskan kehausan estetis masyarakat penikmatnya. Sebagai sesuatu yang perlu dipahami, karya sastra memendam kompleksitas yang hanya dapat dimengerti dengan usaha yang sungguh-sungguh dan teliti pleh masyarakat pembacanya. Dengan demikian,


(23)

untuk mengungkapkan kandungan karya sastra dibutuhkan kepekaan yang luar biasa. Sebagai sesuatu yang perlu dimanfaatkan, karya sastra mengandung nilai berharga yang dapat dipergunakan untuk kesejahteraan manusia.

Banyak kenyataan sosial yang dihadapi manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Kenyataan sosial itu dapat berupa tantangan .untuk mempertahankan hidup, kebahagiaan dalam situasi keberhasilan, frustasi dalam situasi kegagalan, kesedihan dalam suasana kemalangan, dan lain sebagainya. Kenyataan sosial tersebut muncul sebagai akibat hubungan antar manusia, hubungan antara masyarakat dan hubungan antar peristiwa dalam batin seseorang.

Situasi yang dialami manusia demi mengembangkan kemasyarakatan situasi yang dialami manusia demi mengembangkan kemasyarakatan atau kesejahteraan manusia itu sendiri sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian, pengarang merupakan ahli strategi.

Pengarang harus mampu menilai sesuatu dengan tepat dan teiiti. Pengarang tidak akan dapat mengetahui dan mengantisipasi masa dengan sesuatu dengan tepat, apa yang akan memberikan harapan dan apa yang akan menyuguhkan ancaman, apabila dia tidak mengetahui keadaan sesuatu dengan jelas. Dengan demikian, seorang ahli strategi yang bijaksana tidak akan puas dengan strategi yang hanya memuaskan dirinya sendiri.


(24)

Pengarang akan waspada terhadap ancaman atau bahaya yang sewaktu -waktu dapat menghadang.

Dari uraian di atas dapat dilihat tiga aspek yang saling berhubungan yaitu hubungan antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Hubungan itu bersifat sosial dan tertuang dalam suatu karya sastra sebagai sarana penghubung antar sastrawan dan masyarakat pembaca. Dengan demikian, pembicaraan ini bersifat sosiologis yang disebut sosiologi sastra.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra adalah studi sosiologi terhadap karya sastra yang membicarakan hubungan dan pengaruh timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat, dengan menitik beratkan pada realitas dan gejala nilai-nilai sosiologis yang ada diantara ketiganya. Dengan batasan seperti itu tampaklah kecenderungan ke arah relasi antara kenyataan yang hidup dalam masyarakat yang dirujuk karya sastra tersebut serta sikap budaya dan kreativitas pengarang sebagai seorang anggota masyarakat.

Pencerminan suatu masyarakat yang dimaksud seperti yang diungkapkan Semi (1984:55) bahwa,

Kesusastraan mencerminkan sistem sosial yang ada dalam masyarakat, sistem kekerabatan, sistem ekonomi, sistem pendidikan, sistem kepeceryaan yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan. Karena itu, karya sastra hanyalah merupakan cermin dari pengarang semata. Kalaupun pengarang menggambarkan suatu keadaan umum masyarakat


(25)

dalam karya sastranya, maka gambaran itu hanyalah karena telah menjadi persoalan pribadinya sendiri.

Dengan demikian, jelaslah bahwa sosiologi dapat dijadikan sebagai salah satu pendekatan sastra, sebab antar sosiologi dan sastra saling menguntungkan. Hanya perlu disadari bahwa karya sastra bukanlah merupakan cermin yang mendahului pikiran masyarakat zamannya. melajnkan karya sastra hanyalah cerminan masyarakat zamannya.

Hal ini membuktikan bahwa kehadiran sastra mempunyai peranan penting dalam membentuk struktur masyarakat. Pengarang dan karyanya merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka membicarakan sebuah karya sastra. Disatu sisi, pengarang adalah anggota dari kelompok masyarakat yang hidup ditengah-tengah kelompok masyarakat tersebut.

Soemarjo (1995:15) juga menekankan, bahwa kehadiran karya sastra merupakan salah satu wujud pelestarian dari keadaan sosio-kultur suatu masyarakat dimana ia tercipta. Lebih jauh lagi Yakob Soernarjo mengatakan bahwa, "karya sastra menampilkan wajah kultur zamannya, tetapi lebih dari sifat-sifat sastra juga ditentukan oleh masyarakatnya".

Pendapat Sumadjo di atas didukung pula oleh Semi (1989:54) yang mengataKan bahwa,

a. konteks sosial pengarang yakni yang menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk


(26)

di dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang sebagai perseorangan disamping mempengaruhi isi karya sastranya.

b. sastra sebagai cermin masyarakat yang telaah adalah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat.

c. sosial sastra dalam hal ini ditefaah sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan sampai berapa jauh nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial dan sampai berapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan bagi masyarakat pembaca.

Sosiologi pada sisi lain sebagai ilmu yang berbicara tentang aspek-aspek kemasyarakatan selalu dapat dimanfaatkan untuk pehibicaraan sebuah cipta sastra, tinjauan sosiologi Jalam sebuah karya sastra dapat terwujudkan untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam Banyak hal-hal yang menjadi fokus pengamatan seseorang sastrawan kehidupan pribadinya, iingkungan serta harapan-harapannya menjaai hal yang menarik dalam penelitian sebuah cipta sastra. Kompleks permasalahan itu merupakan hadiah seorang pengarang yang dapat memperluas wawasan pemikiran anggota masyarakat. Dengan menggambarkan fenomena dari hasil


(27)

pengamatan pengarang, masyarakat pembacanya memperoleh hal yang bermakna dalam hidupnya.

Pengarang sendiri mendapat sumber dalam aspek yang membangun keutuhan sebuah cerita adalah menyangkut perwatakan tokoh-tokohnya. Tokoh yang berfikiran primitif tidak mungkin akan bertindak sebagai manusia modern yang serba luwes.

Ciri-ciri perwatakan sesorang tokoh selalu berkaitan dengan pengarang Iingkungan dimana dia hidup. Demikian juga menyangkut tipe orang atau tokohnya. Biasanya dalam setiap cerita selalu terdapat beberapa tokoh, dalam hal inilah pengetahuan sosiologi berperan mengungkapkan isi sebuah karya sastra.

Warren dalam (Damono, 1996:84) mengklasifikasikan sosiologi sastra menjadi: pertama, sosiologi pengarang yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebayai penghasil sastra. Kedua, sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra sastra itu sendeiri; yang menjadi pokok penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Ketiga, sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.

lan Watt dalam (Damono, 1996:3-4) melihat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Oleh sebab itu, telaah sosiologi suatu karya sastra akan mencakup tiga hal yaitu : pertama, konteks sosial


(28)

pengarang yaitu menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca termasuk di dalamnya faktor sosial yang mempenga-ruhi pengarang sebagai perseorangan di samping mempengamempenga-ruhi isi karya sastranya, kedua, sastra sebagai cermin masyarakat yaitu sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat. Ketiga, fungsi sosial sastra yaitu sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial, sastra sampai berapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan bagi masyarakat pembaca.

1.8.Metode Penelitian 1.8.1.Jenis Penelitian

Metode atau jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dan bersifat deskriptif, yang oleh Nawawi ( 1990 :63 ) diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan objek/subjek penelitian ( seseorang lembaga, masyarakat, dan lain-lain ) pada saat sekarang berdasarkan fakta yang tampak atau sebagaiman adanya.

Dengan demikian dalam penelitian penulis tidak menguji hipotesis melainkan hanya mendeskripsikan data-data fakta yang ada dan kemudian diinterprentasikan serta dianalisis secara rasional.


(29)

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari kepustakaan (library research). Yang tujuannya untuk menambah bahan-bahan atau buku-buku yang berhubungan dengan masalah penelitian.

1.8.2.Metode pengumpulan data

Untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan maka digunakan metode pengumpulan data sebagai berikut :

a. Studi kepustakaan, yaitu teknik pengumpulan data dengan mempelajari buku-buku, jurnal penelitian, dan bahan-bahan tertulis lainnya yang berhubungan dengan topic penelitian.

b. Studi teks, yaitu pengumpulan data melalui naskah yang diteliti setelah terlebih dahulu membaca kemudian menafsirkan nilai-nilai moral yang terkandung dalam naskah.

1.8.3.Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini, karena metode penelitian yang digunakan adalah kuaiitatif maka peneliti bersikap netral sehingga tidak mempengaruhi data. Untuk itu peneliti hanya membaca dan memperlihatkan lalu berusaha menjabarkan atau menginterpretasikan data tersebut untuk dianalisis sehingga dapat memberikan kesimpulan setelah dilakukan pengecekan ulang atas data tersebut.


(30)

Informasi dan data yang dieroleh dari naskah disusun secara sistematis dan dikategorisasikan, selanjutnya dianalisis dengan interpretasi kuaiitatif. Setelah penyusunan dan analisis data, selanjutnya informasi tersebut didisain sesuai dengan bagian-bagian yang telah ditentukan sehingga dapat menghasilkan sebuah laporan penelitian yang integrative dan sistematis.


(31)

BAB II

ANALISIS STRUKTUR CERITA RAKYAT TUAH BURUNG MERBUK

2.1. ANALISIS STRUKTUR CERITA

Analisis struktur yang dilakukan terhadap cerita rakyat TBM ini merupakan langkah awal untuk memahami unsur-unsur ekstrinsik, khususnya nilai psikologi dari hikayat tersebut.

Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Teeuw (1989) bahwa kajian struktural dimaksudkan untuk membongkar, mengkaji, dan menganalisis unsur pembentuk dalam instrinsik dari sebuah karya sastra, yang berguna untuk pengkajian selanjutnya dari karya sastra tersebut.

Sebelum penulis mulai menganalisis struktur cerita rakyat Tuah Burung Merbuk, ada baiknya penulis menyajikan ringkasan cerita Tuah Burung Merbuk guna mempermudah pembaca sekalian untuk memahami analisis yang penulis lakukan nantinya.

2.2. Ringkasan Cerita

Tuah Burung Merbuk menceritakan tentang 2 orang anak dari sebuah kampong yang mempunyai seekor burung merbuk yang bertuah mereka sering bermain bersama-sama kemana aja, pada suatu hari ada pawang burung merbuk dari kampong seberang datang untuk mencari burung merbuk bertuah yang dimiliki anak


(32)

tersebut karena dia pernah bermimpi pada suatu hari dan didalam mimpinya dia didatangin seorang kakek dengan maksud tujuan bahwasannya burung merbuk yang dimiliki anak-anak tersebut adalah burung bertuah , apabila engkau memekan hatinya burung tersebut maka engkau akan menjadi seorang mentri, dan yang memakan kepalanya adalah seorang raja. Dan suatu hari pawang tersebut datang untuk membeli burung tersebut karena orang tua si Ahmad dan Muhammad ini perlu dengan keuangan maka ia memncoba menjualnnya , sebelum dijualnnya ibu dari anak-anak tersebut menggorengnya untuk dijual kepada pawang tersebut dan setelah itu pulanglah anak-anaknya dari ladang dan sesampai dirumahnya anak-anak itu bertanya kepada ibu nya soal burung merbuk mereka lalu ibunya bilang burung mereka telah mati digigit kucing, mereka tampak sedih mendengar kabar tersebut, karena mereka sangat sayang sama burung merbuk itu mereka pun bertanya kemana burung tersebut ditaruh, lalu ibunya membilang kepada anaknya bahwa burung merbuknya digoreng biar bisa dimakan. Lalu mereka bertanya dimana disimpan . ibunya bilang ditaruh di meja makan lalu merekapun kesana dan sangkin sayangnya mereka dengan burung itu mereka memakannya, lalu ahmad memakan kepalanya dan Muhammad memakan hatinya . setelah mereka


(33)

memakannya beberapa saat kemudian orangtuanya bertanya kepada mereka, dimana burung goreng tersebut, mereka pun menjawab burung gorengnya sudah mereka makan, karena oarang tuannya sangat memebutuhkan uang untuk memenuhi kehidupan dengan menjual burung goreng tersebut merekapun disuruh pergi dari rumah dan berjuang diluar untuk bertahan hidup. Setelah dewasa si Ahmad menjadi seorang raja dan Muhammad menjadi seorang mentri.

2.3. Tema

Masalah hidup dan kehidupan yang dihadapi dan dialami manusia amat luas dan kompleks, seluas dan sekompleks permasalahan kehidupan yang ada (Nurgiyantoro, 2001:71). Walau permasalahan yang dihadapi manusia tidak sama, ada masalah-masalah kehidupan tertentu yang bersifat universal. Artinya, hal itu akan dialami oleh setiap orang di manapun dan kapan pun walau dengan tingkat intensitas yang tidak sama.

Pengarang memilih dan mengangkat berbagai masalah hidup dan kehidupan itu menjadi tema dan atau sub-subtema ke dalam karya sastra sesuai dengan pengalaman, pengamatan, dan aksi-interaksinya dengan lingkungan. Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan dangan makna (pengalaman) kehidupan. Melalui karyanya itulah pengarang menawarkan makna tertentu kehidupan, rnengajak pembaca untuk melihat, merasakan,


(34)

dan menghayati makna (pengalaman) kebidupan tersebut dengan cara memandang permasalahan jtu sebagaimana ia memandangnya.

Tema dalam sebuah karya sastra merupakan salah satu dan sejumlah unsur pembangun cerita ygng lain, yang secara bersama membentuk sebuah kernenyeluruhan. Bahkan sebenarnya, eksistensi terna itu sendin sangat bergantung dari berbagai unsur yang lain. Hal itu disebabkan tema, yang notabene "hanya" berupa makna atau gagasan dasar umum suatu cerita, tidak mugkin hadir tanpa unsur bentuk yang rnenampungnya. Dengan demikian, sebuah tema baru akan menjadi makna cerita jika ada dalam keterkaitannya dengan unsur-unsur cerita yang lain, khususnya yang oleh Nurgiyantor dikelompokkan sebagai fakta cerita (alur, latar, dan tokoh) yang mendukung dan menyampaikan tema tersebut.

Tema dapat digolongkan ke dalam beberapa tingkatan yang berbeda, tergantung dari segi mana hal itu dilakukan. Shipley daiam Nurgiyantoro (2001:80-82) membedakan tema dalam lima tingkatan. Pembagian Shipley ini berdasarkan tingkatan pengalaman jiwa, yang tersusun dari tingkatan paling sederhana sampai tingkat yang paling tinggi yang hanya dapat dicapai oleh manusia. Kelima tingkatan tema yang dimaksud adalah sebagai berikut:

a. Tema tingkat fisik, manusja sebagai mqlekui, man as molecul. Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyaran dan atau ditunjukkan oleh banyaknya aktivitas fisik daripada kejiwaan, la lebih menekankan mobilitas fisik daripada konflik kejiwaan tokoh


(35)

cerita yang bersangkutan. Unsur latar dalam karya sastra dengan penonjolan tema tingkat ini mendapat penekanan.

b. Tema tingkat organik, manusia sebagai protoplasma, man as protoplasm. Tema karya sastra tingkat ini lebih banyak menyangkut dan atau mempersoalkan masalah seksualitas. Berbagai persoalan kehidupan seksual manusia mendapat penekanan, khususnya kehidupan seksual yang menyimpang.

c. Tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial, man as sodus. Kehidupan bermasyarakat, yang merupakan tempat aksi-interaksinya manusia dengan sesama dan dengan lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan, konflik, dan iain-lain yang menjadi objek pencarian tema. Masalah-masalah sosial itu antara lain berupa masalah ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, propaganda, hubungan atasan-bawahan, dan berbagai masalah dan hubungan sosial lainnya yang biasanya muncul dalam karya yang berisi kritik sosial. d. Tema tingkat egoik, manusia sebagai individu, man as

individualism. Di samping sebagai makhluk sosial, manusia sekaligus juga sebagai makhluk individu yang senantiasa "menuntut" pengakuan atas hak individualitasnya. Dalam kedudukannya sebagai makhluk individu, manusia pun mempunyai


(36)

banyak permasalahan dan konflik, misalnya yang berwujud reaksi manusia terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya. e. Tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi, yang

belum tentu setiap manusia mengalami dan atau mencapainya. Masalah yang menonjol dalam tema tingkat ini adalah masalah hubungan manusia dengan Sang Pencipta, masalah religiusitas, atau berbagai masalah yang bersifat filosofis lainnya seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan.

Adapun kegiatan untuk menafsirkan tema sebuah karya sastra memang bukan pekerjaan yang mudah. Karena tema tersembunyi di balik cerita , penafsiran terhadapnya haruslah dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang ada secara keseluruhan membangun cerita itu. Menurut Mochtar Lubis ( 1989 : 25 ) untuk mengetahui tema sebuah karya sastra maka dapat dilihat dari tiga hal yang berkaitan, yaitu : (a) melihat persoalan yang paling menonjol; (b) menghitung waktu penceritaan; (c) melihat konflik paling banyak hadir.

Setelah membaca dan memahami cerita rakyat TBM maka penulis dapat menyimpulkan bahwa TBM termasuk cerita rakyat yang tergolong ke dalam jenis tema tingkat sosial. Dalam cerita rakyat ini menceritakan tentang kehidupan kakak dan adik yang kelak menjadi seorang raja dan mentri. Masalah yang menonjol dalam hikayat ini adalah masalah manusia dengan manusia. Atau .


(37)

Untuk menentukan tema dalam cerita TBM ini maka penulis mengunakan pendapat mochtar Lubis yang menentukan tema sebuah karya sastra berdsarkan tiga hal , yaitu :

a. Persoalan yang paling menonjol dalam cerita rakyat TBM adalah kesabaran dan kesetiaan.

b. Dari awal cerita sampai akhir cerita dalam cerita rakyat TBM menceritakan tentang ketulusan hati seorang kakak dan adik.

c. Konflik yang paling banyak hadir dalam cerita rakyat TBM adalah Tentang keegoisan sang Pawang Burung Merbuk.

Berdasarkan ketiga hal di atas maka dapat di tarik kesimpulan bahwa tema dalam cerita rakyat TBM adalah tentang perjuangan hidup kakak dan adik yang diusir oleh orang tuanya dan berkelana di hutan demi kelangsungan hidup.

2.4. Alur

Alur merupakan unsur karya sastra yang penting, bahkan tidak sedjkit orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting di antara berbagai unsur karya sastra yang lain. Tinjauan struktural terhadap karya sastra pun sering tebih ditekankan pada pembicaraan alur, walau mungkin mempergunakan istilah lain. Masalah linearitas struktur penyajian peristiwa dalam karya sastra banyak dijadikan objek kajian. Hal itu kiranya juga beralasan sebab kejelasan alur, kejelasan tentang kaitan antarperistiwa yang


(38)

dikisahkan secara linear, akan mempermudah pemahaman kita terhadap cerita yang ditampilkan. Kejelasan alur dapat berarti kejelasan cerita, kesederhanaan alur berarti kemudahan cerita untuk dimengerti. Sebaliknya, alur sebuah karya sastra yang kompleks, ruwet, dan sulit dikenali hubungan kualitas antar peristiwanya, menyebabkan cerita menjadi lebih sulit dipahami.

Alur sebuah cerita bagaimanapun tentulah mengandung unsur urutan waktu, baik ia dikemukakan secara eksplisit maupun implisit. Oleh karena itu, dalam sebuah cerita, tentulah ada awal kejadian, kejadian-kejadian berikutnya, dan barangkali ada pula akhirnya (Nurgiyantoro, 2001:141). Namun, plot sebuah hikayat sering tidak menyajikan urutan perisitiwa secara kronologis dan runtut, melainkan penyajian yang dapat dimulai dan diakhiri dengan kejadian yang mana pun juga tanpa adanya keharusan untuk memulai dan mengakhiri dengan kejadian awal dan kejadian terakhir. Dengan demikian, tahap awal cerita tidak harus berada di awal cerita atau djbagian awal teks, melainkan dapat terletak di bagian mana pun.

Hal yang demikian dapat terjadi disebabkan urutan waktu penceritaan sengaja dimanipulasikan dengan urutan peristiwa la mungkin dimaksudkan untuk mendapatkan bentuk pengucapan baru dan efek artistik tertentu, kejutan, ataupun sebentuk suspense di pihak pembaca. Teknik pengungkapan cerita, atau teknik pengaluran, yang demikian biasanya justru lebih menarik karena memang langsung dapat menarik perhatian pembaca.


(39)

Pembaca tangsung berhadapan dengan konflik, yang tentu saja, ingin segera mengetahui sebab-sebab kejadian dan bagaimana kelanjutannya.

Pada dasarnya, alur sebuah cerita haruslah bersifat padu. Antara perisitiwa yang satu dengan yang lain, antara perisitwa yang diceritakan lebih dahuiu dnegan yang kemudian, ada hubungan, ada sifat saling keterkaitan. Kaitan antar peristiwa tersebut hendaklah jelas, logis, dapat dikenali hubungan kewaktuannya lepas dari tempatnya daiam teks cerita yang mungkin di awal, tengah atau akhir. Alur yang memiliki sifat keutuhan dan kepaduan, tentu saja, akan menyuguhkan cerita yang bersifat utuh dan padu pula.

Untuk memperoleh keutuhan sebuah aiur cerita, Tasrif dalam Muchtar Lubis (1989:10) mengemukakan bahwa sebuah alur haruslah terdiri dari lima tahapan. Kelima tahap tersebut penting untuk dikenali, terutama jika kita bermaksud menelaah alur karya sastra yang bersangkutan. Kelima tahapan itu adalah sebagai berikut:

(1) Tahap Situation (tahap penyituasian), tahap yang terutama berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian inforrnasi awal, dan lain-lain yang, terutama, berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.

(2) Tahap Generating Circumstances (tahap pemunculan konflik), masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut


(40)

terjadinya konflik mulai dimunculkan. Jadi, tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. Tahap pertama dan kedua pada pembagian ini, tampaknya, berkesesuaian dengan tahap awal pada penahapan. (3) Tahap Rising Action (tahap peningkatan konflik), konflik yang

telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkernbang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa drarnatik yang menjadi inti cerita bersifat semakin mencekam dan menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi mengarah ke klimaks semakin tidak dapat dihindari.

. (4) Tahap climax (tahap klimaks), konffik dan atau pertentangan-pertentarigan yang terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang berperart sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama. Sebuah cerita yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu klimaks, atau paling tidak dapat ditafsirkan demikian.

(5) Tahap Denouement (tahap penyelesaian), konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain, subsubkonflik, atau konflik-konflik tambahan, jika ada, juga diberi jalan keluar, cerita diakhiri.


(41)

Setelah penulis membaca, menghayati, dan memahami centra rakyat TBM maka dapat digambarkan alur yang terdapat dalam cerita tersebut adalah plot lurus atau progresif. Artinya bahwa dalam cerita rakyat TBM pelukisan alur cerita diawali dengan awal situasi sampai dengan akhir situasi.

Adapun pentahapan alur dalam cerita rakyat TBM adalah sebagai berikut :

1) Tahap Situation, tahap awal dalam cerita rakyat TBM dimulai pada tahapan si pengarang mulai melukiskan kehidupan sebuaah keluarga yang hidup di sumatera timur yang masih hutan belukar dengan 2 orang anak laki-laki. Penduduknya jarang dan tempat tinggal mereka berpencar-pencar, anak pertama mereka bernama Ahmad dan anak kedua bernama Muhammad. Ahmad dan Muhammad memiliki burung Merbuk yang bertuah dan bisa berbicara, pada dahulu kala manusia bisa berbicara dengan binatang.

. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan cerita sebagai berikut.

"Pada zaman dahulu kala tersebutlah suatu kampong, tinggal sepasang suami. Mereka mempunyai dua anak laki-laki. Anak sulung mereka bernama Ahmad dan anak kedua mereka bernama Muhammad. Mereka tinggak disebuah gubuk tua, pekerjaan mereka sehari-hari mengerjakan sebidang tanah yang letaknya tidak jauh dari gubuk.


(42)

Mereka adalah anak-anak yang baik prilakunya dan ramah kepada tetangga penyayang binatang sehingga satu kampung menyukai keberadaan mereka. Sudah menjadi kebiasaan buat kedua saudara ini , pagi membantu ibu dan ayah di sawah dan sorenya pergi mengaji. Begitulah pekerjaan si ahmad dan muhammad setiap hari.

Pada suatu sore ketika mereka pulang dari mengaji mereka menemukan burung merbuk yang tidak jauh dari mereka oleh karena itu mereka punya niatan untuk menangkapnya dan dalam sekejap mereka berhasil menangkapnya , karena sangkin gembiranya , ahmad ddan muhammad berlari menuju rumah dan langsung menemui ayah mereka dan di buatkan sangkar unutk burung mereka .

2) Tahap Generating Circumstances, yaitu tahap dimana peristiwa mulai bergerak memunculkan konflik. Peristiwa-peristiwa yang termasuk dalam tahapan ini adalah dimulai saat seorang pawang burung merbuk datang kerumah mereka untuk bermaksud membeli burung merbuk kesayangan Ahmad dan Muhammad tetapi mereka tidak mau , lalu suatu saat orang tua mereka merencanakan sesuatu untuk burung merbuk mereka, sang pawang sudah tahu bahwa burung merbuk mereka punya tersebut bertuah. Ini dikuatkan dari kutipan cerita sebagai berikut:

"beralih kepada seorang tua yang tinggal di kampong itu juga , yang pekerjaannya setiap hari memikat burung merbuk, pergi pagi pulang


(43)

petang. Karen kerjanya memikat burung maka orang-orang kampong menyebutknnya uwak pawang burung

Pada suatu hari sepulang dari memikat burung wak pawang burung snagat lelah, sehabis sembahyang isya ia pun tertidur dengan nyenyaknya , didalam mimpinya ia berjumpa dengan orang tua berpakaian putih, orang tua itu berkata kepada uak pawng burung, dikampung ini ada seekor burung merbuk yang amat bertuah , wak pawang bertanya , “klo boleh saya tahu apakah tuah burung tersebut dan sapa yang empunya?”. “Adapun tuahnya burung itu bagi sapa yang dapat memakan kepalanyan maka dia akan menjadi seorang raja dan bagi sapa yang dapat memakan hatinya maka dia akan menjadi soerang mentri, yang punya burung tersebut adalah si ahmad dan Muhammad ia tinggal tidak jauh dari sini dan besok sebelum matahari terbit jalanlah kau kearah sana setelah uak berkata seperti itu diapun hilang dan uwak pawang burungpun terbangun dari tidurnya.

Setelah dia terbangun dari tidurnya diapun mencri burung tersebut, sesampainya disana uwak pawang burung tersebut langsung menjumpai si ahmad dan Muhammad dan menyapa mereka. Uwak pawang burung tersebut langsung menjumpai orang tua mereka dan menyampaikan maksud dan tujuannya dating untuk membeli burung merbuk tersebut .tetapi anak-anak dari pak Ahmad tidak mau menjual burung kesayangannya, hingga pak ahmad menyampaikan kepda


(44)

pawang tersebut untuk balik lagi 3 hari kemudian, untuk menjual burung tersebut.

3) Tahap Rising Action (tahap peningkatan konflik), pada tahap ini cerita mulai bergerak ke arah konflik cerita. Adapun peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam tahapan pada cerita rakyat TBM adalah ketika si Ahmad dan Muhammad disuruhi bunya membantu ayah mreka diladang tanpa membawa burung merbuk mereka, sepeninggal si ahmad dan si Muhammad , ibu ahmad berfikir menyusun rencana yang akan dilakukan terhadap burung merbuk kepunyaan si ahmad dan Muhammad . burung kepunyaan anaknya tersebut segera ditangkap, dalam hati iya berkata,” kalau burung ini kujual sesudah ku masak pasti harganya semngkin tinggi”, tidak berapa lama ia pun menyembelih burung kesayangan anaknya, terus di panggangnya, setelah itu ibu ahmad melakukan pekerjaan rumahnya, tidak berapa lama anak-anaknya pulang dari ladang dan menanyakan burung merbuk kesayangan mereka.

Dengan wajah sedih ibunya bersandiwara bahwasannya burung mereka digigit kucing lalu karena saying mati begitu aja lalu digoreng oleh ibu mereka.

Tahap Climax (tahap puncak cerita), tahap ini terdapat pada peristiwa ketika saat mereka tahu bahwa burung kesayangan mereka mati lalu digoreng oleh ibunya, dengan sigap mereka menghampirin burung


(45)

merbuk kesayangan mereka dan mereka memakannya , si ahmad memakan kepalanya dan si Muhammad memakan hatinya, lalu kemudian orang tua meraka marah karena burung tersebut hendak dijual kepada uwak pawang burung merbuk itu.

Ayah si ahmad marah besar dan mengusir mereka keluar dari rumah Karena mereka memakan burung tersebut, tiba pada malam hari mereka pun keluar dari rumah dan pergi jauh.

Peristiwa tersebut dapat dijumpai dalam kutipan cerita TBM sebagai berikut :

Ibu ahmad menceritakan apa yang telah terjadi . mendengar cerita istrinya. Timbul pula marah pak ahmad. Keudian pak ahmad memanggil kedua putranya, dengan mareh yang meluap-luap tnpa usul periksa lagi, langsung pak ahmad mengusir kedua anaknya itu. Si ahmad dan muhammad langsung menangis dan bersujud di kaki ayahnya memohon ampun namun, pak ahmad tetap pada keputusannya , mengusir mereka dari rumah. Karen ayah nya tidak dapat mengampunin mereka , pada tengah malam mereka diam-diam pergi dari rumah. Mereka tidak membawa apa-apa selain pakaian.keduanya berjalan menurutkan langkah. Mereka berhenti ketika mereka merasa lelah.

4) Tahap Denoument (tahap penyelasaian cerita), peristiwa yang terdapat pada tahapan ini adalah ketika mereka berjuang


(46)

mempertahankan hidup dihutan dengan banyak kejadian-kejadian yang aneh sampai akhirnya mereka berteduh disebuah pohon yang besar. Ahmad sebagai anak tertua menyuruh adikanya tidur diatas pohon sedangkan ahmad sendiri tidur dibawah pohon menjaga sang adik.

Keesok paginya Muhammad tidak menemukan abangnya lagi hingga suatu saat mereka dipertemukan lagi menjadi disebuah istana yang didalamnya si Ahmad menjadi sang raja dan si Muhammada menjadi mentri dan mereka hidup bahagia. Peristiwa tersebut dapat dijumpai dalam kutipan cerita TBM sebagai berikut :

”pada suatu hari menjelang senja , keduanya berhenti di sebuah pohon kayu yang rimbun. Mereka sangat lelah, haus dan lapar. Berkata si ahmad kepada adiknya , muhammada, ”malam ini kita bemalam disini aja. Besok kita lanjutin lagi perjalanan, karena disini banyak jejak binatang buas, ada baiknya kau tidur diatas pohon, ikatkan badan mu pada pohon itum agar tidak terjatuh”. Kata ahmad kepada adiknya ” aku biarlah tidur dibawah ini sambil berjaga-jaga.” Si muhammad tidak membantah, ia pun terus memanjat pohon itu.

Pada suatu hari seorang raja berkata kepada perdana mentrinya .: wahai perdana mentri beta sudah tua dan selalu sakit-sakitan, penganti beta belum ada menurut adat kerajaan ini anak perempuan tidak boleh mengantikan raja. Oleh sebab itu , beta


(47)

berharap agar dipukul tabu larangan. Himpunlah rakyat sekalian, beta ingin menyampaikan sesuatu kepada mereka,” sabda baginda raja.

Tanpa usul periksa lagi, perdan mentri memukul tabu larangan. Tiada berapa lama, maka berdatanganlah rakyat negeri itu ke istana, raja melihat rakyatnya telah berkumpul, raja pun berkata,” wahai rakyat beta sekalian , beta sudah tua danselalu sakit-sakitan, beta tidak mempunyai anak laki-laki yang dapat mengantikan beta.

Pada hari itu beta bermaksud melepas seekor gajah putih untuk mencari panganti beta. Beta minta agar perdana mentri dan dua orang pembantu pergi mengikutin gajah putih. Siapa saja yang disembah oleh gajah putih nanti , maka orang itulah yang akan mengantikan beta menjadi raja di negeri ini.

Pada tengah malam sampailah gajah putih ditengah-tengah hutan begitu sampai dibawah sebatang pohon gajah putih itu merebahkan diri dan bersujud. Perdana menteri berlari mendekatin gajah itu. Terlihat oleh datuk perdana menteri seorang pemuda tertidur dibawah pohon besar tadi. Tak ayal lagi, terus diangkat pemuda yang tidur tadi dinaikan ke atas gajah dan pemuda itu masih tertidur lelap.

Sesampai disana pemuda tersebut langsung diturunkan dibalai sidang. Semua orang telah berkumpul untuk mendengar titah raja. Raja mengumumkan bahwa sejak hari itu, orang muda yang duduk bersamaannya akan ditunjuk sebagai penganti raja.


(48)

Kembali kekisah si muhammad karena dia tidak tahu bahwa abangnya dibawa orang kerajaan untuk dijadikan raja setelah seekor gajah putih bersujud dibawah abangnya dan dibawa pergi si muhammad kehilangan abangnya , ia kembali memanggil abangnya tetapi tiada mendapat sahutan , si muhammad turun kebawah dilihatnya banyak jejak binatang dan dia berfikiran abangnya dimakan binatang buas, karena dukanya ia pun berjalan menurut kaki tanpa tujuan , ia pun berhenti di bawah sebatang pohon sambil memakan tumbuh-tumbuhan.dilihatnya burung rajawali berebutan ranting kayu, keduanya saling cakar-cakaran akhirnya rantingnya jatuh kebawah dekat si muhammad.

Setelah ranting jatuh salah seekor diantara mereka berkata ,”nah, sekarang ranting itu telah jatuh . jatuhnya dekat seorang manusia pula itu” raja wali yang satu lagi berkata,”sebenarnya apa guna ranting itu bagimu. Dijawab oleh rajawali yang penasaran itu,” itulah , mana engkau tahu bahwa ranting itu tidak sama dengan ranting-ranting lain, ranting yang satu itu bertuah, ranting keramat. Ia dapat memberikan kita apa saja.

Si muhammad mendengar kan semua pembicaraan burung tersebut, maka ia pun mengammbil ranting itu , setelah ia ambil iapun menjampi ranting itu dengan seketika terhidanglah sebuah makanan. Muhammad pun menyantapnya hingga kenyang, smbil melamun dia


(49)

pun terkenang kepada abangnya dan ia pun menjampi lagi ranting kayu tersebut untuk bertemu dengan abangnya dengan ijin ALLAH maka ia pun tiba disebuah halaman istana yang besar.

Putri bungsu raja sedang bernain-main di taman larangan itu dan menemukan si muhammad dan muhammad langsung ditahan oleh orang kerjaan,disaat persidangan ia melihat abangnya bersama sang raja dan muhammad memanggil abangnya lalu ia pun menceritakan semua kejadian yang dialami oleh merka berdua hingga terpisahkan, setelah ahmad yakin bahwa pemuda yang dihadapannya itu adalah adiknya , maka ia pun turun dari tempat duduknya dan terus datang ke hadapan si muhammad seraya memeluknya. Dan mulai saat itu ahmad dan muhammad menjadi raja dan menteri dan mereka menikahi anak raja hingga mereka hidup bahagia.

2.5. Latar

Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 201:2.18). Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Pembaca, dengan demikjan, merasa dipermudah untuk "mengoperasikan" daya imajinasi-nya, di samping dimungkinkan untuk berperan serta secara


(50)

kritis sehubungan dengan pengetahuannya tentang latar. Pembaca dapat merasakan dan menilai kebenaran, ketepatan, dan aktualisasi latar yang diceritakan sehingga merasa lebih akrab. Pembaca seolah-olah merasa menemukan dalam cerita itu sesuatu yang sebenarnya menjadi bagian dirinya. Hal ini akan terjadi jika latar mampu mengangkat suasana setempat, warna lokal, lengkap dengar, perwatakannya ke dalam cerita.

Menurut Nurgiyantoro (2001:227) unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mernpengaruhi satu dengan yang iainnya. Ketiga unsur latar tersebut secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut:

(1) Latar tempat, latar ini menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan daiam sebuah karya sastra. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Tempat-tempat yang bernama a'dalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata, misainya pantai, hutan, desa, kota, kamar, ruangan, dan lain-lain.

(2) Latar waktu, latar ini berhubungan dengan masalah •'kapan" terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra. Masalah "kapan" tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.


(51)

Pengetahuan dan persepsi pembaca terhadap waktu sejarah itu kemudian dipergunakan untuk mencoba masuk ke dalam suasana cerita. Pembaca berusaha memahami dan menikmati cerita berdasarkan acuan waktu yang diketahuinya yang berasal dart luar cerita yang bersangkutan. Adanya persamaan perkembangan dan atau kesejalanan waktu tersebut juga dimanfaatkan untuk mengesani pembaca seolah-olah cerita itu sebagai sungguh-sungguh ada dan terjadi,

(3) Latar sosial, latar ini menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya sastra. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat-istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikiran bersikap, dan lain-lain.

2.6. Watak dan Perwatakan

Dalam pembicaraan sebuah karya sastra, sering dipergunakan istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama, Istilah-istilah tersebut, sebenarnya, tidak menyaran pada pengertian yang persis sama, walau ada di antaranya yang sinonim. Ada


(52)

istilah yang pengertiannya menyaran pada tokoh cerita, dan pada,"teknik" pengembangannya dalam sebuah cerita.

Istilah "tokoh" menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, misalnya sebagai jawab terhadap pertanyaan: "Siapakah tokoh utama cerita rakyat itu?", atau "Ada berapa prang juinlah pelaku dalam cerita rakyat itu?", atau "Siapakah tokoh protagonis dan antagonis dalam cerita itu?", dan sebagainya. Watak, perwatakan, dan karakter, menunjuk para sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kuatitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan karakterisasi, karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan, menunjuk pada penempatan tokoh-tckoh tertentu dengan watak tertentu dalam sebuah cerita. Atau seperti dikatakan oleh Jones dalam (Nurgiyantoro, 1999:165), penokohan adalah pelukisan gambaran yang jeias tentang seorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.

Penggunaan istilah "karakater" (character) sendiri dalam berbagai literatur bahasa Inggris menyaran pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yagn ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut (Stanton dalam Nurgiyantoro, 1999:165). Dengan demikian, character dapat berarti 'pelaku cerita' dan dapat pula berarti 'perwatakan'. Antara seorang tokoh dengan perwatakan yang dimilikinya, memang, merupakan suatu kepaduan yang utuh. Penyebutan nama tokoh tertentu, tidak jarang,


(53)

langsung mengisyaratkan kepada kita perwatakan yang dimilikinya. Hal itu terjadi terutama pada tokoh-tokoh cerita yang telah menjadi milik masyarakat, seperti Sampuraga dengan sifat-sifatjahatnya, dan lain-lain.

Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah karya sastra dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan. Berdasarkan perbedaan sudut pandang dan tinjauan, seorang tokoh dapat saja dikategorikan ke dalam beberapa jenis penamaan sekaligus, misalnya sebagai tokoh utama-protagonis-berkembang-tipikal. Adapun jenis-jenis tokoh cerita tersebut adalah:

a. Tokoh utama dan tokoh tambahan

Membaca sebuah karya sastra, kita akan dihadapkan pada sejumlah tokoh yang dihadirkan dj dalamnya, Namun, dalam kajtannya dengan keseluruhan cerita, peranan masing-masing tokoh tersebut tidak sama.

Dilihat dari segi peranan dan tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah .cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita, dan sebaliknya, ada tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek. Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama (central


(54)

character, main character), sedang yang kedua adalah tokoh tambahan (peripheral character).

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya daiam sebuah cerita yang bersangkutan. la merupakan tokoh yang paling banyak dicerita, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Bahkan pada cerita rakyat tertentu, tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat ditemui dalam tiap hataman buku cerita yang bersangkutan.

b. Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis

Jika dilihat dari peran tokoh-tokoh dalam pengembangan plot dapat dibedakan acia.nya tokoh utama dan tokoh tambahan, dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Membaca sebuah karya sastra, pembaca, sering mengidentifikasikan diri dengan tokoh tertentu, memberikan simpati, dan simpati melibatkan diri secara emosional terhadap tokoh tersebut. Tokoh yang disikapi demikian oleh pembaca disebut sebagai tokoh protagonis. (Alterbend dan Lewis dalam Nurgiyantoro, 1999:178). Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita. Tokoh .protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan kita, harapan-harapan kita, sebagai pembaca. Maka kita sering mengenalinya sebagai memiliki kesamaan dengan kita, permasalahan


(55)

yang dihadapinya seolah-olah juga sebagai permasalahan kita, demikian pula halnya dalam menyikapinya. Demikian pula sebaliknya, tokoh antagonis, adalah tokoh yang menampilkan sesuatu yang tidak sesuai dengan pandangan kita, tidak sesuai dengan norma-norma, dan nilai-nilai yang tidak ideal bagi kita.

c. Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat

Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh sedehana (simple atau flat character) dan tokoh kompleks atau tokoh bulat (complex atau round character).

Tokoh sederhana, dalam bentuknya yang asli adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja. Sebagai seorang tokoh manusia, ia tidak diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, la tidak memijiki sifat dan tingkah laku yang dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca. Sifat dan tingkah laku seorang tokoh sederhana bersifat datar, monoton, hanya mencerminkan satu watak tertentu.

Tokoh bulat atau kompleks adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadiannya, dan jati dirinya. la dapat saja memiliki watak tertentu yang dapat diformulasikan, namun ia pun dapat pula menampilkan watak dan tingkah laku bermacam-macam. Bahkan mungkin seperti bertentangan


(56)

dan sulit diduga. Oleh karena itu, perwatakannya pun pada umumnya sulit dideskripsikan secara tepat.

1. watak atau tokoh cerita

Tokoh utama dalam cerita TBM ini adalah Ahmad dan Muhammmad yang mempunyai burung merbuk yang bertuah. Sedangkan tokoh tambahan dalam cerita rakyat TBM adalah uwak pawang burung merbuk dan seorang raja yang mencari pengentinya dan jodoh bagi anak-anaknya.

2. perwatakan dan penokohan

Tokoh cerita dan perwatakannya dalam TBM adalah:

• Ahmad memiliki perwatakan yang tegas,bertanggung jawab, arif, pemberani serta sangat menyayangi keluarga

• Muhammad memiliki perwatakan yang patuh kepada orang tua dan abangnya , rajin dan ramah kepada siapa saja.

• Raja yang sudah tua memiliki watak yang arif dan bijaksana.

Uwak pawang burung merbuk memiliki sifat yang baik akan tetapi mempunyai pemikiran ingin menguasai apa yang dia inginkan pada saat itu juga.


(57)

BAB III

TINJAUAN SOSIOLOGIS TERHADAP CERITA RAKYAT TUAH BURUNG MERBUK PADA MASYARAKAT MELAYU SERDANG

3.1. Patuh Kepada Nasihat

Patuh adalah sifat seseorang yang tidak mau menyangkal atau membantah tentang apa yang dikatakan atau diinginkan orang lain. Patuh juga dapat diartikan bertekad baik, tidak sembrono kepada orang lain.

Untuk lebih jelas mengenai pengertian patuh kepada nasihat, penulis menurunkan pendapat Poerwadarminta yang memaparkan bahwa "Patuh adalah suka menurut (perintah dan sebagainya); taat (kepada perintah, aturan dan sebagainya); berdisiplin.". Adapun "Nasihat adalah ajaran atau pelajaran baik, anjuran, petunjuk, peringatan, teguran yang baik, ibarat yang terkandung dalam suatu cerita dan sebagainya."

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sifat patuh kepada nasihat adalah seseorang yang mematuhi ajaran atau teguran yang baik kepada orang lain yang ada didalam suatu cerita.

Sifat patuh Kepada nasihat ini merupakan sifat utama dari masyarakat Melayu dimana pun ia berada dan dalam kondisi apapun. Patuh bagi masyarakat Melayu merupakan pengejawantahan dari sifat menghormati kepada orang yang lebih tua atau lebih punya kuasa. Bahkan sikap patuh pada masyarakat Melayu juga merupakan wujud dari ajaran yang mereka


(58)

anut yaitu Islam. Dalam Islam sikap patuh kepada orang tua atau orang yang lebih tua bersifat wajib. Hal ini sesuai dengan pendapat Husny (1975:105) bahwa masyarakat Melayu adalah masyarakat yang patuh kepada agama, orang. tua, dan adat istiadat Terutama kepada agama, patuh kepada ajaran agama adalah kewajiban yang memang harus ditunaikan tanpa harus ada pertanyaan atau pelanggaran. Bahkan adat sendiri pun harus tunduk dan patuh kepada ketentuan agama seperti pepatah yang mengatakan: adat bersendikan sarak, sarak bersendikan kitabullah. Artinya bahwa setiap tindakan manusia Melayu harus bersandar kepada syariat Islam dan syariat (Islam itu sendiri harus bersandar kepada Kitabullah atau Al Quran. Sikap orang Melayu memang harus sesuai dengan petunjuk agama Islam karena bagi masyarakat Melayu secara umum ada anggapan bahwa Melayu itu identik dengan Islam, kalau tidak lelarn maka tidak disebut ora.ng Melayu walaupun ia berasal dari suku Melayu tetapi bila ia tidak Islam maka ia tidak dapat disebut sebagai orang Melayu.

Pada sisi lain, patuh kepada orang tua, adat, atau orang yang iebjh dituakan, bahkan istri. Kepatuhan dapat saja diberlakukan asalkan apa yang diperintahkan tersebut memiliki kebenaran. Artinya bahwa dapat saja kita tidak patuh kepada orang tua, adat, atau orang yang lebih tua bahkan istri bila apa yang mereka minta atau suruh tidak sesuai dengan ajaran agama atau nilai-nilai kebenaran universal maka tidak wajib seseorang itu untuk


(59)

rnelaksanakannya. Sebaliknya, apabila apa yang diminta, diperintahkan, dan dianjurkan itu benar adanya maka wajib kita mematuhinya.

3.2. Kemauan Keras

Keras berarti kokoh dan kuat, tidak mempunyai sifat mudah menyerah dan menyesal selalu ulet dan tekun.

Untuk lebih jelas mengenai pengertian kemauan keras, penulis mengutip pendapat Poerwadarminta yang mengatakan bahwa "Keras adalah padat, kuat dan tidak mudah berubah bentuknya atau tak mudah pecah." (1986:492). Adapun "Mau adalah sungguh-sungguh suka hendak berbuat sesuatu atau suka akan sesuatu, hendak, akan, kehendak, maksud” (1947:246)

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sifat kemauan keras adalah sifat manusia yang tidak mudah menyerah dan menyesal atas sesuatu kehendaknya.

Pada masyarakat Melayu umumnya memiliki keinginan yang kuat untuk mencapai sukses adalah hal yang harus dimiiiki dalam setiap individu Melayu. Segala keinginan memang harus dilandasi oleh kemauan yang keras dan usaha yang tidak kenal lelah. Kemauan yang keraslah yang memacu manusia untuk dapat menggapai apa yang dicita-citakannya, tanpa kemauan


(60)

yang keras maka manusia akan menjadi hampa, tidak bersemangat, dan tidak mempunyai tujuan hidup yang pasti.

Kemauan yang keras timbul karena adanya semangat dalam diri yang memicu jiwa agar dapat mencapai segala keinginan. Semangat pula yang menjadikan hidup manusia lebih bergairah dan berwarna. Gairah yang memancing keinginan manusia timbul dan berkembang sehingga menstimulan diri untuk bersaing dan hidup di tengah-tengah manusia lainnya.

Pada masyarakat Melayu umumnya, semangat merupakan hal yang sangat penting dan paling utama. Menurut Osman (1989:35) semangat mempunyai arti penting dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Melayu. la merupakan daya hidup yang mengendalikan keberadaan seseorang karena itu pula semangat dipuja dan dipuji oleh masyarakat Melayu. Lebih jauh Osman mengatakan bila semangat telah tidak ada dalam diri maka terpaksa seseorang itu dipanggilkan bomoh untuk memanggil semangatnya lagi agar ia dapat hidup dan berjuang dalam kehiciupannya sehari-hari.

Begitu pentingnya kehadiran semangat dalam diri masyarakat Melayu karena masyarakat Melayu sangat percaya bahwa tanpa ada semangat maka tidak akan ada pula keinginan atau kemauan keras. Tanpa ada kemauan yang keras maka tidak akan ada pula cita-cita atau kedudukan yang diingin.kan yang dapat mempertahankan kelangsungan hidup seseorang. Senada dengan apa yang disampaikan oleh Husny (1978:156)


(61)

bahwa orang melayu selalu mempunyai kemauan yang keras dalam hidupnya bila hendak sukses dalam hidupnya.

Lebih lanjut Husny mengatakan bahwa kemauan keras ini sesuai dengan perintah agama Islam karena Islam tidak suka dengan orang pemalas dan tidak punya cita-cita, seperti yang dikatakan dalam Al Quran bahwa Allah tidak mengubah nasib seseorang atau suatu kaum bila seseorang atau suatu kaum itu tidak mau mengubah dirinya sendiri. Hal ini didasarkan juga pada firman Allah yang menyatakan bahwa Islam tidak menganjurkan umrnatnya untuk miskin karena miskin selalu dekat dengan kekufuran atau kejahatan. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa masyarakat Melayu yang rnenyandarkan hidupnya dengan Al Quran senantiasa berusaha untuk maju dan memajukan dirinya dalam pertarungan hidup di dunia nyata dengan tetap berjalan di jalan yang diridlai oleh Allah SWT. Intinya adalah kemauan keras itu dapat saja, dibenarkan apabila diiringi dengan usaha yang halal tanpa merugikan orang lain karena kemauan yang keras untuk menggapai sesuatu itu dapat saja membuat orang lupa diri sehingga melakukan hal-hal yang merugikan orang lain.

Sehubungan dengan hal di atas maka nilai yang menonjol dalam cerita rakyat TBM adalah kemauan keras. Tinjauan ini dapat diketahui dari sikap Ahmad dan Muhammad yang tidak mau menjual burung kesayanngan mereka hingga mereka sampai diusir orang tuanya dan mampu bertahan hidup hingga jalan membawa mereka pada satu kemakmuran.


(62)

Kutipan dari cerita yang menyiratkan agar kemauan kerasnya untuk tidak menjual burung kesayangannya hingga membawa mereka kepada satu kemakmuran itu adalah sebagai berikut:

”Seperti kalian lihat disini ada tamu kita . mungkin uwak ini telah bertanya kepada kalian berdua tentang burung merbuk itu. Walaupun begitu ada bnaiknya ayah jelaskan lagi, tadi ayah dan uwak ini sudah berincang-bincang , adapun maksud tujuan uwak ini datang adalah ingin membeli burung merbuk kalian , apakagh kalian mau menjualnya?”

Pertanyaan ayahnya dijawab keduanya ,” maafkan kami ayah. Kami tidak bermaksud menjual burung itu. Berapa pun akan dibayar oleh uwak pawang burung ini , tidak menarik hati kami karena burung ini kawan bermain kami, dan tak sampai hati kami berpisah dengannya”.

3.3. Bekerja Keras

Keras berarti kokoh dan kuat, tidak mempunyai sifat mudah menyerah dan menyesal selalu ulet dan tekun.

Untuk lebih jelas mengenai pengertian patuh kepada nasihat, penulis menurunkan pendapat Poerwadarminta mengatakan "Keras adalah padat, kuat dan tidak mudah berubah bentuknya atau tak mudah pecah." (1996:492). Sedangkan "Kerja adalah perbuatan melakukan sesuatu: sesuatu yang diperbuat atau dilakukan." (1996:487).


(63)

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sifat rajin bekerja/kerja keras adalah sifat manusia yang mengerjakannya dengan menerapkan disiplin yang baik.

Bekerja keras merupakan kodrat manusia untuk bisa memperbaiki taraf hidupnya karena dengan bekerja keras manusia dapat mewujudkan semua keinginan yang ada dalam dirinya. Sehubungan dengan itu, masyarakat Melayu merupakan tipe masyarakat yang bekerja keras walaupun pada saat kedatangan kolonial Belanda terdapat mitos bahwa masyarakat Melayu termasuk ke dalam tipe masyarakat pemalas, Alatas (1998:65) mengatakan bahwa masyarakat Melayu bukanlah masyarakat pemalas seperti yang disampaikan oleh kolonial Belanda. Masyarakat Melayu yang memiliki lahan tanah luas di Deli tidak mau bekerja sama dengan Belanda untuk mengembangkan perkebunan tembakau di tanah Deli. Bahkan mereka tidak mau bekerja pada pengusaha Belanda walaupun mereka diberi bayaran tinggi. Oleh karena itu, Beianda menyebut mereka sebagai masyarakat yang pemalas karena mereka tidak mau bekerja sama dengan pemerintah Belanda.

Masyarakat Melayu bila menginginkan sesuatu yang diinginkannya akan sangat bekerja keras sampai keinginannya tersebut tercapai. Sifat pekerja keras ini merupakan pengejawantahan dari adat-istiadat Melayu itu sendiri yang menasihati manusia untuk bekerja keras dalam hidup supaya hidup lebih berarti dan lebih terpandang.


(64)

Sehubungan dengan hal di atas maka tinjauan terhadap cerita rakyat TBM adalah rajin bekerja/kerja keras, tidak mudah menyerah. Nilai ini dapat diketahui dari sikap Ahmad dan Muhammad yang tidak mudah menyerah hidup didalam hutan tanpa orang tua dan mereka dituntut untuk mandiri dan berkerja keras untuk kelangsungan hidup mereka.

3.4. Sifat jahat

Orang yang bersifat jahat adalah orang yang berkepribadian buruk, selalu membuat keonaran dan keresahan dalam masyarakat. Sifat sombong, iri, dan dengki merupakan sifat jahat yang terdapat dalam hati manusia, yang selau mengangap dirinya paling hebat, mempunyai kelebihan dari orang lain, misalnya lebih dalam ilmu pengetahuanya, kekayaannya, kecantikannya, dasebagainya. Perasaan lebih baik dari orang lain ini akan kelihatan dalam sikap dan tindak tanduk sehari-hari serta penampilanya di tangah-tengahkehidupan bermasyarkat. Imam Syafi’l dan Muhammad Afif Az-Za’by (1992 : 64) mengatakan.“ aku banyak mengenal orang, tetapi aku tidak pernah merasa dengki kepada mereka. Itulah sebabnya mereka sayang kepadaku. Bagaimana mungkin seseorang akan berlemah lembut kepada seorang pedengki, bila pedengki itu tidak menghendaki sesuatupun selain hilangnya nikmat dari orang tersebut.“


(65)

Sifat jahat amatlah tercela, baik di sisi Allah maupun dimata manusia dan akan membawa kerugian dan bahaya besar. Orang yang memiliki sifat sombong contohnya, pasti tidak memiliki rasa rendah hati. Orang yang jahat selalu berada dalam kedengkian dan dusta serta tidak mampu menahan hawa nafsunya, juga tidak mungkin memberikan nasihat baik kepada orang lain kesukaannya adalah menghina dan mencemoohkan, terlebih terhadap orang yang di anggap saingannya. Orang bersifat jahat akhirnya akan tersesat karna dia meniru jalan setan sifat jahat tercermin pada petikan cerita berikut:

Dalam perjalanan pulang kerumah, timbul bermacam-macam angan yang tinggi dipikiran uwak pawang burung merbuk. Dalam hati berkata,” alangkah bahagianya kalau aku dapat menjadi raja yang perkasa dan aku dapat menyunting seorang putri yang cantik jelita untuk kujadikan permaisuriku. Oh, merbuk bertuah bagaimanapun kau harus kumiliki.

Islam melarang manusia untuk bersifat jahat pada orang lain, dan Allah tidak menyukainya. Allah menegaskan bahwa nerakalah tempatnya bagi orang-orang yang berhati jahat, sebagai mana firamannya dalam surah Al-Mukmin ayat 60, yang artinya,”Dan Tuhan mu berfirman: “Berdoalah kepada ku, niscaya akan ku perkenankan bagimu. Sesuangguhnya


(66)

orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembahku akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dina “.

Berbahagialah orang-orang yang berahlak mulia dan berbudi pekerti baik, karena akan mendapat kemulian baik didunia maupun di akhirat, dan celakalah orang-orang berahlak jahat dan buruk, seperti dalam firman Allah surat Al-Infithaan ayat 13-14 yang artinya,

“Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan. Dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka”.

3.5. Menggunakan Akal Pikiran

Sejak kecil seorang Ibu akan senantiasa menjaga dan merawat anaknya dengan makanan yang bergizi cukup agar kelak anaknya menjadi pintar dan cerdas. Disekolah si anak diajari berbagai hal yang menyangkut kehidupan dimasyarakat. Dari jenjang pendidikan yang paling rendah sampai kepada jenjang pendidikan tinggi terus diajari dan di bekali berbagai macam ilmu yang nantinya akan berguna bagi masa depan. Imama Syafi’I dalam Muhammad Afif Az_Za’by (1992:37)mengatakan,

“Taakan kau dapatkan ilmu, kecuali dengan enam hal yang akan aku sebutkan berikut ini : kecerdasan, semangat keras, rajin dan ulet, dan ada biaya yang cukup, serta bersahabat dengana guru dan waktu yang lama. Ketahuilah olehmu ketika kamu terombang-ambing di


(67)

tengah lautan maka hanya dengan Ilmu dan kecerdasanmu dirimu dapat selamat sampai ketepi”.

Kewajiban manusia adalah menuntut ilmu agar menjadi pintar dan cerdas, dan dengan kepintaran dan kecerdasan itu manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana buruk. Dalam Al-Qur’an surah iqra’ 1-5 Allah telah berfirman,

“bacalah dengan nama (Tuhanmu) yang menciptakan. Dia telah menciptaklan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yagn tidak di ketahuinya”.

Dari ayat di atas Allah telah menegaskan perlunya manusia untuk membaca, agar dapat menjadi manusia yang pintar dan cerdas. Kepintaran adalah sesuatu hal yang mutlak harus di miliki bagi diri siapa saja, karena apabila diri kita bodoh maka akan menjadi permainan orang lain. Seperti kata pepatah orang bodoh adalah santapan bagi orang pintar.

Kepintaran dapat memberikan jalan kepada manusia apa yang harus dilakukannya agar maksud dan tujuannya dapat tercapai. Penggunaan akal pikiran ini dapat menyelamatkan kita dari kesulitan- kesulitan yang kita hadapi.


(68)

Dengan kepintaran yang dimiliki seseorang dapat menyelamatkan dirinya dari bahaya yang mengancam, akibat tindakan sewenang-wenang dari orang yang memiliki kekuasaan.Kepintaran merupakan sebuah senjata yang tidak tampak dan tiada pula tajam, namun dengan kepintaran apa yang dianggap mustahil akan mejandi mungkin dan dapat dikerjakan.

Semua orang harus pintar untuk hidup, karena hidup ini akan banyak yang akan dilakukan dan banyak pula ragam prilaku manusia.Bila dahulu kancil dengan kepintarannya dapat menyelamatkan diri dari santapan buaya, maka manusia juga dengan kepintarannya dapat menyelamatkan dirinya dari santapan manusia lainnya pada saat sekarang dan masa yang akan datang.

3.6. Percaya Kepada Kekuasaan Tuhan

Mempercayai Allah adalah suatu hal yang mutlak bagi manusia di muka bumi ini.Allah bersifat gaib, namun kebesaran dan keagunganNya dapat kita lihat dan rasakan.Kekuasaan Allah meliputi langit dan bumi dan apa saja yang terkandung di dalamnya. Kekuasaan Allah tidak ada batasnya, segala sesuatu yang dikehendakiNya terjadi maka hal itu akan terjadi.Dengan kekuasaannya, Allah ciptkan manusia sebagai khalifah atau pemimpin serta dijadikannya bumi sebagai tempat tinggal manusia. Firman Allah dalam surah Yassin ayat 33 – 35 yang artinya:


(1)

Dari petikan cerita di atas memberikan gambaran bahwa seorang pemimpin haruslah memiliki sifat yang arif dan memikirkan kesulitan rakyanya. Raja atau penguasa selalu memberikan kemudahan bila rakyatnya mengalami kesulitan. Raja harus mampu megarahkan rakyatnya untuk memilih jalan yang terbaik bagi mereka. Hasil yang di peroleh dari rakyat dengan bekerja keras harus rakyat juga yang menikmatinya. Raja ataupun penguasa yang baik akan di cintai rakyatnya, sedangkan raja atau penguasa yang jahat akan mengalami kehancuran karena di benci rakyatnya.


(2)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan yang terdapat pada bab-bab sebelumnya maka dapat di tarik kesimpulan dari pembahasan terhadap cerita Tuah Burung Merbuk ( TBM ) sebagai berikut :

1. Tema dari cerita TBM adalah kesabaran dan perjuangan yang tidak kenal lelah akan membuahkan kebahagiaan.

2. Alur dari cerita TBM adalah alur maju (Progresif) dan dalm alur cerita tidak dapat alur mundur (flashback).

3. Watak dan perwatakan dalam cerita TBM terdiri atas watak utama dan watak sampingan; Sedangkan perwatakan para tokoh adalah datar (flat) artinya tidak terapat perubahan watak para tokoh dari awal sampai akhir.

4. Latar dalam cerita TBM terdiri atas tiga yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial yang kesemua latar tersebut kebanyakan terjadi di lingkungan hutan dan istana.

5. Tinjauannya

a. Patuh kepada nasihat b. Kemauan keras


(3)

d. Sifat-sifat jahat

e. Menggunakan akal pikiran

f. Percaya kepada kekuasaan Tuhan g. Kasih sayang saudara kandung h. Menjadi pemimpi yang baik

4.2 Saran

Berdasarkan hasil analisis terhadap cerita Tuah Burung Merbuk maka dalam hal ini dapat diberikan saran sebagai berikut:

1. Dalam cerita-cerita rakyat banyak terdapat Tinjauan Sosiologis yang dapat dijadikan alat pembersihan jiwa para pembacanya.

2. Pelestarian dan penginvetarisasian cerita rakyat yang kini mulai surut hendaknya dibangkitkan kembali untuk menjaga nilai-nilai budaya kita 3. Adanya perhatian orang tua untuk tetap memperkenalkan cerita-cerita

rakyat yag bersifat mendidik kepada anak-anaknya sehingga cerita rakyat tetap dikenal oleh setiap lapisan masyarakat.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abiding, Gaffar, dkk. 1990. Struktur Sastra Lisan Musi. Jakarta: Depdikbud RI.

Alatas Ali. 1998. Mitos Pribumi Malas. Jakarta. LP3ES

Aminuddin. 1990. Sekitar Ilmu Sastra. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh. Damono Sapardi Djoko. 1999. Sosiologi Sastra. Jakatra. Pusat Pembinaan

dan Pengenbangan Bahasa.

Djamaris, Edwar. 2000. Menggali Khasanah Sastra Melayu Klasik. Jakarta : Balai Pustaka

Hamka . 1997. Pelajaran Agama Islam. Jakarta : Bulan Bintang.

Hartoko, Dock dan B.Rahmanto. 1996. Pemandu Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

H.T.Faruq. 1995 Penghantar sosologis sastra : dari Strukrurlisme Genetik Sampai Post-Modernisasi Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Husny, T. Lah. 1978. Sejarah Lintas Budaya pesisir Melayu Sumatra timur. Medan: BP Husny.

Junus, Umar. 1993 . Dari Pristiwa Imajinasi. Jakarta. Gramedia.

Mangunwijoyo. Burhan. 1992. sastra dan Relegiositas. Jakarta : Pustaka Jaya.


(5)

Nurgianto, Burhan. 2001. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gadjah mada University Press.

Osman Taib, Mohd. 1976. Panduan Pengumpulan Tradisi Lisan Malaysia, Kuala Lumpur: Malindo Perinters Sdn, Bhd.

Poerwadarnaminta, W.J.S.1997. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta.: Balai Pustaka.

Pusat Pembinaan Bahasa. 1998. Kamus besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.

Pudentia Dananjaya. 1998. Metodologi Kajian Tradisi Lisan, Jakarta : Yayasan Indonesia Dan Asosiasi Tradisi Lisan.

Rene Wellek dan Austin Warren. Teori Kesusatraan. Di Indonesiakan Oleh Budianta.Yogyakarta. Yogyakarta University Press.

Ridla Rasyid Muhammad . 1997. Wahyu illahi Kepada Muhammad. Diterjemahkan oleh Josef C.D. Jakarta : Pustaka Jaya.

Sabiq , Sayid. 2003. Aqidah Islam Pola Hidup Manusia Beriman. Terjemahan Moh. Abdai Rathaomy. Bandung : CV. Diponegoro.

Sumardjo, Jakob san Saini KM. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Gramedia. Jakarta.

Semi, Atar. 1981. Kritik Sastra. Bandung : Angkasa Bandung.

Semi, Atar. 1989. Metode Penelitian sastra. Bandung : Angkasa Bandung Teew, A 1983. Membaca Dan Menulis Sastra. Jakarta : Gramedia.


(6)

1989. Sastra dan Ilmu Sastra, Penghantar Teori Sastra. Jakarta : Gramedia.