BAB IV

(1)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Gampong Tanjoeng Beurunyong 4.1.1. Sejarah dan Asal Usul Gampong Tanjong Beurunyong

Nama Paya Bakong berasal dari dua suku kata yaitu Paya dan Bakong, Paya dalam bahasa Aceh yang berarti alue (anak sungai) sedangkan Bakong

artinya bakoeng (tembakau), apabila digabungkan maka kedua suku kata tersebut mempunyai makna anak sungai yang ditumbuhi tembakau. Paya Bakong sebelum masa konflik Belanda dan Jepang sudah ada, pada waktu itu merupakan sebuah Desa yang berada dalam Kecamatan Matang Kuli, pada tahun 2002 Kecamatan Matang Kuli terbagi menjadi dua Kecamatan yaitu, Pertama Kecamatan Paya Bakong dan kedua Kecamatan Pirak Timu. Sejak terbentuk pada tahun 2002 Kecamatan Paya Bakong sudah memiliki 5 orang camat. Untuk lebih jelas mengenai nama camat dari tahun-ketahun bisa melihat pada tebel 4.1.1 di bawah ini yaitu:

Tabel : 4.1.1

Nama-nama Camat Paya Bakong N

o Nama Camat

Masa Tugas (Periode)

1 Drs Safwansyah 2002 – 2005

2 Ir. H Mursyid, Ab. MP, 2005 – 2007

3 Drs. M Nurdin 2007 – 2014

4 T Nadirsyah, S.Sos 2014 – 2016

5 Drs. M Yusuf 2016 – sekarang

Sumber: Koordinator Statistik Kecamatan Paya Bakong.

Dahulu kala Paya Bakong merupakan hamparan anak sungai yang ditumbuhi tembakau yang luas dikarenakan terletak dikawasan hutan, sehingga


(2)

masyarakat pada saat itu menamakan Paya Bakong. Proses perkembangan Paya Bakong menjadi Kecamatan Paya Bakong sejak ditempati oleh beberapa pendatang yang menyandarkan hidupnya untuk bertani/berkebun hingga menjadi sebuah pemukiman yang membutuhkan waktu cukup lama. Kecamatan Paya Bakong memiliki potensi yang sangat besar sebagai sentra di bidang pertanian yang penting di Kabupaten Aceh Utara. Masyarakat Paya Bakong merupakan masyarakat yang menyandarkan hidupnya pada usaha pertanian dan kegiatan pengolahan hasil sampai pemasaran serta distribusi hasil pertanian seperti padi.

4.1.2. Kondisi Geografis, Demografis, dan Topografis 4.1.2.1. Kondisi Geografis

Paya Bakong merupakan salah satu Kecamatan yang berada dalam wilayah Kabupaten Aceh Utara. Pemerintahan Ibukota Kecamatan Paya Bakong terletak di Desa Keude Paya Bakong yang berjarak 18.5 km dari Ibukota Kabupaten Aceh Utara. Pemerintahan Desa masing-masing dipimpin oleh Kepala Desa atau Geuchik yang bertanggung jawab kepada Camat. Untuk membantu kegiatan administrasi di Desa maka Kepala Desa dibantu oleh Sekretaris Desa dan Kepala Dusun. Secara geografis Kecamatan Paya Bakong memiliki batas wilayah Kecamatan sebagai berikut:

 Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Meurah Mulia, Kecamatan Tanah Luas, Kecamatan Matang Kuli, dan Kecamatan Cot Girek.

 Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bener Meriah, dan Kecamatan Cot Girek.


(3)

 Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Meurah Mulia, Tanah Luas, dan Kabupaten Bener Meriah.

 Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Matang Kuli, Cot Girek, dan Kabupaten Bener Meriah.

4.1.2.2. Kondisi Demografis

Kecamatan Paya Bakong memiliki luas wilayah sebesar 418.32 km²/41832 Ha atau 12.69 persen dari total luas Kabupaten Aceh Utara, yang terdiri dari 39 (tiga puluh sembilan) Desa / Gampong dan 117 dusun, rata-rata per Desa memiliki 3 dusun, dengan 4 kemukiman.1 Untuk lebih jelas mengenai

jumlah Desa, jumlah penduduk menurut jenis kelamin dan jumlah rumah tangga bisa di lihat pada tabel 4.1.2.2. berikut ini:

Tabel : 4.1.2.2.

Data Jumlah Kelurahan/Desa, Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Jumlah Rumah Tangga di Kecamatan Paya Bakong

N

o Nama Desa

Jumlah Penduduk Laki-laki Perempuan Jumlah

Jumlah Rumah Tangga

1 Alue Being 275 272 547 130

2 Asan Seuleumak 165 160 325 78

3 Alue Leukot 93 83 176 40

4 Alue Lhok 162 170 332 77

5 Blang Dalam 135 145 280 62

6 Blang Gunci 209 220 429 95

7 Blang Ara 156 148 304 64

8 Blang Mane 121 125 246 58

9 Blang Paku 116 129 245 60

1Pertama Kemukiman Tgk Chik Paya Bakong, meliputi: Desa Tanjong Beureunyong, Keude Pya Bakong, Cempeudak, Matang Panyang, Blang Gunci, Nga, Mampree, Blang paku, Blang Dalam dan Leuhong. Kedua Kemukiman Pante Bahagia, meliputi: Desa Blang Pante, Alue Bieng, Peureupok, Tanjong Drien, Cot Tufah, Asan seuleumak, Tgk Dibanda tek-tek, Keubon Pirak, Blang ara, Blang Pante, Leuhong, Alue Leuket dan pucoek Alue Seuleumak. Ketiga Kemukiman Seuleumak, meliputi: Desa Simpang, Geureughek, Meria Seuleumak, Menye Seuleumak, Jok, Tunong Krueng dan Tumpok Mesjid. Keempat kemukiman Pirak Tunong, meliputi Desa Tgk Dibanda Pirak, Glumpang Pirak, Pante Seuleumak, Blang Sialet, Alue Lhok, Seuneubok Aceh, Buket Pidie, Buket Guru, dan Paya Mudru.


(4)

10 Blang Pante 445 462 907 262

11 Blang Sialet 158 162 320 75

12 Buket Guru 248 260 508 115

13 Buket Pidie 72 78 150 36

14 Ceumpeudak 178 165 343 85

15 Cot Tufah 148 154 302 80

16 Geulumpang Pirak 98 110 206 48

17 Geureughek 194 196 390 105

18 Jok 87 102 189 44

19 Keubon Pirak 98 80 178 50

20 Keude Paya Bakong 360 313 673 144

21 Leuhong 206 215 421 104

22 Lueng 244 235 479 143

23 Mampree 112 115 227 58

24 Matang Panyang 284 290 574 155

25 Meunye Seuleumak 158 163 321 82

26 Meuria Seuleumak 144 159 303 64

27 Nga 285 291 576 135

28 Pante Seuleumak 76 79 155 40

29 Paya Meudru 149 154 303 72

30 Peureupok 346 350 696 150

31 Pucok Alue Seuleumak 165 173 338 80

32 Seuneubok Aceh 118 125 243 62

33 Simpang 128 135 263 58

34 Tanjong Beurunyong 145 135 280 66

35 Tanjong Drien 131 134 265 65

36 Teungku Dibanda Pirak 99 111 210 49

37 Teungku Dibanda

Tek-tek 197 211 408 89

38 Tumpok Mesjid 95 100 195 42

39 Tunong Krueng 155 150 305 74

Jumlah 6.755 6.859 13.614 3.296

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Utara Dalam Angka 2015.

Kecamatan Paya Bakong memiliki jumlah penduduk 13.614 jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki 6.755 dan penduduk perempuan sebanyak 6.859. dengan luas wilayah 418.32 km² Kecamatan Paya Bakong memiliki 3.296 Rumah Tangga (RT), rata-rata penduduk per rumah tangga yait 4 orang, artinya dalam setiap rumah 1 rumah tangga rata-rata dihuni oleh 4 jiwa. Berikut data jumlah


(5)

penduduk Kecamatan Paya Bakong yang dirincikan menurut tingkat usia dalam tabel 4.3 berikut ini :

Tabel : 4.1.2.2.1.

Jumlah Penduduk Kecamatan Paya Bakong Menurut Kelompok Umur

No Usia Jumlah Penduduk

1 0-4 1.699

2 5-9 1.682

3 10-14 1.592

4 15-19 1.520

5 20-24 1.320

6 25-29 1.291

8 30-34 914

9 35-39 889

10 40-44 659

11 45-49 587

12 50-54 496

13 55-59 294

14 60-64 228

15 65-69 182

16 70-74 133

17 75+ 128

Jumlah 13.614

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Utara Dalam Angka 2015.

Dengan memperhatikan tabel diatas dapat diketahui bahwa jumlah remaja (0 th - 29 th) lebih besar dibandingkan jumlah orang dewas (30 th- 75+ th).

Kepadatan penduduk menunjukkan persebaran penduduk di suatu daerah tertentu, kepadatan penduduk merupakan jumlah penduduk di bagi luas wilayah. Pada tahun 2014 kepadatan penduduk Kecamatan Paya Bakong hanya 30.84 orang per KM². Hal ini disebabkan karena Kecamatan Paya Bakong memiliki Hutan Negara yang sangat luas.

Dari uraian diatas dapat terlihat perempuan lebih banyak dari pada laki-laki, disamping itu pesebaran penduduk tiap dusun tidaklah merata. Hal tersebut disebabkan karena beberapa faktor diantaranya sarana tranfortasi, kebutuhan pusat


(6)

perbelanjaan seperti pasar tradisional, sarana air bersih dan beberapa faktor lainnya.

Desa terjauh dari ibukota Kabupaten Aceh Utara adalah Desa Alue Lhok yaitu yang berjarak ± 27 km serta dengan Ibukota Kecamatan ± 6.5 km dan desa yang terdekat adalah Desa Tumpok Mesjid yaitu ± 16 km serta sengan Ibukota Kecamatan ± 3.0 km.

4.1.2.3. Kondisi Topografis

Kecamatan Paya Bakong memiliki topografi datar yang dikelilingi oleh hutan. Pada daerah topografi datar digunakan untuk pemukiman dan fasilitas umum lainnya. Kecamatan Paya Bakongmemiliki jenis tanah gambut/kering yang digunakan untuk pemukiman, bangunan, perkebunan, dan hutan. Jenis tanah yang seperti itu didominasi oleh pohon pinang, coklat, durian, rambutan, langsat, manggis, mangga atau sejenisnya, palawija, kelapa, kelapa sawit atau sejenis tanaman berkulit keras lainnya. Tanah gambut/kering adalah tanah yang bersifat sangat baik bagi pertanian yang terbentuk dari tanah gunung yang memiliki tanah lembek dan subur. Dengan keadaan topografi seperti itu juga menggambarkan masyarakat tersebut berprofesi sebagai petani/pekebun.

4.1.3. Kondisi Pendidikan

Tabel : 4.1.3

Data Jumlah Penduduk Kecamatan Paya Bakong Menurut Tingkat Pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jumlah (Jiwa)

1 Tidak Sekolah 5.244


(7)

3 Tamat SD 1.733

4 Tidak Tamat SMP 1.653

5 Tamat SMP 1.503

6 Tidak Tamat SMA 1.519

7 Tamat SMA 2.348

8 Universitas 657

Total 13.614

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Utara Dalam Angka 2015.

Dari tabel diatas dapat dipahami jumlah tingkat pendidikan masyarakat Kecamatan Paya Bakong tergolong rendah, hal ini disebabkan kondisi latar belakang pekerjaan sebagai petani/pekebun yang mereka utamakan mulai dari usia kanak-kanak mereka sudah hidup sebagai petani/pekebun.

Pembangunan Pendidikan Nasional tidak akan lepas dari perkembangan lingkungan srategis baik ditingkat nasional maupun regional. Sistem Pendidikan Nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan pendidikan.

Di Kecamatan Paya Bakong jumlah sarana fasilitas pendidikan menurut tingkat pendidikan baik Negeri maupun Swasta berjumlah 15 unit, yang terdiri dari 10 unit Sekolah Dasar/sederajat, 4 unit Sekolah Menengah Pertama/sederajat, dan 1 unit Sekolah Menegah Atas/sederajat. Dengan keadaan yang terbatas ini maka tidak tertutup kemungkinan penduduk Paya Bakong untuk bersekolah di Kecamatan yang lain agar kegiatan wajib belajar terlaksana dengan sempurna. Agar proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik, daya tampung kelas terhadap banyaknya murid dalam suatu kelas haruslah seimbang. Semakin banyak murit dalam suatu kelas maka daya serap murid terhadap materi pelajaran semakin


(8)

menurun, kemapuan daya tampung ruang kelas bagi jenjang SD adalah 31 siswa per kelas, bagi SMP 31 per kelas, dan untuk SMA adalah 39 per kelas.

Selain pendidikan formal, masyarakat Kecamatan Paya Bakong juga menggunakan fasilitas pendidikan non formal yaitu pendidikan dayah/pesantren dan balai pengajian, Kecamatan Paya Bakong memiliki 3 dayah/pesantren2 dan 65

balai pengajian.

4.1.4. Kondisi Kesehatan

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H dan pasal 34 ayat 3 menyebutkan bahwa status sehat dan pelayanan kesehatan merupakan hak masyarakat (human right). Untuk itu, berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan sektor kesehatan baik dalam bidang pelayanan, pembangunan infrastuktur dan masalah pembiayaan.

Fasilitas kesehatan di Kecamatan Paya Bakong berjumlah 45 unit, seperti 1 (satu) Puskesmas, 1 Pukesmas Pembantu (Pustu), 2 (dua) Pondok Bersalin Desa (Polindes), 2 (dua) Apotik, dan 39 (tiga puluh Sembilan) Posyandu di setiap Gampong/Desa serta fasilitas kesehatan lainnya telah tersedia. Sehingga memudahkan masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan. Pembangunan bidang kesehatan antara lain agar semua lapisan masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan secara mudah, murah dan merata. Melalui sistem tersebut diharapkan akan tercapai derajat masyarakat yang lebih baik. Pada tahun 2012 Kecamatan Paya Bakong memiliki 3 orang dokter umum, 44 orang perawat/mantri, 47 orang bidan, 1 orang doktor gigi, dan 1 orang asisten apotiker.


(9)

Dari diagram diatas dapat kita perhatikan bahwa bidan merupakan pertolongan pertama bagi ibu-ibu yang akan melahirkan serta yang menjadi akseptor KB (Keluarga Berencana) dan jenis alat kontrasepsi yang paling banyak dipilih para akseptor KB yaitu jenis KB suntik.

4.1.5. Kondisi Ekonomi

Masyarakat Kecamatan Paya Bakong sampai saat ini masih mengandalkan hidup dari hasil pertanian/perkebunan. Sektor pertanian merupakan sektor unggulan di kawasan Kecamatan Paya Bakong. Paya Bakong memiliki luas lahan mencapai 41.832 KM² terbagi menjadi lahan sawah sebesar 1.429 Ha dan lahan bukan sawah sebesar 40.403 Ha. Untuk lebih jelas mengenai penggunaan lahan untuk sawah dan bukan lahan sawah dapat dilihat pada tabel 4.1.5 di bawah ini:

Tabel : 4.1.5

Luas Desa dan Penggunaan Lahan di Kecamatan Paya Bakong No Desa/Gampong Luas Lahan(Ha)

Penggunaan Lahan Lahan

Sawah (Ha)

Bukan Lahan Sawah (Ha)

1 Alue Bieng 124 70 54

2 Asan Seuleumak 128 22 106

3 Alue Leukot 2.138 49 2.089

4 Alue Lhok 6.972 59 6.913

5 Blang Dalam 220 37 183

6 Blang Gunci 164 40 124

7 Blang Ara 106 35 71

8 Blang Mane 9.356 22 9.334

9 Blang Paku 141 21 120

10 Blang Pante 9.356 20 9.336

11 Blang Sialet 248 50 198

12 Buket Guru 250 55 195

13 Buket Pidie 360 50 310

14 Ceumpeudak 177 27 150


(10)

16 Geulumpang Pirak 123 46 77

17 Geureughek 113 33 80

18 Jok 137 34 103

19 Keubon Pirak 1.322 - 1.322

20 Keude Paya Bakong 109 4 105

21 Leuhong 186 58 128

22 Lueng 173 17 156

23 Mampree 246 25 221

24 Matang Panyang 148 45 103

25 Meunye Seuleumak 116 23 93

26 Meuria Seuleumak 104 35 69

27 Nga 138 40 98

28 Pante Seuleumak 118 37 81

29 Paya Meudru 210 52 158

30 Peureupok 9.493 83 9.410

31 Pucok Alue Seuleumak 150 27 123

32 Seuneubok Aceh 128 50 78

33 Simpang 110 35 75

34 Tanjong Beurunyong 131 25 106

35 Tanjong Drien 202 25 117

36 Teungku Dibanda Pirak 164 30 134

37 Teungku Dibanda Tek-tek 182 23 159

38 Tumpok Mesjid 128 27 101

39 Tunong Krueng 155 25 130

Jumlah 41.832 1.429 40.403

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Utara Dalam Angka 2015.

Dari tabel di atas dengan keselurahan lahan di Kecamatan Paya Bakong yang paling banyak adalah lahan bukan sawah. Walaupun demikian, namun hasil padi lebih tinggi dibandingkan dengan produksi tanaman lainnya. Hal ini disebabkan karena sebagian besar penduduk bekerja di sektor pertanian, komuditi unggulan di Kecamatan Paya Bakong ini adalah padi. Selanjutnya Kecamatan Paya Bakong juga memiliki luas wilayah menurut penggunaan lahan. Untuk lebih jelas bisa melihat pada table 4.1.5.1 di bawah ini:

Tabel : 4.1.5.1

Luas Wilayah Kecamatan Menurut Penggunaan Lahan


(11)

1 Pemukiman 10.000

2 Perkebunan 4,059

3 Sawah 1.429

4 Ladang/Tegalan 2.900

5 Padang Rumput 125

6 Hutan Rakyat/Negara 35.798

7 Perikanan Rakyat

-8 Lain-lain 11

Sumber: Statistik Kecamatan Paya Bakong Dalam Angka 2013

Dari tabel diatas dapat terlihat hutan rakyat/negara lebih luas di bandingkan pemukiman penduduk, perkebunan, sawah, ladang, padang rumput dan lain-lain. Dengan sangat luas hutan rakyat masyarakat Paya Bakong menggunakan tanah yang sangat luas tersebut untuk ditanami berbagai macam tanaman palawija dan sejenisnya. Berikut ini penggunahan lahan yang ditanam tanaman palawija dan sejenisnya bisa di lihat pada table 4.1.5.2 di bawah ini:

Tabel : 4.1.5.2

Tanaman Padi, Palawija, Tanaman Hortikutura, dan Tanaman Perkebunan Rakyat, Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi di

Kecamatan Paya Bakong

No Tanaman Luas tanam (Ha) Luas Panen (Ha) Produktivitas (Kw/Ha) Produksi (Ton)

1 Padi 2.251 1.786 42,00 7.412,00

2 Kedele 310 204 16,00 332,00

3 Jagung 14 - -

-4 Ubi kayu 2 - -

-5 Ubi jalar 1 - -

-6 Kacang panjang 7 13 75 990

7 Cabe 5 9 81 730,00

8 Terong 5 3 225 676

9 Ketimun 5 9 181 1.630

10 Bayam 4 5 16 79

11 Semangka - 2 - 400,00

12 Kangkung 2 2 100 200,00

13 Aren - 5 4 8


(12)

15 Sagu 38 - - 10

16 Karet 152 - - 15,0

17 Kelapa Hibrida 1 - - 1

18 Kelapa Sawit 974 - - 196

19 Nilam 5 - -

-20 Kopi 11 - - 4

21 Kapuk/Randu 9 - - 5

22 Pinang 915 - - 557

23 Kakau 495 - - 142

24 Kemiri 5 - - 4

25 Tebu 1 - - 0,3

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Utara Dalam Angka 2015.

Sektor pertanian merupakan sektor unggulan di kawasan Kecamatan PayaBakong. Hal ini disebabkan karena sebagian besa rpendudukmbekerja di sector pertanian, komuditi unggulan di Kecamatan ini adalah Padi. Produktivitas Padi mencapai 42,00 (Kw/Ha), dibandingkan produktivitas tanaman pangan lainnya., sedangkan produksi mencapai 7.412,00 Ton, dibandingkan produktivitas tanaman pangan lainnya. Selain tanaman pertanian tanaman padi, penduduk Kecamatan PayaBakong juga memproduksi tanaman palawija dan tanaman holtikultura, untuk tanaman Holtikultura produktifitas tertinggi pada tanaman cabe yaitu sebanyak 81 (Kw/Ha).sedangkan produksi 730,00 Ton.

Salah satu pendukung lain berjalannya roda perekonomian di Kecamatan Paya Bakong adalah sektor peternakan, juga ada disektor perdagangan dan jasa. Masyarakat juga mempunyai pekerjaan sambilan, pekerjaan sambilan tersebut dilakukan ketika pekerjaan sawah sudah selesai, artinya hanya menunggu hasil panen tiba. Pekerjaan sambilan tersebut seperti diluangkan untuk peternak, dan berdagang di Kecamatan Paya Bakong. Dengan mayoritas mata pencaharian sebagai petani sawah, perkebunan dan peternakan hewan, maka masyarakat


(13)

setempat mempunyai tingkat perekonomian tingkat menengah kebawah, ditinjau dari usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Hal ini dikarenakan sangat sedikit masyarakat di Kecamatan Paya Bakong yang memilki pekerjaan tetap seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau yang bekerja dipusat perkantoran. Oleh karena itu upaya yang bisa dilakukan untuk memperbaiki keadaan ekonominya hanya dengan cara bertani atau yang berkaitan dengan lingkungan. Namun ada juga beberapa individu yang memilih profesi lainya, untuk lebih jelas bisa di lihat pada tebel 4.1.5.3 berikut ini:

Tabel : 4.1.5.3

Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Paya Bakong

No Mata Pencaharian Jumlah Persentase

1 Petanian 2.450 40,98%

2 Perindustrian 240 4,15%

3 Perdagangan 389 4,91%

4 Tranportasi 172 3,03%

5 Tanaman Pangan 1.708 28,83%

6 Perkebunan 414 7,05%

7 Kehutanan 201 3,55%

8 Pegawai Negeri Sipil (PNS) 125 2,27%

9 Pegawai Swasta 86 1,49%

10 Pensiunan 57 1,13%

11 Jasa dan Lainnya 144 2,62%

Jumlah 5.986 100%

Sumber: Koordinator Statistik Kecamatan paya Bakong Dalam Angka 2015.

Dari rincian tersebut dapat diperkirakan bahwa sebagian sumber daya alam dimanfaatkan oleh penduduk setempat adalah tani dan kebun. Masyarakat cenderung membudidayakan sawah dan kebun sebagai fokus utama, sementara


(14)

sebagai aktivitas sampingan warga setempat melakukan peternakan dan perdagangan. Terlepas dari itu sebagian kecil masyarakat juga memanfaatkan kedai-kedai berupa warung-warung sebagai tempat dagangan guna untuk memenuhi kebutuhan pokok. Selain sektor perkebunan, peternakan dan pertanian juga ada sarana perekonomian di Kecamatan Paya Bakong sebanyak 300 unit yang terdiri dari 248 unit kios/toko kelontong dan 52 unit kedai makanan/minuman.

4.1.6. Kondisi Sosial Budaya

Pada umumnya kondisi sosial dan budaya Kecamatan Paya Bakong masih sangat menjunjung tinggi nilai-nilai Agama Islam yang mereka anut, hal ini dapat kita lihat pada kehidupan sehari-hari masyarakat Kecamatan Paya Bakong masih memegang teguh nilai-nelai religius, seperti diadakan prosesi pembacaan doa-doa, dan peusijuk merupakan proses menepung tawari, keluarga petani/pekebun yang bersangkutan.

Nilai gotong-royong dan saling menolong serta jiwa kebersamaan masih sangat kental melekat pada diri masing-masing masyarakat Kecamatan Paya Bakong. Hal ini dibuktikan dengan berbagai kegiatan keagamaan, seperti acara pernikahan, acara kematian dan acara hari-hari besar Islam.

Sarana prasarana yang dimiliki Kecamatan Paya Bakong cukup bervariasi yaitu tempat peribadatan, olah raga, dan perekonomian. Sarana beribadah umat Islam terdapat di setiap desa yang ada di Kecamatan Paya Bakong. Secara umum, Kecamatan Paya Bakong memiliki 52 tempat peribadatan yaitu terdiri dari 13


(15)

mesjid, 39 meunasah atau surau, dan 1 musholla. Hal ini disebabkan karena semua penduduk Kecamatan Paya Bakong beragama Islam.

Sarana lain yang juga ada di Kecamatan Paya Bakong adalah fasilitas olah raga. Adapun fasilitas olah raga yang ada di Kecamatan Paya Bakong antara lain 5 unit lapangan sepakbola, dan 15 unit lapangan bola voli.

4.2. Pola Interaksi Sosial Antara Sesama Pencari Jernang Dan Dengan Toke, Masyarakat Pencari Rotan Serta Pembalak Liar Selama Di Hutan.

4.2.1. Aktivitas Masyarakat di Kawasan Hutan

Kondisi hutan lindung atau Kawasan Ekosistem Lauser (KEL) dan hutan produksi dengan luas di Kecamatan Paya Bakong dari tahun ke tahun menunjukkan adanya penurunan kualitas hutan. Hutan salah satunya berfungsi sebagai habitat satwa di dalamnya. Penurunan kualitas hutan di Kecamatan Paya Bakong dikarenakan peningkatan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan mempengaruhi kebutuhan pangan dan berbagai produksi lainnya untuk mencukupi kebutuhan manusia, menyebabkan munculnya berbagai masalah terutama yang berkaitan dengan lingkungan tempat hidup manusia. Dengan pengamatan dari tinjauan lapangan berbagai kerusakan lingkungan telah terjadi, seperti: konversi lahan untuk pemukiman, perkebunan/pertanian, penebangan liar (illegal logging), kebakaran hutan, dan pemburuan liar. 3

3Usman. (2016). Konflik Antara Satwa Dan Manusia (Studi Antropologi Lingkungan di Kecamatan Paya Bakong Kabupaten Aceh Utara). Skripsi. Fisip Unimal.


(16)

Selain itu, ada beberapa aktivitas masyarakat lainnya di dalam kawasan hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti: mencari burung, damar, rotan, dan rotan jernang. Dari beberapa aktivitas tersebut salah satunya penulis sangat tertarik untuk melakukan penelitian lebih jauh lagi mengenai hasil hutan bukan kayu “Getah Jernang”.

4.2.1.1. Persiapan Masyarakat Penjernang

Para pencari jernang sebelum berangkat ke hutan mereka terlebih dahulu mempersiapkan kebutuhan-kebutuhan,

4.2.1.

4.3. Norma Sosial Yang Mereka Miliki Terkait Proses Pelestarian Jernang Di Kecamatan Paya Bakong.

Rotan jernang merupakan penghasil resin yang bernilai tinggi berupa jernang (dragon blood). Jernang ini masih diambil dari hutan alam, sehingga produktivitasnya sangat tergantung pada kondisi hutan. Keberadaan rotan jernang terus menurun akibat praktik pemanenan yang tidak lestari, illegal loging,

kebakaran hutan dan perubahan fungsi lahan. Permintaan jernang untuk ekspor masih tinggi sehingga perlu dilakukan budidaya secara luas untuk menjamin produktivitas. Budidaya rotan jernang termasuk sederhana dengan mengembangkan pola campuran antara tanaman kehutanan dan perkebunan. Pola campuran ini dapat memberi peluang pada masyarakat untuk mengembangkan


(17)

rotan jernang di lahan milik karena tidak memerlukan lokasi baru. Penanaman jernang ini dapat memberikan keuntungan baik ekonomi, ekologi dan sosial.4

4.3.1. Pengetahuan Masyarakat Dalam Budidaya Jernang

Pada saat ini masyarakat di Desa Tanjong Burunyong melakukan pembudidayaan jernang di lahan kebun masyarakat. Manfaat tumpang sari ini adalah petani dapat memperoleh dua keuntungan sekaligus yaitu dari hasil getah karet dan lulun jernang. Selain itu, melalui tumpang sari dengan karet, pertumbuhan jernang dapat diawasi pertumbuhannya secara intensif sambil melakukan kegiatan penyadapan. Tahapan dari budidaya jernang diuraikan di bawah ini.

Pemilihan Benih.

Ciri benih yang baik adalah buah yang tua (masak) kira-kira sebesar ibu jari orang dewasa, daging buah yang telah kering, serta berwarna kemerahan atau kehitaman. Biji ini dikupas kulitnya sehingga dapat mempercepat proses pertumbuhan-nya. Agar pertumbuhan bibit jernang menjadi lebih cepat dapat dilakukan cara biji direndam dengan menggunakan air kelapa tua, kemudian 12 jam sekali diganti airnya selama 24 jam. Setelah itu biji dimasukkan ke dalam plastik dan dalam waktu 21-25 hari biji akan berkecambah.

Pemilihan Anakan (Tunas).

Budidaya dari anakan dilakukan dengan memanfaatkan anakan pohon jernang yang tumbuh liar maupun yang berada di sekitar pohon induk (dalam rumpun). Pengambilan dengan pemisahan tunas diketahui rentan terhadap kematian (layu


(18)

atau busuk). Selain itu proses pengambilannya harus sangat hati-hati karena kesalahan dalam proses pencabutan dari media asal tumbuh (rumpun induk) ke media penanaman baru akan mengakibatkan kegagalan tumbuhnya anakan. Penyemaian.

Masyarakat menyiapkan tempat penyemaian berupa kantong persemaian (polybag) yang telah diisi tanah. Kemudian dinanam biji jernang ke dalam

polybag yang telah tersedia dengan kedalaman kira-kira 1 cm dari permukaan tanah. Untuk menjaga penyemaian biasanya dilakukan di halaman rumah ataupun kebun di tempat mereka memotong karet.

Pemeliharaan Jernang.

Tumbuhan penyangga (penagar) diperlukan saat tanaman jernang memasuki umur diatas lima tahun. Penyangga juga membantu ujung daun jernang agar tidak jatuh ke tanah sehingga jernang dapat berbuah. Jernang di kebun karet biasanya dibiarkan tumbuh secara alami tanpa perawatan khusus, tetapi tetap dibersihkan bagian-bagian pelepah.

4.4. Degradasi dan Populasi Rotan Jernang

Keberadaan kawasan hutan yang semakin berkurang dan bahkan telah menghilang digantikan oleh perkebunan kelapa sawit, karet dan penanaman hutan tanaman industri, menyebabkan semakin sulit mencari rotan jernang di kawasan hutan Paya Bakong Aceh Utara. Kerusakan habitat alami rotan jernang menyebabkan penurunan jumlah populasi dan jumlah spesies rotan penghasil getah jernang di kawasan tersebut. Sebelum tahun 1990-an, setiap orang


(19)

pengekstrak jernang dalam satu pekan dapat menghasilkan getah jernang setiap musim berbuah sebanyak 10-30 Kg, sedangkan pada tahun 2011 dalam satu pekan lebih di hutan hanya dapat menghasilkan getah jernang 1-5 Kg. Demikian juga jumlah populasi rotan jernang menjadi semakin berkurang akibat rusaknya habitat tempat tumbuhnya.

Cara pemanenan buah rotan jernang yang dilakukan oleh Masyarakat di Kecamatan Paya Bakong, sebenarnya sebagian tidak bertentangan dengan konsep konservasi. Mereka memanen buah dengan cara memanjat pohon tempat dimana rotan tersebut merambatkan batangnya. Mereka mengambil hanya buahnya saja dan mereka tidak pernah memotong atau menebang rotan jernang pada saat memanen buahnya. Oleh karena itu teknik pemanenan yang dilakukan masyarakat tidak mengurangi populasi dan jenis rotan jernang. Walaupun aturan cara pemanenan tersebut tidak dilembagakan, namun masyarakat setempat menghormati dan mentaati tata cara lisan yang berlaku sejak masa lalu hingga kini.

Hal tersebut senada dengan pendapat Soemarna (2009), menyatakan bahwa pemanenan Daemonorops draco tidak dilakukan dengan menebang pohon, tetapi dengan pemetikan. Cara pemanenan tersebut tidak merusak penutupan tajuk, sehingga tidak mengganggu ekosistem hutan (Dali & Soemarna 2005; Sudarmalik et al. 2006). Bagian yang dimanfaatkan adalah getah kulit buahnya. Menurut Winarni et al. (2004), Daemonorops draco dipanen sedikit demi sedikit, sehingga tidak langsung menimbulkan eksploitasi yang berlebihan.5


(20)

Pada waktu yang lampau, kebutuhan manusia akan sumber alam belum begitu besar karena jumlah manusianya sendiri masih relatif sedikit, di samping itu intensitas kegiatannya juga tidak besar. Pada saat-saat itu perubahan-perubahan pada lingkungan oleh aktivitas manusia masih dalam kemampuan alam untuk memulihkan diri secara alami. Tetapi aktivitas manusia makin lama makin besar sehingga menimbulkan perubahan lingkungan yang besar pula. Pada saat inilah manusia perlu berfikir apakah perubahan yang terjadi pada lingkungan itu tidak akan merugikan manusia. Manusia perlu memperkirakan apa yang akan terjadi akibat adanya kegiatan oleh manusia itu sendiri.6

4.2. Peran Kearifan Lokal Dalam Pelestarian Hutan

Masyarakat sekitar hutan dengan segala keterbatasannya sebenarnya memiliki potensi peran yang besar sebagai pelestari hutan. Kehidupan mereka yang dekat dengan hutan bisa menumbuhkan ikatan-ikatan imajiner antara mereka dengan alam hutan. Ikatan dengan alam tersebut akan memberikan pengetahuan, dan pikiran bagaimana mereka memperlakukan alam lingkungannya. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan mengembangkan etika, sikap kelakuan, gaya hidup, dan tradisi-tradisi yang mempunyai implikasi positif terhadap pemeliharaan dan pelestarian lingkungan hidup.7

Manusia dan alam adalah ciptaan Tuhan, sehingga manusia harus memanfaatkan dan menjaganya dengan baik. Kekayaan alam yang dimanfaatkan

6H. M Nasruddin Anshoriy Ch dan Sudarsono, SH. (2007). Kearifan Lingkungan dalam Perspektif Budaya Jawa. Edisi Pertama, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, hal. 301

7 Eko Prasetyo, Ahmad Baliyo (Https://Www.Google.Co.Id/Url?Peran-Keari

falokal-Dalam-menjaga-Kelestarian Hutan=AFQjCNHwFwrWKUAkjUQw57nz06_wWmVweA&bvm=bv.


(21)

dan dijaga dengan baik tentu akan dapat mencukupi kebutuhan manusia sampai generasi yang akan datang. Tetapi apabila tidak dimanfaatkan dengan baik pasti akan merugikan manusia sendiri. Pemanfaatan sumber daya alam dengan berlandaskan tradisi-tradisi lokal yang sarat dengan pesan-pesan moral ini secara tidak langsung menjadi mekanisme kultural untuk mengontrol pemanfaatan sumber daya alam hutan agar tidak berlebihan sehingga bisa merusak keseimbangan ekosistem hutan.8

4.4. Pembahasan

4.4.1. Kondisi Ekonomi Keluarga Pencari Jernang

Dari hasil wawancara dan pengamatan yang diperoleh pada masyarakat Kecamatan Paya Bakong. Salah satu strategi adaptasi yang dilakukan masyarakat pencari jernang untuk mempertahankan kelangsungan hidup adalah melakukan diversifikasi pekerjaan dalam sektor pengolahan jernang, di antaranya sebagai pedagang jernang, pengumpul jerang, guna menambah penghasilan dalam mempertahankan hidupnya.

Kehidupan masyarakat pencari jernang pasca perdamaian meningkat, baik disektor ekonomi maupun disektor pengetahuan. Hal ini terbukti dengan semakin meningkatnya pendidikan anak-anak mereka kejenjang yang lebih tinggi serta pengetahuan masyarakat baik dalam pendistribusian maupun dalam pemenuhan keperluan keluarga mereka dalam kehidupan sehari-hari, bisa dikatakan pendapatan mereka lebih dari cukup. Penghasilan pemanenan jernang umumnya


(22)

sulit dipastikan, biasanya mereka mendapatkan 200-300 ribu/hari, belum mampu memenuhi kebutuhan mereka. Sehingga mereka lebih memilih melakukan diversifikasi pekerjaan dalam berbagai sektor.

Kondisi diatas menggambarkan pemanenan jernang secara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Paya Bakong masih mempunyai prospek untuk dibudidayakan. Selain tersedianya perkebunan rakyat yang sangat luas dan juga dilengkapi dengan hutan produksi juga begitu luasnya. Namun tingginya permintaan menjadikan suatu keuntungan bagi keluarga pencari jernang. Para keluarga pencari jernang terkadang mereka harus meminjamkan uang kepada toke, untuk memenuhi kebutuhan mereka, seperti dalam menyekolahkan anaknya diawal semester sekolah, terkadang mereka harus meminjamkan uang, untuk membeli segala perlengkapan sekolah dan membayar iuran SPP sekolah.

Bekerja merupakan salah satu kebutuhan manusia untuk mempertahankan kelansungan hidupnya. Setiap manusia dilekati kesadaran batin untuk bertanggung jawab terhadap beragam kebutuhannya, baik kebutuhan fisik maupun sosial.

4.4.2. Gambaran Kehidupan Pencari Jernang di Kawasan Hutan

Pada umumnya masyarakat di Kecamatan Paya Bakong memanfaatkan kondisi lingkungan alam sebagai tempat perumahan dan sebagai tempat memenuhi kebutuhan hidupnya. Kehidupan masyarakat pencari jernang pasca perdamaian meningkat secara dratis, dikarenakan tanpa pemeriksaan oleh aparat militer baik TNI maupun GAM. Berdasarkan pengamatan penulis sebagian para pencari jernang sudah mampu menyekolahkan anaknya keberbagai perguruan tinggi. Gambaran kondisi kemiskinan masyarakat pencari jernang antara lain


(23)

secara nyata dapat dilihat dari kondisi fisik berupa kualitas pemukiman mereka. Umumnya kampung-kampung masyarakat miskin di kawasan hutan akan mudah diidentifikasi dari kondisi rumah hunian mereka. Rumah-rumah mereka yang umumnya sangat sederhana, yaitu berdinding bambu, berlantai tanah, serta dengan fasilitas dan keterbatasan perabot rumah tangga. Selain gambaran fisik, identifikasi lain yang menonjol di kalangan masyarakat miskin adalah rendahnya tingkat pendidikan anak-anak, pola konsumsi sehari-hari, dan tingkat pendapatan mereka. Di desa-desa memang ada beberapa rumah yang tampak megah dengan fasilitas yang memadai, itulah yang merupakan rumah-rumah toke jernang, toke pinang, coklat, kayu dan komoditi lainnya.

4.4.3. Sistem Kerja dan Sistem Bagi Hasil Masyarakat Pencari Jernang Sistem kerja merupakan suatu sistem yang diperlukan manusia dalam usaha memenuhi kebutuhan akan aturan dan tata kerja yang disepakati bersama untuk mencapai suatu tujuan. Dari hasil wawancara penulis dapat menganalisa bahwa sistem kerja yang berlaku pada masyarakat pencari jernang dan pencari hasil hutan lainnya, masih mengandalkan sistem kerja tradisional yaitu didasarkan pada aturan yang diwariskan secara tradisional, seperti yang penulis uraikan diatas bahwa yang sangat berperan dalam mendeteksi lokasi keberadaan jernang adalah dengan naluri dan dari perjalanan-perjalanan sebelumnya.

Sistem bagi hasil merupakan hal yang sering dilakukan oleh sebagian masyarakat yang mencari jernang secara bersama-sama 2 orang sampai 3 orang. Namun, dalam sistem bagi hasil ini masyarakat pencari jernang melakukan perjalanannya secara bersama-sama bahkan berpisah untuk mendapatkan jernang.


(24)

Setelah mendapatkan jernang mereka membawa pulang kepondok (tempat bermalam), tapi apabila sudah cukup target atau sudah habis makanan yang ditargetkan satu pekan bahkan dikawasan itu jernang sulit ditemukan mereka akan pulang dan melanjutkan perjalanan minggu depan. Setelah hasil di jual kepada toke pengumpul meraka membayar pinjaman atau bahan makanan yang beli paska perjalanan kegunung dengan berutang. Setelah semua hutang terbayar hasil selebihnya dibagi secara alot.

4.4.4. Pengetahuan Masyarakat Dalam Produksi Jernang

Masyarakat bagian dari alam, oleh karena itu dimanapun berada segala gerak kehidupannya selalu tergantung pada lingkungan yang menjadi tempat hidupnya. Kearifan lokal merupakan suatu hubungan keharmonisan antara manusia dengan lingkungan alam dan lingkungan sosialnya, yang mempunyai kemampuan mengatur, mengawasi, menekan, serta kemauan untuk memelihara dan mempunyai sanksi bagi warga yang masyarakat melanggar.

Dari hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa semua manusia mempunyai ikatan dengan alam baik lansung maupun tidak lansung, alam memberi kehidupan dan penghidupan bagi manusia. Adanya ikatan manusia dengan alam tersebut memunculkan pengetahuan untuk memperlakukan alam dengen baik dan berupaya mengatasi segala ancaman yang akan mengakibatkan berubah atau musnahnya lingkungan alam yang dimiliki. Manusia kemudian mengembangkan etika, sikap, gaya hidup dalam melestarikan lingkungannya.

Strategi untuk menjaga keharmonisan dalam memahami lingkungannya didapatkan secara turun temurun sehingga membudaya. Pedoman hidup yang


(25)

dimiliki oleh sekolompok masyarakat merupakan konsep yang berkaitan dengan kepercayaan dan peribadatan. Seringkali mereka masih menyakini hutan masih memiliki pemahaman religius sehingga harus diperlakukan secara bijak, dan hutan merupakan tempat para aulia Sang Pencipta. Dilihat dari waktu pencaharian jernang yang dilakukan masyarakat, kebiasaan yang dijalankan sangat mencerminkan dengan budaya Aceh yang berpegang pada nilai-nilai keagamaan. Semua kegiatan yang mereka lakukan baik pada saat mencari jernang maupun pada saat pendistribusiannya diupayakan tidak mengganggu waktu peribadatan.

Keberhasilan pencari jernang sangat dipengaruhi oleh pengatahuan, besar kecilnya pendapatan saat pulang dari hutan dipengaruhi oleh kualitas pengetahuan atau daerah jelajahnya yang sudah duluan dilalui oleh orang lain. Interaksi seseorang terhadap lingkungan alamnya memberi pengatahuan yang sangat berguna, misalnya interaksi dengan lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Dari hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa setiap masyarakat di kawasan hutan mempunyai pengatahuan dalam mendeteksi keberadaan jernang serta pengetahuan musim berbuah dan musim trek. Mereka hanya mengandalkan pengalaman, naluri, daya tanggap terhadap lingkungan sekitarnya, dan pengatahuan tradisional yang tidak semua orang memilikinya pengetahuan seperti ini. Salah satunya adalah pengetahuan tradisional mengenai perhitungan musim yang biasanya disebut keuneunong, yakni dalam menentukan baik buruknya musim saat itu dan juga dipakai sebagai petunjuk lokasi yang baik dalam mencari jernang.


(1)

Pada waktu yang lampau, kebutuhan manusia akan sumber alam belum begitu besar karena jumlah manusianya sendiri masih relatif sedikit, di samping itu intensitas kegiatannya juga tidak besar. Pada saat-saat itu perubahan-perubahan pada lingkungan oleh aktivitas manusia masih dalam kemampuan alam untuk memulihkan diri secara alami. Tetapi aktivitas manusia makin lama makin besar sehingga menimbulkan perubahan lingkungan yang besar pula. Pada saat inilah manusia perlu berfikir apakah perubahan yang terjadi pada lingkungan itu tidak akan merugikan manusia. Manusia perlu memperkirakan apa yang akan terjadi akibat adanya kegiatan oleh manusia itu sendiri.6

4.2. Peran Kearifan Lokal Dalam Pelestarian Hutan

Masyarakat sekitar hutan dengan segala keterbatasannya sebenarnya memiliki potensi peran yang besar sebagai pelestari hutan. Kehidupan mereka yang dekat dengan hutan bisa menumbuhkan ikatan-ikatan imajiner antara mereka dengan alam hutan. Ikatan dengan alam tersebut akan memberikan pengetahuan, dan pikiran bagaimana mereka memperlakukan alam lingkungannya. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan mengembangkan etika, sikap kelakuan, gaya hidup, dan tradisi-tradisi yang mempunyai implikasi positif terhadap pemeliharaan dan pelestarian lingkungan hidup.7

Manusia dan alam adalah ciptaan Tuhan, sehingga manusia harus memanfaatkan dan menjaganya dengan baik. Kekayaan alam yang dimanfaatkan

6H. M Nasruddin Anshoriy Ch dan Sudarsono, SH. (2007). Kearifan Lingkungan dalam Perspektif Budaya Jawa. Edisi Pertama, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, hal. 301

7 Eko Prasetyo, Ahmad Baliyo (Https://Www.Google.Co.Id/Url?Peran-Keari falokal-Dalam-menjaga-Kelestarian Hutan=AFQjCNHwFwrWKUAkjUQw57nz06_wWmVweA&bvm=bv. 121070826,d.dGY), diakses, 13/05/2016.


(2)

dan dijaga dengan baik tentu akan dapat mencukupi kebutuhan manusia sampai generasi yang akan datang. Tetapi apabila tidak dimanfaatkan dengan baik pasti akan merugikan manusia sendiri. Pemanfaatan sumber daya alam dengan berlandaskan tradisi-tradisi lokal yang sarat dengan pesan-pesan moral ini secara tidak langsung menjadi mekanisme kultural untuk mengontrol pemanfaatan sumber daya alam hutan agar tidak berlebihan sehingga bisa merusak keseimbangan ekosistem hutan.8

4.4. Pembahasan

4.4.1. Kondisi Ekonomi Keluarga Pencari Jernang

Dari hasil wawancara dan pengamatan yang diperoleh pada masyarakat Kecamatan Paya Bakong. Salah satu strategi adaptasi yang dilakukan masyarakat pencari jernang untuk mempertahankan kelangsungan hidup adalah melakukan diversifikasi pekerjaan dalam sektor pengolahan jernang, di antaranya sebagai pedagang jernang, pengumpul jerang, guna menambah penghasilan dalam mempertahankan hidupnya.

Kehidupan masyarakat pencari jernang pasca perdamaian meningkat, baik disektor ekonomi maupun disektor pengetahuan. Hal ini terbukti dengan semakin meningkatnya pendidikan anak-anak mereka kejenjang yang lebih tinggi serta pengetahuan masyarakat baik dalam pendistribusian maupun dalam pemenuhan keperluan keluarga mereka dalam kehidupan sehari-hari, bisa dikatakan pendapatan mereka lebih dari cukup. Penghasilan pemanenan jernang umumnya


(3)

sulit dipastikan, biasanya mereka mendapatkan 200-300 ribu/hari, belum mampu memenuhi kebutuhan mereka. Sehingga mereka lebih memilih melakukan diversifikasi pekerjaan dalam berbagai sektor.

Kondisi diatas menggambarkan pemanenan jernang secara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Paya Bakong masih mempunyai prospek untuk dibudidayakan. Selain tersedianya perkebunan rakyat yang sangat luas dan juga dilengkapi dengan hutan produksi juga begitu luasnya. Namun tingginya permintaan menjadikan suatu keuntungan bagi keluarga pencari jernang. Para keluarga pencari jernang terkadang mereka harus meminjamkan uang kepada toke, untuk memenuhi kebutuhan mereka, seperti dalam menyekolahkan anaknya diawal semester sekolah, terkadang mereka harus meminjamkan uang, untuk membeli segala perlengkapan sekolah dan membayar iuran SPP sekolah.

Bekerja merupakan salah satu kebutuhan manusia untuk mempertahankan kelansungan hidupnya. Setiap manusia dilekati kesadaran batin untuk bertanggung jawab terhadap beragam kebutuhannya, baik kebutuhan fisik maupun sosial.

4.4.2. Gambaran Kehidupan Pencari Jernang di Kawasan Hutan

Pada umumnya masyarakat di Kecamatan Paya Bakong memanfaatkan kondisi lingkungan alam sebagai tempat perumahan dan sebagai tempat memenuhi kebutuhan hidupnya. Kehidupan masyarakat pencari jernang pasca perdamaian meningkat secara dratis, dikarenakan tanpa pemeriksaan oleh aparat militer baik TNI maupun GAM. Berdasarkan pengamatan penulis sebagian para pencari jernang sudah mampu menyekolahkan anaknya keberbagai perguruan tinggi. Gambaran kondisi kemiskinan masyarakat pencari jernang antara lain


(4)

secara nyata dapat dilihat dari kondisi fisik berupa kualitas pemukiman mereka. Umumnya kampung-kampung masyarakat miskin di kawasan hutan akan mudah diidentifikasi dari kondisi rumah hunian mereka. Rumah-rumah mereka yang umumnya sangat sederhana, yaitu berdinding bambu, berlantai tanah, serta dengan fasilitas dan keterbatasan perabot rumah tangga. Selain gambaran fisik, identifikasi lain yang menonjol di kalangan masyarakat miskin adalah rendahnya tingkat pendidikan anak-anak, pola konsumsi sehari-hari, dan tingkat pendapatan mereka. Di desa-desa memang ada beberapa rumah yang tampak megah dengan fasilitas yang memadai, itulah yang merupakan rumah-rumah toke jernang, toke pinang, coklat, kayu dan komoditi lainnya.

4.4.3. Sistem Kerja dan Sistem Bagi Hasil Masyarakat Pencari Jernang

Sistem kerja merupakan suatu sistem yang diperlukan manusia dalam usaha memenuhi kebutuhan akan aturan dan tata kerja yang disepakati bersama untuk mencapai suatu tujuan. Dari hasil wawancara penulis dapat menganalisa bahwa sistem kerja yang berlaku pada masyarakat pencari jernang dan pencari hasil hutan lainnya, masih mengandalkan sistem kerja tradisional yaitu didasarkan pada aturan yang diwariskan secara tradisional, seperti yang penulis uraikan diatas bahwa yang sangat berperan dalam mendeteksi lokasi keberadaan jernang adalah dengan naluri dan dari perjalanan-perjalanan sebelumnya.

Sistem bagi hasil merupakan hal yang sering dilakukan oleh sebagian masyarakat yang mencari jernang secara bersama-sama 2 orang sampai 3 orang. Namun, dalam sistem bagi hasil ini masyarakat pencari jernang melakukan perjalanannya secara bersama-sama bahkan berpisah untuk mendapatkan jernang.


(5)

Setelah mendapatkan jernang mereka membawa pulang kepondok (tempat bermalam), tapi apabila sudah cukup target atau sudah habis makanan yang ditargetkan satu pekan bahkan dikawasan itu jernang sulit ditemukan mereka akan pulang dan melanjutkan perjalanan minggu depan. Setelah hasil di jual kepada toke pengumpul meraka membayar pinjaman atau bahan makanan yang beli paska perjalanan kegunung dengan berutang. Setelah semua hutang terbayar hasil selebihnya dibagi secara alot.

4.4.4. Pengetahuan Masyarakat Dalam Produksi Jernang

Masyarakat bagian dari alam, oleh karena itu dimanapun berada segala gerak kehidupannya selalu tergantung pada lingkungan yang menjadi tempat hidupnya. Kearifan lokal merupakan suatu hubungan keharmonisan antara manusia dengan lingkungan alam dan lingkungan sosialnya, yang mempunyai kemampuan mengatur, mengawasi, menekan, serta kemauan untuk memelihara dan mempunyai sanksi bagi warga yang masyarakat melanggar.

Dari hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa semua manusia mempunyai ikatan dengan alam baik lansung maupun tidak lansung, alam memberi kehidupan dan penghidupan bagi manusia. Adanya ikatan manusia dengan alam tersebut memunculkan pengetahuan untuk memperlakukan alam dengen baik dan berupaya mengatasi segala ancaman yang akan mengakibatkan berubah atau musnahnya lingkungan alam yang dimiliki. Manusia kemudian mengembangkan etika, sikap, gaya hidup dalam melestarikan lingkungannya.

Strategi untuk menjaga keharmonisan dalam memahami lingkungannya didapatkan secara turun temurun sehingga membudaya. Pedoman hidup yang


(6)

dimiliki oleh sekolompok masyarakat merupakan konsep yang berkaitan dengan kepercayaan dan peribadatan. Seringkali mereka masih menyakini hutan masih memiliki pemahaman religius sehingga harus diperlakukan secara bijak, dan hutan merupakan tempat para aulia Sang Pencipta. Dilihat dari waktu pencaharian jernang yang dilakukan masyarakat, kebiasaan yang dijalankan sangat mencerminkan dengan budaya Aceh yang berpegang pada nilai-nilai keagamaan. Semua kegiatan yang mereka lakukan baik pada saat mencari jernang maupun pada saat pendistribusiannya diupayakan tidak mengganggu waktu peribadatan.

Keberhasilan pencari jernang sangat dipengaruhi oleh pengatahuan, besar kecilnya pendapatan saat pulang dari hutan dipengaruhi oleh kualitas pengetahuan atau daerah jelajahnya yang sudah duluan dilalui oleh orang lain. Interaksi seseorang terhadap lingkungan alamnya memberi pengatahuan yang sangat berguna, misalnya interaksi dengan lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Dari hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa setiap masyarakat di kawasan hutan mempunyai pengatahuan dalam mendeteksi keberadaan jernang serta pengetahuan musim berbuah dan musim trek. Mereka hanya mengandalkan pengalaman, naluri, daya tanggap terhadap lingkungan sekitarnya, dan pengatahuan tradisional yang tidak semua orang memilikinya pengetahuan seperti ini. Salah satunya adalah pengetahuan tradisional mengenai perhitungan musim yang biasanya disebut keuneunong, yakni dalam menentukan baik buruknya musim saat itu dan juga dipakai sebagai petunjuk lokasi yang baik dalam mencari jernang.