Keputusan MUDP Nomor: 01/Kep/Psm-3/MDP Bali/X/2010
3.1.2. Keputusan MUDP Nomor: 01/Kep/Psm-3/MDP Bali/X/2010
Melihat pada Keputusan MUdP nomor: 01/Kep/Psm-3/MdP Bali/X/2010 ternyata ada hal-hal baru yang berbeda dengan hukum adat yang biasanya berlaku pada masyarakat hukum adat Bali. dari tujuh point Keputusan MUdP tersebut, ada hal yang sama dan ada pula yang berbeda dengan apa yang biasa berlaku di Bali sebagai hukum adat yang sehari-harinya diberlakukan oleh masyarakat hukum adat Bali. Hal-hal sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut:
Pertama: Suami dan istrinya serta saudara laki-laki suami dan istrinya, mempunyai kedudukan yang sama dalam usaha untuk menjamin bahwa harta pusaka dapat diteruskan kepada anak dan cucunya untuk memelihara atau melestarikan warisan immateriil. Ketentuan ini dapat dikatakan masih sejalan dengan hukum adat Bali yang umumnya berlaku.
Kedua: Selama dalam perkawinan, suami dan istrinya mempunyai kedudukan yang sama terhadap harta guna kayanya (harta yang diperoleh selama status perkawinan). Ketentuan ini dapat dikatakan masih sejalan dengan hukum adat Bali yang umumnya berlaku.
Ketiga: Anak kandung (laki-laki dan perempuan) serta anak angkat (laki-laki dan perempuan) yang belum kawin pada dasarnya mempunyai kedudukan yang sama terhadap harta guna kaya orang tuanya. Ketentuan ini ada perbedaan dengan hukum adat Bali yang umumnya berlaku.
192 | Kuta, 15 - 16 Desember 2017
Keempat: Anak kandung (laki-laki dan perempuan) serta anak angkat (laki-laki dan perempuan) berhak atas harta guna kaya orang tuanya, sesudah dikurangi sepertiga sebagai due tengah (harta bersama), yang dikuasai (bukan dimiliki) oleh anak yang nguwubang (melanjutkan swadharma atau tanggung jawab) orang tuanya. Ketentuan ini ada perbedaan dengan hukum adat Bali yang umumnya berlaku.
Kelima: Anak yang berstatus purusa berhak atas satu bagian harta warisan, sedangkan yang berstatus predana atau ninggalin kedaton terbatas berhak atas sebagian atau setengah dari harta warisan yag diterima oleh anak yang berstatus purusa. Ketentuan ini ada perbedaan dengan hukum adat Bali yang umumnya berlaku
Keenam: dalam hal pembagian warisan, anak yang masih dalam kandungan mempunyai hak yang sama dengan anak yang sudah lahir, sepanjang dia yang akan dilahirkan hidup. dapat dikatakan masih sejalan dengan hukum adat Bali yang umumnya masih diberlakukan oleh masyarakat hukum adat Bali.
Ketujuh: Anak yang ninggalin kedaton penuh tidak berhak atas warisan, tetapi dapat diberi bekal oleh orang tuanya dari harta guna kaya tanpa merugikan ahli warisnya. dapat dikatakan masih sejalan dengan hukum adat Bali yang umumnya masih diberlakukan. dapat dikatakan masih sejalan dengan hukum adat Bali yang umumnya masih diberlakukan oleh masyarakat hukum adat Bali.
Perbedaan-perbedaan inilah yang selanjutnya diteliti untuk mendapatkan jawaban apakah Keputusan MUdP ini dapat diterima oleh masyarakat hukum adat ataukah tidak diterima. selanjutnya diteliti tentang mengapa atau atas dasar alasan apa masyarakat hukum adat menerima ataupun tidak menerima keputusan MUdP tersebut.
dalam mazhab sosiological Jurisprudence, dapat dikemukakan pandangan Eugen Ehrlich dan roscoe Pound. oleh Ehrlich dikatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (Living Law) dalam masyarakat (Lili rasjidi dan ira rasjidi, 2001:66). roscoe Ponud dengan teorinya law as a tool social engineering mengatakan bahwa hukum adalah alat untuk memperbaharui (merekayasa) masyarakat (sukarno Aburaera, 2014:127). Bila masyarakat hukum adat menerima keputusan MUdP ini berarti keputusan MUdP ini telah sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, dan apabila masyarakat hukum adat tidak menyetujui maka ini berarti keputusan MUdP ini belum sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Begitu pula halnya, apabila masyarakat hukum adat menerima keputusan MUdP yang sesungguhnya keputusan tersebut tidak berkesesuaian dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa keputusan MUdP ini telah berhasil menggiring masyarakat kearah pembaharuan.