Hukum Adat Melengkapi Hukum Perkawinan Nasional

3.2. Hukum Adat Melengkapi Hukum Perkawinan Nasional

dalam beberapa aspek, hukum adat Bali berada pada posisi melengkapi hukum perkawinan nasional karena pada prinsipnya tidak ada satupun undang-undang yang mampu mengatur semua aspek kehidupan yang diaturnya. itu sebabnya Undang-undang Perkawinan memberikan peluang berlakunya hukum-hukum lain untuk mengatur aspek-aspek perkawinan yang belum diatur oleh Undang-undang Perkawinan, Pasal 66 Undang-undang Perkawinan dengan tegas menyatakan bahwa “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan Undang- undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam…Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”. Frasa “sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini” secara a contrario dapat ditafsirkan bahwa Pasal 66 sengaja disediakan untuk menjadi pintu masuk bagi berlakunya hukum agama dan atau hukum adat untuk mengatur aspek-aspek tertentu perkawinan yang belum diatur oleh Undang-undang Perkawinan.

Aspek-aspek pelaksanaan perkawinan umat Hindu di Bali yang belum diatur oleh Undang- undang Perkawinan sangat banyak dan bentuknya bervariasi antara daerah satu dengan daerah lain di Bali. sebutlah yang paling prinsip adalah mengenai bentuk perkawinan, yang sangat kuat dilandasi

Kuta, 15 - 16 Desember 2017 | 161 3 Kuta, 15 - 16 Desember 2017 | 161 3

merajan agung (tempat persembahyangan keluarga besar. dalam perkawinan berdasarkan sistem kekeluargaan purusa ini seorang istri putus hubungan hukumnya dengan keluarga asalnya (orang tua dan saudara sekandung), selanjutnya membangun hubungan hukum dalam keluarga suaminya. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan ini hanya mempunyai hubungan hukum dengan keluarga bapaknya, tidak dengan keluarga asal ibunya. dengan demikian, anak yang lahir dari perkawinan ini menjadi penerus keturunan sekaligus ahli waris keluarga bapaknya. Bentuk perkawinan inilah yang paling lazim dalam masyarakat Bali-Hindu sehingga disebut sebagai bentuk perkawinan biasa, artinya yang biasa dilakukan. di beberapa daerah di Bali dimungkinkan menjadikan anak perempuan sebagai penerus keturunan dengan mengukuhkan anak perempuannya (biasanya anak perempuan tunggal) sebagai sentana rajeg (sentana = penerus keturunan; rajeg = tegak, ditegakkan, dikukuhkan). Anak perempuan ini dalam perkawinannya tetap berkedudukan hukum dirumah asalnya. sang suami yang dilepaskan hubungan hukumnya dengan keluarga asal selanjutnya menunaikan hak dan kewajibannya di keluarga istri. Anak yang lahir dari perkawinan ini hanya mempunyai hubungan hukum dengan keluarga ibunya dan menjadi penerus keturunan keluarga ibunya. Belakangan, mulai berkembang bentuk perkawinan lain yang disebut perkawinan pada gelahang, dimana masing-masing suami dan istri tetap berkedudukan hukum sebagai purusa (penerus keturunan) dalam keluarganya masing-masing. Mereka –suami-istri – itu bertanggungjawab terhadap kelangsungan dua keluarga, lahir maupun batin (sudantra, sudiana, & narendra 2011, h. 6-10).

demikian penting pengaruh bentuk perkawinan yang diatur dalam hu,um adat terhadap kedudukan suami-istri dan anak-anak yang dilahirkannya dalam keluarga, menyangkut hak-hak dan kewajiban dibidang hukum keluarga dan waris. Jika sesorang ingin mengetahui kedudukan seorang anak dalam suatu keluarga, dengan siapa dia mempunyai hubungan hukum kekeluargaan, maka orang itu harus mengetahui bentuk perkawinan orang tuanya. dalam hubungan ini, hukum adat Bali menjadi pelengkap yang sangat penting bagi pelaksanaan Undang-undang Perkawinan.

di samping mengenai bentuk perkawinan, hukum adat juga dapat menjadi pelengkap Undang- undang Perkawinan dalam kaitan dengan larangan-larangan perkawinan,. Pasal 8 menentukan bahwa Perkawinan dilarang antara dua orang yang (a) berhubungan darah dalam garuis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas; (b) berhubungan dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya; (c) berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri; (d) berhubungan susuan yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan; (e) berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seoarng suami beristri lebih dari seorang;dan (f) yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang dilarang kawin. dengan mendasarkan pada ketentuan huruf f di atas, dimungkinkan melengkapi larangan- larangan perkawinan yang sudah disebutkan secara ekplisit dalam Pasal 8 dengan larangan-larangan perkawinan berdasarkan hukum agama dan atau hukum adatnya. dengan demikian, posisi hukum agama dan atau hukum adat akan melengkapi Undang-undang perkawinan.

Ketentuan lain dalam Undang-undang Perkawinan yang memberi peluang berlakunya hukum adat untuk melengkapi hukum perkawinan nasional adalah Pasal 37. dalam pasal ini diatur mengenai kedudukan harta bersama dalam perkawinan apabila terjadi perceraian. Pasal ini dengan sangat tegas dan spesifik menentukan bahwa: “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”. Menurut penjelasan terhadap Pasal 37. yang dimaksud ”hukumnya masing-masing” adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.

Harta bersama adalah salah satu jenis harta benda perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan, yaitu semua harta yang diperoleh selama perkawinan. selain harta bersama, Pasal 35 Undang-undang Perkawinan menyebutkan dua golongan harta lainnya, yaitu: harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan. Hukum adat Bali juga membedakan harta benda perkawinan dalam 3 (tiga) golongan, yaitu:

162 | Kuta, 15 - 16 Desember 2017 162 | Kuta, 15 - 16 Desember 2017

b. tetatadan, yaitu harta harta yang dibawa oleh masing-masing suami dan istri ke dalam perkawinan; dan

c. gunakaya, yaitu harta yang diperoleh pasangan suami-istri selama perkawinan berlangsung (dyatmikawati 2016, p. 14) secara konseptual, tetamian mempunyai pengertian yang sama dengan harta warisan; tetatadan

sama dengan harta bawaan masing-masing suami dan istri; dan gunakaya mempunyai pengertian yang sama dengan harta bersama. Undang-undang Perkawinan tidak mengatur kedudukan harta bawaan masing-masing maupun harta yang diperoleh masing-masing karena hadiah atau warisan apabila perkawinan putus karena perceraian, tetapi dengan penafsiran sistematis dapat dipahami bahwa kedua jenis harta perkawinan ini akan kembali menjadi hak masing-masing apabila terjadi perceraian, sebab berdasarkan Pasal 36 ayat (2) suami dan istri masing-masing mempunyai kekuasaan sepenuhnya terhadap kedua jenis harta tersebut. Berbeda halnya dengan harta bersama, undang-undang justru menyerahkan pengaturannya kepada hukumnya masing-masing.

Hukum adat Bali memiliki konsep yang cukup dinamis mengenai kedudukan harta bersama (gunakaya) apabila terjadi perceraian. dinamika itu tercermin dari keputusan-keputusan hakim yang mengadili perkara perceraian berdasarkan hukum adat. Pada masa lalu, yaitu pada masa Raad Kertha (peradilan adat) belum dihapuskan (1951), kedudukan harta bersama dalam hal terjadi perceraian digantungkan kepada pihak siapa yang menyebabkan terjadinya perceraian. Apabila perceraian disebabkan oleh suami, harta bersama dibagi tiga: satu bagian untuk istri dan dua bagian untuk suami; apabila penyebab perceraian adalah istri, maka istri tidak berhak atas bagian harta bersama. Asas – yang bersumber dari Pasal 101 Kitab Poerwa Agama – ini menjadi pedoman hakim Raad Kertha mengadili perkara-perkara perceraian dimasa itu. seiiring perkembangan jaman, saat ini Pengadilan tidak lagi menggunakan asas hukum yang tidak adil gender tersebut, melainkan memberikan hak yang sama kepada suami dan istri atas bagian harta bersama. Beberapa awig-awig desa pakraman juga menentukan bahwa apabila terjadi perceraian maka harta bersama dibagi sama rata diantara bekas

suami dan bekas istri (”prade palas perabiane patut...pagunakaya polih pahan pada”) (sudantra, sudiana, & narendra 2011, h.37) Uraian di atas menunjukkan bahwa apabila terjadi perceraian pasangan suami-istri umat Hindu di Bali, maka hukum yang berlaku terhadap sengketa harta bersama adalah hukum adat Bali. Posisi hukum adat dalam hal ini bersifat melengkapi Undang-undang Perkawinan.

Dokumen yang terkait

ANALISIS DANA PIHAK KETIGA PADA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA PERIODE TRIWULAN I 2002 – TRIWULAN IV 2007

40 502 17

Analisis Pengaruh Pengangguran, Kemiskinan dan Fasilitas Kesehatan terhadap Kualitas Sumber Daya Manusia di Kabupaten Jember Tahun 2004-2013

21 388 5

PENGALAMAN KELUARGA DALAM MERAWAT ANGGOTA KELUARGA DENGAN GANGGUAN JIWA (SKIZOFRENIA) Di Wilayah Puskesmas Kedung Kandang Malang Tahun 2015

28 256 11

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Peningkatan keterampilan menyimak melalui penerapan metode bercerita pada siswa kelas II SDN Pamulang Permai Tangerang Selatan Tahun Pelajaran 2013/2014

20 223 100

Pengaruh kualitas aktiva produktif dan non performing financing terhadap return on asset perbankan syariah (Studi Pada 3 Bank Umum Syariah Tahun 2011 – 2014)

6 101 0

Peranan Hubungan Masyarakat (Humas) Mpr Ri Dalam Mensosialisasikan Empat Pilar Bangsa Tahun 2014

4 126 93

Makna Kekerasan Pada Film Jagal (The Act Of Killing) (Analisis Semiotika Roland Barthes pada Film Dokumenter "Jagal (The Act of Killing)" tentang Pembunuhan Anti-PKI pada Tahun 1965-1966, Karya Joshua Oppenheimer)

17 109 98