Motivasi dan Tujuan Bertanya dalam al-Qur’an

A. Motivasi dan Tujuan Bertanya dalam al-Qur’an

Dalam al-Qur’ân, pertanyaan, tujuan pertanyaan dan jawaban atas pertanyaan adalah sebagai dasar penegetahuan bagi ummat Islam sekaligus sebagai muatan sejarah yang haris dipelajari. Bahwa sesuangguhnya Al-Qur’an sebagai firman Allah yang menjadi sumber dari segala sumber hukum ummat islam telah mengatur bukan hanya pada persoalan-persoalan yang bersifat mujmal, akan tetapi sampai pada masalah teknis yang bersifat aplikatif serta menjadi sandaran ummat islam yang dijadikan sebahai hujjah atau dalil dalam berbagai persoalan yang dihadapi. Walaupun pertanyaan itu telah terjadi khususnya di kalangan masyarakat yang hidup pada masa kehidupan Nabi Muhammad Saw. dimana Allah SWT. masih menurunkan firmannya, atau dalam bahasa yang lain Allah masih menenrtibkan persoalan-persoalan kehidupan manusia dengan berbagai aspek kehidupan manusiswinya untuk menbjadi sebuah ketetapan hukum yang mengikat.baik dalam aspek aqidah, syariayt maupun dalam kaitan dengan muamalah.

Redaksi ayat-ayat yang mempergunakan kata ﻝﺄﺳ “sa’ala” dengan berbagai jenis kata jadiannya yang memiliki arti bertanya mempunyai beberapa motivasi dan tujuan. Latar belakang ayat-ayat tersebut tidak terlepas dari akar permasalahan yang biasanya sedang dihadapi oleh masyarakat muslim sehingga misi yang dibawanya mencerminkan penyelesaian persoalan yang dihadapi dan tidak jarang mencerminkan pesan moral, bimbingan dan nasehat atau ketentuan Redaksi ayat-ayat yang mempergunakan kata ﻝﺄﺳ “sa’ala” dengan berbagai jenis kata jadiannya yang memiliki arti bertanya mempunyai beberapa motivasi dan tujuan. Latar belakang ayat-ayat tersebut tidak terlepas dari akar permasalahan yang biasanya sedang dihadapi oleh masyarakat muslim sehingga misi yang dibawanya mencerminkan penyelesaian persoalan yang dihadapi dan tidak jarang mencerminkan pesan moral, bimbingan dan nasehat atau ketentuan

al-Asbâb al-Nuzûl, yang melatarbelakangi turunnya sebuah ayat sehubungan dengan adanya persoalan yang belum dapat diselesaikan. Terdapat beberapa landasan motivasi kuat

Dalam Ulum

al-Qur’ân terdapat

mendorong munculnya sebuah pertanyaan yang dipresentasikan ummat Islam kepada Nabi saw. yang menurut hemat penulis memiliki dimensi tatanan hukum, sosial, kehidupan rumah tangga, masyarakat, dan bahkan negara, terkait dengan masalah kemiliteran yaitu perang, bahkan ada juga yang menyangkut ilmu pengetahuan astronomi yang belum mendapat perhatian di kalangan ilmuwan. Tujuan mereka mengajukan pertanyaan kepada Nabi dengan berbagai motivasi. Diantaranya :

1. Bertanya Karena Tidak Tahu

Dalam konteks al-Qur’ân, yang memberikan motivasi para sahabat Nabi saw. untuk mengajukan pertanyaan ialah semangat religi yang tinggi dan kesadaran mencari sesuatu yang baru menyangkut persoalan agama seperti tatanan syar’i, aturan sosial dan kemasyarakatan, aturan kehidupan individu dan kelompok, sehingga orang yang merasa dipanggil atau diseru akan bersiap-siap Dalam konteks al-Qur’ân, yang memberikan motivasi para sahabat Nabi saw. untuk mengajukan pertanyaan ialah semangat religi yang tinggi dan kesadaran mencari sesuatu yang baru menyangkut persoalan agama seperti tatanan syar’i, aturan sosial dan kemasyarakatan, aturan kehidupan individu dan kelompok, sehingga orang yang merasa dipanggil atau diseru akan bersiap-siap

Pada dasarnya esensi pertanyaan yang muncul terkait dengan suatu persoalan yang tidak atau belum diketahui penanya sehingga penjelasan dan jawaban perlu diberikan baik dalam bentuk deskriptif maupun elaborative atau ekspresif dan definitif. Dalam konteks al-Qur’ân, jawaban seperti ini dapat ditemukan dalam banyak ayat yang pada umumnya menanggapi masalah- masalah penting yang dipertanyakan umat Islam atau para sahabat Nabi

Muhammad saw. Mencermati ayat demi ayat pada al-Qur’ân dapat disimpulkan bahwa ayat- ayat yang mengetengahkan tanya-jawab secara redaksional dan substansial berjumlah sembilan ayat tersebar di tiga surat, enam di antaranya terdapat dalam surat al-Baqarah dan dua lainnya terdapat pada surah al-Anfâl dan al-Mâidah. Pada ayat-ayat ini pertanyaan disampaikan oleh para sahabat kepada Nabi saw. sehubungan dengan ketidaktahuan mereka terhadap hal-hal yang dihadapinya. Adapun pertanyaan-pertanyaan yang muncul dilatarbelakangi oleh ketidaktahuan mereka terhadap sembilan masalaah krusial:

a. Fungsi Bulan pada Ayat 189 Surah al-Baqarah.

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu tanda-tanda waktu pagi bagi manusia dan bagi

1 Qomaruddin Shaleh, Dahlan M.D., Asbabun Nuzul; Latar Belakang Historis Tururunnya Ayat-ayat al-Qur’ân, (Bandung: Penerbit CV. Diponegoro, 1990), p. 10 1 Qomaruddin Shaleh, Dahlan M.D., Asbabun Nuzul; Latar Belakang Historis Tururunnya Ayat-ayat al-Qur’ân, (Bandung: Penerbit CV. Diponegoro, 1990), p. 10

Pertanyaan sahabat pada ayat di atas memiliki indikasi ketidaktahuannya terhadap objek yang ditanyakan baik dari segi substansi maupun signifikansinya. Secara substansial bulan sebagai planet angkasa ciptaan Allah SWT. mengapa dan bagaimana diciptakan dan di sisi lain sejauh mana signifikansi penciptaan planet dan bulan itu? Kedua objek pertanyaan tersebut melatarbelakangi turunnya ayat di atas.

Menurut riwayat Ibnu Abi Hatim, para sahabat bertanya kepada Rasulullah tentang bulan sabit; untuk apa bulan diciptakan dengan bentuk demikian? Pada riwayat lain mengatakan Mu’az bin Jabal dan Tsa’labah bin Ghanimah bertanya kepada Nabi saw. “Mengapa bulan kelihatan mula-mula seperti benang kemudian bertambah besar lagi sampai rata dan bulat, kemudian terus berkurang dan mengecil kembali seperti semula dan tidak dalam bentuk

yang tetap. 2 Konteks pertanyaan mengapa dan bagaimana terhadap eksistensi bulan

mempunyai bobot ilmiah yang sama. Yang pertama mengarah pada kedudukan fungsi keberadaan bulan secara filosofis dan yang kedua menyiratkan pengertian prosesi perubahan besar kecilnya bulan, hari demi hari.

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut diberikan secara deskriptif yang elaboratif mengenai fungsi keberadaan objek yang ditanyakan ialah bahwa

2 Ahmad Mutafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, h. 89 2 Ahmad Mutafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, h. 89

Ibnu Katsir menulis, bahwa orang-orang bertanya kepada Nabi Muhammad

saw. tentang al-Ahillah, maka kemudian turunlah ayat tersebut di atas. Penciptaan bulan oleh Allah SWT. memiliki pungsi signifikan dalam kehidupan kaum muslimin selain masalah-masalah sebagaimana penulis kemukakan di atas, bulan juga diciptakan untuk menjalankan tugasnya sebagai penentu waktu dimulainya ibadah puasa dan buka puasa serta waktu penutupan bulan puasa.

Keterkaitan ayat tersebut di atas dengan ayat-ayat sebelumnya, ialah bahwa ketika Allah SWT. pada ayat-ayat sebelumnya memberikan elaborasi ketentuan hukum wajib berpuasa bagi kaum muslimin, dan hukum diperbolehkan menikmati berbagai hidangan makanan dan minuman di malam hari serta bersenggama dengan isteri, maka Allah SWT. melanjutkan penjelasan ketentuan pelarangan mengkonsumsi harta milik orang lain secara tidak legal sehubungan dengan pelarangan mempergunakan harta haram tersebut baik pada malam bulan Ramadlan maupun malam-malam selain Ramadlan. Oleh karena pembicaraan bulan puasa amat terkait dengan masalah penglihatan terhadap bulan sehingga yang demikian itu menggerakan keinginan munculnya sebuah pertanyaan tentang Keterkaitan ayat tersebut di atas dengan ayat-ayat sebelumnya, ialah bahwa ketika Allah SWT. pada ayat-ayat sebelumnya memberikan elaborasi ketentuan hukum wajib berpuasa bagi kaum muslimin, dan hukum diperbolehkan menikmati berbagai hidangan makanan dan minuman di malam hari serta bersenggama dengan isteri, maka Allah SWT. melanjutkan penjelasan ketentuan pelarangan mengkonsumsi harta milik orang lain secara tidak legal sehubungan dengan pelarangan mempergunakan harta haram tersebut baik pada malam bulan Ramadlan maupun malam-malam selain Ramadlan. Oleh karena pembicaraan bulan puasa amat terkait dengan masalah penglihatan terhadap bulan sehingga yang demikian itu menggerakan keinginan munculnya sebuah pertanyaan tentang

b. Bentuk Infak dan Kelompok Penerimanya

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang- orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan”.

Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 215).

Ayat 215 surat al-Baqarah ini masih memiliki relevansi dengan ayat-ayat sebelumnya yang mengetengahkan faktor pemicu munculnya perpecahan dan perselisihan serta permusuhan yang diakibatkan oleh kecintaan manusia terhadap kemewahan duniawi.

Ayat-ayat sebelumnya juga menyatakan bahwa pejuang-pejuang kebenaran mampu menahan derita dan segala bentuk kesulitan atau kesusahan serta mara bahaya demi mempertahankan kebenaran dan mencari keridhaan Allah semata. Ayat di atas, kemudian mejelaskan keinginan manusia untuk menafkahkan hartanya di jalan Allah. Tabah menderita dan suka menafkahkan harta untuk mencari ridha Allah semata yang merupakan tanda-tanda iman

kepada Allah. 3

3 Yayasan Penyelenggara Pentafsiran al-Qur’ân, al-Qur’ân dan Tafsirnya, h. 378

Pada hakekatnya mengorbankan harta benda sama kedudukannya dengan mengorbankan jiwa, keduanya merupakan bukti keimanan seseorang terhadap

Allah. 4 Keinginan berinfak atau bersedekah di kalangan Sahabat Nabi saw. terdorong menyusul sebuah himbauan yang disampaikan Nabi agar mereka

berinfak dan bersedekah di jalan Allah. Seruan berinfak atau bersedekah inilah yang mendorong mereka untuk bertanya kepada Rasulullah mengenai bentuk apa

yang mereka sedekahkan. 5 Ketidaktahuan dalam bentuk apa yang diinfakkan tersebut muncullah pertanyaan bentuk atau jenis: “Apa yang mereka nafkahkan”

Pertanyaan ini juga mencerminkan keinginan kuat untuk berinfak. Secara redaksional al-Qur’ân menggunakan kata kerja masa kini (sekarang atau sedang berlangsung) pada kata “yas’alûnaka” mereka bertanya kepadamu (hai Muhammad). Seakan-akan pertanyaan ini masih segar terdengar dan seolah-olah sedang terjadi dialog yang perlu diulang-ulang karena indahnya. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan dari harta yang baik, hendaklah demikian untuk

ibu dan bapak…” 6

c. Kedudukan Bulan Haram untuk Berperang

4 Ahmad Musthafa al-Maraghiy, Tafsir al-Maraghiy, (Semarang: CV. Toha Putra, 1985), Terjemahan, h. 226 5

Syaikh Abu Ali al-Fadl bin Hasan al-Tabrasi, Majma al-Bayan, (Beirut, Libanon: Dâr al- Fikr), h. 82 6 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, h. 428

Artinya: ”Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah: Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar, tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi) masuk masjid al-Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar dosanya di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar dari membunuh; Mereka tidak henti-hentiya memerangi kamu sehingga mereka dapat mengembalikan kamu dari agama kamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam keadaan kafir, maka mereka itulah yang sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka

kekal di dalamnya”. (Q.S. al-Baqarah [2]: 217).

Pertanyaan tentang kedudukan bulan haram menyangkut boleh tidaknya berperang muncul setelah adanya perintah berperang pada ayat sebelumnya dengan redaksi yang bersifat umum. Pertanyaan seperti ini menjadi penting, karena setelah melekat dalam benak mereka perintah memerangi atau membunuh kaum musyrik di manapun mereka berada kecuali di Masjid al-Haram (ayat:

191). 7 Ketidaktahuan sahabat terhadap ketetapan berperang di bulan Rajab

mendorong mereka mengajukan pertanyaan kapada Nabi saw.: “Mereka

bertanya kepadamu tentang boleh tidaknya berperang di bulan haram ( ﻚﻧﻮﻠﺌﺴﻳ ﻡﺍﺮ ﳊﺍ ﺮﻬﺸﻟﺍ ﻦﻋ ). Yang mereka tanyakan adalah ketetapan hukum berperang pada

bulan Rajab, salah satu bulan haram, yakni peperangan yang dipimpin oleh Abdulah Ibnu Jahisy.

7 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, h. 431

Para pakar tafsir mengatakan, “Rasulullah mengutus pasukan di bawah pimpinan Abdullah Ibnu Jahisy dua bulan sebelum peristiwa perang Badar. Pasukan tersebut berangkat dan beristirahat di Nahlah (nama tempat). Di tempat ini mereka menjumpai rombongan Amr bin Khadrani, sebuah kafilah dagang kaum Quraisy pada akhir bulan Jumadil Akhir (bulan Rajab). Pasukan Muslim pun berselisih dan sebagian mengatakan, “Kita tidak tahu hari apa sekarang ini, yang kita tahu sekarang bulan haram.” Mereka membunuh dan menyerang kafilah dan membunuh Amr ibn Khadrani serta menahan lainnya dan merampas

harta dagangannya. Peristiwa di atas melatarbelakangi turunnya ayat 217 Surat al-Baqarah ini.

Para sahabat melancarkan perang atas kafilah Quraisy di bulan Rajab karena saat peristiwa terjadi mereka belum mengetahui ketentuan pelarangan perang pada bulan tersebut sehingga mereka menanyakan hukum berperang di bulan Rajab yang merupakan salah satu bulan haram sebagaimana dalam redaksi al-Qur’ân, “Mereka bertanya kepadamu tentang ketetapan berperang pada bulan haram. ( ﻪﻴﻓ ﻝﺎﺘﻗ ﻡﺍﺮﳊﺍ ﺮﻬﺸﻟﺍ ﻦﻋ ﻚﻧﻮﻟﺄﺴﻳ ).

Jawabannya adalah itu dosa, karena mereka berperang dan marampas. Padahal Nabi saw. tidak memerintahkan meraka melakukannya, lebih-lebih jika itu mereka lakukan di bulan Rajab yang merupakan salah satu bulan haram. Namun demikian apa yang dilakukan kaum musyrikin yakni menghalang- halangi manusia dari jalan Allah seperti menghalangi melaksanakan ibadah haji dan umrah, kafir kepada Allah, tidak mengakui keesaan-Nya atau durhaka

8 Syaikh Abu Ali al-Fadl bin Hasan al-Tabrasi, Majma al-Bayan, h. 75-76 8 Syaikh Abu Ali al-Fadl bin Hasan al-Tabrasi, Majma al-Bayan, h. 75-76

kelompoknya. 9

d. Dampak Mengkonsumsi Khamr dan Praktek Perjudian

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi; Katakanlah, pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat kepada manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya …”. (Q.S. al-Baqarah [2]: 219).

Ayat 219 Surat al-Baqarah di atas masih memiliki kaitan erat dengan ayat- ayat sebelumnya. Pertanyaan tentang khamr dan judi ini menyangkut pengkonsumsian atau penggunaan harta yang dilarang serta bertentangan dengan menafkahkannya di jalan Allah.

Di sisi lain, sebelum ayat di atas telah dijelaskan tentang bolehnya makan dan minum di malam hari bulan Ramadhan, maka ayat ini memberikan elaborasi ketentuan tentang minum-minuman dan permainan yang menjadi tradisi masyarakat Jahiliyah.

Pertanyaan tentang khamr atau minuman keras dan judi yang sebagaimana dalam radaksi verbal al-Qur’ân ini dilatarbelakangi oleh adanya permintaan sahabat kepada Nabi saw. memfatwakan masalah khamar dan judi yang menyebabkan hilangnya kesadaran akal dan menghambur-hamburkan harta. Al- Tabrasi menulis dalam karya tafsirnya “Jami’ al-Bayân”, sekelompok sahabat

9 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, h. 432 9 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, h. 432

sehingga turunlah ayat tersebut. 10 “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi ( ﺮﺴﻴﳌﺍﻭ ﺮﻤﳋﺍ ﻦﻋ ﻚﻧﻮﻠﺌﺴﻳ ).

Objek pertanyaan para sahabat ini adalah pertama tentang khamr dan kedua tentang maisir atau judi. Terkait dengan yang pertama, para ulama bermazhab Syafi’i menyebutkan khamr adalah segala minuman yang memabukkan dan menghilangkan kesadaraan akal dan segala sesuatu yang

memabukkan sedikit banyaknya adalah khamr. Di sisi lain kelompok ulama bermazhab Hanafi mengemukakan bahwa khamr ialah minuman yang terbuat

dari anggur. 11 Yang kedua yaitu maisir atau judi ialah terambil dari akar kata yang berarti “gampang”. Perjudian dinamai maisir karena harta hasil perjudian

diperoleh dengan cara yang gampang, tanpa usaha, kecuali menggunakan undian yang dibarengi oleh faktor untung-untungan. 12

Atas pertanyaan-pertanyaan sahabat yang tidak mengetahui dampak negatif mengkonsumsi minuman keras atau khamr atau praktek-praktek permainan perjudian, Nabi saw. diperintah Allah untuk menjawab kedua pertanyaan yang diajukan sahabat. “Katakanlah; pada keduanya terdapat dosa besar”, seperti hilangnya keseimbangan, gangguan kesehatan, penipuan, kebohongan, perolehan harta tanpa hak, benih permusuhan, dan beberapa manfaat duniawi bagi segelintir manusia, seperti keuntungan materi, kesenangan

11 Syaikh Abu Ali al-Fadl bin Hasan al-Tabrasi, Majma al-Bayan, h. 82 12 Syaikh Abu Ali al-Fadl bin Hasan al-Tabrasi, Majma al-Bayan h. 82 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, h. 437 11 Syaikh Abu Ali al-Fadl bin Hasan al-Tabrasi, Majma al-Bayan, h. 82 12 Syaikh Abu Ali al-Fadl bin Hasan al-Tabrasi, Majma al-Bayan h. 82 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, h. 437

diakibatkan oleh keduanya lebih besar dari manfaatnya. 13

e. Menyedekahkan Kelebihan Harta dari Kebutuhan Pokok Sehari-hari.

Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.”

(Q.S. al-Baqarah [2]: 219).

Pertanyaan tentang infak atau sedekah ini bukan terkait dengan ketentuan sedekah itu sendiri, tetapi menyangkut teknis jenis harta yang bagaimana yang dianjurkan untuk disedekahkan apakah seluruh harta yang dimiliki ataukah sebagiannya. Pada pembukaan ayat terdapat indikasi pengertian bahwa mempergunakan harta untuk bermabuk-mabukan dan praktek-praktek perjudian dapat menjerumuskan penggunanya ke dalam berbagai mara bahaya dan bencana kemanusiaan yang besar, sehingga penggunaan seperti ini amat mubadzir bahkan dosa besar. Jika demikian masalahnya, maka pengunaan harta haruslah mengenal pada kepentingan umat manusia bukan hanya kepentingan yang bersifat pribadi. Terdorong dengan himbauan Nabi agar kaum muslimin bersedekah, “Bersedekahlah kalian”, salah seorang sahabat bertanya: ”Saya mempunyai satu dinar”, Nabi Saw. menjawab: “sedekahkanlah buat dirimu sendiri”, lelaki tersebut bertanya lagi: “Saya mempunyai satu dinar yang lain”. Kemudian Nabi

13 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, h. 437

Saw menjawab: “Sedekahkanlah untuk dirimu”, lelaki tersebut bertanya lagi, “Saya mempunyai satu dinar yang lain”. Kemudian Nabi saw. bersabda: “Sedekahkanlah untuk anakmu”, lelaki tersebut berkata lagi: “Saya mempunyai satu dinar yang lain”. Nabi saw. bersabda: “Sedekahkanlah untuk pembantumu”. Lelaki tersebut berkata lagi: “Saya mempunyai satu dinar yang lain”. Lalu Nabi saw. bersabda: “Anda lebih tahu bagaimana

menginfakkannya”. 14 Hadist ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Nasa’i dari sahabat Abu Hurairah ra.

At-Tabrasi menulis penanya pada bagian ini datang dari Umar bin al- Jamuh yang menanyakan berinfak atau bersedekah untuk berjuang di jalan Allah

atau jihad. 15 Pertanyaan inilah yang melatarbelakangi perlunya ada jawaban yang menjadi pedoman bagi sahabat dalam mensedekahkan hartanya, “Mereka

bertanya kepadamu: “Apa yang harus mereka sedekahkan”. Pertanyaan sahabat yang dimaksud adalah menyangkut kuantitas harta yang disedekahkan dan batas- batas bersedekah yang kemudian dijawab “Katakanlah; yang lebih dari keperluan”. Pengertian harta yang lebih dari keperluan menjadi suatu batasan tertentu dalam bersedekah.

Para pakar tafsir berpendapat arti al-‘Afwu ialah yang lebih dari keperluan keluarga atau dari kecukupan dan pendapat lain ialah yang lebih dari kecukupan selama satu tahun. Baik pendapat yang pertama maupun yang kedua, pertanyaan tentang seberapakah harta yang disedekahkan menjadi jelas dan sahabat menjadi tahu apa yang dapat diinfakkan.

15 Syaikh Abu Ali al-Fadl bin Hasan al-Tabrasi, Majma al-Bayan, h. 226-227 Syaikh Abu Ali al-Fadl bin Hasan al-Tabrasi, Majma al-Bayan, h. 83 15 Syaikh Abu Ali al-Fadl bin Hasan al-Tabrasi, Majma al-Bayan, h. 226-227 Syaikh Abu Ali al-Fadl bin Hasan al-Tabrasi, Majma al-Bayan, h. 83

Artinya: “(Berfikir) tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak-anak yatim. Katakanlah; “mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu mencampuri atau bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudara-saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. al-Baqarah [2]: 220).

Timbulnya pertanyaan tentang anak-anak yatim pada ayat di atas karena banyak sahabat Nabi saw. hidup bersama anak-anak yatim, bercampur hartanya dengan harta mereka, sama-sama makan dan minum dalam satu rumah. Karena dengan cara ini terpeliharalah anak-anak yatim baik makanannya, pendidikannya, maupun kesejahteraannya.

Ibn Abas mengatakan, ketika Allah menurunkan ayat : 000 ﹺﻢﻴﺘﻴﹾﻟﺍ ﹶﻝﺎﻣ ﺍﻮﺑﺮﹾﻘﺗ ﺎﹶﻟﻭ

Artinya: “Dan janganlah kalian mendekati harta anak yatim”. (Q.S. al-An‘âm [6]: 152).

Dan ayat;

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak-anak yatim secara aniaya, maka tidak lain yang mereka makan adalah api di perutnya dan akan masuk ke dalam neraka Sair” (Q.S. al-Nisâ’ [4]: 10).

Setiap sahabat yang memiliki anak-anak yatim merasa takut dan khawatir. Oleh karenanya mereka memisahkan makanan dan minuman anak yatim dari makanan mereka atau dibiarkan sampai rusak jika tidak dimakan. Kemudian mereka menanyakan tentang anak-anak yatim. Peristiwa inilah yang

melatarbelakangi turunnya ayat 220 Surat al-Baqarah. 16 “Mereka bertanya kepadamu tentang anak-anak yatim.” Pertanyaan sahabat bukan terkait dengan

individu-individu anak yatim tetapi pada pengurusan, pemeliharaan dan penanganan baik terhadap keberadaannya maupun hartanya yang kemudian

Allah memerintahkan Nabi saw., ”Jawablah, mengurus urusan mereka secara patut adalah baik dan jika kamu mencampuri mereka maka mereka adalah saudara-saudaramu.” Artinya mengurus dan memelihara harta kekayaan mereka tanpa upah dan tanpa mengambil kompensasi serta memelihara mereka

merupakan pahala paling besar. 17 Ayat 220 Surat al-Baqarah ini menjelaskan bahwa yang pokok

menyangkut anak-anak yatim adalah pemeliharaan yang baik terhadap mereka, jangan sampai tersia-sia dan terlantar hidupnya. Ketenteraman dan kesejahteraan mereka harus terjamin, karena perhatian dan pemeliharaan terhadap mereka merupakan amal kebaikan yang paling besar pahalanya.

Untuk mengingatkan agar manusia, khususnya pengasuh anak yatim selalu mencurahkan kasih sayang dan tidak menyulitkan orang lain, apalagi anak- anak yatim yang tidak berdaya, Allah mengingatkan kasih sayang-Nya yang sedemikian luas terhadap manusia pada lanjutan ayat di atas, “Jikalau Allah

17 Syaikh Abu Ali al-Fadl bin Hasan al-Tabrasi, Majma al-Bayan, h. 83-84 Syaikh Abu Ali al-Fadl bin Hasan al-Tabrasi, Majma al-Bayan, h. 83-84 17 Syaikh Abu Ali al-Fadl bin Hasan al-Tabrasi, Majma al-Bayan, h. 83-84 Syaikh Abu Ali al-Fadl bin Hasan al-Tabrasi, Majma al-Bayan, h. 83-84

tidak mampu, sebab sesungguhmya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. 18

g. Sikap Suami Terhadap Isteri Yang Datang Bulan

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh, Katakanlah ia adalah gangguan, maka jauhilah istri-istrimu dan mendekatinya hingga mereka suci“ (Q.S. Al-Baqarah [2]: 222)

Masyarakat Muslim pemula belum banyak mengetahui berbagai hal yang menyangkut kehidupan berumah tangga sesuai dengan ketentuan- ketentuan agamanya secara khusus yang terkait dengan aktivitas penyaluran kebutuhan biologis antara suami dan isteri di satu sisi. Di sisi lain mereka berbaur dengan masyarakat non-muslim atau Yahudi yang mengasingkan isterinya jika sedang datang bulan. Sikap orang-orang Yahudi selain mengkarantinakan isteri-isteri mereka yang datang bulan, mereka juga tidak mau makan dan minum bersama dan tidak mau serumah dengan mereka, bahkan mereka tidak mau menyentuh perempuan haidh karena kulitnya dianggap najis.

18 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, h. 440

At-Thabarsi menulis masyarakat pra-Islam mengkarantinakan perempuan haidh, tidak mau duduk bersama dan minum bersama. Faktor inilah yang mendorong sahabat menanyakan kepada Rasulullah. Menyikapi tradisi komunitas Yahudi terhadap perempuan yang sedang datang bulan inilah yang mendorong sahabat menanyakan kepada Rasulullah dan hal ini

menjadi latar belakang turunnya ayat di atas. 19 Mereka bertanya kepadamu tentang mahidh ( ﺾﻴﶈﺍ ﻦﻋ ﻚﻧﻮﻠﺌﺴﻳﻭ ). Karena mereka menjumpai pria-pria Yahudi menghindari wanita-wanita yang sedang haidh, bahkan meninggalkan

rumah tempat tinggal mereka dengan demikian pertanyaan sahabat bukan tentang definisi haidh atau apa itu haidh, tetapi bagaimana tuntunan Illahi

kepada suami pada saat isterinya sedang haidh. 20 Tatanan kehidupan sosial Yahudi semacam ini menimbulkan tanda

tanya misalnya apakah harus diikuti tradisi semacam itu atau tidak diikuti. Tetapi setelah adanya jawaban sebagaimana tercantum “Katakanlah: Ia adalah gangguan.” Maksudnya, haidh mengakibatkan gangguan terhadap fisik dan psikis wanita, juga terhadap pria. Secara fisik, dengan keluarnya darah yang segar, mengakibatkan gangguan pada jasmani wanita. Rasa sakit sering kali melilit perutnya akibat rahim berkontraksi. Di sisi lain kedatangan tamu bulanan itu mengakibatkan nafsu seksual wanita menurun dan emosinya

sering kali tidak terkontrol. 21

20 Syaikh Abu Ali al-Fadl bin Hasan al-Tabrasi, Majma al-Bayan, h. 88 21 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, h. 447 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, h. 447

Dalam kondisi seperti ini, sikap suami terhadap isterinya yang datang bulan tidak sebagaimana sikap orang Yahudi, tetapi justeru sebaliknya tidak meninggalkan rumah, tidak mengisolasi, makan dan minum bersama. Seorang suami boleh melakukan segala sesuatu (yang selama ini dibenarkan) kecuali

hubungan seks (HR. Muslim ). Hubungan seks di kala datang bulan tidak diperkenankan. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri di waktu haidh,

dalam pengertian tidak bersetubuh di waktu mereka mengalami haidh atau pada tempat haidh. Ini berarti boleh mendekati asal bukan pada tempat haidh, yakni

bukan pada tempat gangguan itu. Nabi mengizinkan untuk bercumbu pada bagian atas, tidak di bagian bawah.

Kapan hubugan seks dapat dilakukan? Kapan saja tetapi dengan syarat janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Redaksi kalimat “jangan dekati”, bukan “jangan lakukan”, karena nafsu seksual sering kali sulit dibendung. Namun mendekati yang dimaksud di sini adalah mendekati tempat di mana dapat terjadi hubungan seks yang berbuah.

h. Kriteria Mengkonsumsi Daging Hewan Hasil Buruan

Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu, “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” katakanlah, “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu. Kamu mengajar mereka menurut apa yang telah diajarkan Allah kepada kamu, maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu, “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” katakanlah, “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu. Kamu mengajar mereka menurut apa yang telah diajarkan Allah kepada kamu, maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang

Ayat keempat Surat al-Mâidah ini masih memiliki keterkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya. Pada ayat-ayat sebelumnya Allah mengizinkan untuk berburu dan melarang memakan bangkai, dan di sisi lain ada binatang buruan yang mati terbunuh oleh anjing terlatih. Ketika Allah memberikan penjelasan pelarangan mengkonsumsi daging bangkai, darah dan daging babi yang membahayakan untuk dikonsumsi yang berdampak negatif bagi kesehatan

maupun agama kecuali pada situasi terpaksa atau darurat. 22 Para sahabat

bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, Allah telah melarang

mengkonsumsi daging bangkai. 24 Makanan apakah yang boleh dimakan?.

Peristiwa di atas menjadi pemicu turunnya ayat 4 Surat al-Maidah ini. Mereka bertanya kepadamu, “Apakah yag dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah: “Dihalalkan bagimu segala yang baik-baik.” Yakni yang sesuai dengan tuntunan agama atau yang sejalan dengan selera kamu selama tidak ada ketentuan agama yang melarangmu. Termasuk binatang halal yang kamu sembelih sebagaimana diajarkan Rasul saw. dan dihalalkan juga bagi kamu binatang halal hasil buruan oleh binatang buas seperti anjing, singa, harimau, burung yang telah kamu ajar dengan melatihnya sungguh-sungguh untuk

berburu. 25

22 Imaduddin Abi al-Fida Ismail bin Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, (Kairo: Dar al-Sabuni), Jilid, h. 484

23 Imaduddin Abi al-Fida Ismail bin Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, (Kairo: Dar al-Sabuni), Jilid, h. 484 24

Muhammad Ali al-Sabuni, Shafwat at-Tafsir, (Beirut: Daar Kutub al-Islamiyah), Jilid I, h. 228

25 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, h. 25

Dengan mengajukan pertanyaan kepada Nabi saw. terhadap binatang hasil buruan dan jawaban-jawaban yang diberikan pada ayat tersebut, sahabat menjadi tahu ketentuan-ketentuan Ilahiyah menyangkut kriteria binatang hasil buruan yang dapat dikonsumsi dan yang tidak dapat dikonsumsi.

Ayat di atas menyiratkan pengertian bahwa al-Qur’ân menganjurkan penggunaan makanan yang baik-baik dan bermanfaat serta melarang mengkonsumsi makanan yang tidak baik dan tidak suci. Dipergunakannya kata “makanan yang baik” yang berarti apa saja yang dipandang menyenangkan, baik,

manis, harum dan lezat atau enak rasanya. Dengan demikian al-Qur’ân telah meletakkan prinsip-prinsip umum dalam masyarakat Muslim. 26 Kaum muslimin

dengan jelas dianjurkan agar memakan segala sesuatu yang memberikan kelezatan dan kesenangan dan tidak diperbolehkan memakan makanan yang tidak baik, tidak suci, serta membahayakan kesehatan jasmaninya. Hal ini dapat penulis temukan pada ayat di atas dan ayat-ayat berikut:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman! Makanlah di antara rezeki yang baik

yang kami berikan kepadamu.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 172).

Artinya: “Wahai para Rasul makanlah harta yang halal dan kerjakanlah amal kebajikan.” (Q.S. al-Mu’minûn [23]: 51).

26 Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang, (Jakarta: Yayasan Suara Bumi, 1997), h. 189

Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu makanan yang baik-baik.” (Q.S. al- Mâ’idah [5]: 5).

Artinya: “Maka makanlah rezeki yang halal lagi baik yang telah diberikan Allah kepadamu.” (Q.S. al-Nahl [16]: 114).

i. Ketentuan Pembagian Harta Rampasan Perang

Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu tentang harta rampasan perang, Katakanlah: “Harta rampasan perang itu milik Allah dan Rasul,

sebab itu bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang mumin” (Q.S. al-Anfâl [8]: 1).

Pada akhir ayat surat al-A’râf sebelum surat di atas menceritakan kualitas keimanan umat Islam dan kedekatannya di sisi Allah, mereka memperoleh kedudukan tinggi dengan didekatkannya mereka di sisi Allah seperti dipahami pada ayat terakhir surat al-Anfâl, ayat 206 ”Sesungguhnya mereka yang ada di sisi Tuhamu tidak meyombongkan diri menyembah-Nya dan mereka mensucikan- Nya dan hanya kepada-Nya mereka bersujud” (Q.S. al-A’râf [7]: 260).

Ayat di atas menguraikan karakter sebagian umat Islam yang didekatkan Allah di sisi-Nya, mereka adalah para pejuang muslim yang berhasil dengan bantuan Allah mengalahkan kaum musyrikin dalam perang Badar. Seandainya pasukan itu gagal maka engkau wahai Tuhan, tidak akan disembah lagi sesudah ini, begitu Nabi Muhammad saw. melukiskan peranan mereka dalam kemenangan di pertempuran Badr.

Setelah berakhirnya pertempuran Badr dengan kemenangan gemilang yang berkonsekuensi pada perolehan harta rampasan dan perang, cukup bayak para pejuang itu tidak mengetahui bagaimana cara dan kadar pembagian, bahkan kelihatannya muncul perselisihan dan pertengkaran menyangkut hal tersebut. Perselisihan dan pertengkaran inilah yang melatarbelakangi turunnya ayat “Mereka bertanya kepadamu tentang pembagian harta hasil rampasan perang “ yakni bagaimana cara membaginya, kepada siapa dibagikan, dan berapa yang harus dibagi-bagi.

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini menganggu fikiran dan benak pejuang- pejuang yang terlibat dalam peperangan Badar sebelum mendapatkan jawaban Nabi saw. dan Nabi pun diperintahkan menjawabnya “Katakanlah kepada mereka” Harta-harta perolehan rampasan perang millik Allah dan RasulNya “ bukan milik kalian. Oleh karena Itu bertaqwalah kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya serta perbaikilah hubungan di antara kamu dengan tetap mengedepankan keharmonisan hubungan dan membuang jauh-jauh perselisihan dan pertengkaran seperti yang terjadi sebelum ayat ini turun dan turutilah ketentuan-ketentuan Allah dan rasul-Nya, menyangkut harta hasil perolehan harta rampasan perang jika kalian benar-benar orang mu’min yang sempurna keimanannya.

2. Bertanya Karena Ingkar

Pertanyaan-pertanyaan yang memiliki motivasi pengingkaran dan penolakan bukan karena tidak tahu atau bermaksud mengetahui persoalan sebenarnya, dapat ditemukan dalam beberapa ayat.

Pertanyaan -pertanyaan yang mempunyai motivasi ingkar dan penolakan bukan karena tidak tahu atau bukan karena ingin mengetahui persoalan yang sebenarnya banyak ditemukan pada al-Qur’ân. Pertanyaan seperti ini pada umumnya menyangkut hari kiamat dan dilakukan oleh kalangan non muslim baik

yang beragama

penulis mencoba mengklasifikasikannya ke dalam dua jenis pertanyaan:

a. Pertanyaan Inkari Istib’adi (bertanya al-Istinkâri al-Istib’adi) Pertanyaan tentang kapan hari qiamat tiba oleh masyarakat non-muslim kepada Nabi saw. bukan pertanyaan yang sebenarnya. Pertanyaan ini keluar dari konteksnya yang asli yaitu mencari informasi atau menanyakan suatu persoalan kepada pihak yang ditanya.

Masyarakat non-muslim baik di Makkah maupun di Madinah menolak segala kebenaran yang dibawa Nabi baik menyangkut persoalan tatanan baik berupa hukum maupun berupa tatanan sosial kemasyarakatan. Demikian pula halnya persoalan yang menyangkut keimanan kepada yang ghaib seperti iman kepada para Nabi terdahulu, dan Kitab-kitab yang dibawanya, para malaikat, hari akhir, hari kiamat atau hari pembalasan dan pembangkitan kembali manusia dari alam kuburnya. Sebagaimana pertanyaan yang yang terungkapkan pada ayat-ayat berikut:

Artinya: Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?" Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. kiamat itu amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba". mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar

mengetahuinya. Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang bari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui". (Q.S. al-A‘râf [7]:

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu Kapankah hari kiamat tiba” (Q.S. al- Nâzi‘ât [79]: 42).

Sikap keras kepala non-muslim mentertawakan dan mengejek misi yang dibawa Nabi saw. melalui pertanyaan kapankah hari kiamat terjadi, 27 yang

bermotif tidak mempercayai datangnya hari tersebut dan mendustakannya merupakan penolakan ekspilisit terhadap realitas peristiwa munculnya hari pembalasan. Pertanyan kapan hari kiamat akan terjadi kapada Nabi saw. bermaksud membantah persoalan dan tidak sama sekali mempercayai eksistesi

kiamat, 28 dan bukan semata-mata ingin memgetahui dahsyatnya hari itu. Penolakan dan pengingkaran kalangan penyekutu Tuhan baik masyarakat

musyrikin maupun Yahudi terhadap hari di mana tiada kekayaan dan putra-putri

28 Muhammad Ali al-Sabuni, Shafwat at-Tafsir, h. 484 Imaduddin Abi al-Fida Ismail bin Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, h. 484 28 Muhammad Ali al-Sabuni, Shafwat at-Tafsir, h. 484 Imaduddin Abi al-Fida Ismail bin Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, h. 484

waktu kedatangannya dan hanya Dia Yang Maha Mengetahui”. Imam al-Fakrurazi mengatakan hikmah dirahasiakannya waktu hari kiamat bermaksud agar manusia tidak mengetahui kapan hari kiamat terjadi sehinga setiap saat tetap waspada dan mendekatkan diri kepada Allah serta meninggalkan larangan-larangan-Nya.

Oleh karena pertanyaan orang-orang non-muslim menyangkut isu-isu ghaib meski bertendensi penolakan dan pengingkaran sebelum mendapat respon Qur’âni, tetap saja al-Qur’ân memberikan jawaban atas pertanyaan- pertanyaan mereka. Dalam jawabannya, disinggung pula peristiwa terjadinya hari kiamat dengan merekonstruksi betapa mengerikan dan menakutkan peristiwa terjadinya hari kiamat yang bakal menimpa seluruh penghuni langit

bila dan bumi. Ibnu Jarir melukiskan kiamat tiba -tiba langit angkasa terbelah dan bintang-bintang bertaburan, gunung-gunung berjalan. 29

29 Muhammad Ali al-Sabuni, Shafwat at-Tafsir, h. 486

Armagedon/kiamat secara tiba-tiba dan menghentak jiwa seluruh makhluk hidup di planet bumi dan langit, Nabi saw. bersabda “Armagedon tidak akan muncul sebelum matahari terbit dari barat. Pada saat muncul dan manusia menyaksikannya maka segera beriman. Keimanan pada masa itu sudah tidak diterima karena sudah terlambat. Pertanyaan Istighza (al-Suâl al- Istighza):

Artinya: “Mereka bertanya: "Bilakah hari pembalasan itu?" (hari pembalasan itu) ialah pada hari ketika mereka diazab di atas api neraka. (Dikatakan

kepada mereka): "Rasakanlah azabmu itu. inilah azab yang dulu kamu minta untuk disegerakan." (Q.S. al-Dzâriyât [51]: 12 – 14).

Artinya: “Ia berkata: "Bilakah hari kiamat itu?". (Q.S. al-Qiyâmah [75]: 6). Pertanyaan bermotif mentertawakan lagi mendustakan muncul dari

kalangan orang-orang yang menganggap Nabi Muhammad saw. sebagai penyihir ulung, pujangga dan bahkan tidak waras. Dalam kondisi seperti ini apa pun yang dijelaskan al-Qur’ân menyangkut hakikat hari perhitungan, balasan, pahala, siksaan dan pengumpulan manusia di arah-arah mahsyar, tidak pernah mendapatkan respon positif dari kalangan non-muslim yang tidak mau mengakui kebenaran dakwah yang disampaikan Nabi, selain sudah bersikap apriori terhadap seorang Rasul, mereka juga telah terlenakan oleh kenikmatan duniawi dan tenggelam oleh kefoya-foyaan duniawi, tidak terpikir tentang hakikat hidup bahkan melupakan akhirat sehingga kalaupun ada kalangan orang-orang yang menganggap Nabi Muhammad saw. sebagai penyihir ulung, pujangga dan bahkan tidak waras. Dalam kondisi seperti ini apa pun yang dijelaskan al-Qur’ân menyangkut hakikat hari perhitungan, balasan, pahala, siksaan dan pengumpulan manusia di arah-arah mahsyar, tidak pernah mendapatkan respon positif dari kalangan non-muslim yang tidak mau mengakui kebenaran dakwah yang disampaikan Nabi, selain sudah bersikap apriori terhadap seorang Rasul, mereka juga telah terlenakan oleh kenikmatan duniawi dan tenggelam oleh kefoya-foyaan duniawi, tidak terpikir tentang hakikat hidup bahkan melupakan akhirat sehingga kalaupun ada

Artinya: “Mereka bertanya: "Bilakah hari pembalasan itu?" (hari pembalasan itu) ialah pada hari ketika mereka diazab di atas api neraka. (Dikatakan kepada mereka): "Rasakanlah azabmu itu. inilah azab yang dulu kamu minta untuk disegerakan." (Q.S. al-Dzâriyât [51]: 12).

Artinya: “Ia berkata: "Bilakah hari kiamat itu?". (Q.S. al-Qiyâmah [75]: 6).

3. Bertanya Karena Menguji Ilmu Pengetahuan Nabi

a. Ilmu Filsafat

Motivasi pengajuan pertanyaan dalam konteks menguji ilmu pengetahuan seorang Nabi terdapat dalam surah al-Isra’ ayat ke 85 menyangkut hakikat dan substansi ruh. Surah al-isra’ yang terdiri dari 111 ayat dan diturunkan di Makkah ini banyak mengetengahkan masalah akidah seperti keesaan Tuhan, risalah Nabi dan hari pembangkitan, tetapi unsur pembahasan paling menonjol pada surah tersebut adalah masalah kepribadian Nabi yang didukung dengan mukjizat, dan argumentasi kuat yang membuktikan kebenaran seorang Nabi.

Selain persoalan akidah, surat ini juga mengetengahkan masalah mukjizat Isra’ dan Mi’raj yang menjadi salah satu manifestasi penghormatan Allah kepada Nabi saw. dan menampilkan ayat-ayat kosmik (kauniyah) yang membuktikan Selain persoalan akidah, surat ini juga mengetengahkan masalah mukjizat Isra’ dan Mi’raj yang menjadi salah satu manifestasi penghormatan Allah kepada Nabi saw. dan menampilkan ayat-ayat kosmik (kauniyah) yang membuktikan

Persoalan hakikat dan substansi ruh, mendapat perhatian non-muslim

terutama bangsa Yahudi, dan kenyataan ini diabadikan al-Qur’ân pada surah al- Isrâ ayat 85. Bangsa Yahudi tersohor dengan sikap arogansinya dan mengklaim dirinya paling terhormat, oleh karenanya ketika ingin menguji ilmu pengetahuan Nabi saw. ia tidak menanyakan langsung kepada Nabi saw. tetapi menyuruh orang lain untuk mengajukan pertanyaan tentang Ashab al-Kahfi, Dzu al- Qarnain, dan ruh, jika Nabi saw. tidak dapat menjawab, maka ia bukan Nabi,

tetapi jika dapat memberikan jawaban maka ia seorang Nabi. 30 Sebuah riwayat menjelaskan, orang Quraisy meminta orang Yahudi mengajarkan materi obyek

pertanyaan yang akan diajukan pada Nabi. Maka orang Yahudi tersebut memberitahukan materi pertanyaan, tanyalah tentang ruh kepada orang itu. 31

Peristiwa di atas melatarbelakangi turunnya ayat ke 85 surat al-Isrâ’:

30 Wahbah Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa Syari’ah wa Mahj, (Beirut, Libanon: Daar al-Fikr al-Muasir, Tth.), Juz ke-15, h. 142 31

Hadis ini diriwayatkan oleh At-Tirnidzi dari Ibnu Abbas

Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang hakekat dan subtansi ruh” Katakan: “Ruh adalah urusan Tuhanku dan hanya sedikit ilmu yang diberikan kepada manusia” (Q.S. al-Isrâ’ [17]: 85).

Menayakan masalah hakikat dan substansi ruh pada ayat tersebut bukan bertujuan mencari jawaban sebenarnya orang-orang musyrik dengan pertanyaan ini bermaksud menguji sejauh mana ilmu pengetahuan yang dimiliki Nabi saw. karena ruh adalah penyebab kehidupan. Jawaban yang diberikan al-Qur’ân menanggapi pertanyaan adalah bahwa ruh merupakan urusan Allah. Hal ini menunjukkan bahwa ia merupakan ciptaan Allah tanpa adanya penjelasan lebih

lanjut. Wahbah al-Zuhaili menulis, penjelasan rinci tentang hakikat ruh tidak dilakukan agar manusia menyadari kelemahan hakikat dirinya sekalipun mengenali eksistensi keberadaannya dan jika mengenal dirinya saja tidak mampu

apalagi megenal hakikat yang hak. 32 Para filusuf Yunani kuno, baik Aristoteles, Plato, maupun Phitagoras

memahami hakikat dan substansi ruh sebagai suatu wujud sederhana dan zat yang terpancar dari sang Pencipta persis sebagaimana sinar terpancar dari matahari. Ruh bersifat spiritual, ketuhanan, terpisah dan berbeda dari tubuh. Bila dipisahkan dari tubuh, maka ruh memperoleh pengetahuan tentang segala yang ada di dunia dan melihat hal yang di alam. Setelah berpisah dari tubuh ia menuju ke alam akal kembali ke nur sang Pencipta, dan bertemu dengan-

Nya. 33

33 Wahbah Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa Syari’ah wa Mahj, h. 156 M. M. Syarif, Para Filusuf Muslim, (Bandung: Mizan, Oktober 1999), Terj., h. 25

Para sarjana muslim memahami hakikat ruh dengan pemahaman variatif. Al- Râzi dan Ibn al-Qayyim dalam karya keduanya kitab “al- Rûh“ mengartikan hakikat ruh sebagai wujud sederhana yang terpisah, dan sebagai bentuk cahaya jasmani yang berbeda dengan bentuk indrawi, ia mengalir bagai mengalirnya air ke dalam bunga, wujudnya terkait dengan keberadaan penyebabnya. Sementara al-Ghâzali, Abu al-Qâsim dan al-Asfahani memahami bahwa hakikat ruh bukan sebuah wujud bentuk maupun wujud

jasmani yang terikat dengan tubuh. 34

Jawaban al-Qur’ân terhadap pertanyaan hakikat dan substasi ruh yang diajarkan kepada Nabi saw. sebagaimana terlihat pada ayat di atas tidak memberikan sebagaimana yang dipertanyakan karena masalah ruh menjadi urusan Allah. Keterbatasan kemampuan manusia tidak dapat menjamak hal- hal yang bersifat metafisik oleh karena ilmu yang dimilikinya amat sedikit (QS. Al-Isra: 17: 85).

Memahami redaksi pertanyaan yang menggunakan bentuk kata kerja mudhâri pada ayat di atas menandakan betapa persoalan hakikat ruh tetap menjadi isu menarik di kalangan cendikiawan dahulu, kini dan masa depan di mana para filosuf Muslim maupun non-Muslim memiliki perhatian yang khusus dalam membahas masalah tersebut.

Ibnu Mas’ud mengisahkan bahwa suatu hari Rasulullah dengan bertongkat berjalan bersamanya di Madinah melewati sekelompok orang- orang Yahudi. Salah seorang dari mereka berkata: “Mari kita bertanya

34 Wahbah Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa Syari’ah wa Mahj. h. 156 34 Wahbah Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa Syari’ah wa Mahj. h. 156

Selanjutnya beliau melafadzkan ayat 85 Surat al-Isrâ tersebut. 35 Masalah yang muncul adalah obyek yang menjadi pertanyaan Yahudi

itu “ruh” dalam pengertian yang bagaimana? Dalam hal ini al-Alusi menerangkan bahwa yang menjadi pertanyaan orang-orang Yahudi itu adalah hakikat ruh sebagai esensi jasmaniyah manusia dan titik tolak dari

kehidupannya, karena hal itu termasuk masalah yang paling rahasia namun tak seorang pun yang dapat mengingkari adanya. 36

Mengacu pada keterangan di atas dapat dipahami bahwa yang dikehendaki oleh orang-orang Yahudi dengan pertanyaannya adalah hakikat ruh sebagai esensi dan substansi manusia dan sebagai suatu daya yang membuat mereka hidup dan bergerak, namun pertanyaan itu dipatahkan oleh al-Qur’ân dengan satu pernyataan bahwa hal itu adalah merupakan salah satu dari urusan Allah, bukan urusan manusia. Wujud manusia dalam segala hal berada dalam keterbatasan ilmu dan pengetahuan Allah SWT. tidaklah sanggup manusia yang dengan serba kelemahannya ingin mengungkap rahasia Allah tentang hakikat ruh tersebut.

35 Al-Imam al Hafidz ‘Imadu al-Din abu Al-Fida Isma’il Ibn Katsir al-Qarsy al-Dimshaqy, Tafsir Al-Qur’an al-Azhim, h. 59 36

Al-Allamah Abi Al-Fadhl Syihabu al din al-Sayid mahmud al-Alusy Al-Baghdady, Ruh Al-Ma’ani Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim Wa al-Sab’I Al-Matsani, (Bairut: Daar al Kutub al-Ilmiyah, 1994), h. 144

Serba keterbatasan ilmu pengetahuan manusia bila dibandingkan dengan pengetahuan dari ilmu Tuhan banyak digambarkan Allah SWT. dalam al-Qur’ân. Antara lain dalam Surat al-Kahfi ayat 109 yang berbunyi:

Artinya: Katakanlah: "Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula). (Q.S. al-Kahfi [18]: 109).

Pernyataan serupa juga terdapat dalam surat Luqman ayat 27 yang

berbunyi:

Artinya: “Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering) nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. Luqman [31]: 27).

Jawaban singkat al-Qur’ân atas pertanyaan tentang ruh tersebut menunjukkan bahwa masalah ruh akan tetap menjadi rahasia yang hakikatnya hanya diketahui oleh Allah SWT. Manusia bisa saja menemukan bahkan menciptakan apa dengan ketajaman pemikiran namun tidak akan mampu ketika dihadapkan dengan misteri ruh. Karena ruh merupakan bagian dari rahasia Allah, sementara manusia terlalu lemah untuk mengungkapnya.

b. Ilmu Sejarah Pertanyaan yang memiliki motivasi menguji ilmu pengetahuan sejarah terdapat pada surah al-Kahf ayat 83 dan jawabanya dari ayat 84 hingga 94. Surah yang memiliki 110 ayat diturunkan di Makkah ini mempunyai kandungan tiga kisah unik dari sekian banyak kisah menarik dalam al-Qur’ân, sejalan dengan kerangka penetapan target-target fundamental menuju kokohnya sebuah akidah dan keimanan terhadap kekuasaan dan kebesaran Allah SWT. Yang pertama, mengetengahkan kisah “Ashab al-Kahfi”, sebuah

kisah nyata tentang pengorbanan jiwa raga mempertahankan akidah yang dilakukan pemuda-pemuda beriman yang dengan terpaksa meninggalkan kampung halamannya demi memperjuangkan keyakinan agamanya dan mencari tempat berteduh di sebuah gua yang ada di gunung selama 309 tahun lamanya. Sedang yang kedua ialah kisah Nabi Musa dengan Khidir, sebuah kisah nyata kesopansantunan mencari ilmu pengetahuan yang dalam prosesnya menyaksikan peristiwa-peristiwa supra natural yang dilaluinya selama menempuh proses belajar mengajar. Kisah terakhir adalah kisah Dzu al-Qarnain, seorang raja yang dikaruniai ketaqwaan dan kepatuhan pada sang Pencipta yang senantiasa bersikap adil dalam menjalankan tugas kepemimpinannya dalam kerajaan yang mendominasi seantero dunia dari

Timur hingga Barat serta pembangunan benteng Esi yang kokoh. 37

37 Muhammad Ali al-Sabuni, Shafwat at-Tafsir, h. 181

Kisah historis seorang raja yang memiliki ketaqwaan dan kepatuhan penuh kepada sang Pencipta inilah yang menjadi obyek pembahasan seiring dengan keinginan bangsa Yahudi dan bangsa non-muslim Makkah menguji sejauh mana kemampuan Nabi dalam menguasai bidang ilmu pengetahuan sejarah. Dengan nada menguji mereka bertanya kepada Nabi saw. tentang berita/kisah raja Dzu al-Qarnain. Pertanyaan dimaksud bukan mencari informasi sebenarnya, tetapi hanya untuk membuat ferifikasi pembuktian kenabian seorang Muhammad, betulkah ia seorang Nabi? Hal inilah yang melatarbelakangi

turunnya ayat 83 surah al-Kahfi:

Artinya: “Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulqarnain. Katakanlah: "Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya". (Q.S. al- Kahfi [18]: 83).

Al-Biqa’i menghubungkan kelompok ayat ini dengan kelompok ayat-ayat sebelumnya dari sisi perjalanan di bumi. Kisah nabi Musa as. adalah perjalanan menuntut ilmu, dan kisah Dzu al-Qarnain adalah perjalanan melakukan jihad. Yang pertama didahulukan karena tingginya derajat ilmu, sebab ilmulah asas

bagi segala kebahagiaan serta syarat bagi segala persoalan. 38 Yang menjadi titik tolak pertanyaan pada ayat di atas bukan terkait

dengan siapakah sebenarnya nama tokoh yang diberi gelar dengan Dzu al- Qarnain yang masih diperselisihkan di kalangan pakar tafsir itu sendiri. Pakar- pakar tafsir berpendapat bahwa seorang tokoh yang mendapatkan gelar Dzu al-

38 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, h. 112

Qarnain adalah Raja Alexander Yunani, penguasa kerajaan Timur dan Barat yang taat beragama tauhid dan memiliki sikap adil dan bijaksana dalam menjalankan pemerintah kerajaannya yang berlangsung pada masa peralihan antara Nabi Isa

as, ke periode Nab Muhammad saw. 39 Ada pula ulama Yahudi dan Nasrani yang berpendapat bahwa disebut dengan Dzu al-Qarnain, karena ia menjadi penguasa

kerajaan Romawi dan Persia, demikian pula ada yang mengatakan disebut dengan Dzu al-Qarnain, karena tokoh ini memiliki kedua tanduk dikepalanya. 40

Objek yang menjadi pertanyaan pada ayat tersebut di atas adalah perihal

ikhwal perjalanan sejarah seorang tokoh dan bukan namanya. Pertanyaan ini juga dalam konteks menguji kemampuan ilmu pengetahuan sejarah seorang Nabi. Karena menyangkut sejarah perjalanan seorang tokoh, maka al-Qur’ân mengarahkan Nabi saw. untuk memberikan jawaban secara detail kepada kalangan non-muslim Makkah yang menanyakan hal tersebut kepada Nabi setelah mereka diajari orang Yahudi mengenai materi pertanyaan. Jawaban atas pertanyaan berlangsung dari ayat 84-94.

Demikian apapun jawaban yang disampaikan kepada para penanya tidak dapat merubah sikap arogansi mereka, apalagi idiologi dan keyakinannya sehingga mempercayai kenabian Muhammad dan risalah yang dibawanya.

c. Ilmu Geologi Selain falsafah dan sejarah menjadi materi pengujian ilmu pengetahuan yang diajukan kalangan masyarakat kafir Quraisy Makkah maupun kalangan

40 Muhammad Ali al-Sabuni, Shafwat at-Tafsir, h. 204 Hafid Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, (Cairo: Daar al-Islami, Tth.), Juz ke-2, h. 433

Yahudi Madinah, terdapat pula materi lain yang menjadi objek pertanyaan yaitu ilmu geologi yang mempelajari bumi dan seisinya serta fenomena alam semesta sebagaimana terungkap dalam surat Thaha ayat 105.

Artinya : Dan mereka bertanya kepadamu tentang gunung-gunung, maka katakanlah: "Tuhanku akan menghancurkannya (di hari kiamat) sehancur-hancurnya. (Q.S. Thaha [20]: 105).

Surah Thaha terdiri dari 135 ayat, diturunkan di Makkah dengan kandungan bahasan masalah agama yang fundamental seperti aspek ketauhidan,

kenabian, hari kembangkitan. Selain masalah-masalah fundamental, surat ini juga mengetengahkan sikap kepribadian Nabi yang kokoh dalam menghadapi ulah tipu daya, ejekan, dan keras kepala penduduk kafir Makkah serta mengisahkan nabi-nabi terdahulu seperti nabi Musa dan Harun dalam menghadapi Fir’aun, penguasa tirani dan represif yang sikap arogansinya sehingga mengklaim dirinya sebagai Tuhan “Seraya berkata, Akulah Tuhanmu yang tinggi” (Q.S. al-Nâzi‘ât [79]: 24) sebagai pelipur Nabi Muhammad saw. Demikian pula kisah Nabi Adam as. secara sekilas serta pemandangan hari pembalasan, kemudian diakhiri dengan arahan-arahan Rabbâni agar Nabi senantiasa memiliki sikap kesabaran penuh dalam menghadapi derita perjuangan sampai kemenangan tercapai.

Yang menjadi materi pertanyaan bertujuan menguji ilmu pengetahuan geologi seorang Nabi, adalah mempertanyakan gunung dan keberadaannya bila hari kiamat terjadi. Gejala alam apakah yang akan menimpa gunung-gunung secara keseluruhan baik yang sedang maupun yang mencakar langit setelah menjalankan fungsinya sebagai stabilator peredaran perjalanan planet bumi Yang menjadi materi pertanyaan bertujuan menguji ilmu pengetahuan geologi seorang Nabi, adalah mempertanyakan gunung dan keberadaannya bila hari kiamat terjadi. Gejala alam apakah yang akan menimpa gunung-gunung secara keseluruhan baik yang sedang maupun yang mencakar langit setelah menjalankan fungsinya sebagai stabilator peredaran perjalanan planet bumi

Artinya: “Dan Kami telah menciptakan gunung-gunung sebagai pasak“ (Q.S. al- Naba’ [78]: 7).

Artinya: “Bukankah Kami jadikan bumi sebagai hamparan” (Q.S. al-Naba’ [78]: 6).

Artinya: “Dan bagaimana gunung-gunung ditegakkan” (QS. al-Ghâsyiyah [88]: 19).

Orang-orang non-Muslim Makkah yang memang hidup di sebuah lembah dikelilingi gunung-gunung sahara dan menjadi pemandangan sehari-hari mempertanyakan keberadaan gunung-gunung tersebut pada hari kiamat “Wahai Muhammad apa yang akan dilakukan Tuhan terhadap gunung-gunung itu pada hari kiamat”. Pertanyaan inilah menjadi latar belakang turunnya ayat berikut:

Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang gunung-gunung, Maka jawablah! Tuhanku akan menghancurkannya, lalu Dia akan menjadikannya datar dan rata. Engkau tidak akan melihat disana sedikitpun yang rendah dan tinggi” (Q.S. Tâhâ [20]: 105).

Demikian setelah Allah memberikan jawaban di mana kondisi gunung- gunung berubah menjadi datar dan rata, hilang dari pandangan mata tidak Demikian setelah Allah memberikan jawaban di mana kondisi gunung- gunung berubah menjadi datar dan rata, hilang dari pandangan mata tidak

Dalam perspektif al-Qur’ân, memahami alam bukanlah usaha yang bermakna, kecuali jika ia membantu penanya memahami Pencipta Maha Bijak dunia ini dan mendekatkan diri kepada-Nya. Memahami alam dapat mengembangkan wawasan manusia bagi pengenalan Allah dan memungkinkan untuk dapat lebih baik memanfaatkan pemberian-pemberian Allah demi

kebahagiaan dan kesejahteraan dirinya. 41 Tetapi jika pertanyaan tentang alam datang dari kalangan non-muslim, maka bukan menambah wawasan yang terjadi,

melainkan pengejekan dan penghinaan terhadap pihak yang ditanya. Materi pertanyaan berupa gunung yang sebenarnya dalam visi al-Qur’ân merupakan fenomena alam ini merupakan tanda-tanda Yang Maha Kuasa, dan suatu pemahaman tentang alam adalah analog dengan pemahaman tanda-tanda

yang dapat membawa kita meraih pengetahuan tentang Tuhan, 42 bukan sebaliknya. Karena gunung merupakan tanda-tanda ciptaan Allah di muka bumi

ini seperti pada ayat berikut:

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, ialah penciptaan langit dan bumi dan berbeda-bedanya bahasa dan warna kulitmu, sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda- tanda bagi orang-orang yang mengetahui” (Q.S. al-Rûm [30]: 22).