Pertanyaan Tentang Hukum

A. Pertanyaan Tentang Hukum

Al-Qur’ân terbagi dalam surat-surat yang semuanya berjumlah 114 dengan panjang yang beragam, dan setiap surat masing-masing jumlah ayatnya berbeda. ada ayat yang panjang dan pula yang pendek. Surat Makiyah adalah surat yang paling pendek, ayat-ayat surat Makiyah diturunkan mengandung momen-momen psikologis yang luar biasa, periode Madaniyah berganti

dengan gaya yang lebih tenang dan lancar berbarengan dengan kandungan hukum dalam al-Qur’ân bertambah banyak yang ditujukan untuk mengatur organisasi yang terperinci dan memberikan pada masyarakat negara Islam yang baru lahir.

Pada masa seperti ini muncullah konsultasi-konsultasi hukum baik dalam rangka meminta penjelasan pandangan hukum maupun dampak ketentuan hukum itu sendiri sebagai obyek konsultasi dalam dimensi kehidupan umat Islam baik secara individual, kelompok, bermasyarakat dan bernegara. “Selain merupakan sebuah buku prinsip-prinsip dan seruan-seruan moral, al-Qur’ân memang mengandung beberapa pernyataan hukum yang

harus dikeluarkan selama proses pembinaan masyarakat negara Madinah. 1 Adapun ketentuan-ketentuan legislasi sebagaimana terungkap dengan

redaksi verbal al-Qur’ân dalam konteks hukum yang lahir setelah adanya konsultasi hukum yang kemudian menjadi ketentuan legislasi dasar yang

1 Fazlur-Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka, 2000), h. 431 1 Fazlur-Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka, 2000), h. 431

Dari hasil konsultasi hukum yang berlangsung dan menggunakan kalimat yas’alûnaka sebagaimana tercantum dalam al-Qur’ân, lahirlah beberapa ketentuan legislasi Qur’ani yang tercermin membuahkan delapan masalah hukum, enam legislasi terdapat pada surah al-Baqarah, dan dua keputusan hukum lainnya terdapat pada surat al-Mâ’idah dan al-A’râf.

Adapun pertanyaan tentang hukum dapat penulis simpulkan menjadi pasal-pasal berikut:

a. Legislasi Infak dan Penerimanya

Perhatian al-Qur’ân bagi kesejahteraan hidup manusia di muka bumi amat besar, oleh karenanya solidaritas sosial berupa dukungan finansial terhadap golongan lemah mendapat konsiderasi serius, bahkan keimanan yang real dikaitkan dengan sejauh mana orang merelakan jiwa raga dan hartanya di jalan Allah. Para pakar legislasi atau yang dikenal dengan ulama fiqih menterjemahkan kepedulian sosial berupa infaq/sedekah sebagai jihad di jalan Allah dengan tujuan terciptanya suatu kepedulian dan kepentingan umum umat Islam melalui partipasi dan ikut berperan serta memberikan kontribusi meringankan beban kesulitan hidup yang dialami golongan lemah dengan cara menginfaqkan sebagian pendapatannya.

Al-Qur’ân menyatakan persamaan kedudukan sedekah dengan pengorbanan jiwa dalam memperjuangkan dan mempertahankan agama Allah.

Seruan berinfaq dan bersedekah dapat ditemukan pada 73 ayat tersebar di beberapa surah, dan hal ini menunjukkan betapa besar perhatian al-Qur’ân menyikapi masalah sosial dan distribusi kekayaan menyangkut kepentingan masyarakat luas, dan betapa ia meletakkan prinsip-prinsip kehidupan sosial kemasyarakatan untuk mewujudkan tarap kehidupan sosial yang wajar.

Ayat-ayat terkait antara lain terdapat pada surat al-Taubah yang artinya: “Berjihadlah kalian dijalan Allah dengan hartamu dan jiwa ragamu karena yang demikian itu lebih baik untuk kalian jika kalian mengetahuinya” dan

Surah al-Shaf yang artinya: “Ialah kamu beriman kepada Allah dan Rasulnya serta berjihad di jalan Allah dengan hartamu dan jiwa ragamu, karena yang demikian itu lebih baik untuk kalian jika kalian mengetahuinya”.

Pentingnya masalah infak dan sedekah serta peranannya yang konstruktif dalam megurangi persoalan kemiskinan dan menanggulangi isu sosial lainnya, kiranya amat logis jika komunitas muslim pemula mendapatkan ketentuan legislasi menyangkut klasifikasi dan kriteria jenis harta yang diinfaqkan dan kepada siapa infaq tersebut diberikan menurut hukum Ilahiah yang berlaku.

Terdorong rasa keimanan kuat untuk mengetahui ketetapan yuridis tentang infaq ini, pertanyaan legislasi pun muncul di kalangan sahabat dalam masalah tersebut, yaitu kriteria harta apakah yang disedekahkan dan kepada siapa harta sedekah diberikan?

Seiring dengan munculnya pertanyaan, al-Qur’ân merekam peristiwa tersebut pada dua ayat di satu surah, yaitu al-Baqarah sebagai respon atas Seiring dengan munculnya pertanyaan, al-Qur’ân merekam peristiwa tersebut pada dua ayat di satu surah, yaitu al-Baqarah sebagai respon atas

Pertanyaan hukum infaq pada ayat di atas menyangkut jumlah pengeluaran sedekah yang bersifat sunnah bukan wajib. Namun demikian

pengeluaran sedekah menjadi wajib jika seseorang memiliki orang tua yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya sehari-hari.

Pengikut Madhab Syafi’i menyebutkan bahwa seorang anak baik laki- laki maupun perempuan memiliki tanggung jawab dan kewajiban memenuhi kebutuhan ayah dan kakeknya, termasuk kebutuhan sehar-hari dan bahkan kebutuhan biologisnya, mereka berkewajiban mengawinkan ayah dan kakeknya bila yang bersangkutan masih menginginkan dan tidak mampu membiayainya untuk menghindari penyaluran kebutuhan biologis yang tidak

dibenarkan dan tidak sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang ayah. 2 Sekalipun menurut Imam Malik seorang anak tidak berkewajiban

mengawinkan ayahnya, tetapi mempunyai kewajiban memberikan nafkah kepada istri ayahnya baik ibu kandung maupun ibu tiri. Al-Qurtubi juga berpendapat, seorang anak tidak berkewajiban mengawinkan ayah kandungnya karena pada umumnya tidak menghendaki perkawinan, namun jika memiliki

2 Wahbah al-Zuhaeli, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj, h. 256 2 Wahbah al-Zuhaeli, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj, h. 256

Dari elaborasi di atas, penulis dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa ayat 215 surah al-Baqarah ini merupakan argumentasi legislatif bagi ketentuan hukum kewajiban pemberian nafkah oleh seorang anak kepada kedua orang tuanya, dan kerabat-kerabat dekat. Pembatasan pemberian nafkah kepada kedua pihak penerima ini karena pihak-pihak lainnya seperti anak-anak yatim, kaum fakir-miskin, dan ibnu al-Sabil ini dimasukan ke dalam kelompok

penerima zakat.

b. Legislasi Perang di Bulan Haram

Sebagai komunitas yang baru lahir, penduduk Madinah banyak menghadapi masalah hukum yang belum diketahui termasuk menyangkut ketentuan waktu perang yang dilarang dan diperbolehkan. Meski ijin perang telah dinyatakan dan kewajiban menjalankan peperangan menjadi tugas setiap individu sekalipun dirasa berat (Q.S. al-Baqarah [2]: 216), dan memiliki konsekuensi bahaya fisik seperti menderita luka berat atau bahkan kehilangan nyawa. Oleh karenanya, boleh jadi umat Islam ada yang tidak menyukai perang padahal itu positif baginya atau bahkan ada pula yang sebaliknya. Dalam konfrontasi fisik pada peristiwa perang akan berakibat pada kemenangan atau kekalahan dan implikasi kemenangan dalam peperangan inilah menjadi objek pembahasan pada bagian ini.

3 Wahbah al-Zuhaeli, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj, h. 256

Ketentuan perintah kewajiban berperang yang bersifat umum pada surat al-Baqarah ayat 216 mendorong sahabat Nabi menanyakan yuridis peperangan di bulan Rajab yang merupakan salah satu bulan haram yaitu Rajab, Dzu al- Qa‘iddah, Dzu al-Hijjah, dan bulan Muharam. Pertanyaan hukum boleh tidaknya berperang pada bulan-bulan tersebut mendapat jawaban tegas yang disampaikan al-Qur’ân secara jelas yang kemudian menjadi ketetapan legislasi.

Dalam penjelasannya, al-Qur’ân menyatakan hukum pelarangan perang di bulan Rajab dengan ungkapan “kabîrun” yang artinya dosa besar, dan dosa

besar memiliki pengertian pelarangan perang. Dengan demikian al-Qur’ân meletakkan aturan perang yang menjadi rujukan umat Islam dalam kehidupannya.

Al-Baidhawi menulis bahwa ayat di atas menunjukkan pelarangan perang pada seluruh bulam Muharam secara mutlak sejalan dengan kegunaan kata nakirah yang terdapat pada lafadz “qitâlun” di mana tidak tersusun dalam

konteks redaksi kalimat aktif. 4

c. Hukum Minuman Beralkohol/Khamr dan Judi

Al-Qur’ân selain sebagai buku berisi tentang prinsip-prinsip dan seruan moral, ia juga mengandug pernyataan-pernyataan hukum penting yang

diturunkan selama proses pembinaan masyarakat Madinah. 5 Pelarangan konsumsi minuman beralkohol merupakan contoh menarik dari metode

4 Syeikh Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Qur’ân al-Karim al-Syahir bi al-Tafsir al- Manar, (Tt: Dar Al-Fikri, Tth), Juz 11, h. 315 5

Fazlur Rahman, Islam, h. 44 Fazlur Rahman, Islam, h. 44

Pemakaian alkohol nampaknya sama sekali tidak dilarang pada tahun- tahun pertama pemerintahan Islam, baru kemudian dikeluarkan larangan shalat ketika berada dalam pengaruh alkohol. Pelarangan minuman beralkohol melewati empat fase secara gradual dari legislasi ringan hingga terberat dan penahapan pelarangan ini merupakan kebijakan edukasi yang progresif, karena jika dilakukan serentak “Janganlah minum khamr” niscaya mereka menjawab,

”Kami tidak akan meninggalkannya,” sebagaimana yang terdapat dalam ayat berikut:

Pertanyaan legislasi yang terdapat dalam surat al-Baqarah: 2 ayat 216 ialah menyangkut konsumsi minuman keras dan permainan judi ditinjau dari kedua perspektif hukum boleh tidaknya yang dalam terminologi Fiqih disebut dengan kehalalan atau keharamannya.

Pertanyaan tentang halal dan haramnya minuman khamr dan judi yang diajukan oleh Umar bin Khattab, Mu’ad bin Jabal dan sahabat-sahabat lain dari golongan Anshar yang melakukan kunjungan kepada Nabi saw. dan meminta fatwa hukum menyangkut khamr dan judi, yang pertama setelah minum dapat menyebabkan hilangnya kesadaran dan yang kedua menghambur-hamburkan harta. Pertanyaan tersebut mendapat tanggapan respon Rasulullah saw. berupa jawaban “Pada keduaya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia”.

6 Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj, h. 271

Ungkapan jawaban berupa “dosa besar” mengawali tahapan kedua legislasi pelarangan konsumsi jenis minuman khamr dan permainan judi. Sebagian Ulama Fiqih ada yang berpendapat bahwa ayat 216 surat al-Baqarah ini merupakan legislasi pelarangan konsumsi minuman keras dan permainan judi. Ayat-ayat yang turun sesudahnya bersifat konfirmatif penguatan ketentuan hukum haram khamr, karena ungkapan “dosa” mempunyai pengertian haram. Namun demikian, para pakar hukum secara mayoritas berpendapat, ketentuan pelarangan kedua jenis komoditi tersebut berlangsung

melalui tahapan-tahapan, sebagaimana penulis jelaskan sebelumnya. Hukum pelarangan minuman keras apapun jenisnnya yang dalam ayat 216 surat al-Baqarah dinyatakan dengan kata “dosa besar” meski ada beberapa manfaatnya bagi manusia sekalipun bahayanya lebih besar dari manfaatnya ini. Adalah ketentuan hukum pelarangan bagi hal-hal yang terkait dengan minuman tersebut. Pelarangan bukan hanya terbatas pada konsumi, tetapi juga berlaku untuk para produsen yang memproduksi, para konsumen, pemasar, penjajak/tempat-tempat penjualan, pelayan dan karyawan-karyawan yang bekerja pada manufaktur penghasil minuman keras berbagai jenisnya.

Lahirnya legislasi larangan konsumsi minuman keras atau minuman beralkohol dengan segala jenisnya ini sehubungan dengan adanya pengaruh negatif yang destruktif membahayakan kesehatan, akal, sosial kemasyarakan, moralitas, keuangan dan agama. Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaeli dalam karnya

7 Syeikh Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’ân al-Karim al-Syahir bi al-Tafsir al- Manar, h. 322

“Al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj” menulis bahwa dampak destruktif pengkonsumsian khamar mencakup:

1) Bahaya Kesehatan Jasmani, yaitu merusak seluruh anggota pencernaan, menghilangkan napsu makan, membengkakkan kelopak mata, menggendutkan perut, merusak jantung dan liver, mempercepat ketuaan, dan melemahkan keturunan di mana anak pemabuk berbadan kurus dan lemah intelegensinya.

2) Bahaya Akal, yaitu melemahkan daya ingatan yang dapat menyebabkan hilang akal atau gila.

3) Bahaya Keuangan, yaitu menghambur-hamburkan kekayaan dan uang sehingga dapat melupakan kewajiban memberi nafkah pada istri dan anak-anak.

4) Bahaya Sosial, yaitu memicukan perselisihan, konflik, dan permusuhan antar- pemabuk itu sendiri dan antara pemabuk dengan lainnya yang tidak mabuk, karena tidak sedikit kasus pembunuhan, kekerasan, pemukulan (tindakan kriminal) terjadi akibat mabuk.

5) Bahaya Moral, yaitu pemabuk menjadi hina, rendah, dan bahkan menjadi objek ejekan karena sikap, perbuatan, dan pembicarannya yang melantur. Para pemabuk juga sering mengumpat, mencaci, dan menghardik bahkan berzina dan membunuh, oleh karenanya minuman keras disebut dengan biang keladi kejahatan.

6) Bahaya Umum, yaitu membuka rahasia oleh karena tidak sedikit rahasia- rahasia negara dibocorkan kepada mata-mata oleh pemabuk.

7) Bahaya Agama, yaitu tidak terlaksanakannya ibadah secara benar lebih- lebih shalat yang merupakan tiang agama, minuman keras menyebabkan jauh dari Allah dan menghalanginya melaksanakan shalat dan kewajiban-

kewajiban agama lainnya. 8 Seperti halnya adanya dampak bahaya yang ditimbulkan dari minuman

keras sebagai tersebut di atas, judi pun memiliki beberapa pengaruh negatif antara lain; menimbulkan permusuhan dan kebencian serta mengajarkan seseorang bermalas-malas menanti rizki tanpa bekerja dan bahkan para penjudi

meninggalkan pekerjaan tani, industri, dan perniagaan yang menjadi pilar-pilar kehidupan perekonomiannya. Efek destruksi paling umum adalah menderita kebangkrutan dan menghancurkan rumah tangga sehingga dalam sekejap mata

penjudi dapat beralih kedudukan dari kaya menjadi miskin. 9

d. Hukum Pengelolaan Harta Anak-anak Yatim

Pada periode sebelum kemunculan Islam, masyarakat pra-Islam memperlakukan anak-anak yatim dengan perlakuan tidak manusiawi dan memandang mereka dengan sebelah mata. Komunitas ini tidak mau berbaur atau bercampur dengan anak-anak yatim karena mengangggap rendah status mereka, apalagi makan dan minum bersama menjadi hal yang absurd. Al- Dhahak dan Al-Sada mengatakan, masyarakat jahiliyah merasa tidak nyaman

8 Wahbah al-Zuhaeli, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj, h. 276-277 9

Wahbah al-Zuhaeli, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj, h. 279 Wahbah al-Zuhaeli, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj, h. 279

komunitas Jahiliyah. Kenyataan sikap seperti ini tidak dilakukan komunitas muslim baik kalangan al-Muhajirin maupun al-Anshâr. Berbeda dengan sikap perlakuan masyarakat non-muslim terhadap anak yatim, umat Islam justru menyikapi eksistensi fenomena sosial ini dengan penuh kasih sayang dan perhatian serta tidak diskriminasi lebih-lebih isolasi terhadap mereka. Pertanyaan yurisdiksi muncul pada saat dikeluarkannya seruan menjauhi harta anak-anak yatim yang terdapat pada surah al-An’âm ayat 152 yang berbunyi:

Artinya: “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa....” (Q.S. al-An‘âm [6]: 152).

Dan surah al-Nisâ ayat 10 yang berbunyi:

Artinya: “Sesungguhnya, orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka ini memakan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka )” (Q.S. al-Nisâ’ [4]: 10).

Persoalan pengelolaan harta anak yatim merupakan isu krusial di kalangan umat Islam bukan saja pada periode kemunculan pertama Islam, tetapi juga pada era globalisasi dewasa ini. Sebagai fenomena sosial, persoalan anak-anak yatim tetap eksis menghiasi kehidupan masyarakat. Pertanyaan hukum boleh tidaknya mengurus atau mengelola kekayaan anak-anak yatim

10 Wahbah al-Zuhaeli, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj,, h. 286 10 Wahbah al-Zuhaeli, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj,, h. 286

Ditinjau dari perspektif linguistik, pertanyaan hukum pengelolaan harta anak-anak yatim yang mempergunakan kata kerja berbentuk mudhari’ memiliki pengertian penyegeraan, pembaharuan, dan kontinuitas persoalan yang dibahasnya. Hal ini menandakan bahwa masalah tersebut akan terus menjadi sebuah isu yang memerlukan solusi kolektif di kalangan umat Islam. Kepedulian terhadap keberadaan nasib anak yatim harus mulai diterjemahkan kedalam tindakan-tindakan nyata dalam mengelola dan memelihara harta milik mereka, dan sikap serta tindakan nyata inilah menjadi barometer ketulusan atau kebohongan seseorang dalam beragama sebagaimana dinyatakan Allah dalam firman-Nya:

Artinya: “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama/hari kemudian?Dia adalah yang menghardik anak yatim”. (Q.S. al-Mâ‘ûn [107]: 1-2).

Pentingnya masalah pengelolaan dan pemeliharan harta anak yatim sampai-sampai Nabi saw. bersabda sambil merapatkan jari tengah dan jari telunjuk beliau: “Saya bersama pemelihara anak yatim seperti ini kelak di surga”.

Pertanyaan hukum tersebut mengawali lahirnya sebuah peraturan yang mengesahkan hukum pemeliharaan dan pengelolaan harta anak yatim dalam konteks mengurus urusan mereka secara patut, ikut campur dengan maksud Pertanyaan hukum tersebut mengawali lahirnya sebuah peraturan yang mengesahkan hukum pemeliharaan dan pengelolaan harta anak yatim dalam konteks mengurus urusan mereka secara patut, ikut campur dengan maksud

Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu

menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 220).

e. Hukum Wanita Datang Bulan

Persoalan haidh Dan mereka bertanya kepadamu tentang gunung- gunung, maka katakanlah: "Tuhanku akan menghancurkannya (di hari kiamat) sehancur-hancurnya, telah menjadi ketentuan Ilahiah yang dibebankan kepada wanita sejak dahulu kala hingga sekarang dan seterusnya, selain sudah menjadi suratan taqdir bagi kaum hawa, haidhh juga mengakibatkan ganguan fisik dan psikis wanita, karena secara fisik dengan bayaknya darah segar yang keluar dapat menimbulkan ganguan kesehatan jasmani wanita. Rasa sakit seringkali melilit perutnya akibat rahim yang berkontraksi. Dalam pada itu haidh juga menimbulkan ganguan lain bagi seorang suami.

Sebagai gejala ganguan fisik dan psikis yang dialami wanita dalam hidupnya, haidh menimbulkan persoalan baru bagi seorang suami, pertayaan boleh tidaknya melakukan hubungan seksual antara suami istri jika istri tegah megalami datang bulan menjadi penting pada periode awal kemunculan Islam sehingga jawaban yang diberikan mengawali terbentuknya undang-undang yang mengatur halal dan haramnya menjalin hubungan seks ketika seorang istri sedang haidh.

Mecermati redaksi pertanyaan hukum boleh tidaknya melakukan hubungan intim antara suami istri yang tengah haidh dengan menggunakan

kata kerja berbentuk mudhari’ menyiratkan pengertian bahwa persoalan ini berlaku pada setiap zaman dan terus terjadi dalam kehidupan rumah tangga sehingga pengangkatan kembali masalah ini tetap diperlukan untuk mengingatkan aturan terkait. Hal ini menunjukkan bahwa masalah haidh harus senantiasa diperhatikan oleh suami istri, sehingga hubungan intim yang berlangsung tidak menimbulkan riak-riak yang membahayakan keturunan bila dikaruniai anak-anak.

Pertanyaan kondisional menyangkut hukum pembolehan dan pelarangan penyaluran kebutuhan biologis suami istri sehubungan dengan tradisi masyarakat Yahudi yang memposisikan kaum wanita dalam kedudukan yang amat rendah. Bangsa Yahudi memandang wanita-wanita yang tengah mengalami haidh sebagai tidak pantas tinggal di rumah sehingga mereka dikeluarkan dari tempat-tempat tinggalnya, tidak diajak makan bersama,

minum bersama, dan tidak digauli. 11

11 Muhammad Ali al-Sabuni, Shafwat at-Tafsir, h. 140

Persoalan hukum diatas menandai diundang-undangkannya peraturan hukum pelarangan kegiatan seksual bagi suami dan istri yang sedang mengalami datang bulan dan membolehkan segala sesuatu yang selama ini dilakukan selain hubungan seks, sebagaimana disampaikan Nabi saw “Lakukanlah segala sesuatu yang selama ini dibenarkan kecuali hubungan

seks.” 12 Demikian penghormatan dan perlakuan al-Qur’ân terhadap wanita haidh

berjalan paralel dengan perlakuannya terhadap lembaga keluarga. Oleh karenanya dapat dikatakan sejelas-jelasnya bahwa semangat legislasi al-Qur’ân

memperlihatkan arah yang jelas menuju realisasi progresif dari nilai-nilai fundamental tentang kedudukan wanita sebagaimana dituangkan dalam surat al-Baqarah ayat 222 berikut: ﹶﻥﺮﻬﹾﻄﻳ ﻰﺘﺣ ﻦﻫ ﻮﺑﺮﹾﻘﺗ ﺎﹶﻟﻭ ﹺﺾﻴﺤﻤﹾﻟﺍ ﻲﻓ َﺀﺎﺴﻨﻟﺍ ﺍﻮﹸﻟﹺﺰﺘﻋﺎﹶﻓ ﻯﹰﺫﹶﺃ ﻮﻫ ﹾﻞﹸﻗ ﹺﺾﻴﺤﻤﹾﻟﺍ ﹺﻦﻋ ﻚﻧﻮﹸﻟﹶﺄﺴﻳﻭ

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (Q.S. al-Baqarah [2]: 222).

f. Hukum Penentuan Makanan yang Halal

Persoalan konsumsi merupakan isu penting dalam kehidupan manusia karena untuk mempertahankan kelangsungan hidup, manusia memerlukan pemenuhan kebutuhan biologisnya berupa makan dan minum. Semua

12 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, h. 447 12 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, h. 447

Artinya: “...Makanlah dari rizki yang telah diberikan Allah kepadamu dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan.” (Q.S. al- An‘âm [6]: 142).

Artinya: “…Makan dan minumlah rizki yang diberikan Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi ini dengan berbuat kerusakan”. (Q.S. al-Baqarah [2]: 60).

Sejalan dengan seruan mengkonsumsi makanan dan minuman yang secara paralel juga dibarengi dengan pelarangan mengikuti kebiasaan syaithan dan larangan melakukan kejahatan di muka bumi ini. Pertanyaan hukum terkait klasifikasi kehalalan dan keharaman bukan saja amat signifikan pada masa awal kemunculan Islam, tetapi masih relevan untuk kehidupan masa kini.

Mendalami persoalan hukum yang dimunculkan al-Qur’ân dengan menggunakan kata kerja berbentuk mudhari ini menyiratkan suatu pengertian reaktualisasi pembahasan kembali terhadap tema dan eksisnya persoalan pada setiap periode kehidupan umat Islam. Bukan hanya menjadi persoalan penting pada masa kemunculan Islam.

Pertanyaan apakah yang dihalalkan bagi umat Islam memang lahir pada zaman Nabi menyusul pelarangan mengkonsumsi daging bangkai, darah, daging babi, dan binatang-binatang yang pemotongannya tidak dilakukan secara Islam atau yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan Pertanyaan apakah yang dihalalkan bagi umat Islam memang lahir pada zaman Nabi menyusul pelarangan mengkonsumsi daging bangkai, darah, daging babi, dan binatang-binatang yang pemotongannya tidak dilakukan secara Islam atau yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan

Pertanyaan di atas menandakan tersusunnya suatu ketentuan hukum mmenyangkut kriteria materi-materi makanan dan daging binatang yang memiliki kehalalan dan dapat dikonsumsi dengan ketentuan tidak kotor dari segi zatnya atau rusak (kadaluarsa) atau tercampur najis. Dalam istlilah lain dapat dikatakan materi makanan yang halal adalah yang mengandung selera

bagi yang memakannya dan tidak membahayakan fisik serta akalnya. 13 Baik

berupa daging maupun jenis makanan lainnya. Imam Sa’id mengatakan yang dimaksud dengan Thayyibât adalah daging-daging binatang hasil pemotongan yang halal dan lezat, sementara

Maqâtil berpendapat, al-Thayibat apa saja yang dihalalkan Allah dari rezeki. 14 Demikian persoalan makanan mendapat perhatian al-Qur’ân dan ini

menunjukkan semangat legislasi qur’ani dalam rangka mengarahkan dan membimbing manusia dalam menjalankan hidup menuju ke arah implementasi konstruktif terhadap aturan-aturan fundamental tentang makanan dan minuman sebagaimana tertuang dalam surat al-Mâ’idah ayat 4: ﺎﻤﻣ ﻦﻬﻧﻮﻤ ﱢﻠﻌﺗ ﲔﹺﺒﱢﻠﹶﻜﻣ ﹺﺡﹺﺭﺍﻮﺠﹾﻟﺍ ﻦﻣ ﻢﺘﻤﱠﻠﻋ ﺎﻣﻭ ﺕﺎﺒﻴﱠﻄﻟﺍ ﻢﹸﻜﹶﻟ ﱠﻞﺣﹸﺃ ﹾﻞﹸﻗ ﻢﻬﹶﻟ ﱠﻞﺣﹸﺃ ﺍﹶﺫﺎﻣ ﻚﻧﻮﹸﻟﹶﺄﺴﻳ ﻊﻳﹺﺮﺳ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﱠﻥﹺﺇ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﺍﻮﹸﻘﺗﺍﻭ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻢﺳﺍ ﺍﻭﺮﹸﻛﹾﺫﺍﻭ ﻢﹸﻜﻴﹶﻠﻋ ﻦﹾﻜﺴﻣﹶﺃ ﺎﻤ ﻣ ﺍﻮﹸﻠﹸﻜﹶﻓ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻢﹸﻜﻤﱠﻠﻋ

Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan

14 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, h. 26 Hafid Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, h. 484

(buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya". (Q.S. al-Mâ’idah [5]: 4).

g. Hukum Pembagian Harta Rampasan Perang

Dalam sejarah Islam, perang merupakan salah satu bentuk perjuangan menegakkan agama Allah. Di antara peristiwa-peristiwa perang yang populis adalah perang Badr yang merupakan awal kemenangan dari peristiwa

kemenangan yang diraih pasukan Islam pada zaman Nabi saw. sampai-sampai sebagian sahabat ada yang menyebut surah al-Anfâl sebagai “surah Badr”

seiring dengan kandungan surah yang mengisahkann kejadian riil pertempuran dengan strategi dan taktiknya secara rinci. 15

Kemenangan gemilang yang diraih umat Islam dalam pertempuran Badr yang berlangsung di bulan puasa tahun ke-2 Hijriah ini merupakan tahap awal dari beberapa tahap-tahap perjuangan melawan kebatilan, kezhaliman dan menyelamatkan golongan lemah baik laki-laki maupun perempuan, anak-anak yang berdomisili di Makkah. Namun demikian persoalan baru muncul menyangkut harta-harta rampasan hasil perang itu.

Pertanyaan hukum terkait dengan kemenangan gemilang pada perang Badr ini muncul menyangkut siapa yang berhak memiliki harta hasil perang dan bagaimana pembagiannya, persoalan tersebut lahir sehubungan dengan pernyataan Nabi saw. saat perang Badr berkecamuk.

15 Muhammad Ali al-Sabuni, Shafwat at-Tafsir, h. 993

Persoalan hukum inilah kemudian memperoleh keputusan legislasi sebagaimana tertera dalam al-Qur’ân, surah al-An’fâl ayat 1 yang memutuskan bahwa harta hasil rampasan perang bukan milik siapa-siapa, tetapi milik Allah dan Rasul-Nya. Demikian hukum ini diputuskan oleh al-Qur’ân.

Demikian sekalipun pertanyaan yang datang dari orang-orang Islam atau para sahabat Rasulullah saw. meski sangat sedikit, namun semuanya mempunyai bobot ilmiah yang tinggi. Baik pertanyaan itu berkenaan dengan kehidupan manusia maupun tentang alam sekitar. Banyaknya pertanyaan

menyangkut masalah hukum, menunjukkan keinginan keras para sahabat untuk mengetahui kebenaran yang diridhai Allah dan mempunyai pengaruh yang baik terhadap kehidupan mereka. Terutama kehidupan individual dan sosial. Seperti: pertanyaan tentang infaq (Q.S. al-Baqarah: 2: 215 dan 219), sebanyak dua kali, tentang berperang pada bulan haram (Q.S. al-Baqarah: 2: 217), khamar dan judi (Q.S. al-Baqarah: 2: 219), anak-anak yatim (Q.S. al-Baqarah:

2: 220), haidh (Q.S. al-Baqarah: 2: 222), apa-apa yang dihalalkan bagi mereka (Q.S. al-Mâidah: 5: 4), wanita (Q.S. al-Nisâ’: 4: 127 dan 178), dan tentang harta rampasan perang (Q.S. al-Anfâl: 8: 1).

Semua yang ditanyakan itu adalah perkara praktis yang mempunyai manfaat langsung di dalam kehidupan, dan kesemuanya berjumlah sebelas pertanyaan. Sembilan di antaranya dengan menggunakan kalimat yas-alûnaka dan dua yang lain menggunakan kalimat yastaftûnaka.

Yusuf Qardawi mengatakan, jumlah pertanyaan para sahabat adalah sebelas. Tujuh di antaranya dalam surat al-Baqarah, satu dalam surat al-

Mâidah, dan yang lain di permulaan surat al-Anfâl. Kesemuanya menggunakan kalimat yas-alûnaka, dan dua pertanyaan tentang wanita dengan kalimat yastaftûnaka, ditambah satu pertanyaan dalam surat al-Baqarah ayat 186.

Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 186).