Etika Menjawab
C. Etika Menjawab
1. Mengarahkan Penanya Pada Hal yang Berfaedah
Pada dasarnya sebuah jawaban harus sesuai dengan pertanyaan, sesuai dengan bunyi kaidah. 57
Artinya: asalnya suatu jawaban harus sesuai dengan pertanyaan. Namun terkadang jawaban yang diberikan menyimpang dari apa yang
dikehendaki pertanyaan. Hal ini untuk mengingatkan bahwa jawaban itulah yang seharusnya ditanyakan. Seperti pada Q.S. al-Baqarah (2): 189 berikut:
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan
56 HR. Ahmad, Muslim dan Abu Awanâh yang bersumber dari Anas ra. 57 Imam Burhanuddin Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’ân,
(Beirut: Daar al-Kutb al-Ilmiyyah, 1988), Cet. I, h. 50 (Beirut: Daar al-Kutb al-Ilmiyyah, 1988), Cet. I, h. 50
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan. Pertanyaan mereka adalah; mengapa bulan pada mulanya terlihat seperti sabit, kecil, tetapi dari malam ke malam ia membesar hingga mencapai purnama, kemudian mengecil dan mengecil lagi sampai menghilang dari pandangan? Katakanlah: “Bulan sabit adalah tanda-tanda waktu bagi manusia”. Waktu dalam penggunaan al-Qur’ân adalah batas akhir peluang untuk menyelesaikan suatu aktivitas.
Seperti terlihat di atas, jawaban yang diberikan ini tidak sesuai dengan pertanyaan yang diajukan. Al-Qur’ân tidak menjawabnya sesuai dengan harapan mereka, tetapi memberi jawaban lain sesuai dengan kepentingan mereka.
Hal serupa banyak terjadi dengan tujuan mengingatkan penanya bahwa ada yang lebih wajar ditanyakan dari pada yang telah diajukan. Memang al- Qur’ân mendidik manusia, dan salah satu bentuk pendidikannya adalah mengarahkan mereka melalui jawaban-jawabannya.
Pertanyaan seperti itu, tidak pada tempatnya jika diajukan kepada Nabi, karena kedudukan Nabi adalah sebagai utusan Tuhan yang membimbing dan membawa petunjuk agama. Nabi bukanlah ahli ilmu falak; sebab itu jawaban yang diberikan sesuai dengan kewajibannya sebagai rasul, bahwa bulan sabit adalah untuk menentukan waktu bagi manusia. Dengan bulan yang demikian halnya manusia sesama manusia dapat menentukan janji. Dengan bulan demikian Pertanyaan seperti itu, tidak pada tempatnya jika diajukan kepada Nabi, karena kedudukan Nabi adalah sebagai utusan Tuhan yang membimbing dan membawa petunjuk agama. Nabi bukanlah ahli ilmu falak; sebab itu jawaban yang diberikan sesuai dengan kewajibannya sebagai rasul, bahwa bulan sabit adalah untuk menentukan waktu bagi manusia. Dengan bulan yang demikian halnya manusia sesama manusia dapat menentukan janji. Dengan bulan demikian
mengerjakan haji. 58 Al-Qur’ân tidak menjawab pertanyaan mereka dengan jawaban ilmiah,
sebagaimana dijelaskan dalam astronomi, yakni keadaan bulan seperti itu akibat peredaran bulan dan matahari, serta posisi masing-masing dalam memberi dan
menerima cahaya matahari. Tetapi bila jawaban ini yang disampaikan, maka disamping masalah yang lebih penting tidak terungkap, penjelasan mengenai pertanyaan itu bukan merupakan bidang al-Qur’ân. Karena al-Qur’ân adalah kitab hidayah, bukan kitab ilmiah. Di samping itu jawaban ilmiah berdasar astronomi belum terjangkau oleh para penanya ketika itu. Demikian ayat ini mengajarkan agar tidak menjawab persoalan yang tidak termasuk otoritas kita, tidak juga memberi jawaban yang diduga tidak mengerti oleh penanya, sebagaimana ia mengajarkan agar mengarahkan penanya kepada pertanyaan dan jawaban yang bermanfaat baginya di dunia dan akhirat. Yang lebih wajar mereka ketahui adalah tujuan penciptaan bulan seperti itu dan manfaat yang harus diperoleh dari keadaannya yang demikian.
58 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), Juz I, h. 115
Dalam konteks pertanyaan ayat ini berpesan, “Tanyakanlah persoalan yang bermanfaat yang dapat anda mengerti, dan ajukan pertanyaan kepada siapa yang mengetahui dan mengerti.
Dalam ayat ini, secara lahirnya pertanyaan mengarah kepada hakikat alamiah, namun jawabannya dipalingkan kepada aspek yang bermanfaat bagi mereka. Mereka memang wajar bertanya tentang hal itu, seperti yang diriwayatkan di dalam pertanyaan tentang bulan sabit. Mereka bertanya tentang
sebab mulai tampaknya bulan dalam keadaan kecil, kemudian membesar sedikit demi sedikit hingga sempurna lalu kembali berkurang dan akhirnya hilang.
Jawaban menunjukkan kepada hikmah penciptaan semacam ini. Hikmah itu adalah adanya kegunaan bagi mereka, bila ditinjau bahwa bulan sabit itu menjadi tanda waktu bagi mereka untuk mengetahui waktu-waktu shaum, haji, masa iddah wanita dan perjanjian-perjanjian.
Dipalingkannya jawaban orang-orang yang bertanya tentang sebab kepada hikmah, tampak dengan jelas bahwa Rasul semata-mata diutus untuk menerangkan hukum-hukum bagi perbuatan orang-orang mukallaf, bukan untuk menerangkan hakikat kejadian. Oleh sebab itu beliau tidak ditanya: bagaimana pedapat al-Dîn tentang atom langit, lapisan bumi, kegunaan bulan atau Mars untuk tempat tinggal, atau bagaimana pendapat al-Dîn tentang bulat atau tidak bulatnya bumi, bagaimana hujan kilat dan petir itu terjadi. Semua itu telah dibiarkan oleh Allah untuk dibahas oleh mausia dengan akalnya. Sedikitpun Dipalingkannya jawaban orang-orang yang bertanya tentang sebab kepada hikmah, tampak dengan jelas bahwa Rasul semata-mata diutus untuk menerangkan hukum-hukum bagi perbuatan orang-orang mukallaf, bukan untuk menerangkan hakikat kejadian. Oleh sebab itu beliau tidak ditanya: bagaimana pedapat al-Dîn tentang atom langit, lapisan bumi, kegunaan bulan atau Mars untuk tempat tinggal, atau bagaimana pendapat al-Dîn tentang bulat atau tidak bulatnya bumi, bagaimana hujan kilat dan petir itu terjadi. Semua itu telah dibiarkan oleh Allah untuk dibahas oleh mausia dengan akalnya. Sedikitpun
Artinya: Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian. 59
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan”. Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya” (Q.S. al-Baqarah [2]: 215).
Pertanyaan ini berasal dari Amru bin Jumuah, orang tua yang datang kepada Rasul untuk menanyakan bagaimana cara menyedekahkan hartanya yang banyak dan kepada siapa ia harus bersedekah. Pertanyaan yang ia ajukan bukan sebenarnya bukan haya untuk dirinya sendiri tapi juga mewakili pertanyaan dari
59 Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim.
orang lain, maka turunlah jawaban yang diperuntukkan bagi seluruh kaum muslimin.
Pertanyaan pertama menyangkut nafkah. Tentu saja pertanyaan itu telah mereka ajukan sebelum turunnya ayat ini. Tetapi al-Qur’ân bermaksud melukiskan betapa indah sikap batin mereka dan betapa baik pertanyaan ini. Untuk itulah ayat ini menggunakan bentuk kata kerja masa kini (sekarang/sedang berlangsung).
Pertanyaan dengan ﹶﻥﻮﹸﻘﻔﻨﻳ ﺍﹶﺫﺎ ﻣ apa yang mereka nafkahkan menunjukkan bahwa pada dasarnya mereka memahami dan menerima kewajiban infak, namun
mereka belum mengetahui apa yang harus mereka infaqkan. Maka jawaban yang diturunkan Allah memberikan penjelasan secara jelas apa yang harus mereka lakukan yaitu:
Artinya: “… Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan…”. (Q.S. al-Baqarah [2]: 215).
Sehubungan dengan persoalan-persoalan di atas, adalah masalah khamr dan judi yang menjadi materi pertanyaan yang diajudakan sahabat Nabi saw. Jawaban yang disampaikan Allah bersifat mendidik dan memberikan banyak manfaat, artinya bukan masalah pembuatan komoditi khamr dan judi yang diberi penjelasan dalam menanggapi pertanyaan, tetapi bahaya dan efek destruktif yang Sehubungan dengan persoalan-persoalan di atas, adalah masalah khamr dan judi yang menjadi materi pertanyaan yang diajudakan sahabat Nabi saw. Jawaban yang disampaikan Allah bersifat mendidik dan memberikan banyak manfaat, artinya bukan masalah pembuatan komoditi khamr dan judi yang diberi penjelasan dalam menanggapi pertanyaan, tetapi bahaya dan efek destruktif yang
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar 60 dan judi. Katakanlah. Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa`at bagi
manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa`atnya. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: Yang lebih dari keperluan. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat- Nya kepadamu supaya kamu berfikir.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 219).
Pada bagian pertama ayat ini melarang memperoleh harta dan menggunakannya dalam kegiatan yang tidak berguna, maka persoalan berikut yang merupakan bagian dari ayat ini masih berkaitan dengan harta yakni mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: Yang lebih dari
keperluan yakni yang mudah dan yang diinfakkan tidak dengan berat hati. 61
60 Khamr adalah segala minuman yang memabukkan, apapun bahan mentahnya. Minuman yang berpotensi memabukkan bila diminum dengan kadar normal oleh seorang normal,
maka minuman itu adalah khamar sehingga haram hokum meminumnya. 61 Anak kalimat ayat di atas merupakan satu dari tiga macam pengeluaran harta yang diajarkan al-Qur’an: pertama, wajib dan harus dikeluarkan, yaitu zakat. Kedua sesuatu yang bukan zakat dan hati tidak berat mengeluarkannya. Ketiga tidak wajib tetapi hati berat mengeluarkannya.
Demikian juga arahan-arahan jawaban yang amat berarti bagi para penanya seperti tentang pengurusan harta anak-anak yatim, menyikapi wanita- wanita yang datang bulan, jenis-jenis makanan halal dari daging sebagaimana pada ayat-ayat berikut:
Artinya: “Tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah: Mengurus urusan mereka secara patut adalah
baik, dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Q.S. al-Baqarah [2]: 220).
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (Q.S. al-Baqarah [2]: 222).
Artinya: Mereka menanyakan kepadamu: Apakah yang dihalalkan bagi mereka? Katakanlah: Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang Artinya: Mereka menanyakan kepadamu: Apakah yang dihalalkan bagi mereka? Katakanlah: Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang
Nya (Q.S. al-Mâ’idah [5]: 4).
Pertanyaan tentang kapankah hari kiamat tiba, bukan mempunyai motivasi sebagaimana pertanyaan-pertanyaan lain yang bertujuan mencari penjelasan. Pertanyaan ini lebih bersifat penolakan dan tidak mengakui eksistensi hari tersebut, oleh karenanya jawaban yang diberikan pun tidak diberikan
sebagaimana materi yang dipertanyakan, tetapi selain masalah tersebut menjadi urusan Allah, penjelasan tentang peristiwa terjadinya hari yang menakutkan itu menjadi jawaban yang disampaikan sebagai mana pada ayat berikut:
Artinya: Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?" Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba”. Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar
mengetahuinya. Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Q.S. al-A‘râf [7]: 187).
2. Menjawab dengan Dalil Perbuatan
Suatu jawaban atas persoalan yang tengah dihadapi, tidak selamanya berbentuk ekspresi langsung dari seorang ahli yang diminta, karena manusia boleh saja menimba ilmu pengetahuan dari siapa saja yang mempunyai ilmu dan bermanfaat bagi hidupnya di dunia dan akhirat kelak, sekalipun dari burung. Dalam konteks ini, burung-burung Hûd pernah memberitahukan informasi kepada Nabi Sulaiman as. apa yang tidak diketahui olehnya tentang kerajaan
Saba, dan ia tidak segan-segan menerima apa yang dikatakan Hud-hud. 62 sebagaimana dikisahkan al-Qur’ân pada ayat-ayat yang artinya seperti berikut:
Artinya: “Sungguh aku benar-benar akan mengazabnya dengan azab yang keras atau benar-benar menyembelihnya kecuali jika benar-benar dia datang kepadaku dengan alasan yang terang”, Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud) lalu ia berkata, “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya, dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini. Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka dan dia dianugrahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar” (Q.S. An-Naml [27]: 21-23).
Selain jawaban yang diperoleh dari burung Hud-hud dalam konteks kisah Nabi Sulaiman as. terdapat pula jawaban yang diperoleh dari munculnya sebuah
62 Yusuf Qardhawi, al-Qur’ân Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, h. 254 62 Yusuf Qardhawi, al-Qur’ân Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, h. 254
Artinya: “Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini Karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal”. (Q.S. al-Mâ’idah [5]: 31).
3. Jenis-jenis Jawaban
Mencermati redaksi kalimat tanya-jawab yang terdapat pada ayat-ayat yang telah dimemukakan pada bab-bab sebelumya, penulis dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa shighat-shighat tanya jawab dalam al-Qur’ân terdiri dari tiga shighat, yaitu; ﻚﻧﻮﺘﻔﺘﺴﻳ yang artinya mereka meminta fatwa kepadamu tentang urusan-urusan dunia dan akhirat. Redaksi ini terdeapat pada dua tempat, yakni pada surat an-Nisâ’ ayat 153 dan ayat 176. Sighat ﻚﻠﺌﺴﻳ yang berarti “ia bertanya kepadamu” terdapat pada dua tempat, yakni pada surat an-Nisâ’ ayat
153 dan surat al-Ahzâb ayat 63, sementara ﻚﻧﻮﻠﺌﺴﻳ , yang berarti “mereka 153 dan surat al-Ahzâb ayat 63, sementara ﻚﻧﻮﻠﺌﺴﻳ , yang berarti “mereka
Adapun jawaban-jawaban atas dialog langsung ini secara keseluruhan menggunakan kata “Qul“ sebagai respon langsung yang diberikan Nabi Muhammad atas bimbingan al-Qur’ân. Adapun jenis-jenis jawaban secara umum ditinjau dari aspek generalnya, dapat penulis garis awahi sebagai berikut:
1. Jawaban yang disampaikan bersifat penjelasan, ulasan, atau uraian rinci terhadap objek yang dipertanyakan baik menyangkut dimensi hikmah yang
terkandung dalam materi pertanyaan, maupun menyangkut pengaruh ojek yang menjadi bahan pertanyaan dan kuantitas yang dipertanyakan.
2. Jawaban yang lugas dan langsung “to the point” terhadap materi. Abdullah bin Amru bin al-Ash ra. Berkata: “Ada seseorang bertanya kepada Rasul saw: Kelakuan apakah yang terbaik dalam Islam? “Jawab Nabi saw: Memberi makanan pada orang yang kekurangan dan memberi salam pada orang yang kau kenal dan yang belum kau kenal.” (HR. Bukhari dan
Muslim) 63
3. Jawaban yang disampaikan dengan cara lelucon atau gaya yang di dalamnya dapat dipetik pelajaran seperti yang diberikan kepada seorang nenek yang bertanya kepada Nabi Muhammed saw. tentang apakah ia kelak akan masuk dalam surga.
63 Shahih Bukhari.
4. Jawaban yang diberikan dalam bentuk pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban lisan, tetapi cukup direnungi dan dihayati maksudnya. Misalnya, kisah tentang seorang yang datang kepada Nabi Muhammad saw. dan bertanya tentang hukum berzina, Nabi menjawab dengan bentuk pertanyaan, “Apakah kamu mau hal ini terjadi pada ibumu?”.
5. Jawaban yang disampaikan sama dengan pertanyaan yang diajukan secara berulang-ulang. Misalnya dalam sebuah Hadits Abu Dzar ra. berkata: “Saya
datang kepada Nabi saw. sedang beliau tengah tidur berbaju putih, kemudian saya datang kembali dan ia telah bangun, lalu bersabda: “Tiada seorang
hamba yang membaca: ﷲﺍ ﻻﺍ ﻪﻟﺍﻻ kemudian ia mati atas kalimat itu, melainkan pasti masuk surga”. Saya bertanya: “Meskipun ia telah berzina dan mencuri?”. Jawab Nabi saw.: “Meskipun ia pernah berzina dan mencuri.” Saya bertanya: “Meskipun ia telah berzina dan mencuri?” Jawab Nabi saw.: “Meskipun ia pernah berzina dan mencuri. “Saya bertanya: “Meskipun ia telah berzina dan mencuri?” Jawab Nabi saw.: “Meskipun ia pernah berzina dan mencuri, meski mengecewakan hidung Abu Dzar (meskipun
mengecewakan diri Abu Dzar). 64 ” (HR. Bukhari, Muslim).
6. Jawabanya dikembalikan kepada Allah SWT. dan Rasul-Nya. Mu’adz bin Jabal ra. Berkata: “Ketika saya sedang mengikuti di belaknag kendaraan Nabi saw. tiada renggang antara aku dengan Nabi saw. kecuali belakang kendaraan
64 HR. Bukhari, Muslim 64 HR. Bukhari, Muslim
ﻚﻳﺪ ﻌﺳﻭ ﻚﻴﺒﻟ " Kemudian terus berjalan lalu memanggil “Ya mua’dz! “Jawabku: ﻚﻳﺪﻌﺳﻭ ﻚﻴﺒﻟ “Lalu bersabda: “Tahukah Anda apakah hak Allah
yang diwajibkan atas hamba-Nya? “ Jawab Mu’adz: “Allah dan Rasulullah yang lebih mengetahui. “Maka sabda Nabi saw: “Hak Allah yang diwajibkan atas hamba-Nya, supaya mereka menyembah kepada-Nya dan tidak
mempersekutukan Allah dengan suatu apapun.” Kemudian meneruskan perjalanan, lalu bertanya: “Ya Mua’dz bin Jabal! “Jawabku: ﻚﻳﺪﻌﺳﻭ ﻚﻴﺒﻟ “Lalu ditanya: “Tahukah Anda apakah hak hamba jika mereka telah
melaksanakan kewajiban itu? “ Jawab Mu’adz: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui. “Maka sabda Nabi saw: “Hak hamba atas Allah bahwa
Allah tidak akan menyiksa mereka.” 65
7. Jawaban tidak selamanya dinyatakan dalam bentuk lisan, akan tetapi bisa juga dengan diam atau dengan gerakan tubuh, misalnya dengan mengangguk dan menggeleng atau dengan gerakan tangan dan sebagainya. Contoh dari Abi Hurairah, bahwasannya Rasulullah saw. telah bersabda: “Tidak boleh dinikahkan seorang janda melainkan sesudah diajak berembuk, dan tidak boleh dinikahkan seorang perawan melainkan sesudah dimintai izinnya.
65 Imam Abu Zakaria Yahya bin Syarf al-Nawawy, Terjemah Riyadh al-Shalihin. Ter. H.Salim Bahresy, Jilid 1 ( Bandung : PT.al-Ma’arif, 1986, h. 487
“Mereka bertanya: “Ya Rasulullah, bagaimana izinnya?” Sabdanya: “Diamnya”
8. Jawaban yang bertingkat-tingkat sebagaimana jawaban yang diberikan Nabi Muhammad saw. kepada pertanyaan. Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah saw. ditanya: “Apakah amal yang utama?” Jawab Nabi saw.: “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya. “Lalu ditanya: “Kemudian apakah?” Jawabnya: “Jihad berjuang fi sabilillah (untuk menegakkan agama Allah),” Ditanya:
“Kemudian apakah?” Jawab Nabi saw: “Haji yang mabrur (diliputi amal kebaikan)” 66
9. Pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban tapi butuh perenungan terhadap pertanyaan itu. sebagaimana pertanyaan yang terdapat pada surat al- Ghâsyiyah ayat 17-20 seperti berikut:
Artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung- gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia
dihamparkan?”. (QS. al-Ghâsyiyah [88]: 17-20).
Pada masa awal periode Islam, jawaban atas pertanyaan disampaikan secara langsung oleh Nabi Muhammad kepada para sahabat yang menanyakan masalah-masalah yang dihadapi sebagaimana telah dijelaskan pada bab-bab
66 HR. Bukhari dan Muslim 66 HR. Bukhari dan Muslim
Dari penjelasan-penjelasan yang telah penulis kemukakan pada poin-poin di atas, dapat dikatakan bahwa, al-Qur’ân yang berarti bacaan yang sempurna dan dapat disebut sebagai miniatur ayatullah, himpunan firman Allah dan garis besar terjemahan alam semesta, yang bersifat mukjizat ini bukanlah sekedar dokumen histioris atau pedoman hidup dan tuntunan spiritual bagi sekalian
manusia, tetapi juga sebagai mitra dialog dan tempat mengadukan dan menghadapkan macam-macam urusan kehidupan yang konkrit, sehingga wajib
“diajak” untuk berdiskusi, ditelaah isinya, dinalar sekaligus diamalkan. Kitab suci, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang lalu disampaikannya kepada kita secara mutawatir dan ditulis dalam sebuah mushaf yang mendengarkan dan membacanya saja mendapatkan pahala.
Sebagai kitab suci yang banyak mengandung nasehat dan pelajaran bagi manusia ini, konsep bertanya yang terdapat dalam banyak ayat memiliki banyak implikasi pendidikan yang positif untuk diimplementasikan dalam dunia belajar- mengajar. Konsep bertanya, bukan saja menjadi instrumen penting dalam rangka mencari dan menggali ilmu pengetahuan tetapi betapa banyak persoalan- persoalan agama, hukum, dan lain sebagainya bisa diketahui setelah adanya pertanyaan ini.
Sebagai salah satu metode mencari ilmu, unsur pertanyaan memainkan peranan konstruktif dalam dunia pendidikan karena dengan bertanya masalah yang dihadapi dapat diselesaikan atau persoalan yang belum diketahui, bisa diketahui melalui pengajuan pertanyaan. Sebagai implementasinya, al-Qur’ân meletakkan dasar pijakan sehubungan dengan persoalan bertanya dan kepada siapa pertanyaan itu hendaknya disampaikan agar memperoleh jawaban yang benar, yaitu bertanya kepada pakar-pakar disiplin ilmu sejalan dengan
spesialisasinya masing-masing sehingga tidak terjadi kekeliruan penyampaian ilmu pengetahuan yang ditanyakan baik menyangkut ilmu agama, pengetahuan
umum, atau cabang-cabang ilmu lainnya. Dalam visi qur’âni, pencarian ilmu yang dilakukan dengan cara bertanya tidak terbatas hanya pada ajaran khusus syari’ah, tapi juga berlaku untuk setiap pengetahuan yang dapat menjadi alat dalam membawa manusia lebih dekat kepada Tuhan. Setiap ilmu, apakah itu teologi atau fisika, adalah alat untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan, dan selama ilmu tersebut memainkan
peranan ini, maka ia sakral. 67 Seruan untuk bertanya kepada ahlinya, mencerminkan ajakan kepada umat
Islam untuk mencari dan menimba ilmu pengetahuan dari ahli-ahli yang berkompetensi di bidangnya dalam rangka mendapatkan ilmu dan kearifan,
67 Mahdi Ghuslsyani, Filsafat-Sains Menurut al-Qur’ân, (Bandung: Mizan, Nopember 1998), h. 73 67 Mahdi Ghuslsyani, Filsafat-Sains Menurut al-Qur’ân, (Bandung: Mizan, Nopember 1998), h. 73
Artinya: “…Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui…?” (Q.S. al-Zumar [39]: 9).
Karena bertanya merupakan salah salah satu elemen penting dalam proses
menimba ilmu pengetahuan, maka Rasulullah saw. pun menghimbau umat Islam agar mencari jawaban-jawaban materi ilmu yang belum diketahuinya sekalipun harus ke negeri luar. Hal ini menunjukkan bahwa mencari ilmu memiliki ketentuan hukum wajib bagi seorang muslim lelaki maupun perempuann, dan ketentuan seperti ini berlaku dari usia kecil hingga tua, sejak lahir hingga meninggal. Demikian penting arti sebuah ilmu, sehingga ayat pertama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. menitikberatkan pada unsur-unsur pencarian ilmu pengerahuan dengan metode membaca yang merupakan salah satu sarana mencari ilmu pangetahuan. Oleh karenanya, jika suatu cabang ilmu pengetahuan terdapat di luar negeri maka seorang muslim berkewajiban mencari dan mengejarnya.
“Hikmah (kearifan) itu kepunyaan orang mukmin yang hilang, di mana saja ia mendapatkannya, maka ia lebih berhak memilikinya”.
“Ambillah ilmu dari apa yang dikatakan orang-orang”. 68 Terkait dengan masalah ini, Ali bin Abi Thalib mengatakan:
“Dianjurkan bagi orang yang berakal untuk menambahkan pendapat orang bijak lainnya kepada pendapatnya, dan menambahkan ilmu para
bijak kepada ilmunya. 69 Juga ilmu adalah harta kekayaan orang mukmin yang hilang, maka ambillah sekalipun dari tangan-tangan non-muslim”. 70
Masalah spesialisasi yang disebut Ahl al-Dzikr oleh al-Qur’ân, telah dikenal pada zaman Nabi Muhammad saw. Di mana untuk pelayanan-pelayanan
tertentu semisal al-Qur’ân, tajwid, syari’ah, harus belajar pada guru-guru tertentu yang dianggap cakap dan ahli. Nabi pun mengajarkan olah raga dan keterampilan (memanah, berenang, menunggang kuda, dan sebagainya), astronomi, cara meramu obat-obatan, geneologi, dan fonatika praktis yang diperlukan untuk
membaca al-Qur’ân. 71 Seruan-seruan untuk bertanya mendapat konsern serius dalam al-Qur’ân sebagaimana terdapat pada surah al-Nahl: 16 ayat 42, surah al-
Furqân: 25 ayat 59, dan surah al-Isrâ’: 17 ayat 101, serta surah al-Qolam: 68 ayat
40. Dalam implikasinya, pertanyaan yang menjadi salah satu metodologi pendidikan telah diimplementasikan dalam dunia pendidikan nyata dewasa ini di
68 Muhammad Bagir Majlisi, Bihar Al-Anwar,(Tt., Tp., Tth.), Jilid 11, h. 105 69 Amidi, Ghurar Al-Hikam Wa Durl Al-Hikam“ (Taheran: Univ, Pres, Tth), Jilid 111, h.
71 Ibn Abd Al-Bar, Jami Al-Bayan Al-Ilm, Jilid 1, h. 121 Dr. Mahdi Ghuslsyani, Filsafat-Sains Menurut Al-Qur’an, h. 109 71 Ibn Abd Al-Bar, Jami Al-Bayan Al-Ilm, Jilid 1, h. 121 Dr. Mahdi Ghuslsyani, Filsafat-Sains Menurut Al-Qur’an, h. 109
pada level yang lebih tinggi lagi. Kenyataan di atas telah eksis pada masa awal Islam, yaitu ketika Nabi
Musa as. sendiri mengajukan pertanyaan kepada Nabi Khidir as. tentang boleh tidaknya menimba ilmu pengetahuan darinya. Proses tanya-jawab dalam peristiwa perjalanan mencari ilmu pengetahuan antara Musa dan Khidir yang didahului dengan permintaan/pertanyaan Musa kepada Khidir dengan bahasa yang penuh dengan kesopansantunan sebagaimana yang dilukiskan al-Qur’ân pada surat al-Kahfi ayat 66 berikut ini:
Syeikh Muhammad Ali al-Shabuni mengatakan dalam menafsirkan ayat di atas: “Apakah aku diperbolehkan/diizinkan menemanimu untuk menimba ilmu
pengetahuan darimu yang dapat bermanfaat untuk kehidupanku?” 72
72 Syeikh Muhammad Ali al-Shabuni, al-Safwat at-tafasir, h.199
Para pakar Tafsir menulis, bahwa redaksi ayat ini menunjukkan suatu percakapan yang penuh dengan sopan santun dari seorang Nabi dan sikap seperti ini hendaknya dicontoh dan diteladani oleh setiap orang yang hendak mencari ilmu pengetahuan dengan gurunya.
Ayat ini menunjukkan bahwa dalam bertanya kepada seorang pendidik hendaknya mempergunakan bahasa yang halus dan sopan dan ketika proses kegiatan belajar-mengajar berlangsung hendaknya seorang peserta didik tidak
melakukan interupsi kepada seorang pendidik sebelum selesai menerangkan materi yang disampaikannya, karena selain mengganggu wacana dan ilmu
pengetahuan yang sedang disampaikan, ia juga keluar dari batas-batas kesopanan seorang peserta didik terhadap sang guru/pendidik. Metodologi seperti ini telah disinggung al-Qur’ân sebagaimana yang dikatakan Nabi Khidir kepada Nabi Musa as: “Jika engkau mengikuti, maka jangan sekali-kali menanyakan kepadaku tentang sesuatu yang aku kerjakan sebelum aku sendiri menjelaskannya kepadamu”. Larangan interupsi pada saat proses berlangsungnya belajar-mengajar ini dimaksudkan agar kegiatan pendidikan terarah dan terkonsentrasi sepenuhnya sehingga seorang anak didik dapat menyerap segala ilmu yang disampaikan pendidik. Hal ini dijelaskan al-Qur’ân Surat al-Kahfi: 18 ayat 70 berikut:
Demikian penting sistem qur’ani dalam metodologi pendidikan yang melarang seseorang melakukan kegiatan/aktifitas interupsi ketika proses belajar- mengajar berlangsung sehingga bila diimplementasikan dalam dunia pendidikan akan memiliki dampak positif bagi perkembangan ilmu pendidikan dan ilmu pengetahuan, karena materi-materi yang diberikan tidak mengalami distorsi sedikitpun dan menjadi jelas dan tuntas tidak sebagaimana ketika munculnya sebuah interupsi yang menimbulkan kurang maksimalnya materi-materi yang
diberikan karena terputus sebelum selesai diberikan.