Metode Bertanya Dalam Al-Qur’an

B. Metode Bertanya Dalam Al-Qur’an

Dari segi bahasa metode berasal dari dua kata yaitu “meta” dan “hodos” yakni jalan atau cara. 43 Dengan demikian kata metode mempunyai pengertian

suatu jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan 44 . Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata metode berarti cara yang teratur dan terpikir baik-

baik untuk mencapai maksud. 45 Pendapat lain mengatakan bahwa “metode adalah suatu sarana untuk menemukan, menguji atau menyusun data yang

diperlukan bagi pengembangan disiplin tersebut. 46

Al-Qur’an sebagai pedoman bagi seluruh aspek kehidupan, tidak hanya mengandung prinsip-prinsip ajaran agama secara umum melainkan juga menyajikan petunjuk-petunjuk yang dapat dipahami dan diinterpertasi sebagai konsep dan metode pembelajaran. Dalam menyampaikan materi pendidikan, al- Qur’an menawarkan berbagai pendekatan dan metode. Salah satu diantaranya adalah metode bertanya yang terdiri dari :

1. Bertanya Pada Ahlinya

Al-Qur’ân memerintahkan kepada umat Islam untuk bertanya kepada ahlinya. Perintah untuk bertanya dalam al-Qur’ân disebut enam kali, perintah

Abdurrahman al-Nahlawiy, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa asalihiha fi al-Bayt wa al-Madrasah wa al-Mujtama’ terj oleh Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat ( Jakarta : Gema Insani Press, 1995), h. 204

44 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Pendidikan Islam Berdasarkan Pendidikan Interdisipliner

45 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), h. 580 46

Imam Barnadib, Falsafah Pendidikan, Sistem dan Metode, (Yogtakarta: Yayasan Penerbit IKIP, 1990) Cet VI, h. 85 Imam Barnadib, Falsafah Pendidikan, Sistem dan Metode, (Yogtakarta: Yayasan Penerbit IKIP, 1990) Cet VI, h. 85

Sebagai salah satu metode belajar yang mendapat konsern qur’ani, bertanya kepada ahlinya memiliki peran konstruktif dalam menangani persoalan- persoalan kegiatan belajar-mengajar atau dalam menyelesaikan berbagai

persoalan yang dihadapi umat manusia dalam menjalani hidupnya di dunia. Profesionalisme amat penting dalam dunia pendidikan khususnya, karena menyangkut kaderisasi pembentukan ilmuwan-ilmuwan baru yang akan menggantikan para pendahulunya.

Salah satu metode belajar yang terdapat dalam al-Qur’ân adalah harus mengembalikan segala sesuatu kepada pakarnya. Merekalah orang-orang yang mampu menerangkan sesuatu yang belum jelas dan dapat menawarkan solusi

atas problematika yang ada. 47 Allah berfirman:

Artinya: “…maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika

kamu tidak mengetahui. (Q.S. al-Nahl [16]: 43, dan al-Anbiyâ’ [21]: 7).

47 Yusuf Qardawi, al-Qur’ân berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Gema Insani, 1998), h. 240

Kata ( ﹺﺮﹾﻛﱢﺬﻟﺍ ﹶﻞﻫﹶﺃ ) Ahl al-Dzikr pada ayat ini dipahami oleh banyak ulama yakni para pemuka agama Yahudi dan Nasrani. Mereka adalah orang-orang yang dapat memberi informasi tentang kemanusiaan para rasul yang diutus Allah. Mereka wajar ditanyai karena mereka tidak dapat dituduh berpihak pada informasi al-Qur’an sebab mereka juga termasuk yang tidak mempercayainya, kendati demikian persoalan kemanusiaan para rasul mereka akui. Ada juga yang

memahami istilah ini dalam arti sejarawan baik muslim ataupun non muslim. 48

Pada surat al-Anbiyâ’ [21]: 7) di jelaskan bahwa jika kaum musyrikin atau siapapun di antara kamu meragukan hal itu (persoalan kenabian dan

kerasulan) maka tanyakanlah kepada orang-orang yang tahu tentang persoalan tersebut,

Walaupun penggalan ayat ini turun dalam konteks tertentu, yakni objek pertanyaan serta siapa yang ditanya tertentu pula namun karena redaksinya yang bersifat umum, maka ia dapat dipahami pula sebagai perintah bertanya apa saja yang tidak diketahui atau diragukan kebenarannya kepada siapapun yang tahu

dan tidak tertuduh objektivitasnya, 49

Perintah untuk bertanya kepada ahl al-Kitab yang dalam hal ini mereka digelari ahl adz-Dzikr menyangkut apa yang tidak diketahui, selama mereka dinilai berpengetahuan dan obyektif, menunjukkan betapa islam sangat terbuka

48 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, Vol. 7 h. 236

49 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân h. 236 49 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân h. 236

Artinya: “… maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui

(Muhammad) tentang Dia.” (Q.S. al-Furqân [25]: 59).

Kedua ayat tersebut di atas mengisyaratkan pengertian pentingnya unsur bertanya dalam konteks pendidikan sehingga seruan dimaksud bertujuan agar umat Islam tetap mengimplementasikan metode tersebut yang menjadi perhatian al-Qur’ân, karena lewat konsep bertanya umat menjadi tahu masalah-masalah yang dihadapinya dan dengan bertanya akan terjadi transfer ilmu pengetahuan yang menguntungkan pihak penanya.

Yusuf Qardawi menyatakan: Kita tidak boleh membiarkan suatu permasalahan tanpa penyelesaian, apa lagi yang berkenaan dengan kemaslahatan umat. Kita harus mengembalikan permasalahan kepada ahlinya yang mengerti dan bisa menyelesaikan secara benar. Banyak ulama dan penafsir pada masa silam termasuk dalam kategori ulil-amri yang wajib ditaati, setelah taat kepada

Allah dan Rasul-Nya, 50 seperti diperintahkan Allah dalam al-Qur’ân:

50 Yusuf Qardawi, al-Qur’ân berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, h. 241

Artinya: “Hai Orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan Ulil Amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’ân) dan Rasul-Nya (sesumgguhnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Qiamat. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (Q.S. an-Nisâ’ [4]: 59).

Jika ada sebagian orang yang menginterpretasikan Ulil Amri dengan

pemerintah atau penguasa atau yang mengartikan dengan ulama, maka perlu diingat bahwa penguasa tidak wajib ditaati, kecuali jika mereka termasuk dalam jajaran para ulama atau paling tidak mereka taat kepada para ulama. Dari sini, ada kaidah yang disebut oleh kaum Salaf al-Shalih, “Kerajaan adalah pemimpin

umat, sedang ulama adalah pemimpin kerajaan”. 51 Metode bertanya ini telah ada sejak kemunculan pertama Islam. Para

sahabat Nabi bahkan ketika ingin mengetahui masalah-masalah menyangkut ketentuan hukum seperti hukum minuman keras, berjudi, infak dan kelompok- kelompok penerimanya, berperang di bulan haram, makanan-makanan yang halal, masalah haid dan lain sebagainya, tidak segan-segan mengajukan pertanyaan kepada Rasullulah saw. sebagaimana pada ayat-ayat berikut:

51 Yusuf Qardawi, al-Qur’ân berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, h. 241

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan”, Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 215).

Artinya: “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). (Q.S. al- Nisâ’ [4]: 83).

Selain metode bertanya kepada ahlinya dengan menggunakan kata langsung berbentuk is’al terdapat pula ungkapan lain tetapi mimiliki pengertian yang sama walaupun berbeda dari segi bahasa yang dipergunakan. Hal ini sebagaimana dapat ditemukan pada ayat berikut yang mengetengahkan masalah- masalah konsultasi hukum terkait dengan wanita yatim dan perkawinan mereka, demikian juga masalah pembagian warisan harta kalâlah, yaitu harta seseorang yang meninggal dunia tidak memiliki anak tetapi memiliki saudara perempuan, sebagaimana tercantum pada ayat-ayat berikut:

Artinya: “Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al-Qur’ân (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya” (Q.S. al-Nisâ’ [4]: 127).

Dan Firman Allah:

Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalâlah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalâlah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki- laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara- saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. al-Nisâ’ [4]: 176).

Demikian juga Firman Allah sehubungan dengan permintaan fatwa tentang ta’bir mimpi yang dialami seorang penguasa, yang ditanyakan kepada ahli-ahli ta’bir,

Artinya: “Raja berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya), "Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus

dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering”. Hai orang-orang yang terkemuka: "Terangkanlah kepadaku

tentang ta`bir mimpiku itu jika kamu dapat mena`birkan mimpi” (Q.S. Yûsuf [12]: 43).

Artinya: “(Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru): "Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya.” (Q.S. Yûsuf [12]: 46).

Selain ayat-ayat di atas yang memerintahkan untuk menanyakan persoalan-persoalan pelik yang dialami penanya kepada seorang ahli yang memiliki kompetensi di bidangnya dan mengetahui jalan keluar solusinya.

Demikian pentingnya faktor bertanya dalam konteks pendidikan, al- Qur’ân mengulang-ulang kata tersebut pada beberapa ayat di atas untuk Demikian pentingnya faktor bertanya dalam konteks pendidikan, al- Qur’ân mengulang-ulang kata tersebut pada beberapa ayat di atas untuk

2. Tidak Berlebihan dalam Bertanya

Seandainya seorang muslim dituntut untuk bertanya kepada ahli dzikir dalam setiap spesialisasi ilmu pengetahuan mereka, maka ia harus mengetahui tata cara bertanya yang baik dan bermanfaat bagi agamanya dan dunianya, serta tidak bertanya apa-apa yang tidak bermanfaat baginya. Bertanyalah pada waktu

dan tempat yang tepat, serta tidak memperbanyak pertanyaan yang tidak perlu. 52 Al-Qur’ân telah menceritakan kisah Bani Israil, saat Nabi mereka menyampaikan

perintah Allah. 000 ﹰﺓﺮﹶﻘﺑ ﺍﻮﺤﺑﹾﺬﺗ ﹾﻥﹶﺃ ﻢﹸﻛﺮﻣﹾﺄﻳ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﱠﻥﹺﺇ 000

Artinya: “…Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina…” (Q.S. al-Baqarah [2]: 67).

52 Yusuf Qardawi, al-Qur’ân berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, h. 243

Sebenarnya, menurut konteks ayat ini, mereka bebas menyembelih sapi apa saja, namun sifat keras kepala telah menyelimuti akal sehat mereka sehingga mereka terus bertanya tentang sapi itu, dan setiap pertanyaan makin membebani mereka sendiri (Q.S. al-Baqarah [2]: 67-71).

Ibnu Katsir mengatakan dalam tafsirnya: “Allah menuliskan sifat keras kepala Bani Israil dan banyaknya pertanyaan mereka kepada Nabi mereka, maka ketika mereka membuat kesulitan, Allah kembali mempersulit mereka.

Seandainya mereka mengikuti perintah Allah pada awalnya, maka mereka tidak akan mendapatkan kesulitan sebagaimana yang dibebankan. Mereka mempersulit

maka dipersulit”. 53

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu al-Qur'ân itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah mema`afkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Q.S. al-Mâ’idah [5]: 101).

Larangan bertanya ini bukan untuk memudahkan Rasul, atau karena Allah tidak dapat menginformasikannya kepada beliau, tetapi semata-mata buat

kepentingan dan kemaslahatan kamu. 54

54 Ibnu Katsir: Tafsir al-Qur’ân al-Adzim, (Kairo: Dar al-Fikr, 1992), Jilid 1, h.110 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, h. 217

ﹸﻥﺍَﺀﺮﹸﻘﹾﻟﺍ ﹸﻝﺰﻨﻳ ﲔﺣ ﺎﻬﻨﻋ ﺍﻮﹸﻟﹶﺄﺴﺗ ﹾﻥﹺﺇﻭ Dan jika kamu menanyakan tentangnya, yakni tentang suatu yang berada dengan apa yang dilarang di atas di waktu al-

Qur’ân itu sedang diturunkan, yakni pada periode turunnya wahyu Allah niscaya akan diterangkan kepada kamu. Allah mema’afkan (kamu) tentang hal-hal itu yakni pertanyaan dan permintaan itu dan Allah maha pengampun atas kesalahan dan dosa-dosa kamu lagi Maha Penyantun, sehingga Dia tidak segera menjatuhkan sanksi. Itu dilakukan-Nya agar memberi kesempatan kepada

manusia dalam memperbaiki diri dan menyesali perbuatan-perbuatannya.

Artinya: “Sesungguhnya telah ada segolongan manusia sebelum kamu menanyakan hal-hal yang serupa itu (kepada Nabi mereka), kemudian mereka tidak percaya kepadanya.” (Q.S. al-Mâ’idah [5]: 102).

Sesungguhnya telah ditanyakan dan dimintakan tentang hal-hal serupa, yakni pertanyaan dan permintaan yang ketika dikabulkan ternyata menyusahkan mereka oleh segolongan manusia sebelum kamu kepada Nabi mereka, yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani, tetapi setelah dikabulkan permintaan mereka atau dijawab pertanyaannya, kemudian mereka menjadi kafir karenanya, yakni tidak melaksanakannya, karena apa yang mereka minta atau tanyakan itu tidak sejalan dengan agama fitrah, tidak juga sesuai dengan naluri atau kemampuan mereka. Karena itu, janganlah meminta atau jangan mengharamkan atas diri kamu apa yang telah dihalalkan Allah, dengan tujuan ingin mendekatkan diri Sesungguhnya telah ditanyakan dan dimintakan tentang hal-hal serupa, yakni pertanyaan dan permintaan yang ketika dikabulkan ternyata menyusahkan mereka oleh segolongan manusia sebelum kamu kepada Nabi mereka, yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani, tetapi setelah dikabulkan permintaan mereka atau dijawab pertanyaannya, kemudian mereka menjadi kafir karenanya, yakni tidak melaksanakannya, karena apa yang mereka minta atau tanyakan itu tidak sejalan dengan agama fitrah, tidak juga sesuai dengan naluri atau kemampuan mereka. Karena itu, janganlah meminta atau jangan mengharamkan atas diri kamu apa yang telah dihalalkan Allah, dengan tujuan ingin mendekatkan diri

tidak mampu melakukannya (Q.S. al-Hadîd: 27).

Maksud ayat tersebut di atas, sesudah diterangkan kepada mereka

hukum-hukum yang mereka tanyakan itu mereka tidak menaatinya, hal ini menyebabkan mereka menjadi kafir.

Sejalan dengan konsep Qur’âni yang melarang seseorang untuk

mengajukan pertanyaan secara tidak wajar dan berlebih-lebihan, para sahabat senantiasa mengindahkan prinsip tersebut sehingga tidak ada satu pertanyaan pun yang dapat dikategorikan sebagai berlebih-lebihan. Berbeda dengan sikap orang- orang non-muslim baik kafir Makkah maupun bangsa Yahudi Madinah yang sering mengajukan pertanyaan melebihi batas kewajaran dan di luar wewenang orang yang ditanya. Pertanyaan seperti ini pun memiliki indikasi lain dalam pertanyaan, bukan untuk mencari informasi sebenarnya, tetapi hanya bertujuan mengejek, menolak, menghina, dan menyebut materi yang dipertanyakan sebagai sesuatu yang tidak mungkin terjadi di masa mendatang. Sebagaimana pertanyaan terkait dengan hari kiamat atau hari pembalas.

55 Rahbaniyyah adalah berlebih-lebihan dan beribadah, yaitu tidak beristeri atau tidak bersuami dan mengurung diri dalam biara.

Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?" Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba”. Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar

mengetahuinya. Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Q.S. al-A‘râf [7]: 187).

Artinya: “Mereka mengatakan: "Bilakah (datangnya) ancaman itu, jika memang kamu orang-orang yang benar?” (Q.S. Yûnus [10]: 48).

Artinya: “Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan benar- benarlah kamu akan mendapat kesusahan tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (Q.S. al-Hujurât [49]: 7).

Artinya: “(Orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari

berbangkit, kapankah terjadinya?” (Q.S. al-Nâzi‘at [79]: 42).

Di dalam al-Sunnah disebutkan tentang larangan terlalu banyak bertanya “Wahai Muhammad! Sesungguhnya umatmu senantiasa bertanya; Apa ini? Apa itu? Sampai-sampai mereka mengatakan: Inilah Allah yang telah menciptakan

makhluk, tapi siapakah yang menciptakan Allah sendiri?” 56