Pertanyaan Tentang Hari kiamat

C. Pertanyaan Tentang Hari kiamat

Peristiwa berakhirnya alam semesta dan seisinya amat menarik perhatian para penyekutu Tuhan dan orang-orang yang tak beragama dari berbagai aliran. Asumsi bahwa hari kiamat adalah suatu ilusi dan dongeng- dongeng serta kisah-kisah khayalan belaka merebak di kalangan orang-orang non-muslim, oleh karenanya hari kiamat menjadi topik pembahasan harian, bulanan dan bahkan tahunan mereka yang selalu diperbincangkan.

17 Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dari Salmanal-Farisi

Berangkat dari titik tolak ketidakpercayaannya terhadap kiamat, masyarakat non-muslim periode Nabi saw. secara konntinyu mempertanyakan detik-detik kemunculan dan kejadiannya, pertanyaan kapankah dan bagaimanakah sering muncul seiring dengan sikap arogansi non-muslim dan penolakannya terhadap kebenaran hari itu. Dalam al-Qur’ân pertanyaan seperti di atas sering terulang-ulang hingga lima kali dengan ungkapan bahasa bervariatif pada tiga surah yaitu: al-Ahzâb, al-A’râf, dan al-Nâzi’ât. Hari kiamat diungkap dengan kata al-Sâ’ah, sedang pada surah al-Dzâriat, hari

kiamat dituangkan dengan kata Yaum al-Dîn dan pada surah al-Qiyâmah diungkap dengan bahasa Yaum al-Qiyâmah. Baik al-Sâ’ah maupun Yaum al- Dîn keduanya memiliki pengertian yang sama walaupun secara harfiah berbeda, tetapi esensi pengertiannya tidak menunjukan perbedaan yang signifikan.

Pertanyaan tentang hari kiamat bukan pertanyaan sebenarnya yang mencari informasi menyangkut obyek yang ditanyakan. Pertanyaan ini lebih bersifat tendensius, bertujuan mengejek, mengolok-olok, menghina dan bahkan menolak baik terhadap Nabi saw. yang memberitakannya maupun terhadap kebenaran hakiki peristiwa hari tersebut, karena menurut penanya obyek yang ditanyakan mustahil terjadi di masa mendatang. Dengan motivasi seperti ini jawaban yang disampaikan tetap dirahasiaakan dan Nabi saw. sebagai pihak yang menghadapi pertanyaan diperintahkan Allah memberikan jawaban: “Jawablah’ sesungguhnya hanya Allah yang mengetahui-Nya”

Artinya ketika Nabi saw. mengahadapi pertanyaan semacam ini, ia diperintahkan memberikan jawaban “Aku tidak mengetahui waktu tibanya hari kiamat dan hanya Allah-lah yang mengetahui” Allah merahasiakannya dan tidak seorangpun dari Nabi atau pun Malaikat diberitahukan waktunya.

Dalam al-Qur’ân pertanyaan tentang hari kiamat memperoleh jawaban elaboratif tentang peristiwa terjadinya hari kiamat, dan kondisi kesudahan non- muslim yang menjadi penghuni neraka. Pada surah al-Ahzâb: 32 ayat 63–68 Allah menyatakan bahwa hari kiamat adalah hari di mana Allah mengusir dan

menjauhkan orang-orang kafir dari rahmat-Nya serta mempersiapkan bara api yang dahsyat untuk mereka, menempatkan mereka di Neraka Sya’ir untuk selamanya. Di neraka mereka dipanggang dengan api, merintih dan meratapi nasibnya, sambil berkata:

“Seandainya saja kita mengikuti Allah dan Rasul-Nya, tentu kita tidak akan mendapat siksa seperti ini, tetapi alangkah sayangnya, kita telah mengikuti pemimpin dan bangsawan yang telah menelantarkan kita dari jalan kebenaran, jadikanlah siksa mereka ini dua kali lipat dari siksa kita karena mereka penyebab semua ini”. Sebagaimana yang tercantum dalam ayat berikut ini yang berbunyi:

Artinya: “Mereaka bertanya: “Bilakah hari pembalsan itu?” (Hari pembalasan itu ialah) pada hari ketika mereka diadzab diatas api neraka”. (Q.S. al-Dzâriyât [51]: 12-13).

Jawaban elaboratif pada ayat diatas juga diberikan pada ayat 12 dan 13 surah al-Dzâriyât, bahwa hari kiamat adalah suatu hari di mana orang-orang Jawaban elaboratif pada ayat diatas juga diberikan pada ayat 12 dan 13 surah al-Dzâriyât, bahwa hari kiamat adalah suatu hari di mana orang-orang

Selain kedua surat di atas, jawaban senada juga dinyatakan pada surah al-Nâzi’at ayat ke 46 bahwa hari kiamat tiada yang mengetahui selain Allah SWT. dan Nabi saw. hanya bertugas untuk menyampaikan peringatan kepada orang-orang yang takut pada Allah, bukan memberitahukan waktu tibanya.

Peringatan ditujukan hanya pada orang yang takut pada Allah karena sangat berguna bagi mereka. Orang kafir saat menyaksikan hari itu seolah-olah hanya menjalani kehidupan di dunia selama sekejap mata. Ibnu Katsir mengatakan: Ia menganggap lamanya tinggal di dunia seolah-olah selama waktu sore atau waktu pagi, seperti dilukiskan pada ayat-ayat berikut:

Artinya: “Orang-orang kafir bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari kebangkitan, kapankah terjadinya?” (Q.S. al-Nâzi‘ât [79]: 42).

Artinya: “Siapakah kamu (maka) dapat menyebutkan (waktunya)” (Q.S. al- Nâzi‘ât [79]: 43).

Artinya: “Kepada Tuhanmulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan waktunya)” (Q.S. al-Nâzi‘ât [79]: 44).

Artinya: “Kamu hanyalah pemberi peringatan bagi siapa yang takut kepadanya (hari kebangkitan)” (Q.S. al-Nâzi‘ât [79]: 45).

Artinya: “Pada hari mereka melihat hari kebangkitan itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari” (Q.S. al-Nâzi‘ât [79]: 46).

Masalah-masalah hari kiamat dan hari pembalasan memang merupakan realitas-realitas supra-natural yang tidak mudah diterima orang-orang non- muslim (Kafir Makkah). Keimanan terhadap persoalan tersebut memerlukan faktor hidayah dari Allah, oleh karena itu, Sayyid Qutb ketika menafsirkan ayat 3 surat al-Baqarah yaitu:

Artinya: (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang kami anugerahkan

kepada mereka”. (Q.S. al-Baqarah [2]: 3). Ia mengatakan bahwa, keimanan pada masalah supra-fisik itu

merupakan tingkatan yang dengan mencapainya, manusia naik melewati batas kebinatangan di mana kemampuan persepsi terbatas pada wilayah indera- indera eksternal dan mencapai tahap kemanusiaan, sebuah wilayah yang lebih luas dan lebih lapang di atas wilayah terbatas indera-indera eksternal telah terbuka dihadapannya. Memasuki tingkatan baru ini membawa perubahan radikal dalam pandangan manusia tentang realitas eksternal secara umum dan khususnya mengenai dirinya sendiri dan dia mampu mempersepsi kekuatan-

kekuatan tersembunyi alam semesta. 18 Demikian keimanan terhadap masalah yang ghaib seperti yang

ditanyakan orang-orang kafir Makkah, bukan mencerminkan keingintahuan mereka menyangkut realitas-realitas supra-fisik sehingga berubah keyakinannya setelah mendapat klarifikasi dari Nabi. Tetapi pertanyaan yang

18 Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut al-Qur’ân, h. 124 18 Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut al-Qur’ân, h. 124

Demikian pertanyaan bermotifkan membenci dan memusuhi Islam serta berupaya menggerogoti dan melumpuhkannya dengan cara apapun, baik dari dalam maupun dari luar. Juga berusaha mengaburkan dan menodai keberhasilan Islam serta menggencarkan proses de-Islamisasi dengan segenap bentuknya, kasar atupun halus