CIROMPANG, GEJOLAK ANTARA EKSPEKTASI DAN REALITA Hanifah Sri Pramesti Tami

4 CIROMPANG, GEJOLAK ANTARA EKSPEKTASI DAN REALITA Hanifah Sri Pramesti Tami

Tahap akhir dari Tridarma Perguruan Tinggi adalah mengabdi kepada masyarakat, memberikan sumbangsih kepada khalayak dari apa yang telah dipelajari di bangku kuliah dan membawanya ke ranah praktikal. Hal ini tercermin dalam kegiatan yang saya jalani selama satu bulan terakhir, terhitung sejak tanggal 25 Juli hingga 25 Agustus 2016. Saya bukanlah seorang yang idealis dan optimis akan suatu hal, termasuk dalam memandang kegiatan ini. KKN atau Kuliah Kerja Nyata dalam pandangan saya, sebelum kegiatan tersebut terlaksana, adalah suatu hal yang dirasa tidak perlu bagi jurusan yang saya ambil. Tentu, sebagai mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional saya seharusnya

tidak perlu deal dengan masyarakat suatu desa, yang mana hal itu akan dituntut dalam kegiatan KKN.

Saya cenderung skeptis dan pesimis dalam memproyeksikan kegiatan KKN, bahkan setelah kelompok kegiatan tersebut diumumkan oleh pihak PPM (Pusat Pengabdian kepada Masyarakat). Persepsi saya mengenai KKN adalah bahwa saya dan anggota kelompok lain akan ditempatkan di suatu wilayah, tak jarang yang terpencil dan jauh dari peradaban. Ketika saya mengatakan jauh dari peradaban, yang saya maksud adalah akses transportasi yang sangat jauh, sanitasi yang sulit dan juga tidak terjamah oleh fasilitas yang mendorong ke arah hedonisme.

Ketidakoptimisan saya mengenai kegiatan ini didukung oleh kurangnya intensitas anggota kelompok dalam rapat-rapat untuk membahas program kerja dan survei lokasi. Anggota kelompok terdiri dari teman-teman sesama mahasiswa dari berbagai Fakultas dan Jurusan yang berbeda, dan bukan keahlian bagi saya untuk dapat berbaur dengan cepat bersama sekumpulan orang yang sebelumnya belum pernah saya temui dan tidak sejalan secara pemikiran dengan saya. Seluruh anggota kelompok yang notabene-nya berasal dari Kampus I membuat saya merasa seolah terasingkan karena hanya saya satu-satunya yang berasal dari Kampus II. Ekspektasi yang saya bangun sejak rapat pertama terus berkembang ke arah perspektif yang negatif.

102 | KKN MAKMUR 2016

Jika kelompok KKN lainnya merasa mudah untuk saling berkomunikasi antar anggota, kelompok saya justru sebaliknya. Kendala terbesar pada awal rapat kerja untuk KKN adalah kecilnya hasrat untuk ngumpul bareng, dan saya akui bahwa saya juga salah satu yang kurang punya hasrat untuk kumpul bersama. Hal seperti inilah yang membuat saya dan anggota kelompok lainnya cenderung canggung jika bertemu dalam rapat, simply karena kami memang jarang bertemu bahkan untuk sekedar ngobrol atau ngopi. Begitu juga ketika survei lokasi KKN untuk pertama kali, perasaan saya yang sedikit merasa optimis kembali dijatuhkan ke titik yang masuk kepada skala pesimis. Intinya skeptisisme kembali mengontrol pikiran saya.

Mungkin perlu sedikit saya ungkit mengapa pada paragraf sebelumnya saya sempat merasa agak optimis. Hal ini karena kelompok saya ditempatkan di daerah Tangerang Selatan, wilayah Serpong lebih tepatnya. Pandangan saya yang sebelumnya akan berada jauh dari akses transportasi hilang sudah, dan tentu saja ini membuat saya agak senang. Namun memang Tuhan tidak menghendaki saya untuk merasa enteng lebih lama, pada survei lokasi yang pertama kali hanya 4 orang termasuk saya- dari 11 anggota kelompok yang melakukan survei. Saat itu pengecekan lokasi dilakukan bersama satu kelompok lain yang ditempatkan pada satu Kelurahan yang sama dengan kelompok saya. Dan dari survei tersebut, boleh saya katakan sangat sedikit hasil yang didapat.

Dari 9 RW yang disurvei di Kelurahan Kademangan, Serpong, Tangerang Selatan, 5 RW di antaranya sudah merupakan wilayah komplek perumahan. Ini juga merupakansalah satu kendala bagi kelompok kami karena dalam bayangan saya, kegiatan KKN adalah memakmurkan serta membangun fasilitas-fasilitas yang diperlukan warga dalam menunjang produktivitas kerja mereka di wilayah tersebut. Sementara hal yang terjadi di lapangan adalah, kontras dengan apa yang saya persepsikan; fasilitas tiap RW di kelurahan tersebut sudahlah mumpuni.

Namun setelah berdebat dan berdiskusi, kami memutuskan bahwa satu RW- yakni RW 3 merupakan satu yang paling membutuhkan perhatian lebih. Mengenai kondisi lingkungan sosial dan

99 Cahaya di Langit Cirompang | 103 99 Cahaya di Langit Cirompang | 103

Masih bercokolnya stigma negatif mengenai kelompok membuat saya seperti malas untuk berkumpul kembali pada rapat-rapat selanjutnya, apalagi setelah hanya saya dan tiga teman lainnya yang melakukan survei lokasi yang pertama. Rapat-rapat setelahnya pun saya merasa tidak membuahkan kemajuan apapun karena terus berhenti pada konsep proposal yang ingin diajukan, di kisaran tema dan visi kegiatan KKN kelompok. Boleh dikatakan saya seorang lone wolf, dalam hal laporan dan kegiatan terbiasa melakukannya sendiri atau dengan dua orang, jadi ketika dihadapkan pada situasi diskusi dengan 10 orang lainnya mengenai tema apa yang kira-kira cocok dengan program kerja yang akan dilakukan, saya lebih banyak diam dengan niatan menghindari ribut dan debat yang berkepanjangan, namun ternyata teman-teman yang lain mengambil aksi yang serupa dengan saya.

Selain kecanggungan antar anggota, kendala lain yang saya alami adalah jadwal kegiatan harian saya yang terlalu padat, baik jadwal kuliah maupun kegiatan volunteering lainnya yang saya ikuti, membuat saya semakin sering absen dalam rapat-rapat KKN selanjutnya. Secara personal, saya tidak merasa apa-apa ketika meninggalkan ataupun harus izin dalam rapat-rapat tersebut lagi-lagi karena masih ada rasa malas, kurang peduli dan skeptis untuk kegiatan KKN tersebut. Dan bukan saya saja, teman-teman sekelompok juga saya rasa kurang mengenal pribadi sesama anggota di kelompok yang sama. Seolah rapat yang berjalan menjadi formalitas absen belaka.

Hingga pertemuan bersama dosen pembimbing pun terasa canggung karena teman-teman, juga saya, merasa malas untuk berbicara atau menceritakan hal utama yang menjadi problematika di lokasi

104 | KKN MAKMUR 2016

KKN- yang dapat menjadi sumber inspirasi bagi tema dan program kerja kegiatan. Sebenarnya ada kalanya saya dan teman-teman kelompok saling membuat lelucon dan makan bareng, tapi tentu saja itu lepas dari obrolan mengenai kegiatan KKN. Seolah menguras otak jika kami membicarakan KKN di sela waktu kumpul yang jarang dilakukan itu, alhasil hasil kerja kelompok kami hanya berhenti pada titik itu saja.

Intensitas pertemuan yang jarang dilakukan menjadi semakin tidak rutin menjelang musim UAS dan pertengahan bulan Ramadhan, hingga akhirnya tidak bertemu sama sekali selama lebih dari dua minggu ketika menjelang libur semester dan hari raya Idul Fitri. Ketika itu saya mendapat laporan bahwa proposal kegiatan sudah rampung dan ketika itulah saya mulai merasa bersalah, karena saya melihat bahwa saya tidak memberikan kontribusi apapun, mau tidak mau saya harus menebusnya dengan cara rajin ikut rapat setelah lebaran. Tetapi rapat yang saya bayangkan akan berjalan lebih intens justru hanya terjadi satu atau dua kali setelah libur hari raya, di sinilah saya merasa masih memiliki hutang kepada kelompok. Ditambah lagi ketika saya mendapat panggilan untuk menjadi salah satu street team acara musik di Amerika membuat dilema hati saya.

Oleh karena itu, setelahnya saya bertekad untuk mulai lebih aktif dalam hal kontribusi kepada kelompok, dan usaha saya ternyata membuahkan hasil. Program kerja menjadi lebih terarah, fokus perhatian mengenai problem yang terdapat di lokasi KKN mengarahkan saya kepada beberapa ide yang bisa dijadikan sasaran dari beberapa kegiatan yang sebelumnya tidak masuk ke dalam proposal. Pada survei lokasi yang keempat kalinya, saya masih dengan tiga teman yang lain berencana untuk sekalian saja mencari tempat tinggal sementara untuk kelompok kami.

Dari hasil pengamatan yang lebih dekat tersebut, saya dan teman- teman yang mensurvei kedapatan satu tempat tinggal yang berada di RT 02/RW 03. Desa Cirompang namanya. Sekilas tidak ada yang perlu diprihatinkan dari Cirompang ini. Mushalla, lapangan olahraga, taman baca hingga akses jalan dirasa cukup baik. Melalui Pak Rony, salah satu pegawai kelurahan yang bertempat tinggal di sana, problem utama dari warga Cirompang adalah tingkat edukasi yang kurang, meski masih tampak rasa kegotongroyongan, tetapi masyarakat Cirompang masih

99 Cahaya di Langit Cirompang | 105 99 Cahaya di Langit Cirompang | 105

Karenanya saya dan teman-teman kelompok lebih menekankan kepada kegiatan penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat ketimbang pembangunan fisik. Sebelum kegiatan KKN terlaksana secara resmi pada 25 Juli, bayangan yang ada dalam benak saya mengenai Cirompang adalah bahwa masyarakat di wilayah tersebut cenderung tertutup pada orang asing, apalagi kepada sekumpulan mahasiswa, dan sulit diajak bekerja sama. Hampir selama dua minggu sebelum acara pelepasan KKN oleh pihak universitas, pikiran seperti di ataslah yang terus terlintas dalam pikiran saya juga teman-teman. Meyakini bahwa program-program yang diusung lebih berat dibandingkan dengan kegiatan seperti pengadaan atau pembangunan fisik, karena lebih menyangkut hasrat personal dari masyarakat Cirompang itu sendiri.

Menghitung hari saya lakukan setelah survei terakhir tersebut, sebelum akhirnya saya benar-benar terjun dalam kegiatan yang sesungguhnya sangat malas saya ikuti, jika bukan karena tuntutan SKS dan mata kuliah wajib, tentu tidak akan saya ikuti KKN ini- dan saya pikir banyak teman-teman lain yang berpikiran sama. Langkah telah saya ambil, tanggung jawab terlanjur berada di pundak saya dan teman- teman, mau tak mau nyatanya kami memang harus melaksanakan kegiatan ini dari awal hingga ke tahap paling akhir.

Berbicara mengenai pelaksanaan kegiatan, saya dan teman-teman tentu harus tinggal bersama selama kami terikat dengan KKN. Banyak orang yang telah saya temui, tempat yang saya kunjungi, pribadi yang saya kenal secara dalam atau yang hanya numpang lewat. Saya juga merupakan orang yang sering bepergian karena tuntutan tugas atau pekerjaan, jadi tinggal satu atap dengan orang lain bukan perihal yang baru bagi saya namun bukan berarti saya orang yang terlalu membuka diri, juga. Selama pribadi teman satu atap saya masih bisa ditolerir oleh batas kesabaran, maka saya tidak merasa orang itu perlu untuk di- “protes”.

Pun dengan teman-teman kelompok KKN saya ini. Saya akui jika saya memang kurang mengenal mereka selama proses pra-KKN berlangsung, dari kilasan rapat-rapat sebelumnya saya berpendapat

106 | KKN MAKMUR 2016 106 | KKN MAKMUR 2016

Tetapi Cirompang mengubah paradigma saya, baik perspektif saya terhadap lingkungan sosial daerah tersebut, pandangan saya terhadap kondisi masyarakatnya ataupun low expectation saya terhadap kelompok. Suasana internal yang saya pikir tidak akan jauh dari warna hitam ataupun abu-abu ternyata kontras dengan apa yang saya prediksikan akan terjadi, justru terlalu banyak warna yang dihasilkan hingga saya pusing dibuatnya, tentu dalam artian yang baik. Sepuluh pribadi berbeda harus saya kenali ciri dan keunikannya, sesuatu yang sebelumnya belum pernah saya lakukan. Jelas karena jumlah 10 orang merupakan nominal yang cukup banyak untuk dilakukan dalam waktu yang bersamaan.

Memang, butuh proses untuk mengenal lingkungan baru. Itulah yang saya coba lakukan tiga hari pertama tinggal di Cirompang. Hingga tiga hari di awal masa KKN saya belum mampu menemukan hal apapun yang berarti di sana, pun dengan situasi lingkungan maupun masyarakatnya, masih sama seperti apa yang saya bayangkan dua minggu sebelum acara pelepasan KKN. Tentu saja, itu kan, baru awalnya. Mulai hari keempat saya dan teman-teman mulai memberanikan diri untuk menyapa warga yang lewat di depan rumah kelompok kami. Butuh sedikit tekad juga untuk melakukannya karena kami merupakan orang asing disana, jadi mau tak mau harus mencoba untuk beramah tamah demi menimbulkan kesan pertama yang baik.

Setelahnya, entah disengaja atau tidak, di depan rumah kelompok kami jadi semakin banyak dan sering warga yang lalu lalang. Dan memang dasar saya tipe orang yang sangat santai, kadang saya menyapa warga yang lewat di depan rumah sembari duduk di depan pintu, memotong kuku. Kadang saya sapa, “Ibu! Habis beli sayur?” atau “Ke mushalla, pak?” bahkan sampai sapaan “Hai, dek!”. Bukan karena apa-apa, saya menyapa dengan santai karena ingin memberikan juga suasana

99 Cahaya di Langit Cirompang | 107 99 Cahaya di Langit Cirompang | 107

Awalnya mereka hanya mengembalikan sapaan saya dengan senyum atau sekedar mengangkat alis seakan mengatakan “ya”, tapi lama kelamaan mereka tak tahan juga untuk tidak mengajak kami bincang bareng. Perspektif saya yang mengatakan bahwa warga Cirompang merupakan tipe-tipe orang yang tertutup semakin lama makin terkikis hingga hilang sama sekali. Tetangga depan rumah yang kami tinggali merupakan tipe ibu rumah tangga yang banyak bicara, dalam artian yang baik. Saya dan teman-teman belajar mengenai kondisi Cirompang darinya. Tak pernah sekalipun ia absen untuk cerita begitu melihat salah satu dari kami, entah itu kisah mengenai riwayat penyakitnya, tetangga-tetangga yang lain, atau sekedar ngomongin resep sayur mayur.

Saya menyadari bahwa kunci menjalin kedekatan dengan warga bermula dari keberanian untuk menyapa. Sapaan ramah menunjukkan niatan yang baik. Warga Cirompang, saya rasa, mendapat kesan pertama yang cukup kuat dari kami. Begitu pula dengan remaja- remaja dan anak-anak usia SD dan SMP di sekitar rumah tinggal kami. Antusiasme mereka begitu besar, berkunjung, bermain dan belajar ke rumah kami hingga selepas isya. Namun tetap ada yang membuat saya prihatin terhadap bocah-bocah itu. Sesuatu yang membuat saya awalnya sempat tercengang.

Pemahaman mereka mengenai studi akademik mereka sendiri sangatlah kurang. Sebelumnya saya tidak pernah tahu bahwa ada sekumpulan anak kelas 4 SD yang tidak hapal perkalian 2. Hal ini diperparah dengan orangtua mereka yang memang kurang meluangkan waktu dan memperhatikan anak-anaknya. Kesibukan untuk menyambung hidup menjadi alasan mengapa anak-anak tersebut lebih

banyak bermain ketimbang belajar, simply karena orangtua mereka tengah bekerja di luar ataupun, jika ada di dalam rumah- tidak ingin diganggu anaknya karena alasan berisik. Satu lagi problem yang kami temukan di lokasi KKN. Sejalan dengan berbagai problematika yang kami temukan di Cirompang, program kerja yang kami lakukan pun

108 | KKN MAKMUR 2016 108 | KKN MAKMUR 2016

Bimbingan belajar setiap hari, mengajar di madrasah yang berdekatan, bimbingan keagamaan, kami laksanakan setiap hari untuk membangkitkan keinginan belajar dan prestasi bagi bibit generasi masa depan negeri, juga untuk memunculkan rasa kompetitif yang sehat serta dimaksudkan agar generasi muda tersebut tahu darimana mereka berasal- ingat kepada Yang Menciptakan dunia beserta isinya. Saya juga turut serta dalam kegiatan-kegiatan penyuluhan yang memang ditujukan sebagai pemberdayaan masyarakat, agar sadar potensi mereka dan dapat meningkatkan produktivitas Cirompang tentunya. Sementara teman-teman pria dalam kelompok juga rutin terjun dalam kegiatan kerja bakti, bersinergi dengan masyarakat sekitar lebih dalam- mempertahankan tradisi lama gotong royong. Setidaknya meninggalkan bekas keramahan di hati tiga atau lima bapak-bapak yang ikut kerja bakti

Bukan tanpa konflik sebenarnya dalam pengerjaan segala kegiatan yang sebelumnya sudah direncanakan. Saya dengan teman-teman juga memiliki riwayat clash yang cukup sering, entah di rapat evaluasi atau di kegiatan sehari-hari, tapi bukankah bukan hidup namanya jika tak ada lika likunya? Tak pernah sedikitpun saya mengharapkan KKN tanpa konflik internal, justru hal seperti itulah yang membuat saya semakin mengenal teman-teman yang lain, dan bagaimana seharusnya saya memperlakukan mereka. Negatifitas yang ada dalam pikiran saya mengenai kegiatan KKN hilang seutuhnya ketika saya terjun langsung di masyarakat. Mengutip kalimat terkenal “Bahwa usaha tak akan pernah mengkhianati hasil”, saya dan teman-teman akhirnya mampu memberikan apa yang kami rasa terbaik untuk Cirompang.

Pun jika saya diizinkan sekali lagi menjadi bagian masyarakat Cirompang, saya sangat berharap mampu berbuat lebih untuk Desa Cirompang. Perbaikan kearah yang lebih positif terutama untuk memotivasi generasi muda Cirompang serta sumbangsih moral, tentu sangat diperlukan, dan saya sangat berharap saya mampu melakukannya.

99 Cahaya di Langit Cirompang | 109

Anggapan bahwa Cirompang hanyalah lokasi tugas pun juga sirna sudah. Memang akan menghabiskan lebih banyak waktu, peluh dan tekad untuk menjadikan Cirompang menjadi desa yang ideal, tetapi empati yang saya dan teman-teman kelompok rasakan terhadap Cirompang dan warganya menuntun kami kepada banyaknya dan rutinnya kegiatan yang kami lakukan di sana, semata-mata karena kami menganggap tempat tersebut juga sebagai rumah kami. Tak cukup sesungguhnya memberdayakan Cirompang hanya dalam satu bulan, tetapi saya dan teman-teman sangat memiliki harapan tinggi untuk wilayah tersebut. Skeptisisme yang selama ini membelenggu diri saya, akhirnya hilang sama sekali.

110 | KKN MAKMUR 2016