Terbentuknya Simpati Via Kemersamaan dan Ketertarikan Terbentuknya Simpati Via Kemersamaan dan Ketertarikan

Gambar 29 Terbentuknya Simpati Via Kemersamaan dan Ketertarikan Gambar 29 Terbentuknya Simpati Via Kemersamaan dan Ketertarikan

Terlepas dari persoalan, pendekatan mana yang digunakan, hubungan antara nilai empati dan simpati dengan kedua pendekatan (kuantitatif dan kualitatif), dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 30). Gambar 30 menunjukkan hubungan jalur antara empati dengan simpati. Simpati dapat terbentuk melalui empati (sel 4 melalui sel 3). Yang dimaksud oleh Sofyan A. Djalil dengan empati adalah empati dalam sel 1, sedangkan simpati yang diharapkan terbentuk melalui pernyataan Alwi Shihab adalah simpati dalam sel 2.

--------------------------------- | NILAI | |---------------------------------| | EMPATI | SIMPATI | | Keberbedaan | kebersamaan |

--------------------------|----------------|----------------|

| | KUANTITATIF | yg berbeda 1 | mayoritas yg 2| | | (FOR pene- | dan kecil | dijadikan da- | | | liti) | diabaikan | sar kebersamaan| | PENDEKATAN |-------------|----------------|----------------| | | KUALITATIF | setiap kom- 3 | keberadaan 4| | | (FOR subjek | ponen ber- | yg menjadi da- | | | yg diamati) | nilai | sar kebersamaan|

------------------------------------------------------------

Gambar 30 Model Hubungan Nilai dengan Pendekatan

Alwi Shihab membenarkan kebijakan pemberian kompensasi BBM langsung tunai kepada orang terdaftar miskin, kendatipun banyak yang sesungguhnya tidak berhak tetapi terdaftar, dan sebaliknya banyak yang berhak tetapi tidak terjangkau pendaftaran, sementara banyak pula orang melarat lanjut usia setelah menempuh perjalanan yang jauh, antri berjam-jam, berdesakan, bahkan ada mati terinjak- injak, tetapi itu semua, dianggap tidak apa-apa, karena “persentasenya sangat kecil.” Jika seorang yang usil bertanya: “Jika orang tua miskin yang terinjak itu, Anda sendiri, bagaimana?” Dia diam, tidak menjawab, atau dia menjawab dengan ketus: “Boro-boro saya miskin, bahkan sayalah yang membuat orang miskin dan terinjak. Anda tau, kan, saya tidak miskin, oleh sebab itu saya tidak bisa me- ‘reproduce in my own mind the feelings, motives, and thoughts behind the action of other’” (“feelings” dibaca “sufferings,” “misery”).

Apakah melalui perbedaan (sel 3, Gambar 30) orang bisa tiba pada kebersamaan (sel 4)? Bisa, “through diversity toward unity,” atau E Pluribus Unum, demikian proposisi satu Eduard C. Lindeman dalam T. V. Smith dan Eduard C. Lindeman, The Democratic Way of Life (1955, 112), dan demikian juga makna Bhinneka Tunggal Ika. Bisa, jika sikap terhadap perbedaan bahkan heterogenitas, bertolak dari serenity: “Menerima secara sadar dan ikhlas apa adanya.” Seperti tajuk doa Reinhold Niebuhr (1892-1971):

God, Give us grace to accept with serenity The things that cannot be changed Courage to change the things Which should be changed And the wisdom to distinguish The one from the other

Konsep empati dan simpati tidak terpisahkan dengan konsep pengertian (understanding). Salah satu bentuk understanding adalah empathic understanding yang dalam bahasa Jerman disebut Verstehen. “It (Verstehen) must mean an act of sympathetic imagination or empathic identification on the part of inquirers that allowed them to grasp the psychological state (i.e. motivation, belief, intention, or the like) of an individual actor,” demikian Schwandt. Bisa saja peneliti bermaksud mengenal seorang aktor dengan motif ketertarikan (sympathetic imagination) dan bukan karena ingin mengenalnya sebagaimana adanya. Menurut Max Weber, Verstehen adalah “empathic understanding or an ability to reproduce in one’s own mind the feelings, motives, ang thoughts behind the action of others.” Konsep Verstehen terkenal di lingkungan Humaniora, Sosiologi, Antropologi, dan Ilmu

Sosial lainnya, dan dijadikan dasar pendekatan kualitatif Metodologi Penelitian Sosial. Adalah Wilhelm Dilthey yang mengelompokkan ilmu pengetahuan menjadi Naturwissenschaft yang tersusun berdasarkan abstract explanation (Erklärung) dan Geisteswissenschaft yang berakar dalam “an empathetic understanding, or Verstehen, of the everyday lived experience of people in specific historical settings” (Neuman, 1997, 68). Tujuan Naturwissenschaft adalah scientific explanation, sedangkan Geisteswissenschaft “the grasping or understanding (Verstehen) of the “meaning” of social phenomena” (Denzin dan Lincoln, 1994, 119).

Menurut Schwandt ada dua pendekatan yang digunakan dalam human inquiry. Pertama, pendekatan constructivist yang berpendapat bahwa “knowledge and truth are created, not discovered by mind,” dan kedua pendekatan interpretivist, yang menyatakan “. . . the facts of the world are essentially there for study. They exist independently of us as observers, and if we are rational we will come to know the facts as they are.” Lepas dari persoalan tersebut, diperlukan adanya intersubjective, common meanings---“ways of experiencing action in society which are expressed in the language and descriptions of institutions and practices.” Oleh sebab itu, “Accordingly, constructivists and interpretivists in general focus on the processes by which these meanings are created, negotiated, sustained, and modified within a specific context of human action. The means or process by which the inquirer

SETTING | | menerangkan

FENOMENA SOSIAL <----------- TEORI | meramal | | |

SUBJEK |

PENELITI --- berempati --> YG DIAMATI -----------> VERSTEHEN

FOR

the meaning

| | | | | | |------- menafsir-------> DATA | | | | | | |

--- mengonstruksi ---> KATEGORI ------------------

properties

FOR frame-of-reference