Sebuah Pola Pikir Kualitatif Sebuah Pola Pikir Kualitatif
Gambar 31 Sebuah Pola Pikir Kualitatif Gambar 31 Sebuah Pola Pikir Kualitatif
Neuman (1997, 68): “Weber argued that social science needed to study meaningful social action, or social action with a purpose,” karena mengerti tidaknya seseorang akan suatu hal pada akhirnya menentukan pola perilaku yang bersangkutan. Untuk Indonesia, konsep Verstehen sebagai metode sangat penting, mengingat budaya Indonesia adalah budaya yang sangat kaya, sangat beragam, purba, unik, tetapi minat untuk mengungkapkannya semakin lemah, sementara FOR generasi sekarang jauh berbeda dengan FOR generasi pelaku budaya pada zamannya. Menurut Metodologi Sejarah, nilai-nilai purba dapat diungkapkan melalui Verstehen, bilamana peneliti mampu berempati dengan masa lampau, menempatkan diri seolah-olah berada di masa silam itu. Hanya saja, biaya penelitian dan pelestariannya mahal. Belum lagi pola perilaku sosial yang bersifat covert, tertutup, tidak jelas (wayang), “lain di mulut, lain di hati,” lain yang tersurat, lain yang tersirat. Melalui Verstehen, ada apa di belakang perilaku manusia, bahkan mungkin di bawah sadarnya sebagaimana adanya, bisa terungkap, bisa difahami. Verstehen bisa menggambarkan perilaku teror dan menyawab pertanyaan mengapa seseorang menjadi teroris, tetapi dengan Verstehen orang tidak bisa membenarkan terorisme. Dilihat dari sudut ini, Metodologi Kualitatif unggul dalam pengungkapan nilai dan sistem nilai, sementara Metodologi Kuantitatif dapat digunakan untuk memproses norma. Teknik dan prosedur yang harus ditempuh guna menemukan Verstehen di belakang dan teori tentang fenomena yang diamati, diuraikan oleh Anselm Strauss dan Juliet Corbin dalam
SERENITY----->EMPATHY----->UNDERSTANDING | | | |
---------------
| | membangkitkan empati MUTUAL
EMPATHIC UNDERSTANDING----------------------->EMPATHIC (VERSTEHEN) fihak yang lain UNDERSTANDING | | | | | A tdk hrs berubah menjadi B |
------dan B tdk hrs berubah------------- menjadi A, saling menghargai
Gambar 32 Empat Langkah Menuju Mutual Empathic Understanding
Basics of Qualitative Research (1990) dan Joseph A. Maxwell dalam Qualitative Research Design (1996).
Aplikasi langkah-langkah tersebut pada Gambar 32, diawali dengan pertanyaan tentang manusia sebagai fihak ketiga: “Manusia, yang diingat apanya?” Sekarang manusia jadi rebutan. Bahkan penyandang tuna sekalipun. Yang sehari- harinya dipandang sampah! Kabarnya menjelang pemilu 2009 KPU telah menyiapkan alat dan cara buat para penyandang tuna dan onggokan sampah ini suatu saat bagi orang lain tahun depan. Sebenarnya metodologi ini sudah lama digunakan oleh sektor bisnis. Terutama marketing. Sebuah keluarga kumuh sekali- sekalinya seperti mendadak (padahal sudah direkayasa sebelumnya) dikunjungi seorang selebriti TV biasanya perempuan didampingi seorang kamerawan lelaki yang membawa sebuah bingkisan yang berharga disertai ucapan selamat dan pelukan mesra dari siperempuan. Tentu saja itu bingkisan apa segepok uang diterima bak jatuh dari langit dengan syukur dan cium tangan oleh keluarga yang ketiban. Apakah dengan memberikan sebingkis hadiah kepada keluarga kumuh itu, kemiskinan berkurang? Andalah yang menjawab. Yang penting adalah udang di balik batunya: guna menaikkan rating TV doang. Siasat partai politik (parpol) demikian jualah. Parpol lantas menirunya dengan menggunakan label kepedulian kiri kanan. Itulah yang terbaca tgl 7 Oktober 09 di halaman 8 Kompas, “Narasi Baru Partai bla bla bla.” Atau label “kemanusiaan,” seperti yang terbaca --- lagi- lagi --- dalam Kompas, 8 Oktober 09, juga di halaman 8, “Amien Rais Beri Nasihat. . . . ,” agar kampanye “. . . memunculkan sisi kemanusiaan, tokoh politik bisa berkomunikasi dengan bahasa yang mudah dicerna oleh masyarakat.” Bukan hanya parpol, perseorangan juga yang merasa terpanggil untuk dipilih, menggunakan komunikasi politik dalam bentuk iklan. Bahasa gaulnya taktik tebarpesona. Foto diri berpakaian rapi dengan senyuman manis, memikat ratusan ribu pemudik. Atau melancarkan “Surat Buat Semua” (Kompas 5 Agustus 08, halaman 11). Mula-mula ia menyapa sini-sana, memperkenalkan diri siapa dia, mengidentifikasi dirinya dengan simbol-simbol tertentu guna menarik simpati, mengapa dia dan bukan orang lain, maunya supaya bla bla bla, dan bahwa “bersama kita bisa!” mewujudkannya. Memperkenalkan diri saja menggunakan berbagai cara. Ada yang memperkenalkan diri sebagai “Generasi Baru,” pembawa “Harapan Baru,” bintang tunggal di angkasa dua nol nol sembilan, ada yang memromosikan partainya, yang satu dengan semboyan “Berjuang Untuk Rakyat,” sedangkan yang lain dengan semboyan “Hidup adalah Perbuatan.”
Nampaknya, menjelang setiap pemilihan umum (pemilu), baik nasional maupun lokal (pilkada), legislatif maupun eksekutif, manusia yang sehari-harinya dianggap sampah, terlunta-lunta, wuih bau dan joroknya!, mendadak sontak diburu, dicari, Nampaknya, menjelang setiap pemilihan umum (pemilu), baik nasional maupun lokal (pilkada), legislatif maupun eksekutif, manusia yang sehari-harinya dianggap sampah, terlunta-lunta, wuih bau dan joroknya!, mendadak sontak diburu, dicari,
Disusul dengan pertanyaan: “Apatah salah Ibu mengandung?” Apakah di masa lebih tiga dasawarsa Soeharto berkuasa, manusia seutuhnya tidak diperhatikan? Diperhatikan! Itu termasuk ritual Pancasila, UUD45, dan GBHN. Masih teringat tiap kali Soeharto “turun kebawah,” berdialog dengan rakyat. Rakyat bertanya, Soeharto menjawab, rakyat mencurahkan uneg-unegnya, Soeharto menyimak dengan senyumnya yang memikat. Semuanya lancar sesuai skenario dan arahan sutradara. Semuanya bertepuk tangan. Tetapi mengapa Mei sembilan-puluhdelapan rakyat yang sama meng-“impeach”-nya? Sekarangpun begitu. Tidak kurang dari Kementerian Negara Daerah Tertinggal menetapkan lima prinsip pembangunan daerah tertinggal, yaitu “berorientasi pada masyarakat,” “sesuai dengan kebutuhan masyarakat,” “sesuai dengan adatistiadat dan budaya setempat,” “berwawasan lingkungan,” dan “tidak diskriminatif.” Tetapi mengapa, mengapa golput semakin membadai, Syamsuddin Haris menulis tentang korupsi dan delegitimasi DPR (Kompas 5 Agustus 08), dan Adrianus Meliala berbicara tentang kejahatan Negara (Kompas 23 November 06), sementara Budiarto Shambazy menyatakan: “Saya janji mau ‘nyoblos’ capres yang punya resep mengurangi jumlah orang miskin?” (Kompas 7 Oktober 08, halaman 15. Sebenarnya, pak Budi, gampang. Dengan sebuah tandatangan diubah saja tolokukur, dan dimainkan statistiknya, jumlah orang miskinpun jamin bisa naik bisa turun dalam sekejap, walau kemiskinan tetap bahkan semakin berkualitas, hehehe). Jadi ada yang tidak beres!
Rupanya “bukan salah Ibu mengandung (rakyat begitulah adanya) melainkan
Salah Bapa memandang (menggunakan kacamata kekuasaan).”
Pemerintah ingin supaya mereka yang-diperintah berperilaku tertib, teratur, bersih, indah, seragam, bila diperintah bergerak serentak, disatukan oleh kepatuhan dan kesetiaan pada rezim yang berkuasa, ibarat sapulidi yang terikat dengan tali di pangkalnya. Tetapi sabda alam lain. Kenyataan selalu bersifat jamak dan serbadua, kapan saja dan di mana saja. Siang dan malam, terang dan gelap, pria dan wanita, benar dan salah. Setiap eksistensi terdiri dari dua sisi ini. Pemerintah tidak eksis tanpa yang-diperintah. Hubungan ini merupakan salah satu anggap dasar Teori Governance. Dalam bahasa Teori Governance, kekuasaan (Negara, Pemerintah) dan kemasyarakatan adalah dua subkultur yang berbeda yang hadir di dalam setiap masyarakat. Dalam sejarah, di samping hubungan eksistensial, antara keduanya terbentuk perlahan tapi pasti hubungan lain yang bersifat kategorial. Dalam kondisi kategorial itu, masing-masing memiliki referensi yang berbeda tentang hal yang sama. Misalnya “janji” dalam kampanye. Menurut fihak yang berkampanye, “janji” yang dijualnya kepada pelanggan adalah “janji,” yang dianggap sudah terpenuhi pada saat “janji” itu dipercaya (dibayar). Tetapi menurut fihak pelanggan, “janji” adalah “apa yang dijanjikan,” dan oleh sebab itu ditagih pada suatu saat.
Frame-of-reference (FOR) subkultur yang satu tidak sah untuk digunakan buat mengukur dan mengevaluasi subkultur yang lain yang FOR-nya berbeda. Menurut Teori Budaya, bahasa yang digunakan subkultur kekuasaan (SKK) adalah bahasa authority, force, coercion, violence, sedangkan bahasa subkultur sosial (SKS, pelanggan) adalah bahasa cacing (diam, elusdada, tutupmulut, jahitmulut, sindiran, kiasan, dan jika tidak mempan, jika sudah melampaui ambang batas kesabarannya, dia bisa juga murka tidak alang kepalang
dia adalah semar dia badai dan topan itu yang menggeliat karena gencetan yang bergerak karena penindasan
yang menggilas karena hinaan yang sanggup mengubah roda zaman rakyat jelata di mana saja. . . .
(Riantiarno dalam Semar Gugat, 1995).
Oleh perbedaan budaya itu, norma yang dianut oleh satu fihak tidak kompatibel dengan norma-normanya yang dianut oleh fihak lain yang budayanya berbeda, demikian sebaliknya, dan bilaman digunakan begitu saja, dipaksakan, timbullah konflik. Jadi harus digunakan pendekatan empirik lintasbudaya. Demikian juga penelitian antardisiplin seperti telah dikemukakan dalam pengantar tulisan ini, Oleh perbedaan budaya itu, norma yang dianut oleh satu fihak tidak kompatibel dengan norma-normanya yang dianut oleh fihak lain yang budayanya berbeda, demikian sebaliknya, dan bilaman digunakan begitu saja, dipaksakan, timbullah konflik. Jadi harus digunakan pendekatan empirik lintasbudaya. Demikian juga penelitian antardisiplin seperti telah dikemukakan dalam pengantar tulisan ini,
Sesuai dengan judul, yang ditelusuri dalam tulisan ini adalah Metodologi Ilmu Pemerintahan (Kybernologi) yang digunakan dalam mempelajari fenomena politik. Di ruang politik terdapat Pemerintah (A) dengan FORnya sendiri, yang disoroti dengan menggunakan Metodologi Ilmu Pemerintahan (Gambar 33) oleh yang diperintah (B), dengan subkultur (FOR) yang berbeda. Sementara fihak A dapat dianggap homogen, fihak B yaitu masyarakat, heterogen (beragam). FOR fihak A dapat dianggap seragam, FOR fihak B, beragam, terdiri dari berbagai subkultur.
Gambar 33 Pendekatan Lintaskultural Antara A dengan B yang FORnya Berbeda
Gambar 33 menunjukkan A dan B dengan sikap kategorial masing-masing yang tidak akan memiliki titiktemu. Sikap digambarkan dengan sudut (Gambar 33). Hal itu terjadi bilamana sudut A = sudut B = 90°. Andaikata salah satu sudut lebih besar daripada 90°, keduanya pasti ketemu pada suatu titik negatif (titiktemu garis A3A2 dengan garis B1B) dan itu berarti konflik. Bilamana salah satu sudut A atau
B < 90°.keduanya pasti bertemu pada suatu titiktemu positif. Hal itu terjadi manakala salah satu fihak mencondongkan sikap ke arah fihak lainnya. Dalam bahasa metodologi disebut: “A berempati terhadap B,” sebaliknya, atau sama- sama. Semakin majemuk FOR, semakin berbeda besaran sudut A ketimbang sudut
B, semakin sulit menemukan titiktemu X positif. Semakin berbeda besaran sudut A ketimbang besaran sudut B, semakin jauh jalan dan jarak yang ditempuh untuk menemukan titiktemu X positif. Titik temu terjadi entah kapan, entah di mana, jika besaran sudut (A + B) < 180°. Titik temu positif itu jadi mustahil manakala besaran sudut (A + B) = 180° atau (A + B) > 180°. Artinya tidak ada kompromi, 100% kategorial. Kondisi itu terjadi, manakala salah satu mensakralisasi
X1 X2
A1 ---------------- B1
jembatan Y
sudut A sudut B A <----------------------------->B
berempati
Verstehen
Gambar 34 Triangulasi Antara A Dengan B Guna Menemukan Titiktemu X atau Garistemu A1B1 Sudut = Sikap
ideologinya sehingga baginya dua terdiri dari putih dan hitam belaka. Adakah kemungkin terjadinya “temu” dalam kondisi besaran sudut (A + B) = 180° atau (A + B) > 180°? Jawabannya ialah “ada,” dengan syarat, yang dicari bukan “titiktemu” X melainkan “garistemu” Y yang pada Gambar 34 disebut “jembatan.” Jembatan itu bisa dibangun pada setiap titik yang berseberangan pada garis AX1 dan garis BX2, yaitu titik-titik A1B1.
Satu-satunya jembatan antar(a) berbagai fihak yang FOR-nya berbeda-beda yang dapat dilalui oleh suatu fihak tanpa berubah menjadi seperti yang lain, adalah
salingpengertian (mutual understanding). Misalnya ungkapan Jawa yang diucapkan hari ini Jumat tgl 10, berbunyi “. . . besok. . . ,” jika oleh orang Melayu “besok” disimak “Sabtu tgl 11,” maka dunia bisa kiamat. Si Melayu murka karena merasa ditipu mentah-mentah. Padahal sebenarnya yang dimaksudkan oleh si Jawa adalah “kapan-kapan.” Konflik dapat dihindarkan jika orang Melayu mengerti ungkapan Jawa tersebut tanpa berubah menjadi orang Jawa, identitasnya tetap orang Melayu. Demikian juga sebaliknya. Fihak-fihak yang terhubung dengan (berjembatan) suatu pengertian, disebut saling-mengerti.
Pengertian dan saling-mengerti, cepat atau lambat dapat terbentuk dan tercapai melalui pelbagai cara di dalam masyarakat. Salah satu cara yang dikenal dalam metodologi adalah pembentukan pengertian dan pencapaian saling-mengerti melalui empati (empathy, bukan emphaty). Konsep empati tidak terpisahkan Pengertian dan saling-mengerti, cepat atau lambat dapat terbentuk dan tercapai melalui pelbagai cara di dalam masyarakat. Salah satu cara yang dikenal dalam metodologi adalah pembentukan pengertian dan pencapaian saling-mengerti melalui empati (empathy, bukan emphaty). Konsep empati tidak terpisahkan
Dengan menggunakan FOR pemerintah (FOR politik), seorang pejabat atau peneliti politik dari sebuah universitas besar di Bandung bertanya (berdasarkan laporan bahwa para PKL kembali mengais di KL semula, lokasi lama, bukan di lokasi baru): “Seberapa besar pengaruh implementasi kebijakan relokasi terhadap perilaku PKL,” dan bukan “Mengapa PKL kembali mengais di lokasi lama?” Oleh karena pertanyaan itu terkait dengan implementasi kebijakan maka perhatian pemikiran terpusat pada kebijakan dan birokrasi. Peneliti tidak perlu mengenal dan mengerti kondisi pelanggan, karena bukankah perilaku PKL sudah diketahui, yaitu membangkang, dan pembangkangan melawan hukum! Tidak kualitatif tetapi kuantitatif. Jembatan antara A1 dengan B1 tidak terbangun. Angka-angka, persentase, dan grafik, sudah cukup baginya. Mudah-mudahan melalui penelitian pesanan berbentuk projek dengan konsultan rekanan yang beken dapat ditemukan alasan pembenaran bahwa biaya kurang, tenaga kurang, mobil kurang, dsb, sehingga ada dasar untuk meminta semakin banyak anggaran. . . . . Oleh sebab itu, pertanyaan tersebutlah yang paling disukai. Tetapi seorang pejabat atau peneliti yang menggunakan FOR pelanggan (FOR Kybernologi), bertanya “Mengapa PKL kembali mengais di lokasi lama?” Jawaban terhadap dua macam pertanyaan itu sangat berbeda. Jika fokus perhatian penelitian berFOR pemerintah terarah pada implementor kebijakan, fokus perhatian penelitian berFOR pelanggan bertolak dari pengenalan dan pengertian terhadap PKL. Sudah barang tentu, perhatian terhadap PKL harus jernih dan cerah. PKL jangan dilihat sebagai pelanggar UU/Perda yang harus diusir dan digelandang oleh satuan PPP, melainkan sebagai manusia yang ingin hidup meski melarat, dan dilindungi oleh Pasal 27 (2) dan Pasal 34 UUD1945. Jawaban teoretik terhadap pertanyaan “Mengapa PKL kembali mengais di lokasi lama?” tentu saja menyentuh si implementor: “Karena kebijakan relokasi PKL tidak diimplementasikan. . . . . . . ” Jawaban hipotetik ini membangun jembatan yang kokoh antara A1 dengan B1.
Persoalannya, bagaimana membangun jembatan? Siapa mengempati siapa? Verstehen tentang apa atau siapa yang perlu ditemukan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Kybernologi meminjam konstruksi Ilmu Politik yang menggambarkan body-of-knowledge (BOK) dengan model atas-bawah (below), struktursupra dengan strukturinfra, dengan menempatkan kekuasaan di atas dan rakyat di bawah. Rakyat yang di bawah itu berlapis-lapis. Lapis tengah dan lapis atas ke atas biasanya kekasih kesayangan kekuasaan, karena bisa menyumbang pajak besar, mudah dirayu dan gampang diajak bertepuktangan. Sedangkan lapis bawah ke bawah boro-boro menyumbang, bahkan menjadi beban bagi struktursupra, dan oleh sebab itu dianggap sampah masyarakat (tapi nyontreng atawa nyoblos sih bisa, mangkanya sudah barang tentu kecuali menjelang pemilu! Iya nggak?).
Seorang gembala yang kehilangan seekor di antara 100 domba peliharaannya dalam perjalanan kembali ke kandang pada suatu saat bisa menggunakan metodologi kuantitatif dan bisa kualitatif. Ia menggunakan metodologi kuantitatif jika ia berargumentasi: “Domba yang hilang hanya satu persen, masih ada 99% lagi.” Tetapi ia menggunakan metodologi kualitatif jika ia mengambil keputusan untuk berhenti sebentar dan mencari seekor yang hilang sampai dapat.
A turun secara pribadi ( personally ) serendah mungkin da- ri posisinya, menempatkan diri seutuhnya setara dgn kon- disi B dgn tulus, emik & etik, sehingga oleh B ia dite- rima sebagai seorang sesama di antara mereka, berbuka diri mengamati, mendengar & merekam isyarat, prilaku & perkataan B sebagaimana adanya begitu keluar dari B tan- pa dipengaruhi oleh A. Mengingat B heterogen, katakanlah terdiri dari 10 sub-B, maka jika waktu yg digunakan A
= utk berbicara 10 menit, waktu yg harus disediakannya utk mendengar, sambil merekam, 10 x 10 = 100 menit, belum terhitung waktu yang diperlukannya untuk bersosialisasi, membangun rapport , membangun kebersamaan melalui peri- laku etik & emik, mengamati & merekam amatannya. A mela- wan arus? Ya, ia tdk populer di kalangan politisi dan birokrasi, bahkan oleh parpol ia dituduh pengkhianat. Tetapi percayalah, 99% rakyat ada di didepannya dan se- jarah bertinta emas terbentang di belakangnya. Ialah Semar, ialah Nelson Mandela
Gambar 35 Membentuk (Membangun) Saling-Pengertian Yang Empatik
Ini hanya ilustrasi, Tidak dipersoalkan apakah hilangnya si domba karena kesalahannya sendiri, tidak menaati peraturan. Yang penting ialah maknanya.
Makna ilustrasi di atas ialah, memang keduabelah fihak bisa memulai pemasangan jembatan dari fihaknya (B1) ke fihak lain (A1), dan sebaliknya. Namun kenyataannya, manakah yang lebih terbuka, kemungkinan bagi seorang PKL naik ke atas, naik dan naik lagi untuk memasuki kawasan istana negara atau halaman balaikota untuk menyampaikan isi hatinya, ketimbang kemudahan bagi presiden atau walikota turun, turun dan turun lagi untuk mengenal, memahami, dan menyelamatkan manusia terhilang di liang terbawah?