Hasil Analisis Time Series

4.2 Hasil Analisis Time Series

4.2.1 Stasioneritass Data

Uji stasioneritas diperlukan dalam data time series. Bila menggunakan data yang tidak stasioner, maka akan menghas ilkan persamaan “spurious regression ” yaitu persamaan regresi lancung atau p ersamaan regresi yang tidak memiliki arti ekonomi. Pada data asli (level), identifikasi awal kestasioneran dapat diamati dari grafik plot data terhadap waktu. Jika data asli menunjukkan adanya tren meningkat atau menurun, maka data tersebut tidak stasioner. Sebaliknya jika pada data asli tidak menunjukkan adanya tren meningkat atau menurun, maka data dikatakan stasioner pada tingkat level.

Sebelum melakukan tahapan anal isis, variabel-variabel PDB, pengeluaran pemerintah, indeks harga konsumen (IHK), jumlah uang yang beredar (M 2 ), dan kurs, ditransformasi ke dalam bentuk logaritm a, sehingga menjadi LNPDB, LNGOV dan LNIHK, LNM2, dan LNKURS . Metode yang digunakan untuk melakukan unit root test dalam penelitian ini adalah Philip Pheron test. Sebelum melakukan pengujian perlu untuk melihat apakah data tersebut me miliki trend, intercept atau kombinasi keduanya dengan cara melakukan plot terhad ap variabel LNPDB, LNGOV dan LNIHK, LNM2, LNKURS, dan SBI .

LNGOV LNIHK3

LNKURS LNM2

LNPDB SBI

Gambar 27. Pergerakan variablel-variabel penelitian periode 1990 -2009

Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa variabel pengeluaran pemerintah, IHK, jumlah uang yang beredar (M 2 ), dan pendapatan domestik bruto (PDB) menunjukkan adanya tren yang meningkat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa variabel pengeluaran pemerintah, IHK, jumlah uang yang Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa variabel pengeluaran pemerintah, IHK, jumlah uang yang beredar (M 2 ), dan pendapatan domestik bruto (PDB) menunjukkan adanya tren yang meningkat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa variabel pengeluaran pemerintah, IHK, jumlah uang yang

Sebelum melakukan uji unit root, perlu diketahui pula apakah dalam setiap variabel terdapat pengaruh yang signifikan dari intersept dan trend. Selain dengan menggunakan metode grafik seperti diatas, untuk lebih meyakinkan tentang keberadaan intersept dan trend, dapat pula menggunakan regresi OLS. Setelah diuji regresi OLS, ternyata diketahui bahwa terdapat intersept dan trend dalam series data.

Langkah selanjutnya dengan menggunakan kriteria diatas, akan dilakukan pengujian unit root. Hipotesa yang diuji adalah Ho : β1 = 0 (menunjukkan adanya URT atau stasioner) dan H1 : β1 ≠ 0. Disini β1 adalah nilai Philip Pheron.

Penggunaan kriteria Philip-Pheron didasarkan bahwa didalam periode penelitian terdapat structural break atau structural change. Jika nilai absolut Philip Pheron lebih besar dari nilai critical value maka hipotesa Ho yang menyatakan data terdapat unit root ditolak berarti data time series adalah stasioner, demikian juga sebaliknya bila nilai absolute Philip Pheron lebih kecil dari nilai critical value maka Ho diterima atau dapat dinyatakan bahwa data time Penggunaan kriteria Philip-Pheron didasarkan bahwa didalam periode penelitian terdapat structural break atau structural change. Jika nilai absolut Philip Pheron lebih besar dari nilai critical value maka hipotesa Ho yang menyatakan data terdapat unit root ditolak berarti data time series adalah stasioner, demikian juga sebaliknya bila nilai absolute Philip Pheron lebih kecil dari nilai critical value maka Ho diterima atau dapat dinyatakan bahwa data time

Tabel 8. Hasil Uji Unit Root pada Level

Nilai PP-statistics &

Variabel

LNKURS SBI PP-statistics

critical values

-1.06862 -1.79025 -3.19719

critical values 1%

-4.08002 -4.08002 -4.08002

critical values 5%

-3.46845 -3.46845 -3.46845

critical values 10%

-3.16106 -3.16106 -3.16106

Sumber : Pengolahan dengan Eviews 6.0

Berdasarkan hasil uji unit root sebagaimana yang terlihat pada tabel 8, ditemukan bahwa keenam variabel memiliki unit root test pada tingkat keyakinan 5%. Hal ini berarti bahwa keenam variabel tersebut tidak stasioner pada level. Oleh karena itu, untuk men dapatkan data yang stasioner pada tahap selanjutnya dilakukan pengujian unit root pada data first difference.

Hasil uji dengan menggunakan Philip Pheron test seperti terlihat pada tabel 9 menunjukkan bahwa seluruh variabel penelitian telah stasioner pada tingkat signifikansi 5%. Hal ini berarti bahwa seluruh variabel ekonomi tersebut di atas stasioner pada first difference sehingga variabel dapat dikatakan terintegrasi pada derajat 1 atau I(1). Hasil uji stasioneritas data adalah sebagai berikut:

Tabel 9. Hasil Uji Unit Root pada First Difference

Nilai PP-statistics &

Variabel

critical values DLNPDB DLNIHK3 DLNGOV DLNM2 DLNKURS DSBI PP-statistics

-8.04014 -6.50422 -7.40786

critical values 1%

-4.08166 -4.08167 -4.08166

critical values 5%

-3.46923 -3.46924 -3.46923

critical values 10% -3.16151 -3.16152

-3.16151 -3.16152 -3.16151

Sumber : Pengolahan dengan Eviews 6.0

4.2.2 Penentuan Lag Optimum

Pengujian lag optimum dalam penelitian ini menggunakan kriteria FPE, karena jumlah sampel yang digunakan tergolong kecil. Hasil penentuan panjang lag disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 10. Panjang Lag Optimum

Sumber : Pengolahan dengan Eviews 6.0

Panjang lag yang optimal adalah 6 berdasarkan kriteria Final Prediction Error (FPE). Pemilihan kriteria menggunakan FPE mengikuti Reimers (1992), menemukan bahwa FPE berjalan baik dalam pemilihan panjang lag yang op timal. Berikutnya untuk masuk keuji koin tegrasi dan VECM, maka panjang lag tersebut harus dikurangi satu. Oleh karena itu, panjang lag yang digunakan adalah 5.

4.2.3 Hasil Uji Kointegrasi Joh ansen

Berdasarkan panjang lag diatas, tahapan selanjutnya ialah melakukan uji kointegrasi untuk mengetahui apakah akan terjadi keseimbangan dalam jangka panjang, yaitu terdapat kesamaan pergerakan dan stabilitas hubungan diantara variabel-variabel di dalam penel itian ini atau tidak. Dalam penelitian ini, uji Berdasarkan panjang lag diatas, tahapan selanjutnya ialah melakukan uji kointegrasi untuk mengetahui apakah akan terjadi keseimbangan dalam jangka panjang, yaitu terdapat kesamaan pergerakan dan stabilitas hubungan diantara variabel-variabel di dalam penel itian ini atau tidak. Dalam penelitian ini, uji

Berdasarkan hasil pengujian sebelumnya yang dilakukan terhadap seluruh variabel diketahui bahwa seluruh variabel mempunyai stasi oneritas pada tingkatan yang sama, yaitu pada dif erensiasi pertama atau I [1]. Hal ini mengindikasikan bahwa syarat untuk penerapan pengujian kointegrasi Johansen telah terpenuhi. Analisis hubungan antarvariabel dalam jangka panjang digunakan untuk menunjukkan adanya kombinasi linier yang menyatakan hubungan jangka panjang antarvariabel. Adanya hubungan antarvariabel dalam jangka panjang salah satunya ditunjukkan dengan nilai trace yang diperoleh dari hasilpengujian kointegrasi.

Dari hasil output berikut dapat dilihat bahwa pengujian kointegrasi dengan asumsi linier deterministic trend pada data. Pengujian kointegrasi Johansen dilakukan dengan asumsi linier deterministic trend pada data dengan memasukkan unsur konstanta dan tren. Hal ini dila kukan karena dari series data yang digunakan dalam penelitian ini menunjukkan adanya kecenderungan (tren) yang terus meningkat. Oleh karena itu, pada penguj ian kointegrasi Johansen perlu dimasukkan unsur konstanta dan tren. Tabel 11. Hasil Uji Kointegrasi metode Johansen’s Cointegration

(trace statistics) Null

5% Prob Hypothesis

Eigenvalue

Trace

Critical Value r = 0*

29.79707 0.0181 * denotes rejection of the hypothesis at the 5% level

Tabel 12. Hasil Uji Kointegrasi metode Johansen’s Cointegration Test (maximum eigenvalue statistic )

5% Prob Hypothesis

Null Eigenvalue

Max-Eigen

Critical Value r = 0*

21.13162 0.1013 * denotes rejection of the hypothesis at the 5% level

Berdasarkan tabel 11 dan tabel 12 di atas dapat dilihat bahwa nilai trace statistic dan maximum eigenvalue pada r = 0, r ≤ 1, dan r ≤ 2 lebih besar dari critical value dengan tingkat signifikansi 5%. Hal ini berarti hipotesis nol yang menyatakan bahwa tidak ada kointegrasi ditolak dan hipotesis alternatif yang menyatakan bahwa ada ko integrasi tidak dapat ditolak.

Hasil output di atas juga menunjukkan bahwa kombinasi linier dari variabel pengeluaran pemerintah, inflasi, PDB, jumlah uang beredar , kurs, dan SBI stasioner pada level. Sementara dari hasil uji stasioneritas diketahui bahwa keenam variabel tersebut masing-masing stasioner pada orde pertama atau berintegrasi pada orde pertama. Oleh karena itu, keenam variabel tersebut dikatakan berkointegrasi pada orde 1, 1 (xt ~ CI(1, 1)).

Tabel 13. Nilai Koefisien, dan standar error persamaan kointegrasi PDB

LNPDB LNIHK3

SBI LNKURS 1 0.254398

[-4.36397]* [ 2.63380]* Sumber : diolah dari uji kointegrasi

[-7.10653]*

[-12.3336]*

Keterangan: * signifikan pada level 5% ( ) standar eror ; [ ] t hitung ; α=5% t tabel = 1,993

Persamaan kointegrasi pada tabel 13 dapat dilakukan dengan cara bersama-sama (overall) dan dapat ditulis sebagai berikut: LNPDB

0.254398LNIHK3+ 0.670333LNGOV+ 0.626546LNM2 + 0.009903SBI- 0.189451LNKURS

………….. (24) Dari persamaan di atas, dapat terlihat bahwa dalam jangka panjang, variabel pengeluaran pemerintah, jumlah uang beredar, dan SBI memiliki hubungan yang positif dan berpengaruh signifikan terhadap pendapatan domestik bruto (PDB). Sedangkan variabel IHK mesk ipun memiliki hubungan yang negatif tapi tidak berpengaruh signifikan terhadap pendapatan domestik bruto (PDB).

Variabel nilai tukar (kurs) dalam jangka panjang memberikan pengaruh negatif sebesar 0.189451. hal ini berarti bahwa setiap kenaikan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar USA (Rupiah terdepresiasi/melemah) sebesar 1 persen dengan asumsi variabel lain tetap ( cateris paribus), maka PDB akan menurun sebesar 0,18 triliun Rupiah pada saat variabel lain tetap ( cateris paribus). Hal ini dapat dikarenakan perekonomian Indonesia yang masih tergantung dengan produk impor, baik bahan baku maupun barang jadi. Sehingga dalam jangka panjang diperkirakan dengan melemahnya nilai tukar, maka harga -harga produk di dalam negeri akan terimbas mengalami kenaikan harga. Saat ini untuk memenuhi kebutuhan BBM di dalam negeri, Indonesia mengimpor minyak dari negar a lain. Sehingga jika nilai kurs Rupiah terhadap Dolar AS melemah, maka akan mengakibatkan terjadinya inflasi di Indonesia.

Variabel pengeluaran pemeri ntah dalam jangka panjang memberikan pengaruh yang paling signifikan terhadap PDB dengan nilai koefisien sebesar 0.670333. ini berarti setiap terjadi peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar Variabel pengeluaran pemeri ntah dalam jangka panjang memberikan pengaruh yang paling signifikan terhadap PDB dengan nilai koefisien sebesar 0.670333. ini berarti setiap terjadi peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar

Variabel IHK dalam jangka panjang memberikan pengaruh yang tidak signifikan terhadap PDB dengan nilai koefisien sebesar 0.254398. Variabel IHK tidak signifikan karena nilai nilai statistik t hitung lebih kecil dari pada nilai statistik t tabel pada tingkat kesalahan 5 persen (α = 0,05). Hal ini dapat saja disebabkan oleh kurang terkoordinasinya antara kebijakan fiskal dengan kebijakan

moneter sehingga terjadi trade off antara pencapaian tingkat output dengan stabilitas harga.

Tabel 14. Nilai Koefisien, da n standar error persamaan kointegrasi IHK LNIHK3

SBI LNKURS 1 3.930845

-0.00932 -0.196 [ 4.49337]* [-5.21497]*

[-4.17713]* [ 3.79943]* Sumber : diolah dari uji kointegrasi

[-6.30962]*

Keterangan: * signifikan pada level 5% ( ) standar eror, [ ] t hitung ; t tabel = 1,993

Persamaan kointegrasi pada tabel 14 dapat dilakukan dengan cara bersama-sama (overall) dan dapat ditulis sebagai berikut: LNIHK = -3.930845 LNPDB + 2.634976 LNGOV + 2.462855 LNM2 +

0.038928 SBI - 0.744701 LNKURS ………….. (25) Berdasarkan persamaan kointegrasi diatas, terlihat bahwa dalam jangka panjang variabel pengeluaran pemerintah, jumlah uang yang beredar, d an tingkat

suku bunga SBI memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap tingkat inflasi. Sedangkan variabel PDB dan nilai tukar (kurs) signifikan tapi memiliki pengaruh negatif terhadap tingkat inflasi.

Variabel tingkat output (PDB) dalam jangka p anjang memberikan pengaruh negatif terhadap tingkat harga (IHK) sebesar 3.930845. hal ini berarti bahwa ketika tingkat output (PDB) meningkat sebesar satu triliun Rupiah maka akan menyebabkan tingkat harga (IHK) menurun sebesar 3 .93 persen dengan asumsi variabel lain tetap (cateris paribus). Meskipun hal ini bertentangan dengan teori ekonomi, hal ini secara praktis dimungkinkan terjadi. Salah satu kemungkinan penyebab yang mengakibatkan kenaikan harga adalah jumlah permintaan agregat yang lebih besar dari pada penawaran agregat ( inflationary gap ) sehingga bila PDB meningkat maka secara tidak langsung akan semakin memperkuat dan mengembangkan perekonomian suatu negara.

Akan tetapi, berkembangnya perekonomian suatu negara dapat menyebabkan produsen semakin

me mperbanyak produksinya untuk meningkatkan supply barang dan jasa kepada masyarakat. Oleh karena itu, penawaran agregat bisa lebih besar daripada permintaan agregat yang pada akhirnya dapat menyebabkan menurunnya harga.

Kemudian, variabel pengeluaran pemeri ntah dalam jangka panjang memberikan pengaruh positif terhadap tingkat harga (IHK) sebesar 2.634976. hal ini berarti bahwa saat pengeluaran pemerintah bertambah sebesar satu persen maka tingkat harga akan meningkat pula sebesar 2.63 persen. Temuan ini sudah sesuai dengan teori ekonomi yang menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara pengeluaran pemerintah dengan tingkat harga (IHK).

Hal yang sama juga terjadi terhadap variabel jumlah uang yang beredar dimana dalam jangka panjang akan cenderung mem berikan pengaruh hubungan yang positif terhadap tingkat harga (IHK) sebesar 2.462855. Nilai tersebut berarti bahwa saat jumlah uang yang beredar meningkat sebesar satu triliun Rupiah, maka dengan asumsu cateris paribus tingkat harga (IHK) akan bertambah se besar

2.46 persen. Selanjutnya variabel SBI dalam jangka panjang juga memiliki kecenderungan hubungan pengaruh yang positif terhadap tingkat harga (IHK) sebesar 0.038928. hal ini bermakna bahwa disaat SBI meningkat sebesar satu persen maka harga juga akan meningkat sebesar 0.03 persen pada kondisi cateris paribus . Baik variabel SBI maupun jumlah uang beredar, temuan hasil pada penelitian ini sudah sesuai dengan teori ekonomi yang menyebutkan bahwa antara jumlah uang beredar dan SBI berdampak positif terhada p tingkat harga (IHK).

Sedangkan untuk variabel nilai tukar (kurs) Rupiah terhadap Dollar USA dalam jangka panjang mengindikasikan hubungan yang negatif terhadap tingkat harga sebesar 0.744701. Nilai ini bermakna bahwa saat nilai kurs meningkat sebesar satu Rupiah per Dollar USA maka tingkat harga akan menurun sebesar

0.74 persen. Hubungan kontradiktif antara kurs dengan tingkat harga telah sesuai 0.74 persen. Hubungan kontradiktif antara kurs dengan tingkat harga telah sesuai

4.2.4 Hasil Estimasi model VECM

Setelah didapati hubungan kointegrasi dianta ra keenam variabel penelitian, maka tahap selanjutnya adalah membentuk mo del VECM. Menurut Enders, j ika terdapat hubungan kointegrasi diantara variabel peneli tian, maka estimasi dilakukan dengan VECM, sedangkan jika tidak ada kointegrasi diantara ketiga variabel di atas maka estimasi dilakukan dengan VARD. Dari hasil uji kointegrasi disinyalir terdapat hubungan jangka panjang diantara keenam variabel penelitian. Tahapan selanjutnya adalah melakukan pengujian untuk mengetahui adanya hubungan jangka pendek antara tingkat output (PDB) dan tingkat harga (IHK) dengan pengeluaran pemerintah, jumlah uang yang b eredar, nilai tukar (kurs) dan tingkat suku bunga SBI melalui pembentukan Vector Error Correction Model (VECM).

Didalam pemodelan VECM, akan terdapat unsur Error Correction Term. Koefisien Error Correction Term (ECT) merupakan kecepatan penyesuaian (speed of adjutment) PDB dan IHK saat terjadi gangguan (shock). Penyesuian tersebut dilakukan terhadap adanya gangguan keseimbangan jan gka panjang. Nilai koefisien Error Correction Term (ECT) nilainya dapat posi tif atau negatif serta signifikan atau tidak. Nilai koefisien ECT yang positif dan signifikan menunjukkan adanya perbedaan antara keadaan yang diinginkan (jangka panjang) dengan keadaan yang sebenarnya (jangka pendek) akan disesuaikan pada beberapa periode. Hal tersebut menandakan pula bahwa dalam jangka panjang sulit untuk melakukan penyesuaian secara konvergen.

Sedangkan nilai ECT yang negatif dan signifikan, menunjukkan bahwa terdapat kemungkinan dalam suatu periode untuk menuju keseimbangan jangka panjang saat terjadi shock diluar keseimbangannya. Selanjutnya bila ternyata nilai ECT tidak signifikan, bukan berarti tidak mempengaruhi sama sekali . Hal ini mengindikasikan bahwa kecepatan penyesuaian ( speed of adjustment) untuk kembali ke keseimbangan tidak tergantung dari time lag. Dalam penelitian ini, gangguan (shock) tersebut bisa disebabkan oleh bergejolaknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, jumlah uang beredar, SBI, maupun pengeluaran pemerintah yang mengakibatkan terjadinya ketidakseimbanga n.

Tabel 15. Output estimasi VECM persamaan PDB

Lag D(LNPDB)

D(LNIHK3) D(LNGOV)

D(LNM2)

D(SBI) D(LNKURS)

-0.000143 -0.156627 [-1.06728]

[-3.36951]* [ 1.11560] ECT

R Squared

[-0.64677] Konstanta

Sumber : Output Pengolahan Eviews *) Signifikan pada = 5 persen

Berdasarkan tabel 15 diperoleh nilai ECT sebesar -0.076251. nilai tersebut berarti bahwa untuk mencapai kondisi keseimbangan yang baru setelah adanya gangguan PDB terkoreksi (speed of adjustment) sebesar 7.62 persen per triwulan. Dengan kata lain, PDB menyesuaikan 7 .62 persen setiap triwulan menuju keseimbangan yang konvergen dalam jangka panjang jika terdapat shock diluar keseimbangannya. Dengan nilai ECT tersebut yang relatif kecil maka waktu penyesuaian menuju kondisi keseimbangannya semakin lamban. Namun, ECT ternyata tidak signifikan sehingga untuk ke,bali kepada kondisi keseimbangan tidak tergantung pada time lag tingkat output pada masa lalunya sehingga kemungkinan terdapat pengaruh dari variabel lain untuk mencapai keseimbangan.

Berdasarkan output tabel 15, secara representatif akan diperoleh model VECM persamaan PDB (lihat lampiran 7). Berdasarkan model yang terbentuk terlihat bahwa hanya beberapa variabel saja yang signifikan berpengaruh positif terhadap tingkat output, seperti nilai perubahan PDB itu sendiri pada lima periode (lag) sebelumnya, perubahan tingkat suku bunga SBI lag kedua dan perubahan nilai kurs pada lag kesatu. Sedangkan yang berpengaruh signifikan negatif terhadap tingkat output ialah nilai IHK pada lag ketiga, perubahan pengeluaran pemerintah pada lag kelima, perubahan nilai SBI pada lag kelima dan perubahan nilai kurs pada lag ketiga.

Tabel 16. Output estimasi VECM persamaan IHK

Lag D(LNIHK3) D(LNPDB) D(LNGOV) D(LNM2) D(SBI) D(LNKURS)

0.000399 -0.0005 [-1.21807]

[-2.59416]* [-0.10940]

[-.37397] [ 0.52230] ECT

R Squared

Sumber : Output Pengolahan Eviews *) Signifikan pada = 5 persen

Berdasarkan tabel 16 diperoleh nilai ECT yang positif dan tidak signifikan sebesar 0.003551. nilai tersebut berarti bahwa dalam jangka panjang sulit untuk melakukan penyesuaian terhadap tingkat harga sehingga kecenderungannya akan sulit mencapai keseimbangan yang konvergen disaat terdapat shock dari berbagai kebijakan fiskal dan moneter. Oleh karena itu, tingkat harga (IHK) relatif lamban atau sulit untuk kembali pada kondisi keseimbangannya.

Berdasarkan output tabel 16, secara representatif akan diperoleh model VECM persamaan IHK (lihat lampiran). Berdasarkan model yang terbentuk, terlihat bahwa hanya beberapa variabel saja yang signifikan berpengaruh positif terhadap tingkat harga, seperti nilai perubahan/ perubahan IHK itu sendiri pada Berdasarkan output tabel 16, secara representatif akan diperoleh model VECM persamaan IHK (lihat lampiran). Berdasarkan model yang terbentuk, terlihat bahwa hanya beberapa variabel saja yang signifikan berpengaruh positif terhadap tingkat harga, seperti nilai perubahan/ perubahan IHK itu sendiri pada

4.2.5 Hasil Uji Kausalitas Granger ( Granger Causality Test)

Dalam pengujian kausalitas ini dila kukan dengan menggunakan model multivariat VAR yang dilakukan secara bersamaan. Setiap persamaan dalam

VAR diuji dalam distribusi Wald Chi-Squares atau biasa dinotasikan χ 2 -Wald. Setiap variabel dipertukarkan dari variabel endogen menjad i variabel eksogen

untuk diuji 2 hubungan kausalitas. Hasil perhitungan statistik χ –Wald menunjukkan signifikansi gabungan ( joint significance) dari variabel endogen

bedakala dalam persamaan VAR. Analisis Kausalitas-Granger merupakan suatu analisis yang bertujuan untuk mengetahui apakah antara beberapa variabel mempunyai pengaruh sebab - akibat atau tidak, dengan kata lain pengujian ini merupakan pendeteksian awal untuk menentukan variabel manakah yang termasuk leading indicator bagi variabel yang lain.

Meskipun dalam penelitian ini telah ditetapkan variabel yang termasuk dalam variabel dependen dan variabel independen, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa terjadi h ubungan sebab-akibat yang sebaliknya. Selain itu, analisis Kausalitas-Granger juga mengungkapkan adanya kemungkinan hubungan sebab-akibat antarvariabel pada waktu yang berbeda. Dalam penelitian ini pengujian kausalitas dilakukan pada lag 6 yang memanfaatkan paket program

Eviews 6.0 untuk variabel tingkat output (LNPDB), tingkat harga (IHK), pengeluaran pemerintah (LNGOV), jumlah uang beredar (LNM2), nilai tukar Rupiah terhadap Dollar USA (LNKURS), dan tingkat suku bunga (SBI).

Pada tabel 17 memperlihatkan bahwa pada nomor 1, variabel tingkat harga (LNIHK) dapat mempengaruhi tingkat output (LNPDB) dan sebaliknya tingkat output (LNPDB) mempengaruhi tingkat harga (LNIHK) karena nilai probabilita pada kedua arah yang lebih kecil daripada lima persen . Sehingga hubungan yang terjadi adalah bilaterall causality. Hubungan timbale balik (saling mempe ngaruhi) atau bilaterall causality juga terjadi pada hasil uji kausalitas Granger nomor 2 antara pengeluaran pemerintah (LNGOV) dengan tingkat output (LNPDB), nomor

4 antara tingkat suku bunga SBI (SBI) dengan tingkat output (LNPDB), nomor 7 antara tingkat harga (LNIHK3) dengan jumlah uang beredar (LNM2), nomor 14 antara kurs (LNKURS) dengan jumlah uang beredar (LNM2), serta nomor 15 antara kurs (LNKURS) dengan tingkat suku bunga SBI (SBI).

Tabel 17. Nilai probabilitas dan F-statistik dari Uji Kausalitas

No Hipotesis nol Obs F-Statistic Prob.

1 LNIHK3 tidak mempengaruhiLNPDB 73 2.55079 0.0288* LNPDB tidak mempengaruhiLNIHK3

2.84905 0.0165* 2 LNGOV tidak mempengaruhiLNPDB

73 2.33314 0.0432* LNPDB tidak mempengaruhiLNGOV

2.93568 0.0141* 3 LNM2 tidak mempengaruhiLNPDB

73 2.13541 0.0622 LNPDB tidak mempengaruhiLNM2

2.90780 0.0148 4 SBI tidak mempengaruhiLNPDB

73 4.56238 0.0007* LNPDB tidak mempengaruhiSBI

3.97347 0.0021* 5 LNKURS tidak mempengaruhiLNPDB

73 6.12507 5.E-05 LNPDB tidak mempengaruhiLNKURS

1.03194 0.4137 6 LNGOV tidak mempengaruhiLNIHK3

73 1.50790 0.1911 LNIHK3 tidak mempengaruhiLNGOV

2.14694 0.0609 7 LNM2 tidak mempengaruhiLNIHK3

73 5.25272 0.0002* LNIHK3 tidak mempengaruhiLNM2

3.11132 0.0101* 8 SBI tidak mempengaruhiLNIHK3

73 1.39189 0.2327 LNIHK3 tidak mempengaruhiSBI

9.57905 2.E-07 9 LNKURS tidak mempengaruhiLNIHK3

73 10.7287 4.E-08 LNIHK3 tidak mempengaruhiLNKURS

2.07943 0.0689 10 LNM2 tidak mempengaruhiLNGOV

73 3.03108 0.0118 LNGOV tidak mempengaruhiLNM2

2.10068 0.0663 11 SBI tidak mempengaruhiLNGOV

73 4.50889 0.0008 LNGOV tidak mempengaruhiSBI

1.06932 0.3910 12 LNKURS tidak mempengaruhiLNGOV

73 2.66261 0.0234 LNGOV tidak mempengaruhiLNKURS

0.45612 0.8378 13 SBI tidak mempengaruhiLNM2

73 1.92033 0.0921 LNM2 tidak mempengaruhiSBI

13.4395 1.E-09 14 LNKURS tidak mempengaruhiLNM2

73 11.3350 2.E-08* LNM2 tidak mempengaruhiLNKURS

3.95758 0.0021* 15 LNKURS tidak mempengaruhiSBI

73 22.4228 1.E-13* SBI tidak mempengaruhiLNKURS

5.72415 9.E-05* Sumber : Output Pengolahan Eviews 6.0

; *) : signifikan pada level 5 persen

4.2.6 Analisis IRF dan Variance Decomposition

Perilaku dinamis dari model VECM dapat dili hat melalui respon dari setiap variabel terhadap kejutan dari variabel tersebut maupun terhadap variabel endogen lainnya. Dalam model ini response dari perubahan masing-masing variabel dengan adanya informasi baru diukur dengan 1 -standar deviasi. Sumbu horizontal merupakan waktu dalam periode hari ke depan setelah terjadinya shock, sedangkan sumber vertikal adalah nilai respon. Secara mendasar dal am analisis ini akan diketahui respon positif atau negatif dari suatu variabel terhadap variabel lainnya. Respon tersebut dalam jangka pendek biasanya cukup signifikan dan cenderung berubah. Dalam jangka panjang respon cenderung konsisten dan terus mengecil. Impulse Response Function memberikan gambaran bagaimana respon dari suatu variabel di masa mendatang jika terjadi gangguan pada satu variabel lainnya.

Fungsi impulse respon juga menggambarkan tingkat laju dari shock variabel yang satu terhadap variabel yang lainnya pada suatu rentang periode tertentu. Sehingga dapat dilihat lamanya pengaruh dari shock suatu variabel terhadap variabel lain sampai pengaruhnya hilang atau kembali ke titik keseimbangan. Fungsi ini akan me lacak respon dari variabel tergantung apabila

terdapat shock dalam u 1 dan u 2 .

Berdasarkan gambar 29, terlihat kecenderungan respon dari PDB ketika terdapat shock dari berbagai variabel fiskal dan moneter. Dalam penelitian ini akan coba diamati sebanyak 100 periode. Secara umum respon dari PDB saat terdapat shock dari berbagai variabel fiskal dan moneter sebelum periode empat puluh (jangka pendek) bergerak fluktuatif dan dina mis. Kemudian setelah periode Berdasarkan gambar 29, terlihat kecenderungan respon dari PDB ketika terdapat shock dari berbagai variabel fiskal dan moneter. Dalam penelitian ini akan coba diamati sebanyak 100 periode. Secara umum respon dari PDB saat terdapat shock dari berbagai variabel fiskal dan moneter sebelum periode empat puluh (jangka pendek) bergerak fluktuatif dan dina mis. Kemudian setelah periode

Grafik baris pertama kolom pertama menunjukkan bahwa variabel PDB pada perubahan 1-standar deviasi menunjukkan respon nilai positif saat mendapatkan shock dari variabel IHK. Pada awalnya dengan adanya inovasi atau shock IHK sebesar 1-standar deviasi menunjukkan respon positif atau sekitar 0 .05 persen. Dalam hal ini karena data yang dipakai dalam bentuk lag maka shock dari IHK sebesar 1-standar deviasi menyebabkan PDB bertambah sekitar lima persen. Namun, besarnya dampak shock IHK ini hanya berlangsung relatif temporer dalam jangka pendek sebelum perio de empat puluh karena selanjutnya dampaknya berangsur berkurang dan bergerak relatif stabil mendekati keseimbangan setelah periode empat puluh. Berdasarkan grafik baris kedua dan ketiga kolom pertama terlihat bagaimana respon PDB saat terdapat shock dari jumlah uang yang beredar dan kurs.

Respon PDB saat mendapatkan shock dari jumlah uang yang beredar terlihat fluktuatif dan direspon positif diawal periode. Namun, memasuki periode kelima PDB merespon negatif dan kemudian direspon positif kembali pad a periode-periode berikutnya. Akan tetapi, dalam jangka panjang terlihat bahwa kemungkinan PDB relatif sulit untuk mencapai kondisi keseimbangan yang konvergen saat terdapat shock dari jumlah uang beredar.

Hal serupa juga terjadi saat PDB mendapat shock dari variabel kurs. Meskipun direspon positif oleh PDB di awal periode, kecenderungan di periode - periode berikutnya terutama saat memasuki periode dua puluh terlihat bahwa tingkat output mulai merespon negatif hingga berlanjut dalam jangka panjang.

Oleh karena itu, relatif sulit untuk berada pada keadaan keseimbangan yang konvergen bagi PDB disaat terdapat gangguan ( shock) dari nilai tukar (kurs).

Pada grafik baris pertama kolom kedua memperlihatkan respon tingkat output (PDB) saat mendapatkan shock dari pengeluaran pemerintah. Pada awal periode direspon positif dan cenderung menjauhi keseimbangan dengan pergerakan yang fluktuatif. Namun, memasuki periode empat puluh pergerakannya relatif lebih stabil hingga periode -periode berikutnya walaupun kecenderungan jangka panjang relatif sulit mencapai keseimbangan yang konvergen.

Kemudian pada grafik baris kedua kolom kedua memeprlihatkan bagaimana respon PDB saat mendapatkan shock dari variabel SBI. Dalam jangka pendek terlihat pergerakan ya ng fluktuatif dan direspon positif oleh PDB. Namun, setelah periode lima puluh kecenderungannya mulai ke arah keseimbangan yang konvergen.

Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of LNPDB to LNIHK3

Response of LNPDB to LNGOV .03

Response of LNPDB to LNM2 Response of LNPDB to SBI .03

Response of LNPDB to LNKURS .03

Gambar 28. Respon tingkat output (PDB) terhadap shock variabel fiskal moneter

Berdasarkan gambar 30, terlihat kecend erungan respon dari tingkat harga (IHK) ketika mendapatkan shock dari berbagai variabel fiskal dan moneter. Secara umum respon IHK terhadap adanya berbagai shock variabel fiskal dan moneter bergerak fluktuatif dan cenderung relatif sulit untuk mencapai keseimbangan Berdasarkan gambar 30, terlihat kecend erungan respon dari tingkat harga (IHK) ketika mendapatkan shock dari berbagai variabel fiskal dan moneter. Secara umum respon IHK terhadap adanya berbagai shock variabel fiskal dan moneter bergerak fluktuatif dan cenderung relatif sulit untuk mencapai keseimbangan

Pada grafik baris ketiga kolom pertama memeperlihatkan respon IHK saat memperoleh shock dari variabel nilai tukar (kurs). Pada awalnya dengan adanya inovasi atau shock dari variabel kurs sebesar 1-standar deviasi menunjukkan respon positif atau sekitar 0,05 persen. Dalam hal ini karena data yang dipakai dalam bentuk lag maka shock dari kurs sebesar 1-standar deviasi menyebabkan IHK bertambah sekitar lima persen dan terus meningkat hingga periode lima. Namun, besarnya dampak shock IHK ini hanya berlangsung relatif temporer dalam jangka pendek sebelum periode empat puluh karena selanjutnya dampaknya berangsur berkurang. Menjelang periode dua puluh lima, IHK sempat merespon negatif shock dari kurs. Namun, setelah periode dua puluh lima mulai meningkat kembali dan pergerakannya relatif stabil setelah memasuki periode empat puluh. Oleh karena itu, dalam jangka panjang IHK memiliki kecenderungan mencapai keseimbangan ketika terdapat gangguan dari variabel kurs.

Gambar 29. Respon tingkat harga (IHK) terhadap shock variabel fiskal moneter

Setelah menganalisis perilaku dinamis melalui impulse response , selanjutnya akan dilihat karakteristik model melalui variance decomposition. Variance decomposition akan memberikan informasi mengenai proporsi dari pergerakan pengaruh shock pada sebuah variabel terhadap shock variabel yang lain pada periode saat ini dan periode yang akan datang. Pada bagian ini dianalisis bagaimana varian dari suatu varia bel ditentukan oleh peran dari variabel lainnya maupun peran dari dirinya sendiri. Variance decomposition dapat pula digunakan untuk menyusun forecast error variance suatu variabel, yaitu seberapa besar perbedaan antara variance sebelum dan sesudah shock, baik shock yang berasal dari diri sendiri maupun shock dari variabel lain untuk melihat pengaruh relatif variabel-variabel penelitian terhadap variabel lainnya. Prosedur variance decomposition yaitu dengan mengukur persentase kejutan atau shock atas masing- masing variabel. Dalam penelitian ini digunakan sebanyak seratus periode kedepan.

Tabel 18. Variance Decomposition persamaan PDB

Variabel Periode Dijelaskan oleh shock Independen

LNM2 LNKURS SBI

Sumber : Pengolahan dengan Eviews 6.0

Ada beberapa hal yang dapat diamati b erdasarkan tabel 18. Pertama, analisis variance decomposition menunjukkan bahwa forecast error variance dari LNPDB pada periode pertama ditentukan oleh dirinya sendiri sebesar 100% dan belum ada kontribusi dari variabel-variabel lain yang mampu menjelaskan variabilitas LNPDB. Kedua, dalam periode intermediate, kontribusi variabel LNIHK3, LNGOV, dan LNKURS sedikit berkurang, yaitu masing -masing sebesar 4.47%, 5.65%, dan 12.73%. sedangkan variabel LNM2 dan SBI pada periode intermediete sedikit mengalami peningkatan dalam memberikan kontribusi terhadap variabilitas LNPDB, yaitu masing -masing sebesar 47.06% dan 8.52%. Hal ini terus berlanjut hingga jangka panjang dimana kontribusi variabel LNIHK3, LNGOV, dan LNKURS se makin berkurang dalam menjelaskan variabilitas LNPDB, yaitu masing -masing menjadi sebesar 2.51%, 3.86%, dan 10.34%.

Dan ketiga, dalam jangka panjang ternyata variabel LNM2 dan SBI terus mengalami peningkatan dalam kontribusi menjelaskan variabilitas dari LNPDB, yaitu masing-masing sebesar 53.38% dan 8.88%. hingga periode seratus, LNPDB forecast error variance yang dapat dijelaskan dari LNPDB sendiri sebesar 21.01%. Hal ini menunjukkan bahwa fluktuasi LNPDB lebih banyak dipengaruhi oleh variabel lain daripada faktor variabel LNPDB itu sendiri.

Tabel 19. Variance Decomposition persamaan IHK

Variabel Periode Dijelaskan oleh shock Independen

LNM2 LNKURS SBI LNIHK3

Sumber : Pengolahan dengan Eviews 6.0

Berdasarkan tabel 19, terlihat bahwa forecast error variance dari LNIHK3 pada periode pertama dapat dijelaskan oleh LNIHK3 sebesar 100%, sedangkan variabel lainnya tidak menjelaskan apapun (nol) terhadap LNIHK3. Dalam periode intermediete, sudah terdapat kontribusi variabel lain yang mampu menjelaskan variabilitas dari LNIHK3, meskipun ada beberapa yang mengalami peningkatan dan beberapa yang lain mengalami penurunan. Kontribusi variabel yang mengalami peningkatan dalam menjelaskan variabi litas LNIHK3 diantaranya seperti variabel LNPDB, LNM2, dan SBI yang masing -masing menjadi sebesar 19.57%, 18.21%, dan 8.10%. sedangkan kontribusi variabel LNGOV dan LNKURS mengalami penurunan dalam memberikan kontribusi menjelaskan variabilitas LNIHK3 pada periode intermediete, yaitu masing-masing menjadi sebesar 5.48% dan 23.07%.

Kemudian dalam jangka panjang, kontribusi variabel LNPDB, LNM2, dan SBI semakin meningkat, yakni masing -masing menjadi sebesar 20.83%, 22.08%, Kemudian dalam jangka panjang, kontribusi variabel LNPDB, LNM2, dan SBI semakin meningkat, yakni masing -masing menjadi sebesar 20.83%, 22.08%,