BAB I V FIX pdf
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara umum terdapat empat permasalahan ekonomi makro, yaitu: (1) tingkat harga agregat (inflasi); (2) tingkat output (PDB); (3) penyerapan tenaga kerja (employment); dan (4) neraca pembayaran atau balance of payment (BOP). Keempat permasalahan ekonomi makro tersebut dapat dipengaruhi oleh pemerintah melalui kebijakan fiskal dan moneter, yang umumnya dilaksanakan oleh dua institusi yang berbeda, yaitu institusi fiskal (Kementrian Keuangan) dan institusi moneter (Bank Indonesia).
Selanjutnya dalam aturan yang dikenal dengan Mundell’s Assignment Rule dijelaskan bahwa efektivitas setiap kebijakan tergantung pada kesesuaian pembagian tugas dengan keunggulan komparatif dari masing -masing kebijakan. Apabila kebijakan moneter diyakini lebih berpengaruh terhadap laju inflasi daripada kebijakan fiskal sedangkan kebijakan fiskal diyakini lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan produk si daripada mengendalikan laju inflasi maka sebaiknya kebijakan moneter hanya bertugas untuk mengendalikan laju inflasi sedangkan pengendalian produksi sepenuhnya menjadi tugas kebijakan fiskal.
Akan tetapi dalam prakteknya, kedua kebijakan tersebut bersifat komplementer. Kebijakan fiskal dapat mempengaruhi keberhasilan kebijakan moneter melalui beberapa mekanisme, yakni melalui peranannya terhadap kredibilitas kebijakan moneter, pengaruh jangka pendek pada permintaan, dan melalui perubahan jangka panjang kondisi output dan inflasi. Demikian pula Akan tetapi dalam prakteknya, kedua kebijakan tersebut bersifat komplementer. Kebijakan fiskal dapat mempengaruhi keberhasilan kebijakan moneter melalui beberapa mekanisme, yakni melalui peranannya terhadap kredibilitas kebijakan moneter, pengaruh jangka pendek pada permintaan, dan melalui perubahan jangka panjang kondisi output dan inflasi. Demikian pula
Sejak masa transisi maupun ketika krisis ekonomi terjadi di Indonesia, proses perubahan struktural perekonomian serta kelembagaan masih terus berlangsung. Perubahan struktur perekonomian dapat dilihat dari tingginya fluktuasi berbagai indikator ekonomi makro, seperti inflasi, nilai output, tingkat suku bunga, serta kurs rupiah terhadap mata uang asing. Sedangkan dari sisi kelembagaan juga bisa dilihat perubahannya melalui perubahan struktur, baik pada lembaga pemerintah, non pemerintah, maupun lembaga ekonomi lainnya. Oleh karena itu, dinamika yang terjadi diyakini dapat menimbulkan permasalahan-permasalahan perekonomian pada umumnya dan permasalahan dibidang fiskal maupun moneter pada khususnya.
Menurut Djojosubroto (2004), d i Indonesia dan juga di banyak negara lain, hubungan antara kebijakan fiskal dan kebijakan m oneter selalu menjadi masalah. Sumber-sumber dari permasalahan tersebut, diantaran ya:
1. Belum tersinerginya cara pandang dari pimpinan tertinggi Bank Sentral dan Kementrian Keuangan mengenai hubungan fiskal dan moneter yang harus dilakukan.
2. Progress pasar modal yang cenderung dapat membuat efek negatif dari kebijakan fiskal maupun moneter .
3. Kurang jelasnya penugasan kepada Kementrian Keuangan dan Bank
Sentral dalam peraturan perundang -undangan yang berlaku.
4. Fungsi dan peranan Bank Sentral dalam pemerintahan, ya kni sejauh mana Bank Sentral mempunyai kedudukan yang independen dari pemerintah.
5. Instrumen yang dipakai oleh Bank Sentral dalam operasi pasar, seperti penggunaan SBI sebagai instrumen operasi pasar terbuka yang dapat meningkatkan resiko membengkaknya neraca bank sentral serta berpotensi memberikan tekanan inflasi ke depan.
Selain itu, dalam dekade terakhir negara Indonesia mengadopsi kerangka kerja inflation targeting dalam sistem kebijakan moneter. Inflation targeting merupakan sebuah kerangka dalam sistem kebijakan moneter dengan sasaran tunggal menciptakan stabilisasi tingkat harga serta yang ditandai dengan pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode ke depan. Dalam hal ini bank sentral mempunyai kewenangan penuh didalam menetapkan/mengatur jumlah uang yang beredar dalam perekonomian, karena mempunyai objektif yang terpisah ( inflation targeting). Sebuah konsensus dalam kerangka kerja inflation targeting adalah tercapainya tingkat inflasi yang rendah dan stabil dengan salah satu karakteristik yang harus dipenuhi adalah adanya independensi bank sentral.
Mengkaji Undang-Undang No. 23/1999 tentang Bank Indonesia, disebutkan dalam pasal 7 bahwa tujuan utama pelaksanaan kebijaka n moneter di Indonesia adalah “mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah” yang didalamnya mengandung pengertian stabilitas harga dan nilai tukar rupiah terhadap dollar USA. Nilai tukar didasarkan pada sistem nilai tukar yang berlaku yaitu nilai tukar mengambang bebas. Berdasarkan undang -undang tersebut, Bank
Indonesia diberikan wewenang sebagai otoritas moneter dalam menjaga stabilitas perekonomian dari sisi permintaan, yaitu mengendalikan harga (inflasi) sesuai dengan fungsi dan tujuannya sebagai seb uah lembaga yang independen.
Sebagai suatu penyempurnaan kebijakan, UU No. 23/1999 diharapkan dapat lebih memberikan landasan untuk merubah strategi kebijakan moneter ke arah yang lebih baik yaitu pada kerangka inflation targeting. Berkaitan dengan fungsi tersebut, Bank Indonesia bertugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter dan berwenang penuh dalam menentukan sasaran jangka pendek sehingga kredibilitasnya dapat terlihat sehingga selanjutnya akan berpengaruh pada independensi, transparansi, dan ak untabilitas. Semua proses ini terkoordinasikan dalam sebuah struktur organisasi sehingga jelas tujuan yang diinginkan tercapai (Bimantoro dan Bahroen, 2003).
Sejak disahkannya undang-undang tersebut, pemerintah tidak dimungkinkan lagi untuk meminjam uang dari Bank Indonesia untuk menutup defisit APBN, bahkan tidak dimungkinkan pula untuk meminjam uang dalam jangka pendek ketika pemerintah menghadapi masalah cash-flow. Oleh karena itu, Bank Indonesia mempunyai kek uasaan penuh dalam mengatur dan menetapkan jumlah uang yang beredar di Indonesia sebab memiliki objek yang terpisah (inflation targeting).
Meskipun Bank Indonesia mempunyai “kekuasaan penuh” untuk mengatur jumlah uang yang beredar di Indonesia, bukan berar ti Bank Indonesia dapat bertindak “sesuka hati”. Dalam hal ini tetap diperlukan kontrol dari pemerintah untuk menjaga stabilitas perekonomian melalui kebijakan fiskal, walaupun hubungan antara kebijakan fiskal dan moneter tersebut bersifat dinamis atau sel alu Meskipun Bank Indonesia mempunyai “kekuasaan penuh” untuk mengatur jumlah uang yang beredar di Indonesia, bukan berar ti Bank Indonesia dapat bertindak “sesuka hati”. Dalam hal ini tetap diperlukan kontrol dari pemerintah untuk menjaga stabilitas perekonomian melalui kebijakan fiskal, walaupun hubungan antara kebijakan fiskal dan moneter tersebut bersifat dinamis atau sel alu
Keberhasilan kerangka kerja inflation targeting akan lebih efektif bila diawali dengan implementasi setelah berhasil mencapai disinflasi. Faktor lainnya adalah pentingnya koordinasi yang tinggi antara pihak yang mempengaruhi harga dan pengambil kebijakan moneter serta tidak adanya dominasi fiskal dalam kebijakan moneter.
Akan tetapi, independensi bank sentral belum cukup untuk meliha t efektifitas kebijakan moneter. Hal ini dikarenakan independensi bank sentral akan tercapai apabila kebijakan fiskal tidak mempengaruhi tingkat harga dan kesanggupan membayar h utang oleh pemerintah (government solvency) harus terpenuhi yang lebih dikenal dengan Fiscal Theory of Price Level (FTPL).
Hubungan antara variabel fiskal dan variabel moneter yang baik diharapkan dapat menciptakan pendapatan domestik bruto yang tinggi, tingkat pengangguran yang rendah, dan sta bilitas harga. Oleh karena itu, hubungan kebijakan fiskal dan moneter sanga t diperlukan untuk menetapkan besaran target moneter dan fiskal secara konsisten dan berkesinambungan dengan upaya pencapaian target yang ditetapkan.
1.2 Identifikasi dan Batasan Masalah
Perekonomian Indonesia sebelum krisis menunjukkan kinerja yang cukup baik, setidaknya hingga paruh pertama tahun 1997. Pada tahun 1996 tercatat bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi mencapai 7.8 persen per tahun dan inflasi pada lima bulan pertama mampu mencapai tingkat yang terendah selama sepuluh Perekonomian Indonesia sebelum krisis menunjukkan kinerja yang cukup baik, setidaknya hingga paruh pertama tahun 1997. Pada tahun 1996 tercatat bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi mencapai 7.8 persen per tahun dan inflasi pada lima bulan pertama mampu mencapai tingkat yang terendah selama sepuluh
Apalagi ketika dekade 1990 -an dimana perekonomian Indonesia cenderung menurun menjelang krisis. Pada saat yang sama, upah juga turun dan pengangguran meningkat. Permasalahan tersebut salah satu penyebabnya ialah kurang sinerginya hubungan antara kebijakan fiskal dengan kebijakan moneter dimana terjadi ketidakseimbangan ekonomi nasio nal, resiko fluktuasi nilai tukar, suku bunga, pengeluaran pemerintah yang konsumtif, serta hutang negara kepada lembaga donor seperti IMF yang semakin meningkat kian memperparah keadaan perekonomian nasional. Ketidakseimbangan makroekonomi domestik dapat dicerminkan oleh membengkaknya defisit fiskal dan nilai tukar mata uang yang over valuasi.
Kemudian perekonomian Indonesia mulai memburuk saat terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Krisis ekonomi yang berkepanjangan yang dimulai pada perte ngahan Juli 1997 telah membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi perekonomian Indonesia. Hal ini selanjutnya menimbulkan krisis finansial di Asia dan juga melanda perdagangan valuta asing. Peristiwa ini akhirnya berimbas juga terhadap perekonomian Indonesia dan menyebabkan rupiah terdepresiasi mencapai Rp 17.000,00 per Kemudian perekonomian Indonesia mulai memburuk saat terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Krisis ekonomi yang berkepanjangan yang dimulai pada perte ngahan Juli 1997 telah membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi perekonomian Indonesia. Hal ini selanjutnya menimbulkan krisis finansial di Asia dan juga melanda perdagangan valuta asing. Peristiwa ini akhirnya berimbas juga terhadap perekonomian Indonesia dan menyebabkan rupiah terdepresiasi mencapai Rp 17.000,00 per
Pada akhir periode 1997, depresiasi nilai rupiah terhadap dollar USA mencapai angka 68.7 persen yang secara otomatis menyebabkan tingkat inflasi meningkat dari 11.1 persen menjadi sekitar 77.6 persen dan pertumbuhan ekonomi terkontraksi dari ra ta-rata sekitar 7 persen sebelum krisis menjadi sebesar -13.13 persen. Kondisi ini telah memberikan guncangan terhadap kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia (Tabel 1).
Tabel 1. Perkembangan PDB, Inflasi di Indonesia Tahun 1995-2002
Tahun PDB ADHK (1993=100) Pertumbuhan Inflasi
(Riil, Milliar Rp)*
: Badan Pusat Statistik
Bahkan pada bulan Februari 1998 angka inflasi tercatat pada level 12.76%, suatu tingkat inflasi yang sangat tinggi untuk ukuran Indonesia yang selama masa orde baru laju inflasi selalu ditekan di bawah dua digit. Kondisi Bahkan pada bulan Februari 1998 angka inflasi tercatat pada level 12.76%, suatu tingkat inflasi yang sangat tinggi untuk ukuran Indonesia yang selama masa orde baru laju inflasi selalu ditekan di bawah dua digit. Kondisi
Krisis ekonomi menyebabkan terjadinya gangguan pada keseimbangan kebijakan fiskal dan moneter. Meningkatnya hubungan antara berbagai unsur ekonomi, menyebabkan struktur ekonomi tidak hanya semakin dinamis tetapi juga semakin kompleks. Kompleksnya struktur ekonomi telah mendorong berubahnya perilaku ekonomi yang diindikasikan oleh munculnya berbagai fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia, seperti melemahnya hubungan suku bunga dengan nilai tukar dan antara sektor keuangan dan sektor riil sehingga berdampak pada lemahnya kinerja kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia.
Kekeliruan langkah kebijakan yang diambil selama krisis menyebabkan timbulnya dis-orientasi kebijakan yang berdampak pada ketidakstabilan perekonomian. Kebijakan moneter seringkali dalam pencapaian sasaran akhir mengandung unsur-unsur yang kontradiktif dan menimbulkan trade off dengan kebijakan fiskal sehingga belum ada pengaruh positif secara riil terhadap perekonomian. Perkembangan kondisi fiskal di Indonesia telah mengalami beberapa dinamika. Kebijakan fiskal merupakan salah satu instrumen pemerintah untuk melaksanakan fungsi alokasi, distribusi, dan stabilitas ekonomi. Pada masa krisis, peran pemerintah dapat dikatakan sebagai penggerak perekonomian, Kekeliruan langkah kebijakan yang diambil selama krisis menyebabkan timbulnya dis-orientasi kebijakan yang berdampak pada ketidakstabilan perekonomian. Kebijakan moneter seringkali dalam pencapaian sasaran akhir mengandung unsur-unsur yang kontradiktif dan menimbulkan trade off dengan kebijakan fiskal sehingga belum ada pengaruh positif secara riil terhadap perekonomian. Perkembangan kondisi fiskal di Indonesia telah mengalami beberapa dinamika. Kebijakan fiskal merupakan salah satu instrumen pemerintah untuk melaksanakan fungsi alokasi, distribusi, dan stabilitas ekonomi. Pada masa krisis, peran pemerintah dapat dikatakan sebagai penggerak perekonomian,
Bahkan dalam kerangka kerja Tinbergen menjelaskan bahwa salah satu syarat agar instrumen-instrumen kebijakan dapat mencapai sasaran akhir yang berbeda dalam waktu bersamaan adalah instrumen yang tersedia minimal harus sama dengan sejumlah sasaran akhir, dan setiap instrumen tersebut harus independen terhadap isntrumen lain. Hal ini dapat membuat sasaran akhir tidak menimbulkan sebab akibat seperti halnya inflasi dan output.
Aspek lain dari kerangka kerja Tinbergen mengenai ketidakefektifan pelaksanaan kebijakan moneter, yaitu ada atau tidaknya pembatasan ruang gerak kebijakan moneter, ada atau tidaknya hubungan sebab akibat ant ara berbagai sasaran akhir, dan keserasian antara policy mix dengan policy setting. Selain itu, kebijakan moneter dirasa belum dapat mengendalikan secara ideal instrumen - instrumen yang ada.
Kemudian saat periode pasca krisis ekonomi, terutama pada tahun 2 009 terjadi perubahan defisit APBN 2009 dari 1,0% terhadap PDB menjadi 2,5% terhadap PDB. Pada kesempatan yang sama pemerintah juga menjelaskan perubahan defisit tersebut dikarenakan perubahan sejumlah asumsi makro dalam perhitungan APBN 2009 terkait dengan dampak krisis keuangan global. Perubahan sejumlah asumsi makro yang dimaksud antara lain penurunan target pertumbuhan ekonomi dari 6% menjadi 5%, penurunan harga minyak mentah Indoensia (ICP) dari 80 dollar AS per barrel menjadi 45 dollar AS per barrel.
Sementara asumsi lifting minyak 960.000 barrel per hari, inflasi sebesar 6,2% dan suku bunga SBI 3 bulan sebesar 7,5%. Rencananya perubahan APBN 2009 tersebut akan kembali dibahas dengan DPR pada akhir bulan Januari 2009.
Akibat perubahan beberapa asu msi makro tersebut penerimaan negara diperkirakan akan mengalami penurunan sebanyak Rp 128 triliun, sementara belanja negara tetap sebesar Rp Rp322,3 triliun sehingga defisit anggaran naik menjadi Rp80,8 triliun atau 2.5 persen terhadap PDB. Dalam kesempatan yang sama Pemerintah juga menjelaskan bahwa penurunan penerimaan itu disebabkan karena penerimaan pajak turun Rp54 triliun, PNBP turun menjadi Rp184,9 triliun. Lebih lanjut Pemerintah juga mengumandangkan rencana penguatan pada sektor usaha dan masyarakat yang terimbas dampak krisis melalui pemberian stimulus fiskal sebesar Rp15 triliun dan akan dialokasikan untuk memberikan subsidi dalam bentuk bea masuk maupun PPN DTP (pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah).
Dari sisi moneter, Bank Indonesia juga seirama dengan pemerintah didalam pemberian beberapa bantalan-bantalan penangkal dampak krisis keuangan global melalui beberapa paket kebijakan secara sepihak (moneter saja) ataupun kebijakan yang bersama-sama dengan pemerintah. Kebijakan yang paling dinantikan oleh sektor riil tentu saja kebijakan yang mampu menurunkan tingkat suku bunga kredit sebagai stimulus utama penggerak lajunya dunia usaha.
Korelasi antara tingkat output dan tingkat harga, dapat pula tercermin dari dukungan atau kemampuan pemerintah (fiskal) dan otoritas moneter melalui berbagai instrumen kebijakannya. Efektivitas dari berbagai instrumen tersebut tergantung pada seberapa ba ik proses hubungan yang terjadi serta kemampuan Korelasi antara tingkat output dan tingkat harga, dapat pula tercermin dari dukungan atau kemampuan pemerintah (fiskal) dan otoritas moneter melalui berbagai instrumen kebijakannya. Efektivitas dari berbagai instrumen tersebut tergantung pada seberapa ba ik proses hubungan yang terjadi serta kemampuan
Kebijakan fiskal dan moneter merupakan bagian yang integralistik dari suatu kebijakan makroekonomi suatu negara yang lazimnya dilakukan dengan mempertimbangkan siklus kegiatan ekonomi, sifat perekonomian suatu negara ; apakah tertutup atau terbuka, serta faktor-faktor ekonomi lainnya. Namun, khusus dalam penelitian ini penulis membuat batasan masalah bahwa baik variabel fiskal maupun moneter yang digunakan menggunakan asumsi tidak ada pengaruh dari luar negeri.
Hubungan antara kebijakan fiskal dan m oneter telah lama menjadi perdebatan di kalangan ekonom dan pengambil kebijakan. Pada satu sisi, kebijakan moneter diarahkan pada pencapaian target menjaga stabilitas tingkat harga, sementara di sisi lain kebijakan fiskal ditetapkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang dapat ditandai dengan nilai output atau pendapatan domestik bruto yang tinggi . Permasalahan utama hubungan antara kebijakan fiskal dengan kebijakan moneter terletak pada terjadinya saling mengorbankan antara pemerataan dan efisiensi (trade-off) serta pencapaian stabilitas harga dan tingkat output terutama dalam jangka pendek. Dampak defisit fiskal yang tinggi dapat Hubungan antara kebijakan fiskal dan m oneter telah lama menjadi perdebatan di kalangan ekonom dan pengambil kebijakan. Pada satu sisi, kebijakan moneter diarahkan pada pencapaian target menjaga stabilitas tingkat harga, sementara di sisi lain kebijakan fiskal ditetapkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang dapat ditandai dengan nilai output atau pendapatan domestik bruto yang tinggi . Permasalahan utama hubungan antara kebijakan fiskal dengan kebijakan moneter terletak pada terjadinya saling mengorbankan antara pemerataan dan efisiensi (trade-off) serta pencapaian stabilitas harga dan tingkat output terutama dalam jangka pendek. Dampak defisit fiskal yang tinggi dapat
Dalam sistem ekonomi yang mengacu pada bekerjanya pasar, sasaran - sasaran tersebut di atas dicapai dengan pelaksanaan kegiatan ekonomi masyarakat, yang basis utamanya adalah dunia usaha swasta. Dalam sistem ini peran pemerintah dilakukan dengan pelaksanaan kebijakan ekonomi makro, yang bertumpu pada kebijakan fiskal dan moneter, dengan peran pada aspek -aspek lain dalam hal penyelenggaraan atau produksi yang menyangkut barang atau jasa publik (public goods and services ).
Dalam keadaan seperti digambarkan tadi, kegiatan yang bertujuan untuk mencapai output, yang dalam aspek publiknya dilakukan oleh pemerin tah melalui kebijakan fiskal, perlu selalu di jaga agar tidak mengorbankan kestabilan (harga - harga atau inflasi dan nilai tukar mata uang). Penjagaan ini utamanya dilakukan melalui kebijakan moneter, yang merupakan salah satu fungsi p okok bank sentral. Dalam sistem di mana dikhawatirkan bahwa melalui anggarannya pemerintah dapat mendorong terjadinya inflasi atau melemahnya nilai tukar mata uang, maka kendali harus dapat dilakukan melalui kebijakan moneter. Mengingat bahwa kegiatan pemerintah itu mempunyai k ecenderungan untuk terus meluas (dikenal sebagai Wagner Law dalam Keuangan Negara), maka kebijakan moneter harus dapat mengimbangi agar sasaran kestabilan tidak terkorbankan.
Perkembangan perekonomian yang semakin dinamis dan terintegrasi dengan perekonomian dunia memberikan implikasi penting bagi para pelaku ekonomi terutama dalam pengambilan kebijakan makroekonomi. Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter merupakan bagian integral dari kebijakan makroekonomi Perkembangan perekonomian yang semakin dinamis dan terintegrasi dengan perekonomian dunia memberikan implikasi penting bagi para pelaku ekonomi terutama dalam pengambilan kebijakan makroekonomi. Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter merupakan bagian integral dari kebijakan makroekonomi
Dari penjelasan diatas, kemudian muncul pertanyaan bagaimana gambaran hubungan antara variabel-variabel kebijakan fiskal dan moneter yang menyebabkan berbagai fenomena perekonomian tersebut. Selain itu, diperlukan juga model keterkaitan antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter sebab analisis yang didasarkan pada model ekonomi makro yang tepat akan menghasilkan efisiensi dalam pencapaian target output serta dapat meningkatkan
kredibilitas pembuat kebijakan. Selanjutnya, agen ekonomi 1 di pelbagai sektor akan mengantisipasi setiap kebijakan fiskal dan ke bijakan moneter dengan
tanggapan yang tepat pula. Namun, penentuan model ekonomi makro merupakan permasalahan yang sulit sebab karakteristik perekonomian yang mudah berubah dan rentan juga terhadap apa yang terjadi dengan perekonomian dunia menjadi salah satu persoalan dalam penyusunan model ekonomi makro di Indonesia.
Penulis pun menyadari betapa luasnya konteks penelitian ini sehingga diperlukan suatu batasan. Penulis memfokuskan penelitian terhadap kondisi stabilitas perekonomian Indonesia pada tahun 19 90 sampai dengan 2009 melalui indikator tingkat pertumbuhan ekonomi (output) dan tingkat stabilitas harga. Proses hubungan yang terjadi pun dibatasi pada variabel -variabel penelitian yang merupakan instrumen-instrumen penting dalam kebijakan fiskal dan moneter dan
1 orang atau lembaga yang melakukan aktivitas ekonomi, seperti rumah tangga, swasta finansial, lembaga nirlaba, dan pemerintah 1 orang atau lembaga yang melakukan aktivitas ekonomi, seperti rumah tangga, swasta finansial, lembaga nirlaba, dan pemerintah
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan skripsi yang berjudul “ Pengaruh Variabel Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Moneter Terhadap Tingkat Output dan Tingkat Harga di Indonesia Tahun 1990-2009” adalah menganalisis bagaimana gambaran perekonomian Indonesia tahun 1990-2009 serta menganalisis respon tingkat
output dan tingkat harga ketika memperoleh gangguan ( shock) dari berbagai variabel kebijakan fiskal dan variabel kebijakan moneter di Indonesia pada tahun 1990-2009. Selain itu, tujuan lain yang akan dicapai adalah untuk mendapatkan model keterkaitan yang bisa merepresentasikan hubungan antara tingkat output (PDB) dan tingkat harga (IHK) dengan kebijakan fiskal dan kebijakan moneter.
1.4 Sistematika Penulisan
Skripsi ini disajikan dalam lima bab yang secara garis besar dirinci sebagai berikut : BAB I
PENDAHULUAN Bab ini memuat latar belakang, identifikasi dan batasan masalah, tujuan serta sistematika dari penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI Bab ini berisikan tinjauan pustaka, kajian teori, kerangka pikir, definisi peubah operasional dan hipotesis yang diajukan.
BAB III METODOLOGI Bab ini akan memaparkan prosedur pengumpulan data serta teknik analisis yang digunakan.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini menyajikan hasil pengolahan data faktual baik berupa tabel, gambar, estimasi model dan pembahasannya untuk mencapai tujuan penelitian.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan kesimpulan akhir dari hasil pembahasan dan analisis bab sebelumnya, saran-saran berdasarkan hasil penelitian yang relevan dengan tujuan penelitian, dan daftar pustaka yang berisi rujukan atau referensi terpercaya yang digunakan.
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Kebijakan Makroekonomi
Kebijakan makroekonomi merupakan kebijakan yang bersifat agregat dalam suatu negara yang berkaitan dengan upaya -upaya pengendalian berbagai variabel-variabel ekonomi makro, seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, tingkat pengangguran, neraca pe mbayaran. Secara umum ada dua kebijakan dalam makroekonomi, yaitu kebijakan fiskal dan kebijakan moneter.
Kebijakan makroekonomi dianggap penting dalam suatu negara karena merupakan titik pusat kinerja (berhasil atau kegagalan) suatu negara yang menguasai hajat hidup manusia dan negara. Selain itu, kebijakan makroekonomi juga berperan besar terhadap prestasi ekonomi suatu negara yang dihasilkan melalui berbagai kebijakan ekonomi, seperti pengeluaran pemerintah, suku bunga, jumlah uang yang beredar, dan lai n sebagainya.
Ada beberapa hal yang menja di tujuan atau sasaran dari kebijakan makroekonomi, yaitu :
a. Output (GNP) Gross National Product (GNP) merupakan indikator paling penting dalam mengukur perekonomian suatu negara. Selain itu, GNP juga bermanfaat untuk mengukurtingkat kemakmuran suatu negara serta mengetahui data -data terperinci mengenai seluruh barang dan jasa yang dihasilkan selama satu periode.
GNP meliputi nilai produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh penduduk suatu negara (nasional) selama satu tahun; termasuk hasil produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh warga negara yang berada di luar negeri, tetapi tidak termasuk hasil produksi perusahaan asing yang beroperasi di wilayah negara tersebut.
Menurut Clark R.J (1990), perekonomian terdiri dari sejumlah rumah tangga keluarga dan perusahaan yang menghasilkan produksi secara terpisah, dimana masing-masing sektor tersebut menghasilkan barang dan jasa tertentu didalam aktivitasnya. Dari semua barang dan jasa yang dilakukan secara bersama - sama maka akan membentuk Produk Nasional Bruto atau dikenal dengan Gross National Bruto (GNP).
Adapun tujuan atau sasaran yang he ndak dicapai dari output ialah terciptanya GNP yang tinggi baik yang aktual maupun relatif terhadap tingkat potensialnya serta laju pertumbuhan yang cepat. Tujuan tersebut dapat diperoleh melalui instrumen kebijakan fiskal berupa pengeluaran pemerintah dan perpajakan.
b. Kesempatan Kerja Kesempatan kerja merupakan peluang yang dimiliki oleh angkatan kerja untuk dapat mengaktualisasikan dirinya terhadap dunia kerja. Kesempatan kerja dapat menggambarkan seberapa besar tenaga kerja yang terserap dalam pasar tenaga kerja.
Tujuan atau sasaran makroekonomi yang ingin dicapai adalah terciptanya kesempatan kerja yang tinggi dan tingkat pengangguran terpaksa yang rendah. Hal ini diantaranya dapat diwujudkan melalui kebijakan moneter dengan Tujuan atau sasaran makroekonomi yang ingin dicapai adalah terciptanya kesempatan kerja yang tinggi dan tingkat pengangguran terpaksa yang rendah. Hal ini diantaranya dapat diwujudkan melalui kebijakan moneter dengan
c. Stabilitas harga Stabilitas harga merupakan suatu keadaan dimana kecenderungan harga berada pada posisi relatif stabil dan normal terhadap keadaan ekonomi yang terjadi. Di Indonesia, lembaga yang berwenang untuk menjaga stabilitas harga ialah Bank Indonesia. Dalam hal makroekonomi, tujuan yang ingin dicapai ialah terciptanya stabilitas harga pada pasar bebas. Hal ini dapat diwujudkan diantaranya melalui kebijakan pendapatan.
d. Perdagangan luar negeri Sasaran kebijakan makroekonomi yang hendak diperoleh terhadap perdagangan luar negeri diantaranya adalah ekspor dan impor yang relatif equilibrium serta stabilitas nilai kurs valas. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen kebijakan perdagan gan serta pengendalian terhadap nilai kurs.
Berdasarkan arah perubahan nilai variabel target yang menjadi tujuan utama, kebijakan makroekonomi diklasifikasikan menjadi dua, yakni kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Oleh karena itu, muncul istilah kebi jakan ekspansif dan kebijakan kontraktif. Kebijakan ekspansif merupakan kebijakan makroekonomi yang bertujuan untuk memperbesar kegiatan perekonomian. Sedangkan kebijakan kontraktif berlaku sebaliknya, yaitu bertujuan untuk menurunkan kegiatan perekonomian suatu negara.
Kebijakan ekspansif lazimnya digunakan pada saat perekonomian menghadapi banyak pengangguran dan kapasitas produksi (output) nasional Kebijakan ekspansif lazimnya digunakan pada saat perekonomian menghadapi banyak pengangguran dan kapasitas produksi (output) nasional
2.1.2 Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter merupakan bagian integral dari kegiatan makroekonomi yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang . Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Sentral dalam hal ini selaku otoritas moneter berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat terkendali, tercapainya kesempatan kerja penuh, dan kelancaran distribusi barang.
Pendefinisian lebih lanjut dikemukakan oleh Nanga (2001) yang mengemukakan bahwa kebijakan moneter adalah kebijakan yang dilakukan oleh otoritas moneter dengan mengubah peubah jumlah uang yang beredar dan suku bunga. Jumlah uang beredar dan suku bunga merupakan peubah yang dapat dikendalikan oleh bank sentral dalam mempengaruhi permintaan agregat guna mengurangi ketidakstabilan perekonomian akibat adanya suatu goncangan.
Pengalaman menunjukkan bahwa jumlah uang beredar diluar kendali dapat menimbulkan konsekuensi atau pengaruh yang buruk bagi perekonomian secara keseluruhan. Pengaruh tersebut diantaranya dapat terlihat pada kurang terkendalinya perkembangan variabel -variabel ekonomi utama, yaitu tingkat output dan harga. Peningkatan jumlah uang beredar yang berlebihan dalam jangka panjang dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya apabila peningkatan jumlah uang beredar sangat rendah maka akan terjadi kelesuan ekonomi.
Dalam merespon guncangan terhadap perekonomian, terdapat dua alternatif kebijakan moneter yang dapat dilakukan , yaitu (1) kebijakan moneter berdasarkan pada pola rules (rule-based policy) dan (2) kebijakan moneter berdasarkan pola discretion (discretion-base policy). Pola rules dilakukan dengan merespon kondisi yang sedang terjadi berdasarkan formulasi penetapan i nstrumen kebijakan yang telah dilakukan sebelumnya dan sistematis, artinya berdasarkan pada metodologi dan perencanaan sehingga tidak berdasarkan pada langkah yang bersifat kausal dan acak. Dua jenis rules yang dikembangkan saat ini adalah (1) pertumbuhan uang beredar yang dipelopori oleh McCallum (1998),yaitu mekanisme feedback (umpan balik) didalam melakukan koreksi secara bertahapkesalahan yang terjadi pada masa lalu dan (2) suku bunga, yang dipelopori oleh Taylor (1993). Rules ini menyertakan mekanisme feedback, yaitu bank sentral mengubah suku bunga berdasarkan pada revisi perkembangan inflasi dan output terhadap tingkat yang ditargetkan.
Sedangkan pola discretion dilakukan untuk menyesuaikan dengan ko ndisi perekonomian sehingga kebijakan moneter lebih fleksibel namun tetap Sedangkan pola discretion dilakukan untuk menyesuaikan dengan ko ndisi perekonomian sehingga kebijakan moneter lebih fleksibel namun tetap
Kebijakan moneter memegang peranan penting dalam perekonomian karena kebijakan moneter dapat mempengaruhi stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, serta keseimbangan neraca pembayaran. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindak an stabilisasi). Hal inilah yang hendak digunakan sebagai sasaran akhir dari kebijakan moneter.
Akan tetapi, sasaran akhir tersebut seringkali didalam pencapaiannya mengandung unsur-unsur yang kontradiktif. Sebagai contoh usaha untuk mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi dan memperluas kesempatan kerja pada umumnya dapat berdampak negatif terhadap kestabilan harga dan keseimbangan neraca pembayaran.
Namun, dalam perkembangannya dewasa ini semakin disadari bahwa kebijakan moneter semestinya lebih memfokusk an pada sasaran tunggal, seperti yang diatur dalam UU No 23 tahun 1999 Pasal 7 tentang Bank Indonesia yakni mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah.
Secara singkat, pengaruh tersebut dapat di ilustrasikan sebagai berikut :
Gambar 1. Peranan Kebijakan Moneter
Berdasarkan gambar 1, terlihat bahwa melalui instrumen moneter (operasi pasar terbuka, tingkat diskonto, cadangan minimum, himbauan, dll) serta indikator moneter (tingkat bunga, jumlah uang beredar), kebijakan di bidang moneter akan mempengar uhi perekonomian, yang terlihat dari perubahan pendapatan nasional (GDP), tingkat inflasi, jumlah pengangguran dan neraca pembayaran). Meskipun demikian, kebijakan pemerintah lainnya juga turut mempengaruhi beberapa indikator perekonomian Indonesia tersebu t.
Adapun kerangka kerja kebijakan moneter dapat diilustrasikan sebagai berikut :
Gambar 2. Kerangka Kerja Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter dilakukan melalui instrumen, seperti tingkat suku bunga, giro wajib minimum, intervensi dipasar valuta asing dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam uang apabila mengalami kesulitan likuiditas. Dalam prakteknya, perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan ialah terjaganya stabilitas ekonomi makro yang tercermin melalui rendahnya laju inflasi, membaiknya perkembangan pertumbuhan ekonomi, serta tersedianya kesempatan kerja (Warjiyo, 2004).
Stabilitas ekonomi makro dapat tercermin melalui laju inflasi yang rendah dan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan sehingga mendorong peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat. Oleh karena itu, dalam merumuskan strategi kebijakan moneter, perlu mempertimbangkan variabel - variabel berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, mekanisme transmisi yang sesuai, siklus ekonomi (booming/resesi), sifat perekonomian (terbuka/tertutup), dan faktor-faktor fundamental ekonomi lainnya.
Gambar 3. Kebijakan Moneter dan Siklus Kegiatan Ekonomi
(Counter-cyclical monetary policy )
Berdasarkan gambar 3, terlihat bahwa kebijakan moneter memiliki siklus yang disesuaikan dengan keadaan ekonomi yang terjadi disuatu negara. Pada kondisi B sama dengan C, situasi perekonomian berada dalam resesi sehingga diperlukan kebijakan moneter ekspansif agar cepat terjadi recovery. Sedangkan pada kondisi C sama dengan D, ekonomi berada pada kondisi booming sehingga diperlukan kebijakan moneter kontaraktif agar menghindari overheating.
Adapun yang dimaksud dengan kebijakan ekspansif dalam kebijakan moneter adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang y ang beredar atau menurunkan suku bunga. Sedangkan kebijakan moneter kontraktif adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang beredar (kebijakan uang ketat ; tight money policy).
Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu antara lain :
1. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation) Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah ( government securities). Jika ingin menambah jumlah uang yang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah.
Akan tetapi, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah diantaranya adalah SBI (Sertifikat Bank Indonesia) dan SBPU (Surat Berharga Pasar Uang). Selama ini, Bank Indonesia masih mempergunakan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk melaksanakan Open Market Operation (Djojosubroto dalam Subiyantoro dan Ripha t, 2004).
2. Fasilitas Diskonto (Discount Rate) Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah uang yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum terkadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.
3. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio ) Rasio cadangan wajib merupakan cara pengaturan uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah akan menurunkan rasio cadangan wajib. Sedangkan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar maka pemerintah akan menaikkan rasio cadangan wajib.
4. Himbauan Moral (Moral Persuasion) Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang yang beredar dengan jalan memberi himbauan kepada para pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemb eri kredit untuk berhati -hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang yang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang yang beredar dalam perekonomian suatu negara.
Dalam pelaksanaannya, kebijakan moneter dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu:
1. 1. Kebijakan uang ketat (Tight Money Policy) Kebijakan uang ketat adalah kebijakan bank sentral untuk mengurangi jumlah uang yang beredar, yang dapat berupa:
a. Peningkatan suku bunga (politik diskonto)
b. Penjualan surat berharga/SBI (politik pasar terbuka)
c. Peningkatan cadangan kas (politik cash ratio)
d. Pengetatan pemberian kredit (politik kredit selektif)
2. Kebijakan uang longgar (Easy Money Policy) Kebijakan uang longgar adalah kebijakan yang dilakukan oleh bank sentral untuk menambah jumlah uang yang beredar, yang dapat berupa :
a. Penurunan tingkat suku bunga (politik diskonto)
b. Pembelian surat-surat berharga: saham dan obligasi (politik pasar terbuka)
c. Penurunan cadangan kas (politik cash ratio)
d. Pemberian kredit longgar Dalam menentukan suatu kebijakan moneter tentunya akan dimulai dari gubernur Bank Indonesia yang meminta pertimbangan kepada Dewan Moneter yang beranggotakan Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Koordinator Ekonmi, Keuangan dan Industri.
Di Indonesia beberapa rezim perekonomian berkembang dengan mendasarkan pada berbaga i channel dalam transmisi moneter yang diyakini Di Indonesia beberapa rezim perekonomian berkembang dengan mendasarkan pada berbaga i channel dalam transmisi moneter yang diyakini
a. Monetery Targetting Kebijakan ini mendasarkan pada pengendalian uang yang beredar (sebagai intermediate target). Selain itu, uang primer juga digunakan sebagai sasaran operasional untuk mencapai sasaran akhir dengan berdasarkan pada kestabilan perimntaan uang.
b. Exchange Rate Targetting Kebijakan ini didasarkan pada pengendalian nilai tukar sebagai intermediate target untuk mencapai sasaran akhir (inflasi dan pertumbuhan ekonomi). Hal ini tergantung pula pada sistem nilai tukar Rupiah yang berlaku di Indonesia.
Beralihnya sistem nilai tukar rupiah dari sistem mengambang terkendali menjadi system yang mengambang penuh, member ikan beberapa implikasi terhadap pengendalian moneter di Indonesia, seperti berubahnya preferensi masyarakat dalam memegang uang serta terjadinya denominasi rupiah ke dollar yang akan banyak dipengaruhi oleh besarnya depresiasi dan volatilitas dari nilai tukar (Agung Daryo, 2004).
Bila hal ini terjadi maka untuk tetap menjaga nilai tukar agar tetap stabil dalam rezim nilai tukar mengambang, besaran target jumlah uang yang beredar harus diperhitungkan secara seksama agar efektif dan efisien. Oleh karena it u, kebijakan moneter juga harus berhati -hati dalam menjaga besaran dan target jumlah uang yang beredar.
Nilai tukar rupiah juga dapat mempengaruhi inflasi. Transmisi perubahan nilai tukar Rupiah ke inflasi dapat melalui dua saluran. Pertama, melemahnya ni lai tukar Rupiah akan menaikkan biaya produksi yang memakai barang impor sehingga menaikkan harga. Tekanan harga ini akan diperburuk bila para buruh melakukan desakan kenaikan upah nominal dalam rangka mempertahankan upah riilnya.
Kedua, harga non-tradable goods yang relatif lebih murah dibandingkan harga tradable goods akan mendorong permintaan non- tradable goods sehingga meningkatkan harga domestik. Ken aikan harga ini akan bertambah jika suku bunga relatif rendah. Sasaran akhir dari pengendal ian moneter dalam sistem nilai tukar fleksibel adalah inflasi.
c. Inflation Targetting Inflasi merupakan indikator stabilitas perekonomian yang menjadi fokus perhatian dalam kebijakan makroekonomi sehingga laju perubahannya selalu diupayakan berada pada tin gkat yang rendah dan stabil. Untuk mewujudkan inflasi rendah, pengendaliannya di Indonesia dilakukan dengan menerapkan strategi pentargetan inflasi ( inflation targeting).
Melalui kebijakan ini, Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter diberikan independensi yang tinggi dalam menetapkan target -target yang ingin dicapai (goal independency) dan kebebasan dalam menggunakan instrumen kebijakan untuk mencapai target tersebut ( instrumen independency). Kebijakan ini memfokuskan sasaran akhir pada target inflasi yang diumumkan. Untuk intermediate targetnya menggunakan inflation forecast yang mendasarkan pada Melalui kebijakan ini, Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter diberikan independensi yang tinggi dalam menetapkan target -target yang ingin dicapai (goal independency) dan kebebasan dalam menggunakan instrumen kebijakan untuk mencapai target tersebut ( instrumen independency). Kebijakan ini memfokuskan sasaran akhir pada target inflasi yang diumumkan. Untuk intermediate targetnya menggunakan inflation forecast yang mendasarkan pada
Sebagai contoh, ketika bank sentral ment argetkan inflasi guna pengendalian terhadap harga -harga maka bank sentral melakukan kebijakan moneter yang kontraktif atau yang lebih dikenal dengan tight money policy dengan menggunakan isntrumen open market operation (OMO), yakni melalui tingkat suku bunga. Instrumen ini dilakukan dengan menerbitkan se rtifikat bank Indonesia (SBI) seperti obligasi masyarakat dan mengurangi tingkat permintaan terhadap barang dan jasa sehingga perekonomian menjadi terkendali.
Sejak tahun 1990 sampai 2004 tercatat sebanyak 22 negara yang menggunakan inflasi sebagai single nominal anchor. Kestabilan harga ini menjadi tujuan penting bagi bank sentral mengingat bahwa: (1) dalam jangka panjang hanya inflasi yang dapat dipengaruhi oleh kebijakan moneter; (2) tingkat inflasi yang moderat/tinggi akan menghambat efisiensi perekonomian; (3) kerangka (framework) kebijakan yang diterapkan menjadikan kebijakan moneter lebih transparan dan akuntabel. Dengan mengumumkan target numerik secara eksplisit, bank sentral dapat mengkomunik asikan kebijakannya kepada publik. Selain itu publik akan mendapatkan informasi yang lebih baik dalam pembentukan ekspektasi inflasi ke depan sehingga keputusan untuk menabung atau meminjam, berinvestasi atau berkonsumsi, dan keputusan ekonomi lainnya dap at dilakukan dengan lebih rasional (Kementrian Keuangan dan Bank Indonesia, 2004).
Inflation Targeting secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut: bank sentral melakukan proyeksi mengenai arah perkembangan laju inflasi di masa depan; laju proyeksi tersebut dibandingkan dengan sasaran inflasi yang Inflation Targeting secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut: bank sentral melakukan proyeksi mengenai arah perkembangan laju inflasi di masa depan; laju proyeksi tersebut dibandingkan dengan sasaran inflasi yang
Dalam inflation targeting framework besaran moneter seperti suku bunga dan nilai tukar hanya berfungsi sebagai variabel indikator. Sementara sasaran antara yang paling ideal digunakan adalah prediksi inflasi atau ekpektasi inflasi itu sendiri (Alamsyah & Masyuri, 2000). Prediksi inflasi tersebut akan membawa arah inflasi kedepan.
Beberapa alasan menguntungkan inflation targeting, sehingga menjadi preferensi bank-bank sentral dewasa ini adalah (Agung, 2002):
1. Adanya konflik dalam jangka pendek antara tujuan pertumbuhan ekonomi dengan tujuan kestabilan harga atau trade-off antara pertumbuhan yang tinggi dengan inflasi yang tinggi. K ebijakan moneter yang secara persisten menstimulir aktivitas perekonomian melampaui tingkat pertumbuhan jangka panjanganya akan menghadapi keterbatasan kapasitas perekonomian. Akibatnya inflasi akan meningkat namun tidak mempengaruhi tingkat produksi dala m jangka panjang yang justru tergantung pada faktor-faktor diluar kebijakan moneter.
Dapat dikatakan dalam jangka panjang tidak ada trade-off antara inflasi dan produksi. Justru dalam jangka panjang inflasi yang rendah dan stabil akan mendukung pertumbuhan ekonomi. Inflasi yang stabil dan rendah akan menurunkan premi resiko dalam berinvestasi. Investasi selanjutnya akan menjadi motor penggerak produksi. Sehingga kebijakan anti inflasi sebenarnya adalah justru kebijakan pro pertumbuhan.
2. Inflation targeting dapat menjadi alat untuk membangun dan mempertahankan kredibilitas bank sentral dalam mengendalikan inflasi. Publik akan menilai sejauh mana usaha bank sentral dalam mencapai target inflasi yang diumumkan. Hal ini memaksa bank sentral untuk lebih transparan dan bertanggungjawab dalam meraih respect publik dan selanjutnya mempertahankan reputasinya.
3. Penerapan Inflation targeting menyediakan suatu jangkar nominal bagi kebijakan moneter. Tanpa adanya suatu jangkar tertentu sebagai acuan, langkah-langkah kebijakan moneter yang ditempuh bisa dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek yang tidak konsisten dengan kepentingan jangka panjang.
4. Inflation targeting framework mendorong terbentuknya good governance dari sebuah bank sentral yaitu transparansi dan akuntabilitas. Transparansi dicirikan dari kewajiban bank sentral untuk mengumumkan target, memberikan penjelasan kepada publik kebijakan moneter yang diambil. Akuntabilitas dicirikan dari pertanggungjawaban bank sentral kepada publik.
Ketika likuiditas perekonomian berkurang, bank sentral melakukan kebijakan moneter yang ekspansif melalui peningkatan jumlah uang beredar dengan cara membeli surat berharga pasar uang antar bank (PUAB) sehingga suku bunga bank sentral menurun. Menurunnya suku bunga menarik investor menanamkan modalnya pada usaha -usaha sehingga produksi barang dan jasa meningkat dan sektor riil menjadi tumbuh. Hal ini akan mendorong permintaan akan barang dan jasa sehingga menguatkan kembali permintaan agregat dan terjadi pertumbuhan ekonomi yang kondusif.
Penetapan target inflasi tidak selalu dapat dilakukan dengan mudah, karena proses pembentukan inflasi dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berhubungan dan mencakup sejumlah besar barang dan jasa yang masing-masing memiliki karakteristik berbeda -beda. Konsekuensinya, penetapan target inflasi membutuhkan kajian mendalam terhadap p erilaku inflasi secara disagregat dan identifikasi sumber penyebabnya dari sisi permintaan dan penawaran, serta prediksi arah perubahan ber bagai variabel makroekonomi.