Prinsip, Syarat dan Bentuk Restorative Justice

b. Prinsip, Syarat dan Bentuk Restorative Justice

Restorative justice berlandaskan pada prinsip due process, yang merupakan eksplorasi dan perbandingan antara pendekatan kesejahteraan

commit to user

tersangka dan sangat memperhatikan kepentingan korban. Sasaran peradilan restoratif adalah mengharapkan berkurangnya jumlah anak yang ditangkap, ditahan dan divonis penjara serta menghapuskan stigma pada diri anak dan mengembalikan anak menjadi manusia yang normal sehingga dapat berguna di kemudian hari. (http://eprints.undip.ac.id/25103/1/Novie_Amalia_Nugraheni.pdf)

Prinsip restorative justice di atas sama halnya dengan prinsip restoratif oleh Charles Barton Vol. 2 No. 1 dalam jurnal yang berjudul “Theories of Restorative Justice” , yang diterjemahkan kurang lebih sebagai berikut : No one will argue against the right to silence, the right to legal

representation, and competent counsel. But what we also suggest, and which lawyers can’t offer, and don’t want to offer, is the opportunity for the young offender to be educated from this experience. Young offenders have the right to learn the consequences of their crime. They have the right to understand how many other people it affects. They have the right to develop as full human beings through this process. Now if you let the opportunity slip by, by handing it over to lawyers, you deny them all those developmental rights. (Tak seorang pun akan menentang hak untuk diam, hak untuk perwakilan hukum, dan nasihat yang kompeten. Tapi apa kita juga sarankan, dan yang tidak dapat menawarkan pengacara, dan tidak ingin menawarkan, adalah kesempatan untuk pelaku muda untuk dididik dari pengalaman ini. Pelanggar muda memiliki hak untuk belajar konsekuensi dari kejahatan mereka. Mereka memiliki hak untuk memahami berapa banyak orang lain itu mempengaruhi. Mereka memiliki hak untuk berkembang sebagai manusia penuh melalui proses ini. Sekarang jika Anda membiarkan kesempatan slip menyerahkannya ke pengacara, sama saja menolak hak-hak untuk perkembangannya).

Syarat penerapan keadilan restorative justice adalah :

1. Syarat pada diri pelaku Pada syarat ini terkait beberapa faktor,yaitu : - Usia anak, - Ancaman dan hukuman (maksimum 7 tahun), - Pelaku mengakui kesalahan dan menyesali perbuatannya,

commit to user

- Tingkat seringnya pelaku melakukan tindakan (residiv).

2. Sifat dan jumlah pelanggaran yang pernah dilakukan sebelumnya (residiv).

3. Apakah anak/pelaku mengakui tindak pidana yang dilakukan dan menyesalinya ? - Jika anak mengakui dan menyesalinya perbuatannya, maka hal ini

menjadi sebuah pertimbangan positif untuk dapat menangani dengan pendekatan keadilan restoratif.

- Jika anak tidak mengakuinya maka anak bebas berdasarkan putusan

hakim.

4. Dampak perbuatan terhadap korban.

5. Sikap keluarga pelaku/anak tersebut. Dukungan dari orangtua dan keluarga sangat penting agar keadilan

restoratif dapat berhasil. Jika keluarga berusaha menutup-nutupi perbuatan anak, maka akan sulit mengimplementasikan rencana keadilan restoratif yang efektif. ( Ds. Dewi & Fatahillah A. Syukur, 2011:38)

Adanya upaya pelaksanaan restorative justice tidak berarti bahwa semua perkara anak harus dijatuhkan putusan berupa tindakan dikembalikan kepada orang tua, karena hakim tentunya harus memperhatikan kriteria-kriteria tertentu, antara lain :

1. Anak tersebut pertama kali melakukan kenakalan (frist offender);

2. Anak tersebut masih sekolah;

3. Tindak pidana yng dilakukan bukan tindak pidana kesusilaan yang serius, tindak pidana yang mengakibatkan hilangnya nyawa, luka berat atau

cacat seumur

hidup,

atau

tindak pidana yang mengganggu/merugikan kepentingan umum;

4. Orang tua/wali anak tersebut masih sanggup untuk mendidik dan mengawasi anak tersebut secara lebih baik. (Marlina, 2009:205)

commit to user

berpendapat ada 4 (empat) bentuk, namun keempat bentuk ini mempunyai tujuan yang sama yaitu memperbaiki tindakan kejahatan dengan mengenyeimbangkan kepentingan anak pelaku tindak pidana, korban, dan komunitas. Keempat bentuk keadilan restoratif tersebut adalah :

1. Mediasi penal (victim-offender mediation) Sebuah proses dengan dibantu pihak ketiga yang netral dan imparsial, membantu korban dan pelaku untuk berkomunikasi satu sama lain dengan harapan dapat mencapai sebuah kesepakatan.

2. Restorative concerence Hampir sama dengan mediasi penal, yang membedakan hanyalah peran mediator sebagai pemandu diskusi, adanya naskah pemandu, dan hadirnya pihak selain pelaku dan korban (yaitu keluarga dari masing- masing pihak).

3. Family group conferencing Keluarga kedua belah pihak (pelaku dan korban) membuat sebuah rencana aksi (action plan) berdasarkan informasi dari pelaku, korban, dan kalangan profesional yang membantu.

4. Community panel meetings Pertemuan yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, pelaku, korban, dan orang tua pelaku untuk mencapai sebuah kesepakatan perbaikan kesalahan. (Ds. Dewi & Fatahillah A. Syukur, 2011:41)

Sedangkan bentuk keadilan restoratif dalam prakteknya di Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Musyawarah kelompok keluarga. Kehadiran pihak-pihak yang terkait meliputi : korban, pelaku, dan orang yang berkepentingan.

2. Pelayanan di masyarakat.

commit to user

lembaga dan organisasi independen peduli anak untuk pemulihan psikologis korban dan pelaku.

3. Di setiap tahapan sistem peradilan. Dalam proses penyidikan sampai pada persidangan wajib dilakukan diversi melalui forum musyawarah/mediasi dengan tujuan pemulihan bagi pelaku, korban, dan masyarakat. (Ds. Dewi & Fathillah A. Syukur, 2011:41)

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan akhir dari peradilan restoratif diharapkan berkurangnya jumlah anak-anak yang ditangkap, ditahan, dan divonis penjara; menghapuskan stigma dan mengembalikan anak menjadi manusia normal sehingga diharapkan dapat berguna kelak di kemudian hari; pelaku pidana anak dapat menyadari kesalahannya, sehingga tidak mengulangi perbuatannya mengurangi beban kerja Polisi, Jaksa, Rutan, Pengadilan, dan Lapas; menghemat keuangan negara dan tidak menimbulkan rasa dendam karena pelaku telah dimaafkan oleh korban.

Dokumen yang terkait

PENGENALAN BENTUK GEOMETRI DALAM PEMBELAJARAN MELALUI PERMAINAN PUZZLE PADA ANAK USIA 3-4 TAHUN Widariyati M Syukri, Halida Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini FKIP UNTAN Email: Wid_Ariyatigmail.com Abstract: This research is based on

0 0 12

Penerapan Contractor Safety Management System (Csms) Tahap Prakualifikasi di PT. Pageo Utama Jakarta Selatan

2 13 92

MODAL SOSIAL DAN REFLEKSIVITAS DALAM MASYRAKAT RISIKO ( Suatu Kajian terhadap Anggota Klub Motor Wonogiri King Club (WKC) )

0 1 265

Makna Simbol dalam Film ”Cin(T)A”: Sebuah Tinjauan Semiotika

0 0 117

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Sistem Tanam Benih Langsung di Kabupaten Karanganyar

0 2 139

Tindakan Hukum Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam Melakukan Likuidasi Bank Perusahaan Daerah

0 0 66

Helena Rita, Muhamad Ali, Halida Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini FKIP Untan Pontianak Email: rita878889gmail.com Abstract: The purpose of this research is to know the improvement of gross motor

0 0 11

1 PENGARUH VIDEO PEMBELAJARAN TERHADAP MOTIVASI BELAJAR BAHASA INGGRIS DI TK AL-AZHAR 21 PONTIANAK Rinda Nikenindiana Sukamto, Aunurrahman, Lukmanulhakim Program Studi Pendidikan Anak Usia Dini FKIP Untan Pontianak Email: Rinda.Nikenindianagmail.com Abstr

0 1 11

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENYIMAK MELALUI METODE MENDONGENG MENGGUNAKAN MEDIA PAPAN FLANEL Krisensiana, Marmawi R, Dian Miranda Program Studi Pendidikan Anak Usia Dini, FKIP Untan Pontianak Email: kirisensiana21gmail.com Abstract - PENINGKATAN KEMAMPUAN MENY

0 0 11

Pemberdayaan Masyarakat dalam Program Perpustakaan Kelurahan di Kelurahan Panularan Kota Surakarta

0 0 198