Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
4. Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Pada poin menimbang dalam Undang-undang ini disebutkan, untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai, sehingga ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus. Dalam konteks perlindungan anak, dibentuklah sidang khusus anak-anak. Anak-anak yang belum mencapai 8 tahun dan melakukan atau diduga melakukan tindak pidana maka boleh dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik. Penyidik mempunyai kewenangan untuk merekomendasikan pembinaannya kepada pembinaan orang tua, wali atau orang tua asuhnya. Penyidik juga berwenang merekomendasikan setelah memeriksa anak bermasalah dengan hukum untuk diserahkan kepada Departemen Sosial setelah mendapatkan pertimbangan dari pembimbing kemasyarakatan.
Bentuk hukuman yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah hukuman pidana dan tindakan. Tindakan berupa : dikembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh, menyerahkan kepada departemen sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja (Pasal 23-24).
commit to user
Perlakuan/Hukuman yang Kejam,Tidak Manusiawi, dan Merendahkan (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Dgrading Treatment, or Punishment)
Bahwa di dalam undang-undang ini, penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia masih terus terjadi di barbagai negara dan kawasan dunia, yang diakui secara luas akan dapat merapuhkan sendi-sendi tegaknya masyarakat yang tertib, teratur, dan berbudaya. Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia dan Undang- Undang Dasar 1945 sebagai sumber dan landasan hukum nasional, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia seperti tercermin dalam Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Asas ini merupakan amanat konstitusi bahwa bangsa Indonesia bertekad untuk mencegah dan melarang segala bentuk penyiksaan, sesuai dengan isi Konvensi ini.
Berdasarkan uraian diatas bahwa penanganan anak pelaku tindak pidana dengan di masukkan ke penjara, dikhawatirkan akan terjadi penyiksaan terhadap anak. Maksud dari penyiksaan bukan secara fisik namun juga dikhawatirkan secara mental, walaupun tidak dipungkiri bahwa penanganan anak pelaku tindak pidana sering terdengar mengalami siksaan fisik jika anak tidak mengakui perbuatannya. Mungkin penyiksaan secara fisik dapat hilang bekasnya, tetapi penyiksaan secara mental dikhawatirkan akan melekat dan menimbulkan trauma tersendiri bagi perkembangan ke depannya.
Untuk itu penerapan restorative justice dalam upaya pengalihan penghukuman penal menjadi nonpenal pada anak pelaku tindak pidana, merupakan dukungan terhadap Undang-undang No. 5 Tahun 1998 tentang
Ratifikasi Konvensi
Menentang
Penyiksaan dan
Perlakuan/Hukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan
commit to user
Undang-undang Nomor UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dapat dijadikan sebagai salah satu referensi yuridis dalam menangani isu anak terutama penerapan restorative justice terhadap hak- hak anak pelaku tindak pidana. Dalam undang-undang ini hak-hak asasi anak telah diatur dan ditempatkan secara khusus pada Bagian Hak Anak dari Pasal 52 – 66. Pasal-pasal tersebut secara rinci telah menjamin sejumlah hak-hak anak yang harus dihargai, dilindungi, dan dipenuhi oleh negara. Pasal 66, secara khusus mengatur hak-hak anak yang dicabut kebebasannya karena melanggar hukum pidana. Namun jika kita membaca pasal-pasal tersebut tidak diketemukan secara eksplisit prinsip- prinsip pemenuhan hak anak sebagaimana dituangkan dalam KHA seperti :
a. Prinsip kepentingan terbaik bagi anak dalam menyelesaikan perkara anak yang berkonflik dengan hukum,
b. Keharusan untuk menggunakan mekanisme hukum peradilan hukum pidana sebagai upaya terakhir. Rumusan hukum yang dipergunakan Pasal 66 ayat (4) berbunyi : ‘’Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir’’ .
c. Pendekatan restorative justice sebagai hak asasi anak.