Pengembangan terpadu pemanfaatan ruang kepulauan tanakeke berbasis daya dukung

(1)

PENGEMBANGAN TERPADU PEMANFAATAN

RUANG KEPULAUAN TANAKEKE

BERBASIS DAYA DUKUNG

ABDUL RAUF

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul:

PENGEMBANGAN TERPADU PEMANFAATAN RUANG KEPULAUAN TANAKEKE BERBASIS DAYA DUKUNG

adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2008

Abdul Rauf NRP : P31600028


(3)

ABDUL RAUF. Pengembangan Terpadu Pemanfaatan Ruang Kepulauan Tanakeke Berbasis Daya Dukung. Dibimbing Oleh DETRIECH G. BENGEN, ROKHMIN DAHURI, SARWONO HARDJOWIGENO, SUGENG BUDIHARSONO

dan AWAL SUBANDAR.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan suatu pola pemanfaatan ruang yang komprehensif dalam pengembangan Kepulauan Tanakeke. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dilakukan kajian yang meliputi: mengidentifikasi potensi dan kondisi sumberdaya kawasan Kepulauan Tanakeke, mengevaluasi kesesuaian dan daya dukung lahan serta kelayakan secara ekonomi bagi berbagai peruntukan yang berpotensi untuk dikembangkan, menentukan prioritas penggunaan lahan, menentukan alokasi pemanfaatan ruang yang optimal bagi berbagai peruntukan lahan dan menyusun arahan dan strategi kebijakan pemanfaatan ruang di kawasan Kepulauan Tanakeke.

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari Analisis Potensi dan Kondisi, Analisis Spasial (keruangan) dengan pendekatan GIS, Analisis Kesesuaian dan Daya Dukung Lahan, Analisis Prioritas dengan Pendekatan MCDM, Analisis Partisipasi, Analisis produktivitas lahan, Analisis Optimasi, Analisis Finansial (kelayakan ekonomi), Analisis Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kepulauan Tanakeke dengan pendekatan SWOT.

Hasil evaluasi kesesuaian lahan bahwa secara spasial pengembangan Kepulauan Tanakeke diarahkan untuk pengembangan sumberdaya perikanan dan pariwisata. Sumberdaya perikanan meliputi perikanan budidaya diarahkan pengembangannya di Pulau Tanakeke dan Lantangpeo dan perikanan tangkap di Pulau Bauluang dan Satangnga. Sedangkan pariwisata yang meliputi wisata pantai dan bahari diarahkan pengembangannya di Pulau Dayang-dayangan, Satangnga dan Bauluang dan wisata mangrove di Pulau Tanakeke, Lantangpeo dan Bauluang.

Hasil analisis kelayakan usaha pada pengembangan perikanan budidaya dan perikanan tangkap masih dalam batas kategori layak yaitu dengan nilai R/C (1,20-2,85) dan Pay Back Periode (0,13-3,2 tahun), sedangkan hasil analisis prioritas pengembangan berbagai peruntukan lahan di Kepulauan Tanakeke berturut-turut budidaya rumput laut (0,91), perikanan tangkap (0,88), KJA (0,80), wisata pantai (0,74), wisata bahari (0,71), konservasi (0,66) dan permukiman (0,62).

Strategi dan kebijakan pengelolaan Kepulauan Tanakeke secara umum diarahkan untuk pengembangan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia, meningkatkan partisipasi masyarakat, membangun sarana dan prasarana pendukung, peningkatan kesadaran hukum dan etos kerja masyarakat serta peningkatan koordinasi antar sektor dalam membangun Kepulauan Tanakeke ke arah yang lebih baik di masa yang akan datang.


(4)

ABDUL RAUF. Integrated Development of Tanakeke Archipelago Land Utilzation Based on Caryying Capacity. Supervised by DETRIECH G. BENGEN, ROKHMIN DAHURI, SARWONO HARDJOWIGENO, SUGENG BUDIHARSONO

and AWAL SUBANDAR.

This research aims to develop a comprehensive spatial planning pattern in Tanakeke Archipelago development. The scope of research, includes : identifying potency and condition of the resources at the Tanakeke Archipelago, evaluating sustainability and land carrying capacity, as well as economical feasibility for various utilizations which have potency to be developed, determining priority of land use, determining allocation of optimal land use for various land use and compile guidelines and policy strategy of spatial exploitation in the Tanakeke Archipelago.

The analytical methods used in this research consisted of analysis of potency and condition, spatial analysis with GIS approach, analysis of land suitabilty and carrying capacity, priority analysis with the MCDM approach, participation analysis, productivity analysis, optimalization analysis, financial analysis, and finally policy and strategy analysis of management of Tanakeke Archipelago with the SWOT approach.

The result of land suitability evaluation indicates that, spatially, the development of Tanakeke Archipelago should be directed to fisheries and tourism development. The fisheries resources include mariculture that can be develoved at Tanakeke and Lantangpeo islands, and fishing at Bauluang and Satangnga Islands. Meanwhile, tourism development consists of marine and coastal tourisms that can be developed at Dayang-dayangan, Satangnga, and Bauluang Islands, and ecotourism of mangrove at Tanakeke, Lantangpeo and Bauluang islands.

It has been disclosed from the feasibility analysis that mariculture and fishing are feasible, with the values of R/C ranges from 1,2 – 2,85 and paybeck Period 0,13 – 3,2 (years). Meanwhile, the result of priority analysis for various land utilization in the Tanakeke Islands are, in descending values, as follow; seaweed culture (0.91), fishing (0.88), cage culture (0.80), coastal tourism (0.74), marine tourism (0.71), conservation (0,66) and settlement (0,62).

The strategy and policy of Tanakeke Archipelago management, generally, should be directed to development of human resources, enhancement of public participation, development of supporting infrastructure, improvement of legal awerenes and work ethics, and also improvement of inter-sectoral coordination.


(5)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber :

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh


(6)

PENGEMBANGAN TERPADU PEMANFAATAN

RUANG KEPULAUAN TANAKEKE

BERBASIS DAYA DUKUNG

ABDUL RAUF

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelarDoktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(7)

Kepulauan Tanakeke Berbasis Daya Dukung

Nama : Abdul Rauf

NIM : P31600028

Disetujui : Komisi Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA K e t u a

Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS. Dr.Ir. Sugeng Budiharsono A n g g o t a A n g g o t a

Prof. Dr. Ir. Sarwono Hardjowigeno, M.Sc Dr. Ir. Awal Subandar, M.Sc A n g g o t a A n g g o t a

Diketahui,

Ketua Departemen Manajemen Dekan Sekolah Pascasarjana,

Sumberdaya Perairan,

Dr. Ir. Sulistiono, M.S Prof. Dr. Ir. Khairil A Notodiputro, M.S


(8)

Penulis dilahirkan di Kabupaten Sidrap, Propinsi Sulawesi Selatan, pada tanggal 05 September 1967 sebagai anak kedua dari pasangan Drs. H. Muhammad Toaha Laili dan ibu Hj. Saripa Tjalli. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perairan (PSP), Fakultas Perikanan, Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, lulus pada Tahun 1992. Pada Tahun 1998, penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada Tahun 2000 dengan gelar Magister Sains. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan perguruan tinggi yang sama diperoleh pada Tahun 2001. Beasiswa pendidikan Sekolah Pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi, Departemen Pendidikan nasional (BPPS Dikti).

Penulis bekerja sebagai dosen di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar sejak Tahun 1993 sampai sekarang dengan Jabatan Fungsional/golongan sebagai Lektor / IIId. Selain sebagai staf pengajar, penulis juga menyempatkan diri bekerja sebagai konsultan pada berbagai kegiatan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil.

Selama mengikuti program S3, penulis telah mengikuti berbagai kegiatan seminar dan pelatihan yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan serta pulau-pulau kecil, baik dalam kapasitas sebagai peserta maupun sebagai penyaji. Penulis juga mendapat berbagai hibah penelitian dari Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional seperti Hibah Bersaing, Penelitian Dasar & Penelitian Fundamental. Disamping itu penulis juga banyak membantu kegiatan-kegiatan proyek pesisir di Departemen Kelautan dan Perikanan, Bappenas, KLH maupun Departemen PU serta BRR Aceh-Nias.


(9)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2003 ini adalah Pulau-pulau Kecil, dengan judul Pengembangan Terpadu Pemanfaatan Ruang Kepulauan Tanakeke Berbasis Daya Dukung.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Dietriech G Bengen, DEA selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS, Bapak Prof. Dr. Ir. Sarwono Hardjowigeno, M.Sc, Bapak Dr. Ir. Sugeng Budiharsono dan Bapak Dr. Ir. Awal Subandar, M.Sc masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing, atas segala bimbingan, arahan maupun saran selama penulis melakukan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Disamping itu, terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pimpinan Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar dan Pimpinan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UMI atas kesempatan tugas belajar jenjang S2 dan S3 di Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pimpinan BPPS DIKTI, Yayasan SUPERSEMAR, Yayasan DAMANDIRI, Bupati Kabupaten Sid-Rap dan Gubernur Propinsi Sulawesi Selatan atas bantuan beasiswa dan biaya penelitian yang telah diberikan kepada penulis.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda Drs.H. Muh Toaha dan bunda Hj. St Syaripa, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya, terkhusus kepada Istri Ny Andi Suhartini Rauf dan anak tercinta Andi Muhammad Ilham Rauf, Andi Dewi Syafrida Rauf dan Andi Nurul Hikmah Rauf atas dukungan moril, pengertian, kesabaran, doa dan kasih sayangnya serta kesetiaannya selama mengikuti pendidikan ke jenjang S2 dan S3 di Institut Pertanian Bogor.

Kepada teman-teman mahasiswa SPL Program Doktor khususnya angkatan IV dan dari program studi lain serta rekan-rekan atau pihak lain yang telah membantu yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, juga tak lupa kami ucapkan terima kasih.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi yang membutuhkannya dan memperkayah khasanah ilmu pengetahuan kita, khususnya yang berkaitan dengan pengembangan pulau-pulau kecil dan umumnya pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, Amin.

Bogor, Januari 2008 Wassalam,


(10)

MAAF HALAMAN INI PADA LEMBAR ASLINYA

MEMANG TIDAK ADA


(11)

Latar Belakang

Kepulauan Tanakeke merupakan gugusan pulau-pulau kecil secara fisik memiliki sumberdaya alam daratan sangat terbatas, tetapi dikaruniai sumberdaya kelautan yang melimpah. Kepulauan ini merupakan bagian daerah Kabupaten Takalar yang strategis untuk dikembangkan dengan basis kegiatan ekonomi pada pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) kelautan, yang tentunya dengan memperhatikan aspek kelestariannya.

Masalah terbesar saat ini adalah bahwa kepulauan tersebut pada umumnya belum dikelola dengan baik dan benar, padahal menghadapi tekanan berat baik dari proses alam maupun aktivitas manusia. Untuk itu diperlukan perencanaan yang matang dan sistematis untuk mengelola pulau-pulau kecil tersebut, dengan selalu berpedoman kepada konsep pembangunan berkelanjutan.

Akibat pertambahan jumlah penduduk yang sangat cepat, maka peningkatan pemanfaatan sumberdaya alam telah mengakibatkan perubahan pola penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan daya dukung dan kesesuaian lahannya. Disamping itu, sering terjadi pemanfaatan kawasan yang seharusnya merupakan kawasan lindung digunakan sebagai lokasi kegiatan yang tidak bersifat kegiatan perlindungan, sehingga terjadi perubahan fungsi dan tatanan lingkungan.

Atas dasar itulah, maka pendekatan pola pemanfaatan ruang yang komprehensif dalam pembangunan Kepulauan Tanakeke yang berkelanjutan mutlak diperlukan. Karena itu, dalam penggunaan sumberdaya diperlukan suatu pengaturan alokasi pemanfaatan ruang berdasarkan potensi yang dimiliki. Jika pulau-pulau kecil ini berhasil dikembangkan secara optimal dan berkelanjutan, maka bukan saja akan merupakan pusat pertumbuhan baru yang signifikan, tetapi sekaligus akan mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah pulau-pulau kecil dengan daratan utama.

Untuk mencapai hal tersebut, perlu dilakukan penelitian mengenai “Pengembangan Terpadu Kepulauan Tanakeke Berbasis Daya Dukung” dengan harapan agar dapat mengatur dan mengalokasikan pemanfaatan ruang sesuai


(12)

dengan kaidah-kaidah pemanfaatan ruang yang optimal dan berkelanjutan, dan sekaligus memberikan masukan dan arahan sebagai bahan pertimbangan bagi pembuat keputusan dalam rangka menyusun strategi yang tepat dan benar untuk mengembangkan pulau-pulau kecil ini di masa yang akan datang.

Identifikasi dan Perumusan Masalah

Kepulauan Tanakeke merupakan salah satu kepulauan di Selat Makassar, yang memiliki sumberdaya alam yang masih tergolong alami yang ditandai dengan hutan mangrove yang cukup luas (± 20 km2) atau 42,76 % dari luas daratan Kepulauan Tanakeke dan kondisi terumbu karang masih tergolong kategori sedang sampai baik (penutupannya berkisar antara 35 – 70 %) yang merupakan ciri khas dari kepulauan tersebut. Pada saat ini keadaan tersebut mulai terancam akan mengalami kerusakan dengan munculnya berbagai aktivitas eksploitasi. Indikasi kerusakan adalah berkurangnya luas hutan mangrove akibat alih fungsi menjadi lahan pertambakan, rusaknya terumbu karang akibat penangkapan ikan dengan bahan peledak dan bahan kimia beracun serta penambangan batu karang untuk bahan bangunan adalah faktor utama terjadinya kerusakan lingkungan di wilayah tersebut yang berakibat kepada terjadinya abrasi pantai atau pengikisan pulau (Ukkas, 2001).

Kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan semakin dipercepat dengan tidak optimalnya pengawasan dari pemerintah dan atau instansi terkait, seperti aparat kepolisian, untuk menangkap dan menindak oknum yang melakukan penrusakan lingkungan tersebut.

Permasalahan lain yang ditemui di Kepulauan Tanakeke adalah rendahnya infrastruktur dan alat transportasi serta informasi. Seperti pada umumnya wilayah kepulauan, masyarakat Kepulauan Tanakeke kesulitan dalam mengakses informasi, lembaga atau instansi pemerintah, serta jarak yang relatif jauh dengan pusat pemerintahan merupakan hambatan dalam melakukan pembangunan di wilayah ini.

Dari berbagai isu yang berkembang tersebut, maka secara umum pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah Kepulauan Tanakeke saat ini oleh


(13)

penduduk sekitarnya telah menghasilkan dampak negatif terhadap kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan, seperti terjadinya degradasi fisik (abrasi) di ekosistem wilayah pesisir tersebut. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kerusakan ekosistem ini adalah akibat kemiskinan yang menimpa masyarakat Kepulauan Tanakeke pada umumnya, disamping itu Pemerintah Kabupaten Takalar yang merupakan institusi yang paling bertanggungjawab terhadap pembangunan Kepulauan Tanakeke terkesan kurang memperhatikan pembangunan di wilayah tersebut dan lebih terkonsentrasi pada wilayah daratan.

Apabila kondisi ini tidak segera diperbaiki maka keberlanjutan sumberdaya wilayah Kepulauan Tanakeke akan terus menurun bahkan mungkin akan musnah. Di lain pihak pemerintah/masyarakat membutuhkan pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat petani dan nelayan dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai konsekwensi otonomi daerah. Tentunya pemanfaatan yang dimaksud menempatkan kepentingan ekonomi tanpa merusak fungsi ekologi ekosistem yang ada.

Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan pokok yang perlu dikaji dalam penelitian ini adalah:

(1) Belum adanya data dan informasi yang akurat mengenai potensi sumberdaya alam yang ada di Kepulauan Tanakeke, sehingga sulit menentukan potensi apa yang bisa dikembangkan di wilayah ini.

(2) Belum adanya data dan informasi mengenai tingkat kesesuaian dan daya dukung terhadap peruntukan lahan yang ada saat ini, sehingga pemanfaatan yang dilakukan masyarakat belum optimal.

(3) Belum adanya skala prioritas penggunaan lahan dalam pemanfaatan ruang kawasan Kepulauan Tanakeke, sehingga sulit menentukan komoditi apa yang diunggulkan di kawasan ini.

(4) Belum terintegrasinya Kepulauan Tanakeke ke dalam RTRW Kabupaten Takalar, sehingga tidak ada acuan atau pedoman yang tepat bagi para perencana dalam pemanfaatan wilayah kepulauan tersebut.


(14)

Tujuan Penelitian :

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan suatu pola pemanfaatan ruang yang komprehensif dalam pengembangan pulau-pulau kecil, khususnya pada wilayah Kepulauan Tanakeke. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, maka telah dilakukan kajian spesifik terhadap beberapa hal dalam penelitian ini, antara lain:

(1) Mengidentifikasi potensi dan kondisi sumberdaya kawasan Kepulauan Tanakeke

(2) Mengevaluasi kesesuaian dan daya dukung lahan serta kelayakan ekonomi bagi berbagai peruntukan yang berpotensi dikembangkan di Kepulauan Tanakeke.

(3) Menentukan prioritas penggunaan lahan dalam pemanfaatan ruang kawasan Kepulauan Tanakeke.

(4) Menentukan alokasi pemanfaatan ruang yang optimal bagi berbagai peruntukan lahan di Kepulauan Tanakeke.

(5) Menyusun arahan dan strategi kebijakan pemanfaatan ruang di kawasan Kepulauan Tanakeke

Manfaat Penelitian

(1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan bagi pemerintah Kabupaten Takalar, bagi proses perencanaan dan pengambil kebijakan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam pulau-pulau kecil yang optimal dan berkelanjutan.

(2) Hasil penelitian ini diharapkan sangat berguna dalam dunia usaha untuk menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan tujuan investasi.

(3) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi masyarakat dalam mengembangkan aktivitasnya sehingga dapat meningkatkan taraf hidupnya.

(4) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan khususnya dalam pengembangan pulau-pulau kecil di masa yang akan datang.


(15)

Kerangka Pemikiran

Karakterisitik pulau-pulau kecil yang unik dan pada umumnya rentan dan peka terhadap berbagai macam tekanan manusia maupun tekanan alam, maka dalam pemanfaatannya harus lebih hati-hati. Agar penggunaannya dapat berkelanjutan maka secara garis besar eksosistem pulau-pulau kecil itu harus bisa dipilah menjadi tiga mintakat yaitu 1) mintakat preservasi; 2) mintakat konservasi dan 3) mintakat pemanfaatan (Dahuri et al, 1995). Untuk itu perlu dilakukan penataan ruang terhadap ekosistem pulau-pulau kecil tersebut. Mintakat 1 dan 2 menurut UU N0. 26/2007 tentang penataan ruang disebut sebagai kawasan lindung sedangkan mintakat 3 sebagai kawasan budidaya.

Pemanfaatan ekosistem pulau-pulau kecil serta sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya sangat rentan terhadap kerusakan, sehingga keterlibatan semua pihak yang memiliki ketergantungan terhadap ekosistem ini perlu diperhatikan. Masyarakat kecil terutama yang harus mendapat perhatian dan keterlibatan mereka serta semua stakeholder yang lain sudah harus dimulai dari tahap perencanaan. Pada Gambar 1, masyarakat sudah harus dilibatkan paling tidak pada tahapan penentuan kelayakan biogeofisik.

Sebelum menempatkan kegiatan pembangunan yang secara ekologis sesuai untuk pulau-pulau kecil maka perlu diidentifikasikan terlebih dulu kelayakan biogeofisik pulau tersebut sehingga dapat ditentukan kesesuaian penggunaan setiap lokasi dari pulau kecil tersebut. Dengan demikian kita dapat membuat peta alokasi pemanfaatan ruang untuk kawasan pulau-pulau kecil.

Setelah berhasil memetakan setiap kegiatan pembangunan yang secara ekologis sesuai dengan lokasinya maka hal berikut yang harus dibuat adalah menentukan optimalisasi setiap kegiatan pembangunan (sosial, ekonomi dan ekologis) yang menguntungkan dan ramah lingkungan yaitu suatu kegiatan pembangunan yang tidak melebihi daya dukung dari wilayah tersebut dan daya pulih (recovery) atau daya lenting (resilience) dari sumberdaya yang dimanfaatkan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat lokal dan nasional (Dahuri et al , 1995; Dahuri, 1998; Ongkosongo, 1998). Proses tersebut diatas secara jelas diperlihatkan dalam Gambar 1.


(16)

Karakteristik Biogeofisik & Sosial Ekonomi Wilayah Pulau-Pulau Kecil Persyaratan Biogeofisik & Sosial

Ekonomi Kegiatan Pembangunan

Kondisi Awal Pulau_Pulau Kecil

Kelayakan Biogeofisik & Sosial Ekonomi

Pemanfaatan SD Pulau-Pulau Kecil Secara Berkelanjutan

Aspirasi Masyarakat

Lokal/Nasional Daya Pulih/ Daya

Lenting

Daya Dukung/Daya Tampung

Tata Ruang Wilayah Pulau-Pulau Kecil

Gambar 1 Proses formulasi perencanaan dan pemanfaatan ekosistem pulau-pulau kecil secara berkelanjutan (Modifikasi dari Dahuri et al, 1995).

Kerangka pikir pengembangan terpadu pulau-pulau kecil berbasis pemanfaatan ruang didasarkan pada potensi sumberdaya alam, kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan perairan, secara skematik disajikan pada Gambar 2.

Kebijakan pemanfaatan ruang pulau-pulau kecil harus didasarkan pada hasil analisis kesesuaian lahan yang telah diintegrasikan dengan karakteristik biofisik, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Analisis diawali dengan mengidentifikasi potensi dan permasalahan yang mencakup aspek biogeofisik, sosial ekonomi dan budaya. Analisis aspek biogeofisik diawali dengan menumpangsusunkan peta-peta tematik seperti penggunaan lahan, kedalaman perairan, dan lain-lain.


(17)

RTRW Kabupaten belum

terintegrasi

Kepulauan Tanakeke

Isu dan Permasalahan Potensi

Sumberdaya Alam

Belum ada penataan ruang Pemanfatan tidak

terkendali

Degradasi Lingkungan

Kesesuaian Lahan

Kawasan Lindung Kawasan Budidaya

Daya Dukung Alokasi Pemanfaatan Ruang

(Lingkungan, Sosial, Ekonomi

Arahan dan Strategi Kebijakan Alokasi Pemanfaatan Ruang yang

Optimal dan Berkelanjutan

Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian

Hasil tumpangsusun di atas dianalisis dengan menggunakan kariteria-kriteria peruntukan lahan untuk kawasan lindung (konservasi) dan kawasan budidaya (permukiman, perikanan dan pariwisata). Analisis karakteristik sosial ekonomi budaya juga dilakukan untuk mengetahui karakteristik sosial ekonomi budaya di kawasan studi. Selanjutnya analisis pemanfaatan lahan diintegrasikan dengan karakteristik sosial, ekonomi dan budaya untuk mendapatkan kebijakan alokasi pemanfaatan ruang yang optimal dan berkelanjutan di Kepulauan Tanakeke.


(18)

Pulau-pulau Kecil Batasan Pulau-pulau Kecil

Meskipun belum ada kesepakatan tentang definisi pulau dan pulau-pulau kecil baik di tingkat nasional maupun dunia, namun terdapat kesepakatan umum bahwa yang dimaksud dengan pulau adalah massa daratan yang seluruhnya dikelilingi oleh air dan tetap berada di atas permukaan air saat pasang tertinggi, sedangkan pulau kecil adalah pulau yang berukuran kecil yang secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland) dan memiliki batas yang pasti, terisolasi dari habitat lain, sehingga mempunyai sifat insular (Dahuri, 1998).

Menurut Peraturan Presiden RI No 78 Tahun 2005 tentang pulau-pulau terluar, bahwa pulau kecil adalahpulau dengan luas area kurang atau sama dengan 2000 km2. Bila batasan pulau kecil didasarkan pada pemanfaatan sosial ekonomi dan demografi, maka pemanfaatan pulau kecil dengan ukuran kurang dari 2000 km2 hendaknya berbasis pada konservasi. Dengan berpijak pada basis konservasi maka hanya sekitar 50% dari luas area pulau kecil yang dimaksud dapat dimanfaatkan bagi berbagai peruntukan sosial, ekonomi dan demografi (UNESCO, 1991). Untuk pulau sangat kecil dipakai ukuran luas maksimum 1000 km2 dengan lebar kurang dari 3 km (Hehanusa, 1994 ; Falkland, 1995 dalam Tresnadi, 1998).

Pulau - pulau kecil atau gugusan pulau - pulau kecil didefinisikan sebagai kumpulan pulau - pulau yang secara fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologis, ekonomi, sosial dan budaya, baik secara individual maupun secara sinergis dapat meningkatkan skala ekonomi dari pengelolaan sumberdayanya (Bengen, 2001).


(19)

Karakteristik Pulau-pulau Kecil

Secara umum pulau kecil memiliki karakteristik biogeofisik sebagai berikut (Bengen, 2002) :

- Terpisah dari habitat pulau induk (mainland island), sehingga bersifat insular.

- Memiliki sumberdaya air tawar yang terbatas baik air permukaan maupun air tanah, dengan daerah tangkapan airnya relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut.

- Peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia, misalnya badai dan gelombang besar serta pencemaran. - Memiliki sejumlah spesies endemik yang bernilai ekologis tinggi

- Area perairan lebih luas dari area daratannya dan relatif terisolasi dari daratan utamanya (benua atau pulau besar).

- Tidak mempunyai hinterland yang jauh dari pantai

Fairbridge (1968, dalam Adrianto, 2005) memberikan definisi bahwa pulau adalah wilayah daratan laut (ocean basins) yang memiliki karakteristik berbeda dengan daratan kontinen. Terkait dengan definisi ini kemudian Salm (1984, dalam Adrianto, 2005) membagi dua karakteristik pulau yaitu pulau-pulau oseanik dan kontinental, dimana keduanya memiliki karakteristik yang berbeda baik ditinjau dari ukurannya maupun stabilitas penggunaannya (Tabel 1).

Potensi dan Kendala Pengembangan Pulau-pulau Kecil

Secara umum, sumberdaya alam yang terdapat di kawasan pulau-pulau kecil terdiri atas sumberdaya yang dapat pulih, sumberdaya tidak dapat pulih, dan jasa-jasa lingkungan. Sumberdaya yang dapat pulih terdiri dari berbagai jenis ikan, plankton, benthos, mollusca, mamalia laut, rumput laut, lamun, mangrove, terumbu karang dan krustacea. Sumberdaya yang tidak dapat pulih meliputi minyak bumi dan gas, mineral, bahan tambang/galian seperti biji besi, pasir, timah, bauksit serta bahan tambang lainnya. Sedangkan yang termasuk jasa-jasa lingkungan adalah pariwisata dan perhubungan laut (Dahuri, 1996).


(20)

Tabel 1. Karakteristik Pulau Oseanik, Pulau Kontinental dan Daratan Kontinen

Karakteristik Pulau Oseanik Pulau Daratan Benua

Geografis - Jauh oleh benua

- Dikelilingi oleh laut luas

- Area daratan kecil - Suhu udara stabil - Iklim sering

berbeda dengan pulau besar terdekat

- Dekat dari benua - Dikelilingi

sebagian oleh laut yang sempit - Area daratan besar - Suhu agak

bervariasi

- Iklim mirip benua terdekat

- Area daratan sangat besar - Suhu udara

bervariasi - Iklim musiman

Geologi - Umumnya karang

atau vulkanik - Sedikit mineral

penting - Tanahnya

porous/permeabel

- Sedimen atau metamorfosis - Beberapa mineral

penting

- Beragam tanahnya

- Sedimen atau metamorfosis - Beberapa mineral

penting - Beragam

tanahnya

Biologi - Keanekaragaman

hayati rendah - Pergantian species

tinggi

- Tinggi pemijahan massal hewan laut bertulang

belakang

- Keanekaragaman hayati sedang - Pergantian species

rendah

- Sering pemijahan massal hewan laut bertulang

belakang

- Keanekaragaman hayati tinggi - Pergantian

species biasanya rendah

- Sedikit pemijahan massal hewan laut bertulang belakang

Ekonomi - Sumberdaya

daratan terbatas (sempit)

- Sumberdaya laut lebih penting - Jauh dari pasar

- Sumberdaya daratan agak luas - Sumberdaya laut

lebih penting - Lebih dekat pasar

- Sumberdaya daratan luas - Sumberdaya laut

sering tidak penting - Pasar relatif

mudah

Sumber : Salm (1984, dalam Adrianto (2005).

Pulau-pulau kecil memiliki satu atau lebih ekosistem dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir tersebut dapat bersifat alamiah ataupun buatan. Ekosistem alami yang terdapat di pulau-pulau kecil, yaitu: terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, pantai berpasir, pantai berbatu, formasi pescaprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna dan delta. Sedangkan ekosistem buatan, yaitu: kawasan pariwisata, kawasan budidaya dan kawasan permukiman.


(21)

Sumberdaya ikan di kawasan pulau-pulau kecil terkenal sangat tinggi, hal ini didukung oleh ekosistem yang kompleks dan sangat beragam. Perairan karang merupakan ekosistem yang subur yang banyak dihuni oleh beranekaragam sumberdaya hayati. Selain itu ekosistem terumbu karang dengan keunikan dan keindahannya juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat wisata bahari.

Ekosistem mangrove merupakan ekosistem utama pulau-pulau kecil yang sangat berperan bagi sumberdaya ikan di kawasan tersebut dan sekitarnya maupun bagi masyarakat sekitarnya. Ekosistem mangrove berfungsi sebagai tempat mencari makan bagi ikan, tempat memijah, tempat berkembang biak dan sebagai tempat memelihara anak. Ekosistem mangrove juga dapat berfungsi sebagai penahan abrasi yang disebabkan oleh gelombang dan arus, selain itu ekosistem ini juga secara ekonomi dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar, bahan baku untuk membuat arang, pulp dan bahan untuk konstruksi.

Sumberdaya rumput laut banyak dijumpai di pulau-pulau kecil, hal ini disebabkan karena kebanyakan wilayah pesisir dikawasan ini mempunyai perairan yang subur dan dangkal serta mempunyai ombak yang relatif kecil. Rumput laut merupakan sumberdaya alam yang mempunyai nilai komersial yang tinggi disamping sumberdaya perikanan. Sumberdaya ini banyak dibudidayakan oleh penduduk sekitar sebagai mata pencaharian mereka.

Potensi jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pulau-pulau kecil, seperti pariwisata pantai, bahari dan perhubungan laut, merupakan potensi yang dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan pendapatan masyarakat sekitar maupun pendapatan nasional. Dengan keanekaragaman dan keindahan yang terdapat di pulau-pulau kecil tersebut merupakan daya tarik tersendiri di dalam pengembangan pariwisata.

Disamping potensi-potensi sebagaimana diuraikan, pengembangan pulau-pulau kecil terkendala oleh karakteristiknya, antara lain:

(1) Ukuran yang kecil dan terisolasi, sehingga penyediaan prasarana dan sarana menjadi sangat mahal, dan sumberdaya manusia yang handal jadi langka. (2) Kesukaran atau ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi yang


(22)

transportasi turut menghambat pembangunan hampir semua pulau-pulau kecil di dunia (Brookfield, 1990; Hein, 1990; Dahuri, 1998)

(3) Ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan, seperti air tawar, vegetasi, tanah, ekosistem pesisir dan satwa liar, pada akhirnya akan menentukan daya dukung suatu sistem pulau kecil dan menopang kehidupan manusia penghuni dan segenap kegiatan pembangunan.

(4) Produktivitas sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di setiap unit ruang (lokasi) di dalam pulau dan yang terdapat di sekitar pulau (seperti ekosistem terumbu karang dan perairan pesisir) saling terkait satu sama lain secara erat (McElroy et, al, 1990; Dahuri, 1998).

Berdasarkan beberapa kendala tersebut, bukan berarti pulau-pulau kecil tidak dapat dibangun atau dikembangkan, melainkan pola pembangunannya harus mengikuti kaidah-kaidah ekologis, khususnya adalah bahwa tingkat pembangunan secara keseluruhan tidak boleh melebihi daya dukung (carrying capacity) suatu pulau, dampak negatif pembangunan hendaknya ditekan seminimal mungkin sesuai dengan kemampuan ekosistem pulau. Selain itu, setiap kegiatan pembangunan yang akan dikembangkan di suatu pulau kecil seyogyanya memenuhi skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan serta sesuai dengan budaya lokal.

Kesesuaian dan Daya Dukung Lahan sebagai Dasar Penentuan Peruntukan Lahan

Kesesuaian Lahan

Dalam proses penentuan pola pemanfaatan ruang, menentukan lokasi yang secara biogeofisik sesuai adalah faktor penting yang dapat menjamin kelangsungan kegiatan pada lokasi yang ditentukan. Penempatan kegiatan pembangunan di lokasi yang sesuai, tidak saja mencegah kerusakan lingkungan tetapi juga menjamin keberhasilan ekonomi kegiatan tersebut.

Tahap pertama proses perencanaan pola pemanfaatan ruang adalah penentuan kelayakan biogeofisik dari wilayah pesisir dan laut. Pendugaan


(23)

kelayakan biogeofisik dilakukan dengan cara mendefinisikan persyaratan biogeofisik setiap kegiatan, kemudian dipetakan (dibandingkan dengan karakteristik biogeofisik wilayah pesisir itu sendiri). Dengan cara ini kemudian ditentukan kesesuaian penggunaan setiap unit (lokasi) peruntukan di wilayah pesisir dan laut.

Penentuan kelayakan biogeofisik ini dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) seperti Arc View (Kapetsy et al, 1987). Informasi dasar biasanya dalam bentuk peta tematik, yang diperlukan untuk menyusun kelayakan biogeofisik ini tidak saja meliputi karakteristik daratan dan hidrometeorologi seperti kelerengan, tutupan lahan, peruntukan lahan, dan lain-lain tetapi juga oseanografi dan biologi perairan pesisir dan laut seperti pasang surut, arus, kedalaman, ekosistem mangrove, lamun, terumbu karang dan lain-lain.

Berdasarkan fungsinya, ruang dapat dikelompokkan menjadi kawasan Iindung dan budidaya yang masing-masing memiliki persyaratan biogeofisik. Kawasan Iindung merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, yang tidak boleh digunakan untuk kegiatan manusia kecuali penelitian ilmiah atau seremoni keagamaan/budaya oleh masyarakat lokal dan harus dapat diterima dan didukung oleh masyarakat lokal. Sedangkan kawasan budidaya dapat dimanfaatkan untuk berbagai peruntukan sesuai dengan kemampuan lahannya (Dacles et al., 2000).

Aktifitas budidaya di pulau kecil dapat dikategorikan kedalam budidaya pantai dan laut. Untuk budidaya laut (bahari) FAO (2003) menyajikan kriteria kesesuaian untuk budidaya rumput laut (Tabel 2). Sedangkan budidaya laut dengan keramba jaring apung untuk beberapa jenis ikan seperti kerapu dan bandeng, kriteria kesesuaiannya dilaporkan oleh Fisheries Western Australia (1998) yang disajikan pada Tabel 3. Demikian juga pemilihan lokasi bagi pembesaran ikan dalam keramba jaring apung dikemukakan oleh Imanto et al. (1995); Ahmad et al. (1995); Beveridge (1996); Ismail et al. (2001) tentang nilai ideal untuk kualitas perairan, disajikan pada Tabel 4.


(24)

Tabel 2 Kriteria kesesuaian budidaya rumput laut

Parameter Kriteria

Geomorfologis Bagian atas zona sub-litoral, daerah karang dengan dasar berpasir-berbatu, Arus sedang Salinitas 30-35 ppt, tidak terpengaruh sumber air

tawar

Suhu 25-30 °C

Gelombang Tidak ada

Biologis Dasar putih dan ditumbuhi sedikit rumput laut alami

Kedalaman pada saat surut 0.5-1.0 m

Sumber : FAO (2003)

Tabel 3 Kriteria kesesuaian budidaya laut (keramba jaring apung)

Parameter Kriteria

Geomorfologis Berpasir dengan sedikit lamun

Dasar batu kapur yang ditumbuhi alga

Kedalaman > 7 meter : Finfish

> 4meter : lainnya

Arus 0.05 m/detik and 0.5 meter/detik

Minimum 0.1 meter/detik selama 3 hari berturut-turut

Biologis Minimum berjarak 1 km dari habitat penting

Gelombang < 1 meter

Navigasi Bebas dari jalur tansportasi laut

Interaksi dengan aktifitas lain Bebas dari area penangkapan, penyelaman

Sumber : Fisheries Western Australia (1998)

Tabel 4 Nilai ideal parameter kualitas perairan pemilihan lokasi budi daya laut (keramba jaring apung)

Parameter Kualitas Perairan Nilai Ideal

Kedalaman (Meter) 7 – 25

Kecerahan (Meter) > 3

Salinitas (‰) > 30

Oksigen terlarut (Mg/l) > 7

pH > 7

Suhu air (oC ) 26 – 32

Arus air (m/menit) 4 – 8

Tanah dasar berpasir


(25)

Daya Dukung Lahan

Daya dukung didefinisikan sebagai intensitas penggunaan maksimum terhadap sumberdaya alam yang berlangsung secara terus menerus tanpa merusak alam (Pearce dan Kirk, 1986).

Soerianegara (1978) menyatakan untuk mengetahui daya dukung lahan atau lingkungan harus diperhitungkan semua potensi yang ada di wilayah yang bersangkutan dan faktor kendala apa saja yang mempengaruhi potensi tersebut dalam jangka panjang. Tanda-tanda dilampauinya daya dukung lingkungan adalah adanya kerusakan lingkungan. Selanjutnya dikatakan bahwa untuk populasi manusia batasan daya dukung adalah jumlah individu yang dapat didukung oleh suatu satuan luas sumberdaya dan lingkungan dalam keadaan sejahtera.

Scones (1993) membagi daya dukung lingkungan menjadi dua yakni, daya dukung ekologis dan daya dukung ekonomis. Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum hewan-hewan pada suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan, serta tidak terjadi kerusakan lingkungan secara permanen (irreversible). Hal ini ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan. Daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi (skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi. Dalam hal ini digunakan paremeter-parameter kelayakan usaha secara ekonomi.

Dalam upaya pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya alam di pulau-pulau kecil, faktor daya dukung lahan/lingkungan merupakan faktor yang harus dipertimbangkan. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa sumberdaya alam dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan apabila dikelola dengan tetap memperhatikan daya dukung lahan dan lingkungannya.

Daya dukung dapat dinaikkan kemampuannya oleh manusia dengan memasukkan dan menambahkan ilmu dan teknologi ke dalam suatu lingkungan. Namun demikian peningkatan daya dukung lingkungan memiliki batas-batas dimana pada keadaan tertentu cenderung sulit atau tidak ekonomis lagi bahkan tidak mampu lagi dinaikkan kemampuannya karena akan terjadi kerusakan pada sumberdaya atau ekosistem. Penggunaan IPTEK yang tidak bijaksana justru akan menghancurkan daya dukung lingkungan.


(26)

Kelestarian, keberadaan atau optimisasi manfaat dari suatu sumberdaya alam dan lingkungan merupakan salah satu persyaratan dilakukannya penilaian daya dukung (carrying capacity). Tujuan utama dari penilaian ini adalah untuk mempertahankan atau melestarikan potensi sumberdaya alam dari areal tersebut pada batas-batas penggunaan yang diperkenangkan atau yang dimungkinkan.

Daya dukung tidak hanya dilakukan dalam penilaian aspek fisik dan ekologisnya saja akan tetapi juga dapat digunakan dalam memperkirakan nilai daya dukung dari aspek sosial. Dalam bidang penataan suatu kawasan, contoh-contoh yang umum digunakan untuk perhitungan daya dukung sosial ini misalnya penilaian terhadap terjadinya perubahan sosial dari masyarakat.

Nilai yang dihasilkan dari perhitungan atau pendekatan daya dukung dari sumberdaya alam dan lingkungan adalah penting untuk menentukan bentuk-bentuk pengelolaan terhadap sumberdaya tersebut terutama dalam tujuan menjaga, mengendalikan, dan juga melestarikan lingkungan. Penilaian yang sistematik terhadap sumberdaya alam dan lingkungan yang menjadi dasar dari kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya dilakukan terutama untuk mengetahui potensinya. Dengan pendekatan ini maka akan dapat diketahui kapasitas dari suatu kawasan atau ekosistem yang dinilai, yang selanjutnya akan dapat merupakan ukuran dan/atau nilai pendugaan terhadap kualitas sumberdaya alam dan lingkungan.

Menurut Tivy (1972), diketahui ada tiga pendekatan yang dilakukan dalam menduga daya dukung, yaitu : (1) faktor pembatas dan evaluasi dampak (limiting factors and evaluation impacts), (2) keawetan dan kerusakan areal (site deterioration and durability), dan (3) kepuasan pemakai (user satisfaction).

Mengacu pada batasan-batasan konsep pulau-pulau kecil dan daya dukung tersebut di atas, maka ada beberapa daya dukung yang perlu diperhatikan beserta kriteria-kriterianya dalam rangka pembangunan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan. Daya dukung tersebut antara lain :

(a) Daya Dukung Ekologis

Daya dukung ekologis, menurut Pigram (1983) dinyatakan sebagai tingkat maksimum penggunaan suatu kawasan atau suatu ekosistem, baik berupa jumlah


(27)

maupun kegiatan yang diakomodasikan di dalamnya, sebelum terjadi suatu penurunan dalam kualitas ekologis kawasan atau ekosistem tersebut. Kawasan yang menjadi perhatian utama dalam penilaian daya dukung ekologis ini adalah jenis kawasan atau ekosistem yang tidak dapat pulih, seperti berbagai ekosistem lahan basah (wetland), antara lain rawa.

Pengertian ekosistem, yang digunakan sebagai dasar dari penilaian daya dukung ini, dinyatakan sebagai suatu sistem (tatanan) kesatuan secara utuh antara semua unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Odum (1971) menyatakan bahwa ekosistem adalah suatu sistem dalam alam yang mengandung mahluk hidup dan lingkungannya yang terdiri dari zat-zat yang tak hidup dan saling mempengaruhi, dan diantara keduanya terjadi pertukaran zat atau energi yang diperlukan dalam dan untuk mempertahankan kehidupannya.

Kondisi ekosistem ini harus dipertahankan, walaupun secara alamiah kondisi ini tidak statik, karena setiap biota yang ada dan hidup di dalamnya akan menjadi tua dan mati dan selanjutnya akan digantikan oleh biota lainnya. Namun bila ada gangguan yang melampaui batas pemulihan dari ekosistem ini, maka proses pemulihannya akan memakan waktu yang sangat panjang (dapat berpuluh tahun dan bahkan beribu tahun). Lama waktu pemulihan suatu ekosistem tergantung dari : (1) kondisi atau tingkat kerapuhan ekosistem tersebut), (2) lamanya terjadi gangguan, dan (3) frekwensi terjadinya gangguan ini (misalnya terjadi berulang-ulang).

Tingkat kerapuhan suatu ekosistem sangat tergantung pada kondisi parameter yang yang mendukung di dalamya seperti keberadaan vegetasi dan satwa, kondisi topografi, tanah, iklim dan juga keterlibatan manusia di dalamnya. Selain itu, terdapat perbedaan dalam tingkat kerapuhan masing-masing ekosistem, seperti ekosistem kawasan estuari cenderung lebih sensitif dan rawan terhadap gangguan dibandingkan dengan hutan lainnya.

Pendekatan ekologis, atau juga dapat digunakan untuk mendapatkan gambaran maupun untuk menentukan indikator kerusakan ekosistem atau lingkungan akibat kegiatan manusia pada suatu kawasan yang antara lain dapat digambarkan oleh adanya berbagai kerusakan seperti pada vegetasi, habitat satwa, degradasi tanah, kerusakan visual objek wisata alam dan berbagai bentuk


(28)

vandalisme lainnya. Walaupun demikian, menurut Godin dan Leonard (1977) dalam Pigram (1983), penerapan teknologi pencegah dampak negatif terhadap lingkungan dapat meningkatkan daya dukung ekologis atau dapat mencegah penurunan kualitas ekosistem atau lingkungan pada suatu tempat.

(b) Daya Dukung Fisik

Daya dukung fisik suatu kawasan atau areal merupakan jumlah makasimum penggunaan atau kegiatan yang dapat diakomodasikan dalam kawasan atau areal tersebut tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas kawasan tersebut secara fisik (Pigram, 1983). Kawasan yang telah melampaui kondisi daya dukungnya secara fisik, antara lain dapat dilihat dari tingginya tingkat erosi, pencemaran lingkungan terutama udara dan air sungai/permukaan, banyaknya sampah kota, suhu kota yang meningkat, konflik sosial yang terjadi pada masyarakat karena terbatasnya fasilitas umum seperti pada tempat-tempat rekreasi. Dari contoh yang dikemukakan ini, dapat dilihat bahwa terlampauinya daya dukung fisik suatu kawasan akan berdampak (negatif) tidak saja terhadap aspek fisiknya tetapi juga terhadap aspek-aspek lainnya yaitu aspek-aspek sosial, ekonomi, dan juga ekologis.

(c) Daya Dukung Ekonomi

Daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi (skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi. Dalam hal ini digunakan paremter - parameter kelayakan usaha secara ekonomi.

(d) Daya Dukung Sosial

Konsep daya dukung sosial pada suatu kawasan merupakan gambaran dari presepsi seseorang dalam menggunakan ruang pada waktu yang bersamaan, atau presepsi pemakai kawasan terhadap kehadiran orang lain secara bersama dalam memanfaatkan suatu area tertentu.

Daya dukung sosial suatu kawasan dinyatakan sebagai batas tingkat maksimum, dalam jumlah dan tingkat penggunaan, dalam suatu kawasan dimana


(29)

dalam kondisi yang telah melampaui batas daya dukung ini akan menimbulkan penurunan dalam tingkat dan kualitas pengalaman atau kepuasan pengguna (pemakai) pada kawasan tersebut (Pigram, 1983). Terganggunya pola, tatanan atau sistem kehidupan dan sosial budaya manusia (indvidu, kelompok) pemakai ruang tersebut, yang dapat dinyatakan sebagai ruang sosialnya, juga merupakan gambaran telah terlampauinya batas daya dukung sosial ruang tersebut. Disamping dampak yang terjadi yang mengganggu kenyamanan atau kepuasan pemakai kawasan/ruang ini, dampak negatif lanjutan lainnya dapat terjadi misalnya menurunnya spesies biota di suatu kawasan.

Kawasan pulau-pulau kecil sangat rentan secara ekologis. Selain itu wilayah ini memiliki keterkaitan ekologis, sosial ekonomi dan sosial budaya dengan ekosistem di sekitarnya. Dengan alokasi ruang yang didasarkan pada daya dukung ekologis, jaringan sosial budaya antara masyarakat dan integrasi kegiatan social ekonomi yang sudah berlangsung selama ini, akan memberikan pilihan investasi yang tepat. Alokasi pemanfaatan ruang dengan pendekatan ekosistem harus menjadi instrumen kebijakan utama untuk menjaga keamanan dan keselamatan sosial budaya dan ekologis dalam pengelolaan pulau-pulau kecil (Dahuri, 1998).

Ekosistem pulau-pulau kecil sangat rentang terhadap kerusakan, karena itu pemerintah melakukan pembatasan kegiatan yang sudah terbukti menimbulkan dampak negatif yang luas, baik secara ekologis maupun sosial. Pemerintah hanya mengijinkan pengelolaan pulau-pulau kecil untuk konservasi, budidaya (mariculture), ekowisata, serta usaha penangkapan ikan dan industri perikanan yang lestari. Dalam usaha pemanfaatan pulau-pulau kecil ini oleh pengusaha dari luar pulau, pemerintah menjadi fasilitator pelibatan masyarakat dalam berbagai bentuk, seperti akses berusaha bagi penduduk lokal, kemitraan usaha dan penyertaan modal.

Pengelolaan berkelanjutan suatu wilayah kepulauan secara ekologis menurut Dahuri (1998), memerlukan 4 persyaratan, yaitu : (i) setiap kegiatan pembangunan (seperti tambak, pertanian, dan pariwisata), harus ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik sesuai. Persyaratan ini dapat dipenuhi dengan cara membuat peta kesesuaian lahan (land suitability), termasuk perairan, (ii) jika memanfaatkan sumberdaya yang dapat pulih, seperti penangkapan ikan di laut, maka tingkat penangkapannya tidak boleh melebihi potensi lestari stok ikan


(30)

tersebut. Demikian juga jika menggunakan air tawar (biasanya merupakan faktor pembatas terpenting dalam suatu ekosistem pulau-pulau kecil), maka laju penggunaannya tidak boleh melebihi kemampuan pulau tersebut untuk menghasilkan air tawar dalam kurun waktu tertentu, (iii) Jika membuang limbah ke lingkungan pulau, maka jumlah limbah (bukan limbah B3, tetapi jenis limbah

yang biodegradable) tidak melebihi kapasitas asimilasi lingkungan pulau tersebut, dan (iv) jika memodifikasi bentang alam (landscape) suatu pulau (seperti penambangan pasir dan reklamasi) atau melakukan kegiatan konstruksi di lingkungan pulau, khususnya di tepi pantai, seperti membangun dermaga (jetty) dan hotel, maka harus sesuai dengan pola hidrodinamika setempat dan proses-proses alami lainnya.

Pembangunan pulau-pulau kecil dan sumberdaya alamnya yang berkelanjutan hanya dapat dicapai apabila setiap kegiatan pembangunan ditempatkan pada lokasi-lokasi yang sesuai secara biofisik di wilayah yang bersangkutan. Implementasi yang berhasil dari setiap kerangka pengelolaan pulau-pulau kecil akan bergantung pada apakah kerangka tersebut dirancang berdasarkan pada kondisi sosial ekonomi dan kondisi sosial budaya yang ada serta susunan kelembagaan dari wilayah tersebut (Dahuri, 1991)

Pentingnya Alokasi Pemanfaatan Ruang

bagi Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Secara Berkelanjutan

Konsep dan Pengertian Alokasi Pemanfaatan Ruang

Menurut Undang-undang No. 26 Tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Sedangkan alokasi pemanfaatan ruang (pola ruang) adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.

Secara umum, perencanaan pola pemanfaatan ruang adalah suatu proses penyusunan rencana alokasi pemanfaatan ruang untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup, manusia, dan kualitas pemanfaatan ruang, yang secara


(31)

struktural menggambarkan keterikatan fungsi lokasi yang terbagi dalam berbagai kegiatan. Perencanaan pola pemanfaatan ruang dilakukan melalui proses dan prosedur penyusunan serta penetapan rencana alokasi pemanfaatan ruang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta mengikat semua pihak (Darwanto, 2000).

Rencana pola pemanfaatan ruang berbentuk alokasi peruntukan ruang di suatu wilayah perencanaan. Bentuk alokasi pemanfaatan ruang pada dasarnya dapat berupa alokasi letak, luas dan atribut lain (misalnya jenis dan intensitas kegiatan) yang direncanakan dapat tercapai pada akhir priode perencanaan (Darwanto, 2000)

Menurut Sugandhy (1999), dalam pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan, perlu dikembangkan pola pemanfaatan ruang yang menyerasikan tata guna lahan, air, serta sumberdaya alam lainnya dalam satu kesatuan tatanan lingkungan yang harmonis dan dinamis serta ditunjang oleh pengelolaan perkembangan kependudukan yang serasi. Alokasi pemanfaatan ruang perlu dikelola berdasarkan pola terpadu melalui pendekatan wilayah dengan memperhatikan sifat lingkungan alam, lingkungan buatan, dan lingkungan sosial budaya.

Menurut Hardjowigeno dan Nasution (1990), pendekatan perencanaan alokasi pemanfaatan ruang melalui perencanaan tata guna lahan dapat dilakukan dengan cara penilaian terhadap lahan dan komponen-komponennya, seperti tanah, iklim dan lain-lain untuk memenuhi kebutuhan manusia yang selalu berubah menurut waktu dan ruang.

Konsep perencanaan tata guna lahan harus mempertimbangkan aspek kebutuhan masyarakat, kemampuan teknis, tenaga kerja serta modal yang dapat menjadi kontribusi bagi masyarakat. Suatu tata guna lahan yang terencana harus dapat diimplementasikan/ditetapkan, dapat diterima oleh masyarakat setempat, dan sekaligus dapat meningkatkan taraf hidup atau tingkat pendapatan masyarakat (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).

Darwanto (2000), menekankan pada adanya kaitan antara tiga proses yang saling bergantungan dalam penentuan lokasi pemanfaatan ruang. Pertama, proses yang mengalokasikan aktivitas pada suatu kawasan sesuai dengan hubungan


(32)

fungsional tertentu. Kedua, proses pengadaan atau ketersediaan fisik yang menjawab kebutuhan akan ruang bagi aktivitas seperti untuk tempat untuk bekerja, tempat tinggal, transportasi dan komunikasi. Ketiga, dalam proses pengadaan dan pengalokasian pemanfaatan ruang ini, kaitan antara bagian-bagian permukaan bumi, tempat berbagai aktivitas dilakukan, dengan bagian atas ruang (angkasa) serta kebagian dalam yang mengandung berbagai sumberdaya perlu dilihat dalam wawasan yang integratif.

Alokasi Pemanfaatan Ruang Pulau-Pulau Kecil

Tujuan alokasi pemanfaatan ruang pada pulau-pulau kecil menurut DKP (2001), secara garis besar dapat dirumuskan sebagai berikut : (i) Mewujudkan pola pemanfaatan ruang pulau-pulau kecil yang serasi, selaras dan seimbang dalam pengembangan kehidupan manusia serta mengatur hubungan antara berbagai kegiatan dan fungsi ruang guna tercapainya tata ruang yang berkualitas, (ii) Sebagai pedoman pemanfataan ruang di dalam mengelola kawasan yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai alat pegendali dari hal-hal yang dapat merusak ekosistem pulau-pulau kecil, (iii) Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya di kawasan pulau-pulau kecil yang berpotensi untuk dikembangkan di dalam memacu pertumbuhan ekonomi serta secara signifikan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan (iv) Meningkatkan mutu lingkungan pulau-pulau kecil secara menyeluruh, termasuk nilai-nilai kenyamanan dan keindahannya.

Dalam perencanaan alokasi pemanfaatan ruang pulau-pulau kecil dengan ukuran kurang atau sama dengan 2000 km2 pemanfaatannya dibatasi hanya untuk kegiatan-kegiatan seperti konservasi, budidaya laut, kepariwisataan, usaha penangkapan ikan dan industri perikanan, pertanian organik, dan peternakan skala rumah tangga, industri non ekstraktif, penelitian dan pendidikan, industri manufaktur dan pengolahannya. Sedangkan ukuran pulau-pulau kecil di atas 2000 km2 dan lebih kecil atau sama dengan 10.000 km2 dapat direncanakan untuk kegiatan lain seperti perkapalan, industri perikanan, pergudangan, pusat logistik, dan pariwisata (DKP, 2002).

Menurut DKP (2001), setidaknya ada 4 pendekatan pola pemanfaatan ruang yang dapat dikembangkan saat ini, yakni partisipatif, optimal, pemerataan


(33)

pendapatan dan keberlanjutan. Pendekatan partisipatif berarti melibatkan masyarakat secara luas di dalam proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Keterlibatan masyarakat dapat dimulai sejak munculnya ide atau gagasan pengelolaan, penyusunan, perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan. Implementasi model ini baru dikatagorikan terealisasi apabila memenuhi 4 syarat (Hikam, 1999 dalam DKP, 2001), yakni : (a) Setiap orang harus mempunyai hak untuk mendapatkan informasi dan

memiliki akses menuju informasi yang lengkap.

(b) Struktur komunikasi dalam masyarakat harus terjadi dalam dua arah, dialog dan keinginan berkomunikasi dapat dilakukan dengan bebas.

(c) Terjadinya partisipasi aktif dalam setiap pembentukan keputusan. (d) Adanya akses pada kekuasaan di dalam menyalurkan informasi.

Tujuan pengelolaan alokasi pemanfaatan ruang di wilayah pulau-pulau kecil dapat tercapai dengan melalui perencanaan pola pemanfaatan ruang yang didalamnya meliputi upaya-upaya :

(a) Menemukenali kebutuhan dan urgensi akan adanya upaya perbaikan pengelolaan pemanfaatan ruang kawasan pulau-pulau kecil

(b) Mengumpulkan informasi dan data yang dibutuhkan meliputi data fisik dan sosial sehingga dapat memberikan gambaran karakteristik kawasan pesisir tersebut.

(c) Mempersiapkan model dan mekanisme pelibatan masyarakat dalam penetapan alokasi pemanfaatan ruang di kawasan pulau-pulau kecil.

(d) Menentukan prioritas pemecahan masalah.

(e) Melakukan feasibility terhadap kemungkinan pembangunan ekonomi yang baru.

(f) Mempertimbangkan batas-batas pengelolaan kawasan.

(g) Melakukan identifikasi stakeholder yang terkait, analisa dan kajian terhadap kapasitas kelembagaan serta membangun mekanisme koordinasi antar badan stakeholders.

Dalam rangka pencapaian sasaran pengaturan pemanfaatan ruang di kawasan pulau-pulau kecil, dapat dirumuskan perangkat insentif dan disinsentif untuk mengarahkan sekaligus mengendalikan perkembangan dan perubahan


(34)

fungsi kawasan dan dikembangkan secara sektoral maupun lintas sektoral. Perangkat insentif tersebut bertujuan memberikan ransangan terhadap kegiatan yang menunjang fungsi kawasan pulau-pulau kecil dan sesuai/seiring dengan tujuan penataan ruang yang dijabarkan dalam rencana tata ruang. Sedangkan perangkat disinsentif adalah yang bertujuan membatasi pertumbuhan dan mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang atau yang bersifat merusak atau mengganggu kelestarian lingkungan kawasan pulau-pulau kecil.

Masalah-masalah yang sering muncul dalam pengembangan pemanfaatan ruang pulau-pulau kecil secara umum disebabkan oleh tekanan penduduk dan tuntutan perkembangan ekonomi, tidak konsistennya peraturan serta ketidakserasian sektoral (Gambar 3).

Gambar 3 Skema Permasalahan Pengembangan Pulau-Pulau Kecil (Modifikasi dari Rusli, 1998)

Konflik Budidaya & Fungsi Lindung

Konflik Antar Jenis Budidaya

Konservasi Terabaikan Konflik Perikanan Tangkap

& Fungsi Lindung

- Tekanan Penduduk

- Tuntutan Pertumbuhan Ekonomi - Ketidak Serasian Sektoral

- Ketidak Konsistenan Peraturan dan Perundang-undangan

Penegakan Hukum

Pola Perencanaan Tata Ruang

Akomodasi Sektoral

Partisipasi Masyarakat

Masalah Pengembangan Pulau Kecil


(35)

Salah satu indikator keberhasilan pola pemanfatan ruang pulau-pulau kecil adalah apabila kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan, terutama masyarakat di kawasan pulau-pulau kecil, yang selama ini umumnya masih prasejahtera. Kerena itu pendekatan yang dapat dikembangkan mencakup dua hal, yakni pengaturan pemanfaatan ruang yang adil serta adanya mitra kerja yang saling mendukung.

Partisipasi Masyarakat dalam Alokasi Pemanfaatan Ruang

Menurut Kartasasmita (1996), untuk menyusun rencana dan program alokasi pemanfaatan ruang, kesadaran masyarakat perlu digugah dan prakarsa serta partisipasinya perlu didorong dan dikembangkan. Pemahaman mengenai perlunya pengaturan pemanfaatan ruang merupakan hal yang penting bagi masyarakat dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang.

Instrumen untuk aktualisasi peran partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah telah dikembangkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 1982 yang disebut sistem perencanaan bawah-atas (bottom-up top-down planning). Upaya meningkatkan peran serta masyarakat dibutuhkan dalam pembangunan agar dapat memberikan hasil yang optimal. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan secara teknis berlangsung berdasarkan pertimbangan sasaran dan tujuan. Sasaran dimaksud meliputi pertukaran informasi, membangun pendidikan dukungan dalam mengambil keputusan serta input yang mewakili, sedangkan tujuan yang dimaksud meliputi pembenahan administratif dan kepentingan umum.

Menurut Cressey (1987), partisipasi dipengaruhi oleh faktor-faktor : konteks sosial ekonomi atau pemasaran, teknologi dan produktivitas, serta organisasi sosial dan kelembagaan. Selanjutnya komponen penting dalam partisipasi meliputi : waktu dan tahapan, isi kegiatan dan konstruksi proses termasuk di dalamnya aktor yang terlibat.

Konsep pemberdayaan masyarakat lokal melalui kegiatan ekonomi produktif berbasis desa yang berkembang secara dinamis. Sistem kepemilikan sumberdaya pedesaan (misalnya sumberdaya lahan) perlu ditata sedemikian rupa


(36)

sehingga dapat dialokasikan secara optimal ke dalam berbagai kegiatan sosio ekonomi masyarakat. Upaya ini pada dasarnya ditujukan untuk mendorong dan memperlancar proses transformasi penduduk lokal yang terpencil dari sistem tradisional-terisolir ke sistem yang lebih maju agar mampu berinteraksi dan saling memperkuat dengan wilayah lainnya yang lebih luas.

Konsep pemberdayaan masyarakat lokal merupakan konsep alternatif yang pada intinya memberikan tekanan pada otonomi pengambilan keputusan suatu kelompok masyarakat yang berlandaskan pada sumber pribadinya, langsung (melalui partisipasi), demokratis, dan pembelajaran sosial melalui pengalaman langsung. Melalui konsep ini, penduduk lokal dalam konteks pembangunan berkelanjutan tidak dijadikan obyek dalam berbagai proyek pembangunan, tetapi mereka adalah subjek dari pembangunannya sendiri. Dalam konteks kebijakan regional yang dinamis, sasaran pemberdayaan masyarakat lokal akan lebih cepat dicapai dengan melakukan pengaturan terhadap alokasi pemanfaatan ruang.

Optimasi Alokasi Pemanfaatan Ruang Pulau-pulau Kecil dengan Pendekatan Program Linear

Program linear pertama dikembangkan oleh Dantzig (1947). Tujuan penggunaan program linear adalah untuk menemukan beberapa kombinasi alternatif pemecahan masalah. Kemudian dipilih kombinasi yang terbaik, dalam rangka menyusun strategi alokasi sumberdaya yang terbatas untuk mencapai tujuan yang diinginkan secara optimal. Alokasi optimal adalah memaksimumkan atau meminimumkan tujuan dengan adanya kendala (Budiharsono, 2005).

Menurut Budiharsono (2005), ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam model program linear agar dapat dirumuskan secara matematis, yaitu: (i) adanya fungsi tujuan, (ii) adanya kendala; dan (iii) bahwa nilai peubah keputusan harus positif atau disebut dengan syarat non-negatif.

Mulyono (1999) mengatakan bahwa program linear merupakan metode matematis dalam mengalokasikan sumberdaya yang langka (limited resources) untuk mencapai suatu tujuan (objective), seperti memaksimumkan keuntungan atau meminimumkan biaya. Sedangkan, menurut Supranto (1983), program linier adalah suatu metode yang digunakan untuk menentukan besarnya nilai


(37)

masing-masing variabel sedemikian rupa sehingga nilai fungsi tujuan atau obyektif (objective function) yang linier menjadi optimum (maksimum atau minimum) dengan memperhatikan pembatasan-pembatasan input yang ada. Pembatasan ini harus dinyatakan dalam pertidaksamaan-pertidaksamaan linier (linier inequalities).

Pada tahapan operasional, Chuvieco (1993) mengatakan bahwa program linear (linear programming) adalah teknik matematis yang telah dipakai sejak akhir 1950 dalam cakupan masalah perencanaan yang luas. Meskipun penerapan utamanya ditujukan untuk perencanaan dan manajemen bisnis, juga telah luas diterapkan pada masalah yang berkaitan dengan aspek spasial.

Dengan melihat definisi tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa program linier merupakan alat dengan metode matematis yang memiliki kemampuan untuk memperoleh alokasi yang optimal dari sumberdaya yang terbatas (limited resources) untuk mencapai tujuan (objective) yang diinginkan, baik itu memaksimumkan keuntungan (profit) maupun meminimumkan biaya. Hal ini dapat dicapai dengan memenuhi semua pembatasan atau persyaratan pada saat yang bersamaan. Dengan demikian aplikasi program linier dapat membantu pengambil keputusan dalam menentukan kebijakan dan tindakannya secara terukur dan sistematis.

Ada empat kondisi utama yang diperlukan dalam penerapan program linier, yaitu (Mulyono 1999; Taha 1996): (i) sumberdaya yang terbatas, (ii) fungsi tujuan, (iii) linieritas, dan (iv) keseragaman.

Sumberdaya yang terbatas merupakan alasan utama mengapa diperlukan optimalisasi. Sumberdaya tersebut misalnya lahan, tenaga kerja, keuangan, peralatan dan sebagainya. Sedangkan fungsi tujuan disini misalnya, memaksimumkan keuntungan dan meminimumkan biaya. Kondisi ketiga (linieritas) mensyaratkan bahwa fungsi tujuan dan semua kendala harus linier. Dengan kata lain, jika suatu kendala melibatkan dua variabel keputusan, dalam diagram dua dimensi akan berupa suatu garis lurus. Begitu juga suatu kendala yang melibatkan tiga variabel akan menghasilkan suatu bidang datar dan kendala yang melibatkan variabel akan menghasilkan hyperplane (bentuk geometris yang rata) dalam ruang berdimensi. Sedangkan kondisi keempat (keseragaman)


(38)

mensyaratkan bahwa barang atau jasa (sumberdaya) yang diproduksi/obyek optimalisasi harus seragam.

Melihat kasus yang dihadapi dalam upaya optimalisasi pemanfaatan ruang Kepulauan Tanakeke, diperkirakan keempat kondisi utama yang diperlukan sebagaimana disebutkan di atas telah terpenuhi. Oleh karena itu, permasalahan pengalokasian pemanfaatan ruang wilayah Kepulauan Tanakeke secara optimal, layak diselesaikan atau dipecahkan dengan menggunakan program linier sebagai bagian dari riset operasi. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Taha (1996) bahwa program linier merupakan alat riset operasi yang paling efektif dalam memecahkan persoalan optimasi.

Integrasi Sistem Informasi Geografis dan Program Linier

Teknologi program linier dan Sistem Informasi Geografis (SIG) telah terbukti banyak digunakan sebagai alat (tools) yang diterapkan pada perencanaan pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia. Masing-masing teknologi memiliki kelebihan dan kekurangan dalam penerapannya. Oleh karena itu integrasi keduanya merupakan suatu kemajuan dalam ilmu pengetahuan, khususnya dalam hal perencanaan pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia. Keduanya saling melengkapi untuk mendapatkan suatu konsep pengelolaan yang lebih komprehensif dan terpadu.

Banyak contoh penerapan integrasi teknologi ini, diantaranya oleh Campbell et al. (1992); Chuvieco (1993); Guerra dan Lewis (2002). mengintegrasikan program linier dan SIG untuk perencanaan alokasi pemanfaatan lahan untuk sektor pertanian di Antigua. Tujuannya adalah untuk menentukan tanaman apa yang paling layak diusahakan dan luas lahan untuk mendapatkan hasil yang optimal.

Satu hal penting yang perlu diketahui dalam strategi pemanfaatan lahan untuk pertanian menggunakan metode ini adalah informasi tentang ketersediaan sumberdaya alam. Oleh karena itu, tahap pertama yang perlu dilakukan adalah menduga ketersediaan sumberdaya alam yang dapat digunakan untuk pertanian. Di sini SIG digunakan untuk mendeliniasi konflik pemanfaatan lahan dan


(39)

memberikan informasi yang dapat dipercaya mengenai data dasar sumberdaya alam (SDA). Sedangkan program linier digunakan untuk mengkombinasikan data SDA dengan informasi ketersediaan tenaga kerja, ramalan pasar, teknologi, dan informasi biaya yang digunakan untuk mengestimasi potensi ekonomi dari sektor pertanian tersebut.

Tahapan-tahapan yang dilakukan oleh Campbell tersebut di atas tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh Chuvieco. Chuvieco sendiri mengintegrasikan penggunaan program linier dan SIG untuk pemodelan pemanfaatan lahan. Tujuan perencanaan yang dilakukan Chuvieco adalah optimalisasi pemanfaatan lahan guna meminimkan pengangguran di daerah pedesaan. Di sini Chuviecho melakukan tiga pendekatan:

- SIG digunakan untuk menyatukan data bagi alternatif pemanfaatan lahan yang luas.

- Data digunakan sebagai input dari model program linier yang menentukan pola pemanfaatan lahan secara optimal, seperti diukur melalui fungsi obyektif terpilih dan tergantung pada semua hambatan yang diperlukan. - SIG dipakai untuk menghimpun pertimbangan spasial dari kriteria

penerapan lainnya bagi penyempitan solusi optimal program linier menjadi anjuran pemanfaatan lahan yang lebih rinci.

Sementara itu, Guerra dan Lewis (2002) juga telah berhasil memanfaatkan metode linear programming dengan teknik analisis spasial sebagai proses untuk menemukan solusi ruang yang optimal. Analisis dilakukan guna menentukan lokasi yang optimal sebagai habitat dari spesies margasatwa. Metodologi yang digunakan juga hampir sama, yaitu program linier digunakan untuk optimasi setelah sebelumnya ditemukan kriteria spasial dan model matematik liniernya. Selanjutnya SIG digunakan untuk memetakan solusi optimal dari program linier dengan lokasi-lokasi tertentu yang sesuai dengan kesesuaian lahannya.

Beberapa contoh aplikasi tersebut di atas dapat dijadikan rujukan bahwa alokasi pemanfaatan lahan optimal dengan menggunakan teknik program linier dan teknologi SIG sekaligus terbukti sangat sesuai. Dalam kaitan ini, SIG memberi informasi lebih akurat tentang ketersediaan sumberdaya bagi model program linier dan menunjukkan dengan tepat daerah aktualnya. Sebaliknya, program linier meningkatkan alokasi pemanfaatan lahan melalui prosedur


(40)

optimalisasi ekonomi pada pemanfaatan sumberdaya. Hasilnya adalah sebuah alternatif pemecahan untuk menemukan lahan yang sesuai, mengoptimalkan penggunanya dan sekaligus dapat memetakan lokasi-lokasi yang spesifik berikut luasannya. Dengan demikian, keluaran dari metode ini dapat menjadi sebuah arahan konkrit dalam alokasi pemanfaatan sumberdaya.

Analisis Prioritas dengan Multi Criteria Decision Making (MCDM)

Analisa multi criteria decision making (MCDM) telah banyak digunakan, dikembangkan dan dapat diakomodasikan bagi berbagai kriteria yang dihadapi, dalam pengambilan keputusan tanpa perlu melakukan konversi ke unit pengukuran dan proses normalisasi. Sebagai contoh struktur Analytical Hierarky Proses (AHP) adalah bagian dari MCDM (Gibbon et al, 1996), dimana bobot suatu alternatif dengan kriteria yang harus diambil, disusun berdasarkan matrik.

Bidang analisis multi kriteria memerlukan sejumlah pendekatan dengan menghitung banyak kriteria untuk membentuk struktur dan mendukung proses pengambilan keputusan. Beberapa sofware yang dirancang untuk mendukung analisis ini, salah satu diantaranya adalah simple multi attribute rating technigues (SMART).

Teknik MCDM adalah suatu teknik yang cukup potensial untuk digunakan, karena bertujuan dalam mengakomodasi proses seleksi yang melibatkan beragam kriteria (multi criteria) dalam pemilihan alternatif (Gumbriech, 1996).

Teknik MCDM lebih luas penerapannya bila dikombinasikan dengan SIG. Penerimaan teknik tersebut pada beberapa bidang ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya:

- Teknik MCDM memiliki kemampuan dalam menangani jenis data yang bervariasi (kuantitatif, kualitatif dan data campuran) dan pengukuran yang intangible.

- Teknik MCDM dapat mengakomodasi perbedaan yang diinginkan dalam penentuan kriteria ekologi, ekonomi, dan sosial budaya.

- Skema bobot yang bervariasi yang menghadirkan prioritas yang berbeda atau pandangan dari stakeholders yang berbeda, dapat diterapkan MCDM.


(1)

Lampiran 10

Hasil FGD dan indepth interview dalam penentuan daerah penangkapan ikan di sekitar gugus Kepulauan Tanakeke

Jumlah resp

onden

Gugus Kep Tanakeke

Timur P. Tanakeke

Selatan P.Tanakeke

Barat P.Tanakeke

Utara P.lantangpeo

Timur P.Bauluang

Utara P.Bauluang

Selatan P.Bauluang

Utara P.Satangnga

Selatan P.Satangnga

Barat P.Satangnga

Utara P.Dayang2an

Selatan P.Dayang2an

Timur P.Dayang2an

Barat P.Day

a

ng2an

30

I

30

25

10

30

10

20

20

15

10

-

10

10

-

5

10

II

10

7

10

10

10

10

5

5

3

-

2

-

-

-20

III

20

20

20

20

20

20

20

20

20

15

10

5

5

5

25

IV

25

20

10

20

10

25

25

25

25

25

25

25

25

10

3

V

-

-

-

2

-

2

-

3

3

3

3

3

3

3

5 Responden diluar gugus Kep.

Tanakeke

5

3

2

5

2

5

-

5

-

5

5

2

5

5

Total

90

75

52

87

52

82

70

73

61

48

55

45

38

28

Persentase dari

93 responden (%)

96.8

80.7

55.9

93.6

55.9

88.2

75.3

78.5

65.6

51.6

59.1

48.4

40.9

30.1

Keterangan :

I. Pulau

Tanakeke

II. Pulau

Lantangpeo

III. Pulau Bauluang

IV. Pulau Satannga


(2)

Lampiran 11

. Rekapitulasi Kelayakan Usaha Responden Budidaya Rumput Laut

No. Nama Umur (Thn)

Pengalaman usaha (Thn)

Luas

Lahan Pendidikan

Revenue (Rp)

Investasi (Rp)

Biaya

(Rp) Keuntungan R/C

N P V ( R p )

Net BBC

IRR (% ) PBP 1 Dg. Mangung 40 10 40 x 60 SD 21.000.000 1.206.250 11.380.250 9.619.750 1.85 35.962.515 3.99 81 0.13

2 Dg. Tangka 50 15 40 x 60 SD 15.000.000 1.541.250 11.399.357 3.600.643 1.32 6.433.684 1.52 25 0.43

3 TaJuddin Dg.Ngerang 36 8 40 x 60 SMA 18.000.000 1.761.150 11.498.295 6.501.705 1.57 20.323.931 2.61 51 0.27

4 Dg. Tawang 37 12 40 x 60 SD 21.000.000 2.066.250 11.692.036 9.307.964 1.80 33.586.882 3.57 73 0.22

5 R. Dg. Lawa 35 11 40 x 60 SMA 18.000.000 1.833.750 11.488.464 6.511.536 1.57 20.314.627 2.60 51 0.28

6 B. Dg. Ngoyo 45 10 40 x 60 SD 18.200.000 1.506.250 11.423.107 6.776.893 1.59 21.876.995 2.77 55 0.22

7 Dg. Raja 45 12 40 x 60 SD 15.400.000 2.006.250 11.494.536 3.905.464 1.34 7.488.843 1.58 26 0.51

8 S. Dg. Bella 55 15 40 x 60 SD 16.250.000 1.806.250 11.465.964 4.784.036 1.42 11.929.630 1.94 35 0.38

9 Dg. Mamml 55 15 40 x 60 SD 17.500.000 2.046.250 11.684.536 5.815.464 1.50 16.597.523 2.27 43 0.35

1 0 Dg. Timung 40 7 40 x 60 SD 16.800.000 1.851.250 11.508.464 5.291.536 1.46 14.357.154 2.13 40 0.35

11 Dg. Kihi 60 16 40 x 60 SD 15.000.000 1.716.250 11.455.429 3.544.571 1.31 5.970.369 1.47 23 0.48

1 2 Dg. Likeng 45 10 40 x 60 SD 16.500.000 1.711.250 11.604.179 4.895.821 1.42 12.402.418 1.98 36 0.35

13 Dg. Mappi 35 7 40 x 60 SD 16.800.000 2.006.250 11.644 536 5.155.464 1.44 13.424.366 2.03 38 0.39

14 M. Dg. Tawang 40 12 40 x 60 SD 18.200.000 1.806.250 11.465.964 6.734.036 1.59 21.423.047 2.70 53 0.27

15 M. Dg Riolo 45 15 40 x 60 SD 15.400.000 1.506.250 11.423.107 3.976.893 1.35 8.245.422 1.67 28 0.38

16 Dg. Poto 45 10 40 x 60 SD 19.500.000 2.063.750 11.690.786 7.809.214 1.67 32.230.931 3.47 68 0.26

17 Dg. Paga 47 7 40 x 60 SD 14.000.000 1.206.250 11.380.250 2.619.750 1.23 1.883.582 1.16 14 0.46

18 Paddo 55 12 40 x 60 SD 15.600.000 1.806.250 11.615.964 3.984.036 1.34 8.634.895 1.72 30 0.45

19 Pudding 36 10 40 x 60 SD 18.000.000 2.046.250 11.420.250 6.579.750 1.58 19.911.995 2.55 50 0.31

20 Kari. L 41 10 40 x 60 SD 16.500.000 1.806.250 11.615.964 4.884.036 1.42 12.266.472 1.96 36 0.37

21 Ke'nang 50 15 40 x 60 SD 18.000.000 1.726.250 11.471.679 6.528.321 1.57 20.483.311 2.63 52 0.26

2 2 Siku 40 10 40 x 60 SD 19.800.000 1.728.750 11.472.929 8.327.071 1.73 33.989.973 3.70 73 0.21

23 Rani T 30 8 40 x 60 SD 17.640.000 1.723.750 11.457.929 6.182.071 1.54 18.805.627 2.50 48 0.28

24 Tarra 52 15 40 x 60 SD 16.800.000 2.048.750 11.535.786 5.264.214 1.46 30.691.385 3.38 6 1 0.39

25 Dg. Ngemba 38 10 40 x 60 SD 16.800.000 1.823.750 11.472.214 5.327.786 1.46 14.574.206 2.15 40 0.34

26 Dg. Ngitung 43 10 40 x 60 SD 18.200.000 1.806.250 11.615.964 6.584.036 1.57 20.542.784 2.60 51 0.27

27 Sorollah 50 15 40 x 60 SD 15.000.000 1.506.250 11.573.107 3.426.893 1.30 5.417.792 1.43 22 0.44

28 Tojeng 50 10 40 x 60 SD 16.500.000 1.731.250 11.474.179 5.025.821 1.44 13.165.313 2.05 38 0.34

29 Itung 42 10 40 x 60 SD 20.100.000 2.050.250 11.525.036 8.574.964 1.74 30.186.092 3.34 68 0.24


(3)

Lampiran 12

Analisis Usaha Budidaya Bandeng dalam KJA untuk Dua Kali Musim

Tebar Setahun (Rahmansyah, 2004).

No. Uraian Jumlah

Harga Satuan

(Rp)

Nilai

(Rp)

Umur

(Tahun)

Penyusutan

(Rp)

I Biaya

Investasi

-

Rakit (11 x 7 m)

-

Rumah Jaga

-

Perahu Ketinting

-

Jaring keramba 8 m

3

15

15

15

288

7.000.000

6.000.000

2.500.000

250.000

105.000000

90.000.000

37.500.000

72.000.000

6

6

3

2

17.500.000

15.000.000

12.500.000

36.000.000

Total

I

15.750.000

304.500.000

81.000.000

II

A

Biaya operasional/Tahun

Biaya Tetap

1.

Biaya Perawatan 5%

2.

Penyusutan/tahun

3.

Bunga Modal (15%)

0.05

1

0.15

304.500.000

81.000.000

304.500.000

15.225.000

81.000.000

45.675.000

-

-

-

-

-

-

Jumlah II A

304.500.000

141.900.000

B Biaya

Tidak

Tetap

1.

Bandeng muda (ekor)

(SR=95%, 144 unit, 500 ekor, 2 mt)

2.

Pakan (kg)

(250 x 144 x 2,2 FCR x 2mt)

3.

Tenaga Kerja (OB)

4.

Biaya lain-lain 1,5 %

151.580

158.400

168

0.015

400

3.150

500.000

643.592.000

60.632.000

498.960.000

84.000.000

9.653.880

-

-

-

-

-

-

-

-

Jumlah II B

653.245.880

-

-

Total II (II.A + II.B)

795.145.880

-

-

III Penerimaan

per

tahun

- Produksi bandeng

250 x 144 unit x 2 mt

72.000

15.000

1.080.000.000

-

-

Total

III

1.080.000.000

-

-

IV

Analisa Biaya Manfaat

1.

Penerimaan kotor (III-II)

2.

Pajak 10% dari penerimaan kotor

3.

Perputaran uang sebelum dipotong pajak (IV.1 – II.A.2)

4.

Laba operasional (III – II.B)

5.

Pendapatan Bersih (IV.3 – IV.2)

6.

Imbangan penerimaan biaya (R/C ratio) (III / II)

7.

Return of Investmen ROI = (I / IV.I) x 100%

8.

Cash Flow (IV.5 + II.A.2

9.

Jangka wkatu pengembalian (I/ IV.5) x 12 bulan

10.

Rentabilitas ekonomi (IV.5 / total I) x 100%

11.

BEP = jumlah II.A / (jumlah II.B / Total II).

284.854.120

28.485.412

203.854.120

426.754.120

175.368.708

1.36

106.90

256.368.708

20.84

57.59

172.723.937

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

V

Biaya produksi per kg bandeng

Biaya pakan per kg bandeng

% pakan terhadap biaya produksi

11.044

6.930

62,75

-

-

-

-

-

-


(4)

Lampiran 13

Analisis Usaha Budidaya Ikan Kerapu Lumpur dalam KJA untuk Dua

Kali Musim Tanam Setahun (Rahmansyah, 1999).

No. Uraian Jumlah

Harga Satuan

(Rp)

Nilai

(Rp)

Umur

(Tahun)

Penyusutan

(Rp)

I Biaya

Investasi

-

Rakit (10 x 10 m)

-

Rumah Jaga (6 x 6 m)

-

Perahu Ketinting

-

Jaring keramba 8 m

3

1

1

1

32

6.000.000

4.000.000

5.000.000

150.000

6.000.000

4.000.000

5.000.000

4.800.000

6

6

3

2

1.000.000

666.667

1.166.667

2.400.000

Total

I

19.800.000

5.733.333

II

A

Biaya operasional/Tahun

Biaya Tetap

1.

Biaya Perawatan 5%

2.

Penyusutan/tahun

3.

Bunga Modal (15%)

0.05

1

0.15

19.800.000

5.733.333

19.800.000

990.000

5.733.333

2.970.000

-

-

-

-

-

-

Jumlah II A

304.500.000

9.693.333

B Biaya

Tidak

Tetap

1.

Gelondongan ikan kerapu lumpur

(SR=95%,16 unit, 150 ekorx 6m

3

, 2 mt)

2.

Pakan ikan rucah (kg)

(0.70 x 28.800 ekor x 400g x RKP 4.0)

3.

Tenaga Kerja (OB)

4.

Biaya lain-lain 1,5 %

32.000

32.256

24

0.05

200

1.000

150.000

42.256.000

6.400.000

32.256.000

3.600.000

2.112000

-

-

-

-

-

-

-

-

Jumlah II B

44.368.800

-

-

Total II (II.A + II.B)

54.062.133

-

-

III Penerimaan

per

tahun

- Produksi Ikan kerapu lumpur

(sintasan 0.7 x 28.800 ekor x 400 gr)

8.064

10.000

80.640.000

-

-

Total

III

80.640.000

-

-

IV

Analisa Biaya Manfaat

1.

Penerimaan kotor (III-II)

2.

Pajak 10% dari penerimaan kotor

3.

Perputaran uang sebelum dipotong pajak (IV.1 – II.A.2)

4.

Laba operasional (III – II.B)

5.

Pendapatan Bersih (IV.3 – IV.2)

6.

Jangka waktu pengembalian (I:IV.4)(bulan)

7.

Imbangan penerimaan biaya (R/C ratio) (III / II)

8.

Cash Flow (IV.5 + II.A.2

9.

Rentabilitas ekonomi (IV.5 / total I) x 100%

10.

BEP = jumlah II.A / (jumlah II.B / Total II).

26.577.867

2.657.787

20.844.534

36.271.200

18.186.747

32.19

1.49

23.920.080

56.52

17.617.568

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-


(5)

Lampiran 14

Rekapitulasi Kelayakan Usaha Responden Penangkapan Ikan dengan GiliNet

No Nama Umur (Thn)

Pengalaman

usaha (Thn) Pendidikan

Revenue (Rp)

Investasi (Rp)

Biaya

(Rp) Keuntungan R/C NPV (Rp) Net BIC IRR (%) PBP 1 B.Dg.Buang 40 10 SD 31,980 000 7,785,000 23,247,083 8,732,917 1.38 26,174,032.38 1.88 29 0.89 2 A.Dg.Ngasa 35 10 SD 29,520,000 7,785,000 22,355,333 7,164,667 1.32 11,058,397.30 1.37 18 1.09

3 Dg.Ngansa 40 8 SD 31,980,000 8,959,000 25,716,940 6,263,060 1.24 7,505,241.10 1.23 15 1.43

4 H.Bundu 50 20 SD 29,520,000 6,547,500 22,150,875 7,369,125 1.33 13,266,310.34 1.47 20 0.89

5 Dg.Saha 36 15 SD 24,600,000 5,305,000 14,816,750 9,783,250 1.66 40,662,914.00 3.10 50 0.54

6 Kaing 35 15 SD 24,600,000 6,292,500 20,071,342 4,528,658 1.23 2,631,783.70 4.93 12.5 1.39 7 Dg.Sembanq 35 10 SD 37,800,000 8,207,500 24,879,429 12,920,571 1 52 51,748,443.00 2.64 42 0.64

8 M.Dg.Sila 32 15 SD 6,560,000 1,064,000 3,718,833 2,841,167 1.76 12,914,696.00 3.82 63 0.37 9 T.Dg.Ngawing 45 20 SD 27,800,000 7,105,000 21,102,188r 6,697,813 1.32 15,987,177.00 1.59 23 1.06 10 D.Dg.Maming 35 10 SD 24,600,000 6,750,000 19,849,866 4,750,134 1.24 6,000,057.70 1.24 15.6 1.42

Lampiran 15

Rekapitulasi Kelayakan Usaha Responden Penangkapan Ikan dengan Sero

No Nama Umur (Thn)

Pengalaman

usaha (Thn) Pendidikan

Revenue (Rp)

Investasi (Rp)

Biaya

(Rp) Keuntungan R/C

NPV

(Rp) Net B/C IRR (%) PBP 1 G.Dg.Lau 45 5 SD 5,832,000 3,958,000 2,695,157 3,136,843 2.16 184,543.00 1.02 12 1.26

2 M.Dg.Mangunq 40 3 SD 5,832,000 2,322,000 2,046,067 3,785,933 2.85 4,851,888.97 1.90 35 0.61

3 D.Dg.Mamin 45 3 SD 5,832,000 2,855,000 2,352,694 3,479,306 2.48 3,070,932.50 1.52 25 0.82

4 Baharuddin 30 3 SD 5,832,000 3,464,000 2,626,729 3,205,271 2.22 1,370,479.91 1.21 16 1.08

5 Pajja Dg.Roa 43 10 SMP 5,832,000 2,855,000 2,352,694 3,479,306 2.48 3,070,932.50 1.52 25 0.82

Lampiran 16

Rekapitulasi Kelayakan Usaha Responden Penangkapan Ikan dengan Bubu

N Nama Umur (Thn)

Pengalaman

usaha (Thn) Pendidikan

Revenue (Rp)

Investasi (Rp)

Biaya

(Rp) Keuntungan R/C

NPV

(Rp) Net B/C IRR (%) PBP 1 D. Tammu 40 3 SD 8.400.000 1.792.000 4.754.286 3.645.714 1,77 9.637.317,30 2,46 49 0.49

2 S.Dg. Taba 45 4 SD 6.000.000 1.613.000 3.919.714 2.080.286 1,53 5.294.588,00 2,02 38 0.78

3 Dg. Ngaci 40 3 SD 7.200.000 1.813.000 4.347.036 2.852.964 1,66 4.378.798,05 1,67 29 0.64

4 Dg.Rangka 45 7 SD 6.600.000 1.823.000 4.149.536 2.450.464 1,59 41.097,00 1,00 43 0.74


(6)

Lampiran 17

Nilai Bobot dan Skor untuk Analisis Prioritas Pengembangan Berbagai Peruntukan Di Kep. Tanakeke

Skor Pemanfaatan Lahan Bobot

No.

Faktor Penilaian

W.P W.B Pen K KJA RL Tbk P W.P W.B Pen K KJA RL Tbk P

Agregasi Akar

pangkat Sub2 Kriteria

Sub Kriteria

Kriteria Ekologi

1 Luas Lahan 75 85 100 90 70 100 80 70 7.319 6.12 7.7 5.83 7.636 8.1 7.64 7.9 7509384.625 7.235 0.068

2 Potensi Dampak Lingk. 100 100 70 100 70 90 70 70 5.144 5.77 6.8 5.73 5.284 7.9 6.25 6.6 1988181.915 6.128 0.058

3 Kualitas Perairan 100 100 90 100 70 85 70 70 7.636 7.83 7.64 6.88 7.636 7.97 5.33 6.07 6169618.653 7.060 0.066

4 Ketersedian air Tawar 40 40 40 40 40 40 20 40 4.234 4 2.21 2.67 1.260 1.61 1.36 2.2 605.9428389 2.227 0.021

5 Keanekaragaman hayati 100 100 100 100 100 100 100 100 7.704 7.58 7.77 8.17 7.773 7.83 3.54 6.58 5256400.159 6.920 0.065

6 Ketersediaan Sumberdaya 100 100 100 100 100 100 100 100 7.636 7.7 7.9 7.58 7.636 7.9 3.5 7.57 5624044.025 6.978 0.066

7 Keterkaitan ekosistem 100 100 100 100 100 100 100 100 7.432 7.9 8.17 7.06 5.605 7.89 5.23 7.57 5923495.359 7.024 0.066

8 Kesesuaian 80 80 80 80 60 100 70 80 7.319 6.46 7.77 7.57 7.773 8.24 7.44 7.7 10204737.17 7.518 0.071

0.480

Kriteria Ekonomi

1 Pasar 80 80 90 80 60 90 70 50 5.068 5.61 6.56 4.43 5.511 7.13 5.33 2.19 377540.9385 4.979 0.047

2 Ekonomi Masyarakat 60 60 100 70 60 100 70 70 4.932 5.2 7.7 6.96 5.517 8.37 4.82 4.12 1261074.64 5.789 0.054

3 Peranan Koperasi 10 10 10 10 10 10 10 10 2.483 3.02 1.8 2.76 2.551 1.56 1.9 2.2 622.6240841 2.235 0.021

4 Aksesibilitas 90 90 90 90 90 90 90 90 5.054 4.19 5.44 2.1 5.068 7.22 4.16 5.49 202572.1642 4.606 0.043

0.166

Kriteria Sosial-budaya

1 Konflik kepentingan 90 90 70 70 70 70 70 70 7.043 4.71 4.15 3.5 5.068 6.43 4.34 4.55 309179.175 4.856 0.046

2 perhatian pemerintah 50 50 80 50 50 100 75 60 5.068 5.09 5.79 2.93 2.621 3.06 4.1 7.51 107945.7719 4.257 0.040

3 Keinginan masy. Utuk peng. 100 100 100 100 100 100 100 100 5.006 5.34 7.83 2.64 7.170 7.77 4.83 7.9 1172483.295 5.736 0.054

4 Pelibatan pihak yg berkepentingan 50 50 80 50 60 95 70 70 4.993 4.02 6.06 1.96 5.068 5.48 4.07 3.05 81901.04324 4.113 0.039

5 Peraturan 50 50 50 50 50 50 50 50 2.502 6.12 5.84 7.32 5.414 1.82 7.38 7.7 366049.5773 4.960 0.047

6 Adat/kebiasaan 100 100 100 100 100 100 100 100 6.756 7.51 7.7 5.33 7.636 7.57 7.64 7.7 7075323.477 7.182 0.068

7 Status penggunaan lahan 100 100 100 100 100 100 100 100 7.644 4.73 5.44 5.9 7.450 7.26 7.96 6.64 3317382.548 6.533 0.061

0.354