Gagasan Soekarno dalam Sarinah

66 bernaung dibawah satu bendera Merah Putih. Untuk memperoleh kemerdekaan yang utuh maka semua lapisan masyarakat yang ada dan tergabung dalam tubuh NKRI harus mengambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan. Artinya, tidak hanya kaum laki-laki yang diberikan tanggung jawab dalam berjuang untuk mengusahakan kemerdekaan. Sebaliknya, perempuan-perempuan Indonesia juga memiliki tanggung jawab yang sama dalam menghadirkan Indonesia merdeka karena sejatinya, perempuan juga merupakan elemen penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Soekarno mengatakan bahwa perempuan harus menggerakkan “separuh dari tenaganya” untuk pembangunan masyarakat. 26 Namun, bukanlah “separuh tenaga” yang harus dikerahkan, tetapi “seluruh tenaga” dari perempuan yang harus dikerahkan untuk pembangunan masyarakat. Berdasarkan konteks bangsa yang terjajah serta adanya diskrimininasi melalui perlakuan yang tidak adil terhadap kaum perempuan, kemudian mengarahkan Soekarno pada sebuah pemahaman bahwa bangsa dan rakyat Indonesia membutuhkan kebebasan dari tindakan-tindakan yang tidak adil dan yang menindas. Pemahaman dan pandangan kemudian dituangkan kedalam bukunya yang berjudul Sarinah. Berikut ini akan dibahas mengenai gagasan-gagasan yang terdapat di dalam Sarinah.

C. Gagasan Soekarno dalam Sarinah

Di dalam pembahasan berikut ini akan dibahas mengenai gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh Soekarno yang dituangkan di dalam Sarinah. Adapun gagasan-gagasan tersebut antara lain; mengenai perempuan dan laki-laki, dikotomi publik-domestik, matriarki dan patriarki. Berikut ini adalah pembahasannya: C.1. Perempuan dan Laki-laki dalam Pandangan Soekarno 26 Ibid., 235 67 Soekarno adalah sosok yang menginspirasi banyak orang. Kepemimpinannya, kecerdasannya, perjuangannya bahkan sifatnya yang tegas mampu menarik perhatian banyak orang untuk terinspirasi melalui kehidupannya. Semasa hidupnya, ia banyak berjumpa dan berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya yang bahkan juga menjadi inspirator bagi masa depannya. Perjumpaan dengan banyak orang perempuan dan laki-laki membuat ia memiliki pandangan yang beragam tentang sifat perempuan dan laki-laki. Keadaan ini pula yang membantunya memahami kelebihan dan kekurangan dari sosok perempuan maupun laki-laki. Berikut ini akan dibahas mengenai hubungan laki-laki dan perempuan dalam pandangan Soekarno yang terdapat di dalam Sarinah. C.1.1. Siapa Itu Perempuan? Secara garis besar, Soekarno memandang perempuan sebagai makhluk yang mulia, pekerja keras, memiliki talenta dan kemampuan yang sama dengan laki-laki. Ia tidak melakukan pembedaan antara laki-laki dan perempuan karena baginya jika laki- laki mampu menjadi individu yang sukses maka perempuan juga mampu dan berhak menjadi individu yang sukses karena memiliki kemampuan yang sama dengan laki- laki. Ia mengutarakan bahwa dalam pandangan sebagian besar rakyat Indonesia terkandung pemahaman bahwa perempuan adalah objek laki-laki. Perempuan diperlakukan sebagai barang yang berharga, barang yang selayaknya tetap berada pada satu posisi yang tidak dapat dipindahkan. Untuk dapat menjamin kenyamanan seorang perempuan maka ia harus tetap berada dalam posisi yang tidak mudah diganggu oleh orang lain. Ini merupakan sebuah pandangan yang keliru karena sejatinya manusia dalam hal ini perempuan adalah subjek dan bukan objek yang dapat diperlakukan dengan tidak adil dan tidak setara. Bagi Soekarno, persoalan di atas haruslah dipandang sebagai masalah yang harus dicari jalan keluarnya. Dipecahkan, 68 dipikirkan, dibolak-balikkan, bukan saja oleh kaum perempuan kita, tetapi juga oleh kaum laki-laki kita, oleh karena soal perempuan adalah memang satu soal masyarakat yang teramat penting. Selanjutnya ia mengatakan bahwa kemanusiaan akan terus pincang, selama yang satu menindas yang lain. Oleh karena itu, soal masyarakat dan negara adalah soal laki-laki dan perempuan, soal perempuan dan laki-laki. Dan soal perempuan adalah satu soal masyarakat dan negara. 27 C.1.2. Laki-laki dan Perempuan Soekarno mengawali definisi tentang laki-laki dan perempuan dengan pemahaman bahwa laki-laki tak dapat ada jika tak ada perempuan, dan sebaliknya perempuan tak dapat ada jika tak ada laki-laki. 28 Jika diinterpretasi, maka kalimat ini memiliki arti bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki hubungan atau kaitan yang sangat erat. Keberadaan laki-laki tidak dapat dipisahkan dari keberadaan perempuan. Dan sebaliknya keberadaan perempuan akan menjadi lebih berarti jika adanya kehadiran laki-laki. Jadi antara laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan dan peran yang sama dalam meningkatkan kelangsungan hidup keduanya. Karena itu, laki-laki tidak harus mendominasi perempuan dan perempuan tidak harus mendominasi laki-laki. Untuk dapat melengkapi pandangannya tentang laki-laki dan perempuan, Soekarno mengutip beberapa pemahaman yang dikemukakan oleh beberapa tokoh, antara lain: 29 Olive Schreiner yang melambangkan laki-laki dan perempuan sebagai dua makhluk yang terikat satu kepada yang lain oleh satu “tali hidup” – begitu terikat satu kepada yang lainnya, sehingga yang satu tidak dapat mendahului selangkah pun kepada yang lain¸tak dapat maju setapak pun dengan tidak membawa juga kepada yang lain. Tidak berbeda jauh dengan pandangannya Schreiner, Charles Fourrire juga berpandangan bahwa tinggi rendahnya tingkat kemajuan suatu masyarakat adalah ditetapkan oleh tinggi rendahnya tingkat kedudukan perempuan di dalam masyarakat. 27 Ibid., 18-19. 28 Ibid., 20. 29 Ibid., 20-21 69 Selain itu, Baba O’lllah menggambarkan bahwa laki-laki dan perempuan sebagai dua sayap ekor burung. Jika dua sayap itu sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai puncak udara yang setinggi-tingginya; jika patah satu daripada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali. Ketiga pandangan di atas telah membuka cakrawala berpikir Soekarno bahkan telah memberikan sebuah pertimbangan yang sama bagi kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Kedudukan yang tidak hanya mementingkan dan menguntungkan salah satu pihak, bahkan kedudukan yang tidak menjatuhkan dan merugikan salah satu pihak. Sayangnya, pada kenyataan yang terjadi perempuan adalah makhluk yang tertindas sebagaimana yang telah dijelaskan di awal bab ini. Laki-laki nyata mendapat hak yang lebih, nyata mendapat kedudukan yang lebih menguntungkan. Secara biologis terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Namun, perbedaan tersebut hanyalah untuk kesempurnaan tercapainya tujuan kodrat alam, yaitu tujuan mengadakan keturunan, dan memelihara keturunan itu. Tetapi perbedaan ini tidaklah harus membawa perbedaan pula di dalam perikehidupan perempuan dan laki-laki sebagai makhluk masyarakat maupun sebagai anggota keluarga. 30 Melalui pandangan di atas menurut penulis, masyarakat tidak hanya terdiri dari kaum laki-laki saja, dan tidak pula terdiri dari kaum perempuan saja tetapi terdiri dari kaum perempuan dan laki-laki. Suatu masyarakat tidak akan menjadi sehat jika salah satu pihak menindas pihak yang lain. Sebaliknya, akan menjadi sehat ketika adanya perimbangan hak dan perimbangan perlakuan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan yang sama adilnya. Perimbangan hak dan perlakuan antara laki-laki dan perempuan tidak hanya harus diberlakukan pada wilayah publik, tetapi harus disertakan pada wilayah domestik yang adalah unit utama dalam pengembangan keadilan pada masyarakat. 30 Ibid., 26-27 70 C.2. Dikotomi Publik-Domestik Pemahaman yang dibangun oleh Soekarno berkaitan dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan melahirkan sebuah kenyataan bahwa pada dasarnya laki-laki dan perempuan memiliki kapasitas yang sama dalam mengembangkan kemampuan dan potensinya. Sayangnya, potensi yang dimiliki oleh perempuan tidak tersalurkan dengan bebas dan sempurna karena dihimpit oleh adanya kenyataan dikotomi publik- domestik. Pembagian kerja publik-domestik berawal pada masyarakat primitif dimana laki-laki memiliki tugas berburu dan sebaliknya perempuan ditugaskan untuk mencari bahan makanan nabati tumbuhan dan mengolah makanan. Periode selanjutnya adalah periode zaman agraris. Pada zaman ini, perempuan berada pada masa keemasannya dimana titik-tumpu kelangsungan kehidupan manusia berada pada kemampuan perempuan sebagai produsen makanan. Periode berikutnya ialah periode dengan sistem peternakan yang ditandai dengan konsep hak waris milik yang diarahkan pada keturunan. Ketiga periode tersebut secara tidak langsung membentuk berbagai pola pikir serta pembagian tentang posisi perempuan dan laki-laki dalam mengembangkan potensikemampuannya. Banyak orang percaya bahwa wanita sudah sewajarnya hidup di lingkungan rumah tangga. Sebaliknya laki-laki diberikan tugas pada wilayah publik. 31 Keterlibatan perempuan dalam ranah publik mengandung resiko guncangan psikologis perempuan. Jika seorang perempuan melakukan aktifitasnya pada ranah publik maka akan dijumpai banyaknya anggapan yang meremehkan kemampuan seorang perempuan sehingga naluri kejiwaan sebagai perempuan akan kembali 31 Arief Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan Sosiologi tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1985, 1. 71 menarik perhatian mereka pada pekerjaan-pekerjaan domestik. 32 Artinya, naluri keperempuanan secara tidak langsung juga menjadi sekat yang menghambat seorang perempuan untuk keluar dari tekanan-tekanan yang ada dalam ranah domestik. Seiring dengan industrialisasi, maka gaya tarik menarik yang dialami oleh kaum perempuan dalam menentukan posisi dan perannya pada dunia publik maupun domestik akan semakin diperparah dengan adanya beban ganda yang dialami oleh kaum perempuan. Stereotipe domestik sebagai “kewajiban” perempuan merupakan bagian dari konsep patriaki yang tidak dapat begitu saja dihapuskan. 33 Menurut penulis, berkaitan dengan pembahasan mengenai dikotomi publik- domestik, Soekarno mengawalinya dengan sebuah cerita yang dialaminya yang kemudian menjadi pengantar dalam menjelaskan tentang keadilan bagi kaum perempuan. 34 Pada pembahasan mengenai diskriminasi yang dialami oleh kaum perempuan, dijelaskan bahwa dalam kehidupan rumah tangga pun kaum perempuan masih ditempatkan pada posisi yang paling belakang. Perempuan tidak diberikan kesempatan untuk berjumpa, bersinggungan dan bertukar pendapat dengan orang lain. Tetapi, dalam hal ini Soekarno tidak mendudukan permasalahan keadilan bagi kaum perempuan diawali dengan pembagian tugas atau pekerjaan rumah tangga yang adil antara laki-laki dan perempuan. Namun bagi penulis, pandangan yang dikemukakan olehnya ialah kaum perempuan harus keluar pada wilayah publik untuk mendapatkan “kemerdekaankebebasan” antara lain bebas berjumpa, bertukar pikiran dengan orang lain dan mengembangkan kemampuannya pada wilayah publik. Sementara itu, realitas tumbuhnya kapitalisme secara besar-besaran juga membawa dampak bagi posisi dan kedudukan perempuan dalam ranah publik maupun 32 Evi Nurleni, Teks Yang Memerdekakan: Interpretasi Terhadap SARINAH Sebagai Teks Ideologi dan Implementasinya Bagi Gerakan Perempuan Indonesia Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana, 2003, 86 33 Ibid., 99. 34 Penjelasan tentang hal ini terdapat pada halaman 55. 72 domestik. Kapitalisme menciptakan ketidakadilan bagi perempuan. Beban kerja perempuan menjadi berganda antara tuntutan kebutuhan hidup dan tuntutan peran domestik. Selebihnya, kapitalisme mendesak laki-laki membuat pembagian kerja dengan isterinya. Kapitalisme akhirnya menimbulkan banyak penyakit sosial yang sangat serius, mulai dari penindasan kaum buruh, kehamilan di luar pernikahan, pelacuran, ketimpangan ekonomi, gangguan kejiwaan, dan perbudakan. 35 C.3. Matriarki dan Patriarki Untuk mendukung pembelaannya terhadap keadilan bagi kaum perempuan, Soekarno mengemukakan tentang beberapa topik yang baginya turut mempengaruhi terjadinya tindakan-tindakan yang tidak adil bagi kaum perempuan yang diantaranya paham matriaki dan patriaki. Karena itu, saat ini penulis akan menguraikan secara singkat tentang kedua paham tersebut. Salah satu alasan yang mendukung sehingga dipilihnya pembahasan tentang kedua paham ini dikarenakan masyarakat Indonesia yang hadir pada masa lampau hingga masa sekarang masih terkontaminasi dengan konsep matriaki dan patriaki yang pada akhirnya berdampak pada hubungan- hubungan yang tidak adil di dalam masyarakat. Demikian penjelasannya. Pada awalnya, untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidup, maka manusia hidup secara nomaden. Pada waktu yang bersamaan pula, belum terbentuknya suatu garis keturunan yang berkuasa pada saat itu. Masyarakat hidup secara bersama-sama, bekerja bersama hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan agar kehidupan tetap berlanjut. Namun, pada akhirnya terbentuk garis keturunan Matriarki sebagai tanda bahwa perempuan berkuasa atas kelangsungan kehidupan. Selama ratusan bahkan ribuan tahun lamanya perempuan duduk di tahta kekuasaannya. Zaman semakin berkembang, pemenuhan kebutuhan hidup tidak hanya berfokus pada 35 Evi Nurleni, Teks Yang Memerdekakan: Interpretasi Terhadap SARINAH Sebagai Teks Ideologi dan Implementasinya Bagi Gerakan Perempuan Indonesia Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana, 2003, 88. 73 kebutuhan pangan, tetapi berfokus juga pada pemenuhan kebutuhan sandang dan papan, maka kekuasaan yang awalnya dikendalikan oleh kaum perempuan, digantikan dengan sistem patriarki di mana laki-laki mengambil alih kekuasaan yang dulunya dikendalikan oleh kaum perempuan. Beralihnya matriarki kepada patriarki berarti beralih pula cara pandang bahkan aturan dan norma yang terbentuk dalam satu garis keturunan. Norma yang terbentuk pun mengandung berbagai macam nilai yang dapat berdampak positif ataupun negatif bagi laki-laki maupun perempuan. Berkaitan dengan keadilan bagi kaum perempuan yang selalu menjadi bahan perbincangan publik, maka dalam anggapan banyak orang, kita harus kembali pada sistem matriarki yang pada dasarnya menjunjung tinggi harkat, martabat, dan keadilan bagi kaum perempuan. Anggapan ini sama sekali bertolak belakang dengan pandangan yang dikemukakan oleh Soekarno. Baginya, matriarki hanya merupakan sejarah pada masa lampau yang hanya dapat dikenang oleh masyarakat saat ini, karena itu harapan untuk mengulang kembali sistem matriarki hanyalah sebagai sebuah hayalan. Jika hendak menghadirkan suatu sistem masyarakat yang adil antara laki-laki dan perempuan, dan yang memerdekakan maka dasarnya ialah masyarakat yang ada pada zaman sekarang ini yakni masyarakat modern. 36 36 Sukarno, SARINAH Sukarno, Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia. Jakarta : Inti Idayu Press, 1984, 78. Secara tegas Soekarno mengatakan bahwa sejarah dunia pun membuktikan bahwa, hukum peribuan itu sepanjang jalannya sejarah yang ratusan dan ribuan tahun, makin lama makin surut, makin lama makin tak laku, makin lama makin lenyap. Karena itu bukan dengan menghidupkan kembali atau memelihara restan-restan matriarki-lah caranya kita mesti memerdekakan perempuan dari perbudakannya sekarang ini, bukan dengan menghidupkan kembali atau memelihara satu sistem yang basisnya adalah di dalam fase masyarakat yang zaman dahulu. Kita mesti mencari ikhtiarmemerdekakan kaum perempuan itu dengan basis masyarakat sekarang, atau dengan basis masyarakat yang akan datang. Kalau sekarang masih ada hukum peribuan, maka buat sekian kalinya saya katakan: itu hanyalah sisa-sisa dan runtuhan-runtuhan belaka dari satu gedung adat yang telah gugur. Itu hanyalah suatu kematian yang terlambat. Satu sistem yang memperbudakkan perempuan tidaklah sehat, satu sistem yang memperbudakkan laki-laki tidaklah sehat. Yang sehat hanyalah satu sistem, di mana laki-laki dan perempuan sama-sama merdeka, sama-sama beruntung, sama-sama bahagia. Maka oleh karena itu, cukuplah kiranya, kalau saya katakan di sini, bahwa pemecahan “soal perempuan” itu bukanlah harus kita cari di dalam hukum peribuan dan bukanlah pula di dalam matriarki, tetapi di dalam masyarakat yang lain, dengan aturan-aturan yang lain. 74 Jadi dapat disimpulkan bahwa hukum peribuan adalah hukum yang sudah ketinggalan zaman, dan tidak mampu lagi menjawab berbagai macam persoalan, salah satunya tentang ketidak-adilan yang sementara dihadapi oleh kaum perempuan. Secara logis, zaman berganti sehingga kelangsungan kehidupan manusia yang ada pada zaman dahulu berbeda dengan zaman sekarang. Karena itu, terdapat perbedaan cara dalam menangani bahkan menyelesaikan sebuah permasalahan serta adanya perbedaan pola pikir antara zaman dahulu dengan zaman sekarang. Benarlah apa yang dikatakan oleh Soekarno bahwa dalam memberikan jalan keluar bagi ketidakadilan yang sementara dihadapi oleh kaum perempuan di zaman modern ini, maka sangat tidak tepat jika hendak kembali pada hukum peribuan yang sudah berakhir ratusan bahkan ribuan tahun yang lampau. Sementara itu, hukum perbapakan merupakan suatu sistem yang sudah maju. Hanya sayang sekali bahwa kemajuan ini dibarengi dengan perbudakan, perbudakan satu pihak guna menegakkan kepertuanannya pihak lain. Pokok hukum perbapakan itu digambarkan oleh Engels dengan satu kalimat yang jitu: “Ia berasaskan pertuanan orang laki-laki, dengan maksud tertentu untuk melahirkan anak-anak yang tak dapat dibantah lagi siapa bapaknya: dan perbapakan yang tak dapat dibantah itu amat perlu, oleh karena anak-anak ini nantinya harus mewarisi harta milik si bapa itu”. Hukum perbapakan timbul sesudah masyarakat mengenal “milik”, yakni mengenal “milik perseorangan”. Untuk menetapkan milik ini maka harus adanya keturunan yang dapat mempertahankan harta pusaka agar tidak jatuh pada tangan pihak lain, maka diadakanlah hukum perbapakan. Sistem kepemilikan tidak hanya dikhususkan bagi suatu barang atau harta, tetapi juga diberlakukan bagi perempuan. Perempuan pun dijadikan milik perorangan. Yang tadi-tadinya mempunyai kekuasaan untuk 75 “memiliki” kini menjadi sifat “dimiliki”, dari subjek menjadi objek. Karena itu jika seorang perempuan sudah ada dalam hubungan keluarga maka secara otomatis perempuan itu telah dibeli dengan sejumlah mahar dan menjadi milik suaminya. Hukum perbapakan adalah hukum yang menindas dan merampok serta memperlakukan perempuan sebagai benda dan sebagai ternak. Bagi Soekarno, hukum perbapakan harus dikoreksi dan harus diganti dengan hukum perbapakan yang lebih adil dan baik. 37 Dengan demikian kita digiring pada kesimpulan bahwa pada dasarnya antara hukum peribuan dan hukum perbapakan memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Kelemahan yang ada dalam kedua hukum tersebut sangat mengabaikan harkat dan martabat manusia bahkan lalai dalam mengutamakan sifat- sifat kemanusiaan. Berkaitan dengan pemikiran-pemikiran yang telah dituangkan oleh Soekarno tentang matriarki dan patriarki maka dalam kerangka memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, ia tidak serta-merta mengacu pada sistem garis keturunan bapak yang menegaskan bahwa hanya kaum laki-laki saja yang diperbolehkan berada di depan dan secara leluasa bergerak dalam dunia publik. Ia mewajibkan kaum perempuan turut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Artinya perempuan tidak hanya berdiam di rumah dan melaksanakan tugas pada wilayah domestik. Sebaliknya perempuan diberikan kesempatan yang sebesar-besarnya untuk berkecimpung pada wilayah publik dalam rangka menuangkan aspirasi serta bertindak tegas untuk kemerdekaan Indonesia. Karena pada dasarnya perjuangan kemerdekaan adalah solusi yang harus diupayakan untuk menciptakan suatu masyarakat yang adil dan makmur.

D. Kemerdekaan dalam Pandangan Soekarno