Konteks yang Mendukung Pandangan Soekarno 1. Kenyataan Bangsa yang Terjajah

51 Soekarno yang hidup pada masa penjajahan, kemudian bertekad untuk membela kebenaran dan keadilan serta menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tekadnya yang bulat didasarkan pada kenyataan pahit yang dialami oleh bangsa Indonesia. Adapun hal tersebut akan dibincangkan dalam point berikut ini. B. Konteks yang Mendukung Pandangan Soekarno B.1. Kenyataan Bangsa yang Terjajah Sejarah masa lampau bangsa Indonesia dilatar belakangi oleh konteks kemanusiaan yang sangat memprihatinkan dalam bidang: ekonomi, sosial, politik, agama, dan budaya. Ketidak-adilan, penyelewengan, dan penindasan yang dialami berdampak pada kebebasan dan kemerdekaan dari setiap warga masyarakat. Di bawah kekuasaan bangsa lain, Indonesia mengalami penderitaan antara lain: perendahan martabat sebagai manusia, diskriminasi, dirampasnya tenaga dan harta serta eksploitasi besar-besaran yang dilakukan oleh kaum penjajah terhadap rakyat Indonesia. Selama masa penjajahan Belanda, rakyat Indonesia mengalami penindasan dari pihak koloni yang memerintah berdasarkan kebijakan perdagangan bebas. Pihak koloni memberlakukan kerja paksa yang dikenal dengan sebutan “Sistem Tanam Paksa” bagi masyarakat pribumi dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang besar bagi pihak mereka. Sebaliknya masyarakat pribumi mengalami kerugian sehingga mengakibatkan kemiskinan yang sangat memprihatinkan. Dengan keadaan terpaksa, rakyat pribumi harus memusatkan segala bentuk perhatian mereka pada tanaman ekspor sehingga menyebabkan turunnya produksi pangan, dan menimbulkan kelaparan, rendahnya upah, besarnya pajak, serta kemiskinan di mana-mana. Sebagai akibatnya, banyak kritik yang dilontarkan lewat tulisan, pidato, yang mendesak agar 52 dihapuskannya Sistem Tanam Paksa. Kritik-kritik ini berhasil membawa masyarakat pribumi pada kualitas hidup yang lebih menjanjikan melalui pemberlakuan Politik Etis dalam tiga bidang yaitu, ekonomi, politik dan pendidikan. 4 Dengan adanya perlakuan yang tidak adil terhadap bangsa Indonesia maka timbulah sikap anti-imperialisme yang ditunjukkan oleh Soekarno. Menurutnya, imperialisme adalah suatu sistem yang ekspolitatif, kapitalisme yang mendorong praktik-praktik imperialis. Imperialisme adalah suatu hasrat berkuasa, yang antara lain terwujud dalam sebuah sistem yang memerintah dan mengatur ekonomi dan negara orang lain. 5 Karena itu ia mengajak rakyat Indonesia untuk melawan imperialisme, baik sebagai sistem politik maupun sebagai sistem ekonomi. 6 Berakhirnya kekuasaan Belanda tidak berarti Indonesia terbebas dari penderitaan. Hadirnya bangsa baru yakni Jepang membawa perubahan bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi perjuangan kemerdekaan. Rakyat Indonesia percaya akan janji Jepang yang akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. Di awal pendudukannya, Jepang menunjukkan sikap yang baik 7 sehingga disambut hangat oleh rakyat Indonesia. Sayangnya, tindakan tersebut hanyalah merupakan upaya untuk 4 Ayub Ranoh, Kepemimpinan Kharismatis; Tinjauan Teologis-Etis atas Kepemimpinan Kharismatis Sukarno Jakarta: Gunung Mulia, 2006, 5-10. Dalam bidang ekonomi diadakan peningkatan pertanian dengan jalan memperbaiki irigasi dan mengurangi kepadatan penduduk yang ditempuh dengan kebijakan emigrasi. Dalam bidang politik, penguasa kolonial menempuh kebijakan yang lebih terbuka, antara lain dengan membuka peluang otonomi dan demokrasi. Dalam bidang pendidikan adanya perkembangan dengan cara diperluasnya pendidikan bagi kaum pribumi baik pendidikan dasar, menengah, bahkan juga pendidikan tinggi serta dibukanya peluang untuk melanjutkan studi di Belanda bagi pemuda yang berprestasi. Walaupun demikian, terjadinya diskriminasi dalam kebijakan pendidikan Politik Etis. Pendidikan dijalankan dengan dua pola yakni; pendidikan untuk rakyat umum dan pendidikan dengan pola Barat. Pola yang kedua lebih tinggi mutunya, dan hanya dimasuki oleh orang Eropa, Indo, atau kalangan Priyayi pribumi. Lain halnya dengan pendidikan rakyat yang mutunya lebih rendah dan lambat perkembangannya. 5 Baskara T. Wardaya, Bung Karno Menggugat: Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga G 30S Yogyakarta: Galangpress, 2009, 45. 6 Ibid., 46. 7 Hendri F. Isnaeni Apid, Romusa: Sejarah Yang Terlupakan 1942-1945 Yogyakarta : Penerbit Ombak, 2008, 29. Sikap baik yang ditunjukkan oleh pihak Jepang dalam menarik rasa simpati bahkan kepercayaan dari rakyat Indonesia ialah dengan memperbolehkan berkibarnya Bendera Merah Putih, lagu Indonesia Raya boleh dinyanyikan, dan bahasa Indonesia bebas digunakan oleh masyarakat. 53 menghimpun dukungan dari rakyat pribumi demi kepentingan ekonomi mereka. Pada akhirnya, Jepang mulai membentuk sistem tenaga kerja paksa yang dikenal dengan sebutan romusha 8 bagi rakyat pribumi untuk bekerja di pabrik, pelabuhan, atau perkebunan, dengan bayaran murah atau malah tanpa dibayar, tanpa jaminan kesehatan dan makanan yang baik. Dengan demikian penulis melihat bahwa secara kasat mata rakyat sangat menderita. Dengan liciknya dua kekuasaan besar yang berkuasa pada saat itu yakni Belanda dan Jepang memperdaya rakyat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan mereka. Melalui cara kekerasan; tenaga, waktu, ladang yang merupakan harta yang dimiliki oleh rakyat pribumi diperas habis-habisan. Para penguasa pribumi juga dijadikan alat yang efektif untuk memaksa rakyat melaksanakan keinginan penjajah yang tidak lain untuk memenuhi kepentingan mereka. Dalam kondisi ini, kaum perempuan pun turut mengalami keadaan yang tertindas dan terdiskriminasi dari berbagai aspek. Pokok ini akan dibicarakan dalam pembahasan berikut. B.2. Diskriminasi Terhadap Kaum Perempuan Diskriminasi merupakan sebuah gambaran yang tertuju pada kelompok ataupun pribadi seseorang yang sementara berada pada suatu keadaan yang tidak berdaya, keadaan yang tidak menguntungkan, dan keadaan yang tidak adil. Pada fokus pembicaraan ini, kata diskriminasi diarahkan pada posisi yang tidak adil yang 8 Romusha adalah sistem kerja paksa yang ditetapkan oleh Jepang bagi rakyat Indonesia. Pada kenyataannya, keadaan yang dialami oleh romusha sangat memprihatinkan. Kemiskinan, penindasan, penderitaan yang berakibat pada kematian merupakan suatu hal yang tidak dapat ditolak oleh romusha. Dalam menjalankan pekerjaannya, terdapat pembagian jatah yang tidak layak bagi para romusha. Misalnya, pemberian makanan hanya diperuntukkan bagi mereka yang terdaftar sebagai romusha, bagi yang tidak terdaftar sebagai romusha tidak memperoleh jatah makanan. Jatah makanan yang diberikan bagi para romusha diberikan dalam porsi yang tidak sebanding dengan tenaga yang harus mereka keluarkan. Namun, untuk mempertahankan hidup, dengan unsur keterpaksaan mereka harus tetap bertahan sebagai romusha. Dalam kondisi yang demikian, maka sebagian romusha meninggal. Selain itu, pakaian yang diberikan oleh para romusha berupa baju dan celana yang terbuat dari karung goni untuk laki-laki dan lempengan karet untuk perempuan. Bagi mereka, memakai pakaian tersebut adalah siksaan dan sangat tidak nyaman karena menyebabkan panas dan gatal-gatal, juga menyebabkan iritasi kulit apabila bergesekan dengan serat-seratnya yang kasar. Beratnya beban kerja yang diberikan bagi romusha pun berdampak pada kondisi fisik dan psikis mereka. 54 dialami oleh kaum perempuan. Perempuan diperlakukan sebagai boneka, sebagai benda mati dan diperlakukan seenaknya oleh kaum yang merasa bahwa dirinya lebih unggul laki-laki dari kaum perempuan. Dalam membahas tentang diskriminasi yang dialami oleh kaum perempuan maka penulis berkaca dari pandangan yang dikemukakan oleh Soekarno berkaitan dengan cerita-cerita dalam agama-agama monotheisme untuk menjelaskan dan menguraikan tentang kedudukan serta peran yang tidak sejajar antara laki-laki dan perempuan yang berdampak pada diskriminasi. Berikut simak uraiannya: 9 Cerita Yahudi-tua tentang pembuatan Siti Hawa, bukan menurut “gambar Tuhan”, tetapi dari tulang rusuk Adam, tidakkah cerita ini bermaksud menggambarkan bahwa perempuan itu adalah “kelas kedua” dari laki-laki? Dan bukanlah orang katakan pula, bahwa Hawalah yang menjadi sebabnya Adam terusir dari surga? Bukankah oleh karena itu perempuan lantas dikatakan “makhluk dosa” dan makhluk yang tak suci? Di agama Yunani pun digambarkan salahnya aturan mengambil keturunan dari garis ibu itu dengan perkataan Dewa Apollo yang berbunyi: “bukan ibu yang membuat anak, dia hanyalah menjaga benih yang ditanamkan kepadanya oleh laki-laki. Orang juga dapat menjadi bapa dengan tidak beristeri”... Begitu pula dengan Hindu-tua perempuan direndahkan. Dalam Kitab Rig Veda dituliskan sabda Manu bahwa perempuan itu “selalu memikirkan kesyahwatan, selalu marah, selalu palsu dan tidak jujur... Menurut tabiatnya, perempuan itu “selalu mau menggoda kaum laki-laki, oleh karena itu laki-laki mesti selalu hati-hati kepadanya... Perempuan tak pernah dapat berdiri sendiri”. Di lain tempat Manu berkata: “Orang hilang kehormatannya karena perempuan; asalnya permusuhan adalah perempuan; karena itu jauhilah perempuan.” Agama Budha pun, yang umumnya begitu adil, sekonyong-konyong menjadi tidak adil terhadap perempuan kalau membicarakan kedudukan kaum perempuan: “perempuan itu makhluk dosa; roman- muka perempuan seperti keramat, tetapi hatinya seperti setan.” Disimpulkan bahwa uraian di atas mejelaskan pada dasarnya cerita-cerita yang bernuansa agama pun turut menghadirkan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Perempuan tidak lagi dilihat sebagai pembawa berkat tetapi sebaliknya sebagai pembawa bencana dan sumber dosa. Keberadaan perempuan hanya dipandang sebagai “alat” yang dapat menghadirkan keturunan. Selebihnya, perempuan tidak memiliki posisi yang sama dengan laki-laki karena diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, karena itu perempuan adalah makhluk kelas dua. Kenyataan ini memberikan 9 Sukarno, SARINAH: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia. Jakarta : Inti Idayu Press, 1984, 53. 55 kontribusi terhadap penafsiran bagi kedudukan serta posisi antara laki-laki dan perempuan. Artinya ialah, sebagai makhluk kelas dua, perempuan harus patuh terhadap laki-laki karena laki-laki memiliki kekuasaan lebih dibandingkan dengan perempuan. Perempuan harus mengabdikan seluruh hidup dan kerjanya dalam mengurus urusan rumah tangga. Hal ini berkaitan erat dengan adanya anggapan terhadap ketidakmampuan bahkan kelemahan kondisi fisik dari perempuan itu sendiri yang seakan-akan menjadi pendukung terjadinya diskriminasi bagi kaum perempuan. Adapun ketidakadilandiskriminasi yang dialami kaum perempuan dapat dikaji melalui beberapa aspek, antara lain: B.2.1. Pendidikan Pada masa penjajahan, perempuan terisolasi dan terdiskriminasi dari berbagai macam aspek, salah satunya ialah pendidikan. Sejak kecil hingga besar, laki-laki mendapat kesempatan duduk pada bangku-bangku sekolah. Sebaliknya, banyak kaum perempuan dikurung, tidak diizinkan untuk bersentuhan dengan dunia luar dan tidak diberikan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Soekarno mengatakan bahwa: 10 “...banyak perempuan yang masih dikurung, banyak yang tidak dikasih kesempatan maju ke muka di lapangan masyarakat, banyak yang baginya diharamkan ini dan itu, maka tidak heran kita, kurang banyak kaum perempuan yang ilmunya membumbung ke udara. Tapi ini tidak menjadi bukti bahwa kualitas dan ketajaman otak perempuan kalah dengan otak laki-laki. Kualitasnya sama, ketajamannya sama, kemampuannya sama, hanya kesempatan berkembangnya yang tidak sama. Maka oleh karena itu..... kita wajib berikhtiar membongkar ketidakadilan masyarakat terhadap kaum perempuan itu Dengan tidak dapat dibantah lagi, apa yang dikatakan oleh Soekarno merupakan sebuah kebenaran yang harus diperjuangkan. Laki-laki dan perempuan adalah makhluk yang sama, memiliki keunggulan yang sama. Karena itu laki-laki dan perempuan harus diberi kesempatan yang sama. Hanya dengan tindakan yang benar- benar adil yakni dengan menghilangkan interpretasi yang negatif bahwa perempuan 10 Ibid., 30 56 tidak mampu bersaing dengan kaum laki-laki, dan memberikan kebebasan bagi kaum perempuan untuk keluar dari zona gelapnya dan berbaur dengan laki-laki dalam dunia pendidikan rendah hingga pendidikan yang lebih tinggi agar dapat mengejar ketertinggalannya. Wanita yang terpelajar, dapat bekerja dan mencari nafkah sendiri dan hidupnya tidak tergantung dari saudara laki-laki atau suaminya serta tidak menjadi orang yang mudah dibodohi. B.2.2. Pernikahan Dalam kehidupan keluarga lebih tepatnya kehidupan pernikahan, suami dan isteri akan berhadapan dengan berbagai macam permasalahan dan secara bersama- sama pula mencari jalan keluar bagi permasalahan yang mereka alami. Namun, pada banyak kasus yang dialami oleh sepasang suami isteri terkadang adanya pembiaran terhadap masalah-masalah tertentu, misalnya masalah ketidakadilan karena adanya dominasi kaum laki-laki terhadap perempuan yang terjadi dalam rumah tangga. Soekarno mengawali pandangannya tentang ketidakadilan yang dialami oleh kaum perempuan di dalam rumah tangga dengan sebuah pengalaman yang dia alami sewaktu masih menjadi orang interniran 11 . Berikut ini akan diceritakan mengenai kisah tersebut: 12 “Pada suatu hari ia bertamu dengan seorang kawan beserta isterinya pada salah seorang kenalannya. Setelah dipersilahkan duduk, salah seorang menanyakan tentang keberadaan nyonya rumah. Dengan wajah yang menjadi sedikit kemalu-maluan, tuan rumah suami menjawab pertanyaan yang ditanyakan kepadanya. Ia mengatakan bahwa isterinya berada dalam keadaan yang baik-baik saja, tetapi untuk saat ini isterinya tidak berada di rumah, - ia menengok bibinya yang sedang sakit. Singkat cerita, Soekarno yang duduk berhadapan dengan kain yang tergantung di pintu, melihat kain tersebut bergerak dan terlihat sepasang bola mata yang sedang mengintai, pun terlihat kaki dan ujung sarung perempuan Soekarno mengenal dengan begitu baik bahwa perempuan tersebut adalah nyonya rumah.” 11 Ibid., 13. Orang interniran: orang tahanan status diasingkan. 12 Ibid., 13, 14. 57 Cerita di atas memberikan sebuah gambaran bahwa dalam kehidupan rumah tangga, kemanusiaan seorang perempuan tidak dihormati oleh laki-laki. Ini merupakan salah satu permasalahan yang hendak ditegaskan oleh Soekarno. Baginya, banyak suami yang menghargakan istrinya sebagai mutiara, tetapi sebenarnya merusak kebahagiaan istrinya. Dengan gaya bahasanya yang khas, ia mengatakan demikian: 13 “Mereka memuliakan isteri mereka, mereka cintainya sebagai barang yang berharga, mereka pundi-pundikannya sebagai mutiara, - tetapi justru sebagaimana orang menyimpan mutiara di dalam kotak, demikian pula mereka menyimpan isterinya itu di dalam kurungan atau pingitan.” Bagi penulis, kalimat di atas diumpamakan sebagai selembar uang kertas yang memiliki gambar berbeda ditiap sisinya tetapi berada pada satu helai kertas yang tidak dapat dipisahkan. Perumpamaan tersebut hendak menjelaskan kalimat sebelumnya yang menggambarkan bahwa pada satu sisi, perempuan diperlakukan bagaikan dewi. Sebagai bentuk penghargaan terhadap perempuan, maka si perempuan harus tetap berada di rumah karena dianggap sebagai tempat yang aman, tempat di mana perempuan tidak merasa terancam dari gangguan orang luar. Di sisi lain, perempuan diperbudak, dikekang, tidak dapat menikmati haknya sebagai manusia yang bebas, tidak memperoleh keadilan, dan tidak diberikan kesempatan untuk berekspresi. Sayangnya, perempuan-perempuan yang berada pada posisi demikian tidak dapat bertindak untuk keluar dari situasi yang memperbudak. Dapat diinterpretasi bahwa penyebab utama dari sikap diam yang diambil oleh pihak perempuan ialah takut terhadap perceraian karena perempuan tidak dididik bahkan tidak diberi kesempatan untuk bekerja dan mencari nafkah sendiri, tidak diberi kesempatan untuk dapat berdiri sendiri. Sehingga dengan demikian timbul perasaan takut untuk diceraikan, perasaan takut nantinya tidak dinafkahi oleh suami sehingga tidak berani bersuara dan menjadi 13 Ibid., 15. 58 kaum yang penurut, padahal jelas terlihat perempuan tidak mengalami kebahagiaan, sebaliknya menelan pahitnya ketidakadilan dalam rumah tangga. Sejalan dengan yang dikatakan oleh Soekarno, dalam sebuah buku yang berjudul Kartini, dijelaskan oleh Soeroto bahwa perempuan yang telah ada dalam hubungan pernikahan lebih banyak mengalami duka daripada suka. Alasan yang mendukung adalah karena laki-laki diperbolehkan berpoligami dan perempuan tetap berdiam diri. Demikian penuturannya: 14 “.......Wanita dalam perkawinan lebih banyak mengalami duka daripada suka. Sebab sang suami tidak hanya boleh mempunyai isteri lebih dari satu, tetapi disamping itu ia juga masih dapat menyeleweng memelihara wanita-wanita lain tanpa dikawin. Bahayanya keadaan ini bertahan sekian lama, karena kaum wanita selalu menerima nasibnya dengan berdiam diri bahasa Jawa: “nrima” Mereka tidak pernah menentang, tidak pernah memberontak karena mereka takut diceraikan dan kehilangan nafkahnya.” Melalui pernyataan di atas maka disimpulkan bahwa perceraian yang merupakan alasan dimana kaum perempuan menjadi tidak berdaya atas situasi yang dialami sehingga lebih memilih untuk menjadi kaum yang penurut. Mengenai poligami yang merupakan bentuk ketidakadilan bagi kaum perempuan, maka setidaknya berbicara juga tentang kehidupan pribadi Soekarno yang mempraktekkan poligami dalam pernikahannya. Sebuah buku yang berjudul Soekarno, Perempuan, dan Revolusi yang ditulis oleh Ashad Kusuma Djaya, menginformasikan bahwa kehadiran perempuan-perempuan di sekeliling Soekarno, membantunya dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Diinformasikan pula bahwa mereka memberikan kontribusi baik dalam hal-hal yang bersifat maternal, kepemimpinan dan spiritual pada kehidupan politiknya. 15 Bagi sebagian orang, 14 Sitisoemandari Soeroto, KARTINI, Sebuah Biografi Jakarta: Penerbit PT Gunung Agung, 1986, 57. 15 Ashad Kusuma Djaya, Soekarno, Perempuan, dan Revolusi : Sebuah Biografi Politik dan Intelektual Bantul: Penerbit Kreasi Wacana, 2013, 4. Secara keseluruhan pada buku ini dijelaskan tentang perempuan- perempuan yang berada di sekeliling Soekarno mulai dari Ibunya, Sarinah, sampai kepada isteri-isterinya. Menurut penuturan dari buku ini, semua perempuan yang hadir di dalam kehidupan Soekarno memberikan 59 informasi ini dapat diterima karena memiliki alasan yang kelihatannya bernada positif. Tetapi bagi sebagian orang lagi, informasi ini dilihat sebagai pembelaan atas apa yang dilakukan oleh pemimpin bangsa. Bagi mereka yang memiliki hubungan dekat dengan Soekarno, salah satunya Toeti Kakiailatu yang adalah wartawan istana pada masa kepemimpinan Soekarno, mengatakan bahwa Soekarno adalah sosok yang sangat ramah, sopan terhadap wanita meskipun dalam hal ini dia menikahi banyak wanita berpoligami. 16 Selain itu, Dalimin Ronoatmodjo yang adalah pengawal pribadi Soekarno juga menuturkan bahwa sosok Soekarno adalah sosok yang dekat dengan siapa saja, termasuk dengan perempuan. 17 Kedekatannya dengan banyak perempuan yang kemudian dijadikan isteri tentu berdampak pada isteri-isterinya yang terdahulu. Tidak ada seorang perempuan pun yang dengan senang hati bersedia dipoligami. Dalam kasus ini, Soekarno adalah seseorang yang memiliki kekuasaan karena itu para isteri hanya bisa menerima apa yang menjadi keputusannya. Mereka lebih memilih untuk tidak banyak berkomentar, tetapi memendam perasaan yang dipenuhi dengan rasa kecewa, sakit hati karena mendapat perlakuan yang diskriminatif. Dapat dikatakan Soekarno mengingkari kepentingan pokok yang menjadi alasan pembelaannya terhadap kaum perempuan. B.2.3. Fisik dan Seksualitas Selain kedua bentuk diskriminasi yang telah dibahas, pada masa penjajahan Belanda, perempuan yang dipekerjakan di perkebunan kopi sering menjadi sasaran kontribusi yang membangun bagi kepribadian bahkan kehidupan politik Soekarno. Digambarkan bahwa perempuan-perempuan tersebut memiliki andil besar bagi perjuangan yang dilakukan oleh Soekarno. 16 Informasi ini diperoleh melalui perbincangan pada Mata Najwa tanggal 5 Juni 2013, bagian pertama yang membahas tentang Soekarno dengan nara sumber Toeti Kakialatu yang adalah Mantan Wartawan Istana pada masa kepemimpinan Soekarno. http:www.youtube.comwatch?v=YLhE-MOngoQ. 17 Informasi ini diperoleh melalui perbincangan pada Mata Najwa tanggal 5 Juni 2013, bagian kedua yang membahas tentang Soekarno dengan nara sumber Dalimin Ronoatmodjo yang adalah Mantan Pengawal Pribadi Presiden Soekarno. http:www.youtube.comwatch?v=4aHYIemtSYY. 60 kekerasan fisik dan seksual. 18 Soekarno juga mengatakan hal yang senada berkaitan dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan adanya diskriminasi terhadap unsur seks seorang perempuan. Misalnya; ketika terjadinya hubungan antara laki-laki dan perempuan sehingga menghasilkan anak di luar pernikahan maka perempuan yang seringkali dijadikan sebagai alasan utama terjadinya hal tersebut. Perempuan mendapat penghinaan dari berbagai pihak, dicemoh bahkan tidak jarang juga mendapatkan makian dari orang lain. Sebaliknya, laki-laki berada pada posisi aman dan tidak menanggung segala bentuk cemohan dan makian dari masyarakat. Dalam menanggapi peristiwa seperti ini, Soekarno mengkritik bahwa: 19 “Jari tunjuk masyarakat hanya menuding kepada perempuan saja, tidak menunjuk kepada laki-laki, tidak menunjuk kepada kedua pihak secara adil.” Bagi saya, Soekarno hendak mengkritik masyarakat Indonesia bahwa persoalan di atas terjadi bukan karena kesalahan satu pihak saja, akan tetapi merupakan kesalahan bersama yang dilakukan oleh kedua pihak. Karena itu, ketika masyarakat hendak memberikan sanksi atas persoalan tersebut haruslah memberikan secara adil bagi keduanya. 18 Pada beberapa bagian yang diperankan di dalam film ini menunjukkan adanya tindakan kekerasan yang dilakukan kepada kaum perempuan. Perempuan-perempuan Indonesia yang pada saat itu bekerja di perkebunan kopi milik Belanda, sering dijadikan sebagai bahan pelampiasan seksual dari tentara-tentara Belanda. Jika perempuan memberontak maka akan dipukuli dan diperkosa. Tidak hanya itu, perempuan- perempuan muda bahkan dijadikan pelacur untuk memenuhi hasrat seksual dari tentara Belanda. Anggapan miring terhadap perempuan juga didapatkan dari tentara Indonesia yang menganggap bahwa dalam situasi perang, perempuan sebagai penghambat sehingga meremehkan kemampuan perempuan hanya karena alasan yang “konyol” bahwa perempuan tidak menggunakan celana panjang tetapi menggunakan “rok’ sehingga tidak dapat membantu laki-laki berperang melawan penjajah. Pada saat yang sama, perempuan menentang anggapan miring tersebut dan menunjukkan bahwa perempuan tidak kalah dengan laki-laki. Perempuan juga pegang senjata dan turut bahu-membahu dalam melawan penjajah. Informasi ini diperoleh dari sebuah film Indonesia yang berjudul Darah Garuda-Merah Putih II yang merupakan drama fiksi historis Indonesia yang dirilis tahun 2010. Film ini disutradarai oleh Yadi Sugandi dan Conor Allyn dan dibintangi antara lain oleh Lukman Sardi, Donny Alamsyah, Darius Sinathrya, Ario Bayu, Teuku Rifnu Wikana, Rahayu Saraswati, Rudy Wowor, Astri Nurdin, Alex Komang, dan Aldy Zulfikar. 19 Sukarno, SARINAH Sukarno, Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia. Jakarta : Inti Idayu Press, 1984, 24. 61 Sebuah buku yang berjudul Kisah Di Balik Pintu yang ditulis oleh Marching dikisahkan tentang seksualitas perempuan Indonesia mulai dari zaman pergerakan kemerdekaan hingga sekarang. Pada zaman pergerakan kemerdekaan Indonesia, dikisahkan bahwa perempuan mengalami tindakan diskriminasi dalam hal seksualitasnya. Sulistina Soetomo yang adalah isteri dari Bung Tomo merupakan salah satu dari beberapa perempuan pada masa pergerakan kemerdekaan yang diperlakukan tidak adil dari suaminya. Digambarkan bahwa dalam hubungan mereka sebagai suami dan isteri, kesetiaan dan pengabdian seorang isteri adalah keharusan, tetapi kesetiaan seorang suami tidak; ia tergantung dari istrinya dan bahkan menjadi tanggung jawab sang isteri. Kalau dirasa sang isteri belum memenuhi “tanggung jawab” ini, si lelaki bisa mempunyai pilihan lain, sedang isterinya tidak. Pernyataan ini mendukung bahwa lelaki bisa lebih bebas dalam seksualitasnya. Sehingga pada akhirnya Sulistina menyetujui bahwa ia yang harus menjaga kesetiaan Soetomo, sedangkan kesetiaanya adalah tanggung jawab dirinya sendiri. 20 Dari penjelasan di atas, maka siapakah yang seharusnya bertanggung jawab penuh dalam menghadirkan nilai-nilai yang adil dalam hal seksualitas bagi keutuhan rumah tangga? Apakah suami? Ataukah Isteri? Atau Keduanya? Pertanyaan ini seharusnya dimaknai dengan tepat untuk terwujudnya keadilan bagi laki-laki dan perempuan, juga bagi suami dan isteri. Sayangnya, hanya kaum perempuan yang dijadikan sebagai objek untuk terbentuknya kesetiaan, ia pula yang harus memikul tanggung jawab besar demi keutuhan keluarganya. Dengan demikian, terlihat adanya ketimpangan dimana begitu pentingnya kepentingan dan kenikmatan lelaki. Disinilah letaknya salah satu ketidakadilan dan diskriminasi terhadap seksualitas perempuan. 20 Soe Tjen Marching, Kisah Di Balik Pintu, Identitas Perempuan Indonesia: Antara Yang Publik Privat Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2011, 136. Yang dimaksudkan dengan kata “tanggung jawab” ialah persoalan hubungan antara suami dan isteri. 62 Seksualitas perempuan dijadikan sebagai syarat untuk keutuhan rumah tangga sedangkan laki-laki diberikan kebebasan penuh untuk tidak diatur dalam hal seksualitasnya. B.2.4. Wacana Publik Wacana publik yang dimaksudkan oleh Soekarno adalah wacana yang seharusnya dibangun atas dasar kemanusiaan. Berkaitan dengan ketidakadilan yang dialami oleh kaum perempuan pada dunia publik, Soekarno menegaskan bahwa: 21 “Kaum perempuan tidak cukup dengan mengejar persamaan hak dengan laki-laki sahaja, tidak pun cukup dengan mendapat persamaan hak dengan laki-laki sahaja... Kaum laki-laki boleh menjadi pegawai paberik, boleh berpolitik, boleh menjadi advocaat, boleh menjadi guru, boleh jadi anggauta parlemen – kenapa kaum perempuan tidak? Wahai, kaum perempuan, marilah bersatu, marilah rukun, marilah menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki itu, merebut persamaan hak itu dari tangannya kaum laki-laki yang mau menggagahi dunia sendiri” Analisa yang dibangun melalui penguraian di atas ialah terdapat gambaran bahwa dalam praktek bermasyarakat telah terjadinya pengurungan dan ketidakadilan bagi kaum perempuan, karena itu adanya penegasan bahwa kaum perempuan harus bangkit dan berjuang menjadi pribadi yang tidak hanya menerima keadaan yang tidak adil di dalam suatu masyarakat. Perempuan harus berani mengayunkan langkah di depan kaum laki-laki untuk menggapai haknya dalam berkarya pada wilayah publik. Dengan demikian disimpulkan bahwa wilayah publik tidaklah semata-mata menjadi wilayah khusus bagi kaum laki-laki, tetapi menjadi wilayah bagi keduanya yakni kaum laki-laki dan perempuan untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya secara bersama-sama. Di dalam perjuangan yang dilakukan oleh kaum perempuan untuk merebut haknya, perempuan berhadapan dengan kaum borjuis yang pada saat itu bersimpati kepada perempuan. Ironisnya, simpati yang diberikan oleh kaum borjuis adalah 21 Ir. Sukarno, Di Bawah Bendera Revolusi Jakarta: Yayasan Bung Karno, 2005, 246 63 simpati yang terselubung yaitu untuk keuntungan bagi pihak mereka sendiri. Ideologi yang terbentuk melalui rasa simpati yang terselubung dari pihak borjuis ialah ideologi kapitalisme, dimana ketika kaum perempuan diperbolehkan bekerja pada wilayah publik, maka dengan mudahnya mereka kaum borjuis mendapat kaum buruh murah. 22 Dengan memahami pernyataan di atas, maka dalam hal ini dapat diinterpretasi bahwa kebebasan yang diberikan bagi kaum perempuan untuk terjun pada wilayah publik tidak dapat menjamin seorang perempuan memperoleh keadilan yang benar- benar adil. Awalnya perempuan mengalami ketidakadilan karena tidak diperbolehkan bekerja pada wilayah publik, menanggapi ketidakadilan tersebut maka perempuan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan kebebasan dan keadilan agar dapat bergabung pada wilayah publik. Namun, ketika kebebasan telah dikantongi, ketidakadilan tetap melekat pada diri perempuan yaitu dengan menjadi kaum buruh murah yang mendapat bayaran murah. Hal ini pun hendak menegaskan bahwa keberadaan perempuan di wilayah publik masih dipandang rendah dan dipandang tidak memiliki kualitas yang setara dengan kaum laki-laki sehingga sekalipun telah berada di wilayah publik tetap berada pada posisi yang rendah. B.2.5. Politik 22 Ibid., 246-247. Penjelasan yang lebih detail ialah sebagai berikut: Di dalam perjuangan itu perjuangan yang dilakukan oleh kaum perempuan untuk memperoleh hak mereka, seluruh dunia burjuis adalah bersimpati kepadanya kaum perempuan. Di dalam perjuangan itu mereka sangat sekali mendapat sokongan dari dunia burjuis itu, mendapat sokongan dari dunia kemodalan. Sokongan karena rasa “kemanusiaan”? Karena “rasa keadilan”, karena “rasa ethiek”? boleh jadi begitu; memang persamaan hak antara perempuan dan laki-laki adalah juga soal kemanusiaan, soal keadilan, soal ethiek. Memang setiap manusia yang adildan sehat otak, harus menyokong aksi persamaan hak itu. Tetapi di atas dasarnya “rasa kemanusiaan” daripada kaum burjuis dan kaum modal itu adalah terletak rasa keuntungan yang tebal sekali. “Ethiek-nya kaum burjuis terhadap pada soal ini adalah ethiek-nya kepentingan kelas yang mentah-mentahan: jikalau kaum perempuan dapat merobek adat kuno dan mendapat persamaan hak dengan kaum laki-laki, jikalau adat kuno yang mengurung kaum perempuan di dalam dapur itu bisa lenyap sehingga mereka boleh masuk ke dalam dunia luaran, jikalau kaum perempuan itu boleh masuk bekerja di dalam paberik, di dalam bingkil, di dalam perdagangan, di dalam kantor, maka kaum burjuislah yang sangat untung, kaum burjuislah yang mendapat kaum buruh murah “..... Inilah yang memberi kebenaran pada perkataan Henriette Roland Holst bahwa pergerakan emansipasi wanita itu dulu sebenarnya adalah suatu pergerakan burjuis.” 64 Sebuah kalimat yang sering didengar bahkan dikatakan oleh banyak orang bahwa keberhasilan dan nama besar seorang laki-laki tidak terlepas dari sosok perempuan yang menjadi penentu suksesnya seorang laki-laki. Namun, realitas yang berkembang dalam pandangan masyarakat, perempuan adalah kaum lemah, tidak berdaya, tidak dapat bersaing dengan laki-laki dan sebagainya. Untuk mematahkan anggapan miring tersebut, maka pada masa perjuangan kemerdekaan banyak perempuan yang turut berdiri di depan untuk merebut kemerdekaan sekaligus menegakkan keadilan bagi kaum perempuan. Peran politik perempuan hendak memperlihatkan bahwa keberadaan perempuan tidak hanya sekedar sebagai isteri dan ibu rumah tangga tetapi juga sebagai pejuang kemerdekaan. 23 Di dalam bukunya yang berjudul Sarinah, Soekarno mendukung kaum perempuan untuk terlibat dalam dunia politik bersama dengan kaum laki-laki dalam mewujudkan Indonesia Merdeka. Ia mengatakan bahwa: 24 “Hai wanita-wanita Indonesia, jadilah revolusioner, - tiada kemenangan revolusioner, jika tiada wanita revolusioner, dan tiada wanita revolusioner, jika tiada pedoman revolusioner” Penulis memahami bahwa Soekarno menghimbau bagi kaum perempuan agar tidak hanya menjadi penikmat dari gerakan revolusi dalam memperoleh kemerdekaan, sebaliknya ia menginginkan agar kaum perempuan turut mengambil bagian di dalam gerakan revolusi dengan menjadi barisan revolusioner. Barisan yang memberikan kontribusi atau perubahan bagi terwujudnya kemerdekaan Indonesia. Di dalam seruannya terkandung makna bahwa perempuan tidak kalah dengan laki-laki. Perempuan bukanlah kaum yang bodoh, lemah, bahkan secara tidak langsung tersirat 23 Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia Jakarta: Penerbit Garba Budaya, 1999, 332. 24 Sukarno, SARINAH Sukarno, Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia. Jakarta : Inti Idayu Press, 1984, 189. 65 bahwa bangsa Indonesia mutlak membutuhkan kaum perempuan untuk sama-sama bergerak dengan kaum laki-lakinya pada gerakan revolusi untuk kepentingan bersama. Selain himbauan yang diberikan Soekarno bagi kaum perempuan, ia juga mengkritik kaum laki-laki berkaitan dengan ketidakbebasan yang dialami oleh kaum perempuan dalam pembangunan masyarakat. Baginya, laki-laki harus mendidik dirinya sendiri untuk dapat memahami dengan benar persamaan antara laki-laki dan perempuan. Kembali lagi ia tandaskan bahwa pada umumnya kaum laki-laki masih terikat dengan sistim patriarki atau masih ada dalam produk “pemerintahan kaum laki- laki”. Laki-laki harus belajar mengerti bahwa “soal wanita adalah soal kita yang amat penting. Wanita adalah elemen mutlak dalam perjuangan Indonesia”. 25 Dengan demikian disimpulkan bahwa himbauan bagi kaum perempuan untuk bergerak aktif memberikan arti bahwa perempuan harus sadar akan pentingnya keadilan dan kesejahteraan bagi kaum perempuan. Tanpa adanya kesadaran dari kaum perempuan, maka secara terus-menerus akan menjadi budak dan diperdaya oleh kaum yang berkuasa. Begitu juga kaum laki-laki harus memiliki kesadaran penuh untuk belajar memahami unsur-unsur yang adil antara laki-laki dan perempuan. Laki- laki harus melepaskan egoisme yang ada di dalam dirinya, dan keluar dari sistim patriarki yang mendominasi, kemudian bersama-sama dengan kaum perempuan dalam menciptakan kondisi yang adil dalam masyarakat. Kemerdekaan Indonesia yang sesungguhnya ialah ketika terciptanya suatu kemerdekaan sosial yakni kemerdekaan dimana setiap rakyat Indonesia menjalani kehidupan bersama yang di dalamnya terdapat harmonisasi dan tidak adanya pembedaan. Bangsa yang satu. Bangsa yang hidup dalam satu negara yang merdeka, 25 Ibid., 240-241. Dengan gaya bahasanya, Soekarno mengatakan bahwa “soal wanita dalam segala seluk-beluknya, sebenarnya pihak laki-laki masih harus mengadakan pendidikan pada diri sendiri dengan cara yang sehebat-hebatnya.” 66 bernaung dibawah satu bendera Merah Putih. Untuk memperoleh kemerdekaan yang utuh maka semua lapisan masyarakat yang ada dan tergabung dalam tubuh NKRI harus mengambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan. Artinya, tidak hanya kaum laki-laki yang diberikan tanggung jawab dalam berjuang untuk mengusahakan kemerdekaan. Sebaliknya, perempuan-perempuan Indonesia juga memiliki tanggung jawab yang sama dalam menghadirkan Indonesia merdeka karena sejatinya, perempuan juga merupakan elemen penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Soekarno mengatakan bahwa perempuan harus menggerakkan “separuh dari tenaganya” untuk pembangunan masyarakat. 26 Namun, bukanlah “separuh tenaga” yang harus dikerahkan, tetapi “seluruh tenaga” dari perempuan yang harus dikerahkan untuk pembangunan masyarakat. Berdasarkan konteks bangsa yang terjajah serta adanya diskrimininasi melalui perlakuan yang tidak adil terhadap kaum perempuan, kemudian mengarahkan Soekarno pada sebuah pemahaman bahwa bangsa dan rakyat Indonesia membutuhkan kebebasan dari tindakan-tindakan yang tidak adil dan yang menindas. Pemahaman dan pandangan kemudian dituangkan kedalam bukunya yang berjudul Sarinah. Berikut ini akan dibahas mengenai gagasan-gagasan yang terdapat di dalam Sarinah.

C. Gagasan Soekarno dalam Sarinah